Selasa, 19 Juli 2016

LAKON ITU BERNAMA LENNON

LAKON ITU BERNAMA LENNON
catatan: aming aminoedhin


Sudah sejak lama, saya berkenalan dengan Lennon Machali. Beberapa kali saya ketemu, selalu ia pas mengikuti berbagai lomba seni: baik teater, fragmen budi pekerti, musikalisasi puisi atau baca puisi. Ia tidak ikut sendiri, tapi mengantarkan anak didiknya yang akan ikut berlomba.
Kebetulan beberapa kali pula, saya pas macak/bertindak sebagai kelompok dewan jurinya, dan secara kebetulan pula (seringkali) anak didiknya selalu jadi juara. Tidak hanya sekali dua, tapi berkali-kali memenangi juara seni lomba semacam ini. Baik di tingkat Kabupaten Gresik, kegiatan di Surabaya, dan bahkan di tingkat Provinsi Jawa Timur.
Ini membuktikan bahwa Lennon, memang tidak pernah setengah hati menangani seni pertunjukan semacam ini. Barangkali berlatih dengan berdarah-darah, agar mimpi jadi juara itu teraih nanti.



Lennon Machali, kelahiran Gresik, 13 Maret 1953 ini memang lakon dalam setiap menggarap-pentaskan sebuah seni pertunjukan semacam teater, dan musikalisasi puisi. Tiada tanding, tiada banding! Terbukti, seperti yang telah saya tuturkan di atas, selalu juara dan juara lagi.
Bersama Lennon yang biasa jadi lakon ini, saya pernah satu panggung pentas teater bertajuk "Skolah Skandal" karya sutradara Akhudiat, pada 3 November 2011. Ketika itu yang ikut main ada: Deny Tri Aryanti, Wina Bojonegoro, Aming Aminoedhin, Yuyun Wahyuni (istri Lennon), Desemba, dan beberapa anak-anak siswa SMKI Surabaya. Lennon, benar-benar dadi lakon, karena ia memerankan dhalang dengan sangat bagusnya.
Lantas, sebagai juri lomba baca dan tulis puisi, saya pernah diajak Lennon Machali, bersama Herry Lamongan, jadi juri Lomba Tulis Baca Puisi bagi Guru TK/PAUD Muhammadiyah di kota Malang.
Dari sini lahirnya gagasan membuat kumpulan puisi bersama bertajuk "Gresla Mamoso" yang berisi puisinya: Lennon Machali, Herry Lamongan, Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan R. Giryadi.
Kumpulan puisi ini kemudian dibacakan di kota: Batu, Gresik, Blitar, dan Lamongan. Sungguh sebuah kenangan yang teramat indah jika mengingatnya. Dan Lennon, selalu hadir dalam setiap perhelatan baca puisinya.
Lennon, juga tercatat kerap ikut berkonstribusi dalam gelaran acara saya yang bertajuk "Malam Sastra Surabaya" atau Malsasa. Begitu pula acara Tadarus Puisi Bulan Suci, yang pernah saya gelar  pada acara bulan-bulan Ramadhan. Ia, selalu siap jika diajak bersastra-sastra. Meski ia tahu, bahwa sastra,  hanyalah kegiatan yang banyak meruginya. Tapi hatinya tak pernah merugi. Terbukti, ia selalu tegar dan sabar dalam menjalani.
Beberapa kali, bersama Lennon Machali, juga tampil acara baca puisi di Rumah Budaya "Kalimasada" Blitar, milik Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada itu. Bahkan terakhir, masih ikut tampilan pada acara tasyakuran ultah perkawinannya, dengan menerbitka buku 'Jalan Sunyi Doktorandus Kartomarmo'.
Lennon benar-benar jadi lakon dalam setiap tampilannya. Lebih lagi kesabaran dan kebesarannya dalam menagani seni susastra. Tampilannya yang selalu low-profile itu, ternyata menyimpan keampuhan yang tiada tara. Tiada tanding tiada banding, lebih lagi di kotanya Gresik.
Kemarin, 18 Juli 2016, pukul 09.00 pagi; tokoh kita Lennon yang lakon ini, meninggalkan kita semua. Terasa tak percaya, tapi benar adanya. Sungguh, saya sebagai temannya, merasa kehilangan sosok seniman yang sabar, tapi punya impian yang besar ini.
Selamat jalan kawan! Semoga surga sebagai tempatmu! Amin!

