Senin, 08 Agustus 2022

SUPARTO BRATA BILANG SASTRA ITU BUKU

 

SASTRA PUISI TAK PERNAH MATI

TAK JUA TERTINGGAL DI ERA DIGITAL

Aming Aminoedhin

 

Sastra itu berupa buku, bukan yang termuat di majalah dan koran, kata Suparto Brata. Dan membuat kumpulan buku puisi bersama kawan penyair lain termasuk buku sastra. Hal ini juga sekaligus menjawab tulisan Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan majalah. Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan karyanya berupa puisi itu dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.*

  

Waktu Lalu

            Ketika tulisan sastra masih berjaya dimuat koran dan majalah sekitar tahun 1970 hingga 1990-an, sungguh pengarang berlomba menulis bisa termuat di koran dan majalah, teramat susah. Kenapa susah? Selain menulis masih dengan mesin ketik manual, mereka harus masukkan dulu ke amplop dikasih prangko, untuk dikirimkan ke kantor pos. Barangkali tidak begitu susah, jika rumahnya dekat kantor pos, namun tidak bagi pengarang yang tinggal di desa, dan jauh dari kan-tor pos itu. Teramat susah memang! Naskah sudah jadi, dan telah berperangko di amplopnya, tapi belum bisa dikirim, karena jauhnya jarak dari kantor pos. Baru sehari atau dua hari, bahkan seming-gu berikutnya, baru bisa kirim ke kota di kantor pos.

            Itu gambaran kirim naskah karya sastra zaman dulu. Sekarang tinggal ‘klik’ tanpa beran-jak dari rumah saja, terkadang masih malas membuat karya sastra. Bahkan lebih suka bergunjing di dunia maya, bicara tanpa makna. Tanpa menulis sastra lagi. Ah… waktu jadi sia-sia.

            Di era zaman internet ini memang hampir semuanya terasa mudah. Kirim surat dan nas-kah karya sastra tinggal ”klik” dari rumah lewat laptop sudah sampai redaksi yang dituju. Begitu mudah, dan sungguh pengarang dimanjakan teknologi internet ini. Tinggal bagaimana kita bisa berkarya menulis sastra berkualitas, menunggu adakah termuat di koran atau majalah atau tidak? Jika tidak, berati naskah karya sastra belum baik. Pengarang harus menulis lagi, dan nge-‘klik’ lagi ke redaksi. Gampang bukan?

 Lalu Waktu

            Lalu waktu tahun 1970 s.d. 1990-an,  di mana negara kita Indonesia tidak banyak punya majalah seni dan budaya, terkhusus majalah sastra; maka koran-koran dan majalah-majalah umum banyak yang memuat/menampung karya sastra. Jika mau menyebut majalah seni budaya yang cukup punya nama di era Orde Baru (Orba), seingat saya ada Budaya Jaya dan Basis. Sedangkan majalah sastra satu-satunya hanya Horison.

            Tulisan ini hanya akan mencoba menyoroti karya sastra puisi segara global, dengan este-tika dan dinamika penulisannya saja. Saya sadar tentu banyak lemahnya, tapi setidaknya bisa jadi sepenggal catatan sejarah sastra kita.

Seiring dengan terbatasnya majalah seni budaya dan sastra yang bisa memuat/menampung naskah karya sastra pengarang yang banyak jumlahnya itu, maka koran dan majalah umum banyak yang memuat karya sastra. Sekadar mencatat sesuai ingatan saja, bahwa koran-koran yang memuat cerpen dan puisi, antara lain: Kompas, Suara Karya, Surabaya Post, Sinar Harapan, Berita Buana, Swadesi, Suara Karya, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, dan banyak lagi. Bahkan beberapa koran ada yang memuat cerita bersambung, seperti: Kompas, Sinar Harapan, Surabaya Post, Republika, Jawa Pos, dan entah koran apa lagi (lupa?). Seingat saya nama-nama pengarang Jatim, ada: Suparto Brata di Kompas dan Republika,  Hardjono WS di Sinar Harapan, Dukut Imam Widadodo, Hardjono WS, dan Tan Tjin Siong di Surabaya Post, dan entah siapa lagi (ini juga lupa).

            Sementara itu, majalah yang memuat cerpen dan puisi juga banyak jumlahnya, sebut saja majalah wanita: Kartini, Femina, Putri Indonesia, Gadis juga memuat karya sastra. Lalu majalah remaja semacam: Hai, Midi,  Putra Indonesia, Top, Anita Cemerlang, dan hingga majalah musik Aktuil dari Bandung juga memuat karya sastra. Bahkan lewat penjaga gawang sastranya Remy Sylado (23761) melahirkan trend genre puisi baru yang disebut sebagai ‘puisi mbeling.” Sungguh jagat sastra, pada saat itu sedang booming lahan untuk persemaiannya. Sekadar contoh, saya muatkan beberapa naskah puisi mbeling karya Remy Sylado itu.