Desaku Canggu, 19 Juli2 2016







Minggu, 19 Juni 2016

DALANE URIPKU PAK SUPRAWOTO



LITERASI BAHASA JAWA TETAP ADA
Oleh: Aming Aminoedhin*


            Ketika pada hari Minggu (21/2/2016) rubrik Ruang Putih - Jawa Pos, memuat artikel tentang ‘Stagnasi Edukasi Sastra Jawa’ tulisan Ari Kristianawati; menyulut  ingatan saya akan kegiatan literasi berbahasa Jawa, yaitu peluncuran buku ‘Dalane Uripku’ yang selanjutnya disingkat ‘DU’ karya Suprawoto. Apa yang menarik dari bahasa dan budaya Jawa? Barangkali wejangan atau pitutur luhurnya yang selalu diusung dalam literasi bahasa Jawa tersebut, sehingga tetap tertulis di dalamnya.
            Berbicara soal literasi bahasa Jawa, seorang redaktur Majalah Jaya Baya Surabaya, Widodo Basuki, pernah mengatakan bahwa, “ Ketika ia membuka rubrik calon pengarang bagi para siswa, maka cerita yang dikirimkan ke redaksi kebanyakan bicara soal unggah-ungguh atau tata krama, kejujuran, dan budi pekerti luhur dalam kehidupan ini. Meskipun ceritanya tersebut ditulis dalam bahasa Jawa ngoko.”
            Kembali ke persoalan peluncuran buku DU yang ditulis dalam bahasa Jawa, dilun-curkan pertama kali di Mercure Grand Mirama Hotel – Jalan Raya Darmo – Surabaya, 12 Februari 2016 lalu. Letaknya di tengah atau jantung kota Surabaya. Sungguh terasa wah..., jika tak bisa dikatakan mewah. Buku yang diterbitkan oleh PT Panjebar Semangat Surabaya, dicetak pertama Februari 2016, dengan tebal 640 halaman tersebut, cukup eksklusif atau mewah - semewah tempat acara peluncurannya.
            Tampak banyak undangan hadir pada kesempatan tersebut, baik kalangan akademis, seniman, dan sastrawan, baik Indonesia maupun Jawa. Acara peluncuran DU itu terasa cair, ketika pemandunya Suko Widodo dan Priyo Aljabar. Banyak guyonan parikena dilontarkan, hingga dialog jadi terasa segar. Bahkan saya sebagai tamu didaulat pula untuk membacakan 2 geguritan guna meramaikan acara.
            Jika harus dikritisi acara ini, mengapa acaranya digelar di Mercure Hotel? Mengapa tidak diselenggarakan di Gedung Balai Pemuda Surabaya, Taman Budaya Jatim, atau di kampus-kampus? Utamanya kampus Unesa yang mempunyai jurusan Bahasa Jawanya? Sebab acara literasi bahasa Jawa diadakan di hotel, terasa membuat jarak dengan orang Jawa kebanyakan yang suka bahasa dan sastra Jawa. Mau datang dan bergabung terasa kikuk, bahkan mungkin canggung.
            Sebaiknya acara ini memang harus digelar kembali, karena pentingnya isi buku ini,  dengan mengetengahkan juru bedah buku yang mumpuni bahasa dan sastra Jawa, seperti misalnya: Dr. Suharmono Kasijun atau Dr. Tengsoe Tjahjono, yang kebetulan keduanya dari Unesa. Atau siapa saja yang punya kapasitas mengulasnya, seperti redaktur Jaya Baya, Widodo Basuki.

Dalane Uripku

            Pada awalnya membaca buku setebal 640 halaman itu, memang terasa agak terasa malas. Namun setelah kita coba mulai membacanya, akan terasa cair mengalir tanpa terasa. Mengapa demikian? Ditulis dalam bahasa Jawa ngoko secara bercerita, tanpa harus meng-gurui pembacanya. Lebih lagi bagi orang Jawa yang gemar membaca, pasti akan terasa enak, dan kita (pembaca) mendapatkan banyak inspirasi yang apik dan menarik. Kenapa menarik?
Ada beberapa hal yang terasa lucu, dan bahkan mengingatkan kita sewaktu masih sekolah dulu. Ada guru yang galak, dan guru yang halus atau biasa-biasa saja.
            Simak potongan kalimat hal. 111 berikut ini: Beda karo Pak Supeno kang alus kaya Arjuna. Yen Pak Sukiran priyayine tegas, trengginas, lan kawentar kereng. Yen ana murid kang ora nggatekake utawa ora apal isine wulangan, biyasane dithuthuk nganggo githik. Mula bocah-bocah yen wis mlebu kelas ora ana kang wani cemuwit kae. (Beda sama Pak Supeno yang halus seperti Arjuna. Pak Sukiran orangnya tegas, trengginas, dan terkenal galak. Jika ada murid tidak memperhatikan atau tidak hafal isi pelajaran, biasanya dipukul pakai bilah kayu. Makanya anak-anak jika sudah masuk kelas tak berani bersuara sama sekali).

            Buku berjudul DU ini berkisah autobiografinya Suprawoto, mantan Kepala Dinas Infokom Jawa Timur (2002-2005). Barangkali orang media, utamanya wartawan cetak, elektronik (radio, televisi, dan online) yang ada di Surabaya, pasti kenal tokoh yang satu ini.
Apa lagi ketika,  ia jadi kepala biro humas PON 2000 di Jawa Timur, wartawan luar Jatim dan bahkan mancanegara pasti kenal beliau.
            DU mengisahkan perjalanan hidup Suprawoto, sejak dari desanya Maospati – Magetan, sekolah TK hingga SMA di daerahnya, hingga kuliah di berbagai jenjang perguruan tinggi berbeda, sampai meraih gelar doktor yang dicita-citakannya. Kisah tentang rumah tangga yang diarungi bersama istri, Titik Sudarti dengan segala kendalanya, serta bercerita pula tentang bagaimana ia bekerja yang salah jalur di DPU, lantas pindah ke Deppen, hingga terakhir menjadi Sekjen Kominfo – RI.
            Menceritakan dengan gaya penulisan bahasa Jawa yang santai, cair, dan mengalir itulah yang membikin pembaca yang pada awalnya enggan membaca, jadi tak mau berhenti untuk menyelesaikan membaca buku itu. Lebih lagi bagi orang Jawa yang sudah berumur sekitar 40 hingga 50-an ke atas, pasti akan terasa diajak tamasya oleh Pak Prawoto. Pembaca seperti diajak untuk merasa tabah ketika datang musibah, dan bersyukur ketika mendapatkan anugerah. Tidak hanya itu, pembaca juga diajak untuk tetap berusaha tanpa ada kata putus asa.
            Membaca buku ini serasa kita mendapatkan banyak pitutur luhur, untuk selalu berbuat baik kepada sesama, berjuang tanpa pantang menyerah, serta tidak lupa harus selalu bersyu-kur,dan berdoa. Sekaligus ini membuktikan bahwa literasi tulisan bahasa Jawa selalu saja bicara soal-soal budi pekerti luhur, seperti yang dikatakan Widodo Basuki di muka.
            Dalam buku autobigorafi Suprawoto yang ditulis menggunakan bahasa Jawa ini, membuktikan juga bahwa literasi Jawa tetap eksis. Artinya keberadaan literasi Jawa terus berlangsung, meski bukan berupa sastra.

Literasi Bahasa Jawa Tetap Ada

            Jika saja, kita baru-baru ini kita kehilangan tokoh sastrawan Jawa, Suparto Brata, yang meninggal dunia karena usia; bukan berarti kita lantas dengan serta merta takut literasi bahasa Jawa akan mati. Tidak! Buktinya masih ada tulisan autobiografi berbahasa Jawa, tulisan Suprawoto ini. Sedangkan bentuk karya sastra Jawanya, teman-teman komunitas Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), dan Sanggar Triwida Tulungagung; beberapa tahun terakhir ini tetap bertahan dengan menerbitkan buku-buku sastra Jawa.
            Berdasar uraian di atas, menjelaskan bahwa literasi bahasa Jawa, ternyata masih tetap memuat pitutur luhur atau budi pekerti luhur  (meski bukan berupa sastra) kepada pembaca, sekaligus membuktikan bahwa literasi bahasa Jawa tetap ada, dan terus ada!**

Desaku Canggu, 22 Februari 2016



* penyair/penggurit, sekretaris ppsjs – tinggal di mojokerto.