 

Di Blok Apa?

 

Kalau

Chairil Anwar

binatang jalang

Di blok apa

tempatnya

di Ragunan?

 

Dua Daya

 

motivator

berbicara tentang

memberdayakan rakyat

 

koruptor

berbicara tentang

memperdayakan rakyat

 

 

Olahraga

 

olahraga

orang kota

mengangkat barbel

di fitness centre

 

olahraga

orang desa

memacul tanah

di sawah ladang

 

yang satu

mencari sehat

karena anjuran

yang lain

menemukan sehat

karena telanjur

 

1990

 

(Puisi disadur dan diunduh dari http://kepadapuisi.blogspot.com, 14 Juni 2021)

 

            Waktu terus bergulir, bahwa puisi mbeling, ternyata punya estetika tersendiri. Mungkin ada rasa guyonan, ada unsur kritikan, berontak, dan terasa nakal, puisi seperti main-main dengan kata. Tak salah jika disebutnya mbeling, yang berarti nakal. Namun ternyata, genre puisi ini, ke-mudian banyak yang ikut menulisnya. Diakui, dan termuat pada majalah dan koran di mana-ma-na. Bahkan Remy Sylado sendiri, buat kumpulan puisi mbeling. Laku jual, dan banyak yang beli, serta membacanya.

            Pada perkembangannya, sastra koran dan majalah juga mengalami kehilangan lahan subur guna pemuatannya. Koran dan majalah cetak banyak bertumbangan, kalah dengan internet. Kini redaksi koran dan majalah mulai banyak yang tak mau memuat lagi karya sastra. Tidak hanya untuk memuat iklan, tapi redaksinya, merasa karya sastra sudah banyak termuat di dunia internet. Kompas dan Republika,  koran nasional itupun menutup rubrik puisinya. Untung masih mau memuat cerpen pada terbitan Minggu-nya.

            Terlepas dari soal puisi mbeling, estetika sastra puisi memang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kita awali dari zaman Chairil Anwar, yang membuat terobosan baru dengan

puisi-puisi bebasnya. Tak mau menganut gaya penulisan lama semacam: pantun, syair, dan sonet, guridam yang terlalu mengikat itu. Puisi Chairil  menganut aliran yang ekspresionisme, berdasar gambaran ekspresi/letupan jiwa yang meluap-luap dalam dirinya. Berikut ini puisi Chairil Anwar yang terkenal itu:

 

Aku

 

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

 

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

 

Dan aku akan lebih tidak peduli

 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

(Diambil dari Deru Tjampur Debu - Chairil Anwar,  PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun 1966, hal 7)

 

 

SENJA DI PELABUHAN KECIL

                        * buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946

(Diambil dari Deru Tjampur Debu - Chairil Anwar,  PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun 1966, hal 39)

 

 

            Perjalanan waktu berikutnya ada penyair yang eksentrik bernama Sutardji Calzoum Bachri, estetika puisinya juga mendobrak dan memberontak dengan membebaskan makna pada kata. Dia bilang dalam kredo puisinya pada tahun 1973 di Bandung, yang menyatakan: Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.  Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra. Berikut dua puisi Sutardji:


DENYUT

 

akan kau kau kan kah hidupmu?

kau nanti kau akan kau mau kau mau

takkan sampai sebatas allah

 

siapa yang tikam burung yang waktu

waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku

 

kapan kau sayap diamnya batu

battuba battubi battubu

 

yang langit yang gapai yang sangsai

denyutku denyutku denyutku

 

 

1973

 

 (Amuk- Sutardji Calzoum Bachri, halaman 31)

 

P I L

 

memang pil seperti pil macam pil walau pil

hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil

meski pil tapi tak pil apalah pil

pil pil pil mengapa gigil?

aku demam pil bilang

obat jadi  barah

apakah pasien?

tempeleng!

 

1976

 

(Amuk- Sutardji Calzoum Bachri, halaman 39)

 (Diambil dari Amuk – Sutardji Calzoun Bachri, Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Januari 1977).

 

             Catatan di atas hanya sebagian penulisan dengan estetika yang berbeda alirannya, barang-kali masih banyak estetika puisi lain lagi. Seperti gaya estetika penulisan puisi sufisme, haiku, religi,  dan banyak lagi. Tapi yang jadi ingatan saya, malah persoalan pengadilan puisi yang diselenggarakan di Bandung September 1974 itu. Beberapa nama pengarang besar ikut menulis, antara lain: Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, HB Jassin, MS Hutagalung, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, yang kemudian dibukukan oleh Pamusuk Eneste, berjudul Pengadilan Puisi diterbitkan oleh PT Gunung Agung Jakarta, 1986.