Senin, 08 Februari 2016

LUDRUK PUISI FSBS LUNCURKAN "DKJS"

PENTAS “DENDANG KECIL  JALAN SUNYI”
di TEMBI –YOGYA dan  KAFE GELASS SURABAYA

            Peluncuran buku kumpulan puisi “Dendang Kecil Jalan Sunyi” terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) 2015, telah digelar di dua kota. Pertama di Tem-bi Rumah Budaya – Sewon – Bantul - Yogyakarta,   29 Otober 2015; dan Kafe Gelass – Jalan Kayun 16-18 Surabaya , 22 Desember 2015 lalu.  Buku kumpulan puisi “Den-dang Kecil Jalan Sunyi” yang berisi  puisi-puisi para penyair Jawa Timur, kebetulan mereka pernah jadi juri lomba bidang sastra (baik menulis dan baca puisi, cerpen, dan teater) tingkat Provinsi Jawa Timur.
            Mereka itu, antara lain: Jack Parmin, R. Giryadi, Aming Aminoedhin, Ayomi Tyas Wening (Suharmono Kasijun), Herry Lamongan, Bagus Putu Parto, Ida Nurul Chasanah, Lennon Machali, R. Djoko Prakosa, Tengsoe Tjahjono, Widodo Basuki, dan Tjahjono Widarmanto.  

Tembi Rumah Budaya Yogya

            Peluncuran buku di Yogyakarta, dalam tajuk Sastra Bulan Purnama ke-49 Rumah Budaya Tembi, Sewon, Bantul; digarap dengan tam-pilan Ludruk Puisi ala FSBS yang bikin penonton tertawa-tawa atas tampilan kawan-kawan penyair. Ada pun yang tampil di Tembi adalah: Jokasmo (potolan: Srimulat), R. Giryadi, Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Tjahjono Widarmanto, Lennon Machali, Bagus Putu Parto, dan Endang Kalimasada.
            Lakon yang diangkat malam itu ’Joko Sambang’ bikin meriahnya malam.
            Pentas semalam di Yogyakarta tersebut, secara tampilan cukup mendapatkan respons positif dari masyarakat sastra Yogyakarta. Terbukti, meski tampil di acara paling terakhir, penonton tetap padat memenuhi amphytheater-nya rumah budaya tersebut. Bahkan tampilan ludruk puisi menjadi semacam ‘gong’ acara malam itu.

            Sungguh, awak ludruk FSBS juga cukup puas atas tampilan malam itu.  Apa
lagi ada juga bintang perempuannya yang ikut baca puisi, bernama Endang Kali-masada. Bahkan Tengsoe Tjahjono, yang berada di Seoul – Korea Selatan – suaranya bisa didatangkan untuk membacakan salah satu puisi yang termuat di kumpulan  ‘Dendang Kecil Jalan Sunyi’ tersebut.



Kafe Gelass Surabaya

            Selepas tampil di Yogya,  awak ludruk FSBS merasa perlu meluncurkan kem-bali  buku kumpulan puisi “Dendang Kecil Jalan Sunyi” di kota Surabaya. Terpilih-lah, Kafe Gelass, Jalan Kayun 16-18 Surabaya, pada 22 Desember 2015. Lakon yang diangkat adalah ‘Suminten Ilang’ yang diperankan Deny Tri Aryanti.

            Awak yang tampil malam itu, antara lain: Jokasmo, R. Giryadi, Aming Ami-noedhin, Widodo Basuki, Deny Tri Aryanti, Ida Nurul Chasanah, Endang Kalimasa-da, Bagus Putu Parto, Suharmono Kasijun, dan R.Djoko Prakosa. Mereka awak ludruk FSBS tampaknya memang sudah terbiasa di atas panggung. Sehingga, mereka semua tampak tak canggung. Bahkan secara improvisasi gerak maupun dialog sepertinya begitu mengalir cair dalam gelaranpentasnya. Lebih lagi, ada potolan Srimulat, sang Jokasmo, ikut meramaikan pentas malam itu. Kian ger-geran, dan tertawa tanpa jeda.