            Heboh sastra puisi ini, bermula tulisan tuntutan Slamet Kirnanto berjudul ‘Saya Men-dakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek” (Buku Pengadilan Puisi, hal.12) yang mana di dalamnya ada tuntutan berbunyi: Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya HB Jassin dan MS Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. (Pengadilan Puisi hal. 27).

            Tak ayal lagi, HB Jassin dan MS Hutagalung, jadi agak berang dibuatnya. Meski Jassin tetap harus memertanyakan mereka yang terlibat dalam  acara ‘Pengadilan Puisi Bandung’ pada akhir tulisannya, “Sepuluh tahun lagi, siapakah yang masih bersuara di antara orang yang ber-kaok-kaok sekarang ini, dan apakah prestasi yang telah mereka berikan kepada kesusastraan Indo-nesia? (Buku Pengadilan Puisi, hal.41). Sementara tulisan MS Hutagalung menjawab hal ini, antara lain mengatakan, “Bahwa perkembangan puisi kita brengsek, dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto-lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto, bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.”

            Dari alinea yang saya tulis di atas, tampak jelas memberi gambaran kepada kita betapa hebohnya sastra Indonesia waktu itu. Sedang dalam acara “Pengadilan Puisi Bandung” ini, yang mana ada nama-nama pengarang terkenal seperti: Sanento Yuliman, Darmanto JT, Slamet Kirnanto, Taufiq Ismail, Saini KM, Handrawan Nadesul, Adri Darmadji, Yudhistira AN, Wing Kardjo, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto DS; dengan terdakwa tunggal: Puisi Indonesia Mutakhir.

            Terlepas soal puisi koran dan majalah, serta heboh pengadilan puisi di Bandung, yang pasti kata Suparto Brata, dalam tulisannya berbahasa Jawa termuat di buku ‘Othak Athik Gathuk’ terbitan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Agustus 2018 lalu, mengatakan, “Wong pinter saindhenge donya iki mesthi maca buku lan nulis buku. Mulane, duweni kabudayan maca buku lan menulis buku kuwi, wujud lambarane lan sanggarane urip modheren.” (hal. 76-77).  Lalu ditambahkan penegasan dalam kalimat berbahasa Indonesia, “Berbudaya membaca buku berpotensi mengubah takdir menjadikan hidup lebih semarak dan bahagia,” tandas beliau.

            Pada lanjutan tulisannya, beliau katakan, “Saka pengalamanku kuwi bisa katitik yen anggonku tepung karo sastra kuwi ya saka macani buku-buku. Mula tumrapku Sastra Kuwi Buku, lan Sastra Jawa Kuwi Uga Buku. (hal. 79). Terjemahan bebasnya: Dari pengalamanku bisa saya lihat, bahwa saya kenal sastra dari membacai buku-buku. Maka bagi saya Sastra itu Buku, termasuk Sastra Jawa.”

Nah…. dari wejangan pengarang ampuh, Suparto Brata ini, sastra koran dan majalah, boleh-boleh saja. Tapi yang lebih utama adalah membuat buku sastra. Hal ini, sering beliau sampai-katakan ketika saya bertemu beliau di mana saja. Termasuk ketika temu di Kongres Kebudayaan Jawa di Lor-Inn, Surakarta beberapa tahun lalu.

            Berangkat dari sini maka, tak salah jika Chairil Anwar, WS Rendra, Remy Sylado, Sutardji Calzoun Bachri, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan banyak lagi nama penyair lain,  membuat kumpulan puinya masing-masing. Termasuk tidak salah ketika saya buat buku Malsasa (Malam Sastra Surabaya) dari tahun ke tahun sejak 1989 hingga 2017. Membukukan puisi-puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur, tentang puisi bertema Surabaya. Bahkan pernah membukukan pula, puisi pelukis yang juga penyair pada waktu itu.

 Lalu Era Digital dan Virtual

         Lalu di era masa pandemi ini, maka sektor kesenian juga mengalami dampaknya yang sangat menyedihkan. Beberapa pertunjukan pentas tradisi, semacam: wayang kulit, ludruk, ketoprak tak bisa tampil. Begitu juga pentas seni modern, seperti: musik, tari, nyanyi, teater, film atau bioskop tak bisa lagi tampil di gedung pertunjukan. Begitu juga baca sastra, terkhusus puisi alami hal yang sama. Namun banyak juga yang masih punya terobosan dengan tampilan secara virtual, dan bahkan banyak penyair yang mengajak kawan-kawan penyair lain untuk terus berkarya, serta menerbitkan buku puisi.