            Sebelum gelaran ludruk puisi, sempat Bokir Surogenggong,  pengelola kafe memberikan basa-basi selamat datang. Selanjutnya, gelaran ludruk dimulai dengan kidungannya R. Giryadi. Selanjutnya cerita mengalir dengan enak, dan penuh tawa gelak penonton yang hadir malam itu. Kebetulan, tanggal 22 Desember 2015 adalah hari Ibu, dan sekaligus ulang tahun Aming Aminoedhin; maka para perempuan awal ludruk FSBS memberikan bunga merah-putih tanda ucapan selamat.

            Yang pasti, pentas Ludruk Puisi ala FSBS dalam rangka peluncuran buku ’Dendang Kecil Jalan Sunyi’ di dua kota besar, Yogya dan Surabaya; cukup sukses digelarpentaskan oleh awak ludruknya. 
Berikutnya, akan juga tampil di Kafe Pustaka , Universitas Negeri Malang, menggelar lakon "Felix Mencuci Piring" karya Tengsoe Tjahjono.  Sampai jumpa di Kafe Pustaka Malang,  Salam!  -  dari Desaku Canggu, 25 Desember 2015. (mat)**

Minggu, 31 Januari 2016

GERAKAN INDONESIA MENULIS SASTRA

GIM AJAKAN MENULIS SASTRA
Oleh: Aming Aminoedhin

Salam sastra Adik-adik!
Secara mudah bicara puisi berarti bicara soal kata yang ditata rapi dengan ketentuan sangat berbeda, jika dibandingkan tulisan berupa kalimat biasa, atau yang ditulis secara prosa (yang kemudian biasa disebut: cerpen, novel, atau roman). Agar sedikit gamblang dan mudah, puisi adalah salah satu ragam karya sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta dalam penyusunan larik dan baitnya. Puisi yang baik adalah puisi yang sedikit kata, tapi punya banyak makna.
            Beberapa waktu lalu, 2015, Balai Bahasa Jawa Timur (BBJT), menyelenggarakan “Gerakan Indonesia Menulis (GIM) Puisi” bagi siswa Sekolah Dasar se-Jawa Timur di GOR - Unipa Surabaya. Ada seribu anak siswa ikut dalam kegiatan ini. Cukup menggembirakan tentunya. Sebab mereka menulis dengan sungguh-sungguh untuk sebuah puisi yang telah ditentukan temanya oleh Panitia Lomba.
Gerakan Indonesia Menulis 2015’ ini, tidak hanya untuk tingkat SD sederajat saja, melainkan juga SMP dan SMA sederajat. Jika tingkat SD menulis puisi, maka untuk tingkat SMP dilombakan menulis cerpen, dan SMA menulis esai. Gerakan ini bertujuan untuk  menumbuhkembangkan minat menulis sejak dini, memotivasi generasi muda untuk memiliki kebiasaan gemar menulis dan meningkatkan mutu pendidikan mereka.
Barangkali upaya BBJT menyelenggarakan lomba menulis semacam ini, perlu mendapatkan apresiasi tinggi. Sebab dengan mengadakan lomba menulis, mengajak para siswa di Jawa Timur untuk lebih kreatif, kompetitif, dan mengarah ke hal yang positif. Harapan berikut agar mereka tidak hanya berhenti pada saat ada lomba seperti ini saja, melainkan bisa terus menulis, dan menulis lagi. Bahkan diharapkan, mereka bisa kecanduan menulis, baik di koran atau majalah; sehingga menghasilkan yang produktif. Dapat honorarium dari hasil tulisan-tulisannya, baik itu: puisi, cerpen, atau esai.

Lomba Menulis Puisi dalam GIM










Membaca 1000 puisi karya anak-anak siswa se-Jawa Timur yang dilombakan dalam GIM oleh Balai Bahasa Jawa Timur 2015, sungguh saya sangat senang. Ternyata, mereka cukup banyak yang bakat dalam penulisan puisi ini. Bahkan banyak pula yang dalam penulisan puisinya sudah berisi kritikan tentang rusaknya alam, serta pesan agar manusia berlaku baik terhadap alam kepada pembacanya. Kita simak puisi berikut ini:

KERUSAKAN LINGKUNGAN
Vilonia Jasmine E Ifadi
SDN Buduran

kau yang kini tertawa
bermandikan harta
berkawankan kemewahan
dari mana kau dapatkan semuanya
                dari pohon yang kau tebang
dari hewan yang kau bunuh
dari tanah yang kian tandus
dari air yang kian kering
dari sungai yang kian kerontang
dari hutan yang kau jadikan kebakaran
dari asap tebal yang dibakar
apakah kau tak ingat
masih ada anak cucu kita
yang mengharap udara segar
mengharap kesejukan alam
mengharap keindahan dunia
mengharap hijaunya daun
mengharap rindangnya pepohonan
                tidaklah kau sadar
ada banyak nyawa yang kau ambil
ada banyak harapan yang kau renggut
wahai para perusak alam
ingatlah pada hukum alam
kita butuh alam yang indah
kita butuh alam yang sejuk
kita hidup dalam alam
kita bergantung pada alam
jagalah alam
seperti kau menjaga rumahmu sendiri
karena alam kita adalah alam anak cucu kita*

            Dalam penulisan puisinya, bahkan Vilonia Jasmine E Ifadi menggunakan repetisi, sehingga puisi ini menjadi lebih apik dan menarik jika dibacakan. Simaklah bait dua dengan pengulangan kata ‘dari..’, bait ketiga kata ‘mengharap...’ dan bait keempat  ‘ada banyak...’ dan ‘kita butuh...’
            Sementara dalam penulisan puisi yang baik itu, diperlukan kejujuran dan kepolosan penulisnya. Lebih lagi jika penulisnya itu adalah anak-anak siswa SD, maka kejujuran itu muncul itu dengan apa adanya. Biasanya, mereka akan menulis apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan saat mereka bermain. Tanpa rekayasa, dan sangat apa adanya. Lihatlah puisi-puisi berikut ini:
           
DI POHON SAWO
KUDENGAR BURUNG BERKICAU
Dyah Cahyaning Pramesti
SD Muhammadiyah 3 Ikrom Wage

Di belakang rumahku
Sebatang sawo tumbuh lebat menghijau
Daunnya yang rimbun
Membuat burung-burung tertegun
                                Ketika pagi hari, aku bangun
                                Di pohon sawo, kudengar burung berkicau
Burung pipit ramai bercuit
Burung kutilang berteriak lantang
Burung trucukan bersahutan.
Ketika siang hari
Di pohon sawo, kudengar burung berkicau
Derkuku hinggap terus berlagu
Perkutut pun datang bersuara merdu.
                Ketika sawo berbuah
Kicau burung kian meriah
Mereka bernyanyi sambil makan buah
Ayo burung-burung datanglah
Biar kudengar kicauanmu yang indah.**






TARIAN SEKELOMPOK DAUN
Putu Retno Indriyani Manik
SDN Pucang III Sidoarjo

Kupandangi dedaunan itu
Ia diterpa angin yang kencang
Awalnya mereka tampak menari
Tetapi daunnya gugur satu per satu
                Andai mereka dapat berkata-kata
Mungkin mereka akan berteriak meminta tolong ‘tuk diselamatkan
Ketika angin kencang bertiup keras mendorongnya
Goyangan dedaunan itupun semakin menjadi-jadi, meliuk ke kanan dan kiri
Rintik hujan pun mulai turun
Membasahi jalanan yang semua kering kerontang
Dedaunan itu pun mulai berhenti menari
Namun, kulihat daunnya semakin sedikit
Bunga-bunga kecil yang tumbuh di sela-sela merekapun ikut berterbangan,
Hilang tanpa sisa
Akupun berpikir…
Bahwa daun yang menari belum tentu mencintai angin.***


KE DESA
Mochammad Ariel Sulton
MI TarbiyatusSyarifah

Orang kota!
Pernahkah tuan pergi ke desa
Menghirup udara segar
Baru dicangkul menyegarkan rasa

Pernahkah tuan tegak di tepi sawah
Padi indahkan mata
Pipit bercicit
Riang gembira

Pernahkah tuan duduk di tengah ladang
Dengan peladang bersenda gurau
Menunggu jagung menjadi anggun
Sebelum cangkul pergi mengayun

Pernahkah tuan….
Pernahkah bila tuan ingin mencari penawar resah
Pergilah tuan, pergi ke desa.*


ALAMKU YANG INDAH
Akyun Nina
SDN Buduran

Gemerisik suara kicauan burung di pagi hari
Kunyanyikan lagu indah tentang alam
Teriring semilir angin di pagi hari
Membantu terbuai alam nan permai

Alamku, desaku tercinta
Kini hanya dapat kukenang
Setelah deru mesin pengolah batu itu
Merampas indahnya pepohonanku
Membakar tanah yang subur ini, dengan panas polusimu

Mungkin mereka berkepentingan
Mungkin mereka punya uang
Tapi bukan ini jalan untuk alam
Kini, kudapati udara yang kering
Bersama dedaunan yang kian menguning
Entah kapan lagi dapat kulihat
Alamku yang indah.*


DERAI CEMARA UDANG
Dzikron Fathir  R.
SDN Buduran

Angin pantai di sela hujan gerimis
Mendera pelan, sejenak
Berteduh di bawah
Pohon-pohon cemara udang

Kemudian lenyap ke arah timur
Gubuk-gubuk bamboo yang reot
Tanpa atap di tepian jalanan pantai

Pantai ini telah sepi
Hanya beberapa derai cemara udang
Hanya rintik gerimis yang tidak kunjung reda
Tidak juga menjadi hujan deras

Senja waktu ini
Tiada yang romantika tau membius kenangan
Ke dalam khayal yang beku

Ada yang berubah
Pantai ini mengubah dirinya menjadi teduh, hijau
Di beberapa sudut ditumbuhi oleh padang rumput yang banyak
Ada cemara udang, perahu nelayan yang sembilan tahun yang
lalu belum kulihat ini, adalah pantai kenangan.**



Dalam penulisan puisi-puisinya,  tampak sekali mereka menulis apa yang mereka lihat, tentang burung-burung di dekat rumahnya, tentang dedaunan, tentang desanya, tentang alam nan indah, dan tentang cemara yang mereka lihat. Mereka menulis kesederhaan dan kejujuran. Sehingga puisinya terasa enak dibaca, dan bermuatan pesan kepada pembacanya.
            Puisi yang baik adalah puisi yang ditulis dengan kejujuran penulisnya. Puisi yang baik juga memerlukan irama atau kemerduan bunyi jika dibacakan. Puisi yang baik adalah puisi yang bermuatkan pesan yang baik bagi pembacanya.
            Kelima puisi yang termuat belakangan ini, sudah mempunyai kriteria tersebut. Sedangkan puisi-puisi yang lain, sudah cukup baik, namun terkadang masih banyak terlalu boros dalam menggunakan kata-kata. Misalnya, puisinya tersebut banyak yang memuat kata-kata berimbuhan, serta seringkali menggunakan kata sambung yang sebenarnya tidak teramat diperlukan.
            Untuk sekedar saran saja, bagi Adik-adik, usahakan dalam menulis puisi itu menggunakan kata-kata ‘dasar’, artinya bukan kata yang telah mendapatkan imbuhan dan akhiran. Jika memungkinkan buanglah kata sambung ‘yang’ atau ‘dan’ dalam penulisan puisinya. Sehingga jadilah puisi yang sedikit kata, tapi punya banyak makna.
            Bagi yang menang sebagai juara, tidaklah harus merasa besar kepala; dan yang tidak juara jadikan ini semacam lecutan untuk menulis lebih baik lagi. Semoga di tahun depan, Adik-lah yang akan jadi juara. Kata orang, kekalahan tahun ini; hanyalah kemenangan yang tertunda untuk tahun berikutnya.
            Kumpulan puisi anak ini, diharapkan bisa membawa Adik-adik berlatih mem-baca dan menulis sastra, sekalian bisa dijadikan buku rujukan bagi guru, orangtua, dan siswa guna membentuk dan mengembangkan karakter budi pekerti mereka.
            Terakhir, semoga itikad baik dari Balai Bahasa Jawa Timur, dalam menyelenggarakan GIM, dan akan membukukan  karya-karya yang dihasilkan ini, membuahkan tumbuhkembangnya penulisan sastra di Jawa Timur. Semoga!
            Salam sastra!

Surabaya, 7 Januari 2016