Sekadar mengamati melalui facebook saja, kita dapat melihat beberapa lembaga dan komunitas sastra adakan kegiatan acara virtual. Sebut saja: Univeritas Negeri Malang (UM), Uni-versitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Indonesia (UI – Jakarta) adakan bedah buku sastra via virtual. HISKI Bali bicara Sastra dan Pancasila, dan mungkin masih banyak lagi. Lantas Tembi Rumah Budaya Yogya, lewat acara Sastra Bulan Purnama, berkali-kali tampilkan Poetry Reading From Home, hingga sampai ke-17 kalinya pada bulan Juni 2021 ini. Lalu Bengkel Muda Surabaya (BMS) menggelar acara baca puisi vitual dalam rangka Ulang Tahun Kota Surabaya bertajuk “Surabaya 728” peringati hari jadi Kota Surabaya ke-728. Materi tampilan baca puisinya para penyair, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, Anang Hanani, dan banyak lagi.

Di sisi lain berbagai kegiatan lomba baca puisi dan pantun, juga diselenggarakan secara virtual: Lomba baca puisi Pekan Seni Pelajar Surabaya, Lomba Tulis Baca Puisi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Lomba Baca Puisi dan Pantun ala Dharwa Wanita Persatuan – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Timur, Lomba  Tulis Pantun – Universitas Katolik  Widya Mandala Surabaya – Kampus Kota Madiun, dan banyak lagi.

Sementara itu, untuk penerbitan buku sastra, utamanya puisi yang ajakannya melalui digital (facebook), banyak sekali jumlahnya. Jika mau mengamati secara rinci, mungkin tak bisa saya lakukan dengan teliti dan jeli. Tapi sekadar mencatat yang aktif terus bergerak cukup banyak. Sebut saja komunitas laskar PMK (Puisi Menolak Puisi) telah menerbitkan berkali-kali puisi soal tema korupsi ini. Komunitas yag dikomandani, Sosiawan Leak, terakhir menerbitkan PMK Ke-8 dengan tema ‘Korupsi dan Korona” dengan peserta penyair se-Indonesia. Dapur Sastra Jakarta, yang didengkoti Remmy Novaris DM berkali-kali terbitakan buku puisi bersama komunitasnya. Bahkan pernah pula terbitkan puisi reuni “Penyair Indonesia Angkatan 1987 versi DKJ – TIM Jakarta,” kemudian dibacakan di Lampung dan Tembi Yogya.

Lalu melalui Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), Aming Aminoedhin, pernah me-nerbitkan Lukisan Puisi – Malsasa Sebelas, bersama sebelas penyair Jawa Timur. Sedang pada Paguyuban Pengarang Sastra Surabaya, dengan ketua Suharmono Kasijun, menerbitkan:  Sandhal Jepit Taline Abang, Mlesat Bareng Ukara, Gurit Bandha Donya, dan Othak-Athik Gathuk. Lantas da juga Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) dan Era Buku Mojokerto yang dikomandoi Anjrah Lelono Broto, sudah berkali-kali buat buku puisi dengan berbagai tema, baik puisi maupun guritan. Ada yang berjudul : Narasi Bait Waktu, Maafkan Kata-kata,  dan Japa Lampah.  Pernah juga menerbitkan buku cerpen dan opini bertema ‘Bijak dan Cerdas Berliterasi.”

Komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP)  - Tembi Rumah Budaya Yogya, dengan jen-dralnya Ons Untoro, juga menerbitkan buku puisi seri, antara lain: Penyair dan Rembulan,  Ke-pada Hujan di Bulan Purnama, Kepak sayap Waktu, dan Mata Air Hujan di Bulan Purnama, dan banyak lagi. Sedangkan komunitasnya Tengsoe Tjahjono, bernama Pentigraf (Cerpen Tiga Paragraf), tak juga berhenti terus menerbitkan buku pentigraf-nya. Di samping masih punya Teras Puisi Indonesia, menerbitkan Putiba (Puisi Tuga Bait), yaitu Puisi Corona dan Putiba Untuk Umbu.

Barangkali ini hanya catatan sebagian kecil sastra puisi yang tetap eksis di era digital, dan tampilan baca puisinya lebih banyak dilakukan di dunia virtual. Namun yang pasti harus diakui, bahwa sastra puisi masih tetap ada. Bahkan banyak buku-buku puisi berbagai tema diterbitkan penyairnya. Jangkauannya lebih luas pula, karena bisa dilihat di berbagai tempat melalui internet, bukunya diisi karya penyair dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Hal ini juga sekaligus menjawab tulisan Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan majalah. Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan kar-yanya berupa puisi itu dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.

Sungguh sastra puisi tak pernah mati, dan tak jua mau tertinggal di era digital ini.***

 

Mojokerto, Desaku Canggu - 19 Juli 2021

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar: