Kamis, 04 November 2010

PUISI-PUISI RENDRA

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
WS Rendra

Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

- Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh Bapanya


Bengkel Muda Surabaya, 2009


AKU TULIS PAMFLET INI
WS Rendra

Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya - an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamflet ini
karena pamflet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api
Rembulan memberi mimpi pada dendam
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan
Ketakutan
Kelesuan

Aku tulis pamflet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan
Lalu besok pagi pasti terbit kembali
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !


Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi



BULAN KOTA JAKARTA
WS Rendra

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!

O, getirnya kulit limau!
O, betapa lunglainya

Bulan telah pingsan
Mama, bulan telah pingsan
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya

Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan
pesta tanpa bunga

O kurindu nafas gaib!
O kurindu sihir mata langit!

Bulan merambat-rambat
Mama, betapa sepi dan sendirinya

Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya

Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya

Bulanku! Bulanku!
Tidurlah sayang, di hatiku!


Siwalanpanji, Menjelang Pentas Mengenang Rendra 2009

Kamis, 23 September 2010

TADARUS PUISI RAMADHAN SUCI

TADARUS PUISI RAMADHAN SUCI 1431-H
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)


Memasuki bulan Ramadhan 1431 Hijriyah tahun ini, saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu, bahwa kegiatan menyambut Ramadhan selalu diramaikan bebeberapa kegiatan religius di berbagai masjid dan mushola. Sedangkan bentuknya bisa bermacam-macam, dari pengajian biasa, tadarusan, hingga pentas-pentas keseniannya, berupa pentas hadrah, pentas drama Islami, hinggga musikalisasi puisi.
Bila saja mau mencatat kegiatan sastra yang punya korelasi keagamaan (baca: dalam arti Islami), maka saya bisa mencatat tahun 1986 lalu, Dewan Kesenian Jakarta pernah menggelar acara bertajuk “Tuhan Kita Begitu Dekat” – Tadarus Puisi Bulan Suci.
Waktu itu, kegiatannya menyambut bulan Ramadhan tahun 1986. Tak urung seorang HB Jassin (paus sastra Indonesia) ikut memberi sambutan. Dalam sambutannya, Jassin (alm.) antara lain mengatakan, “Di tengah hiruk pikuk dunia serba mesin dan komputer sekarang ini, dengan tempo teknik dan teknologi yang serba cepat dan kian cepat, amatlah sedikit waktu kita untuk berada dengan diri kita sendiri, dan merenungkan arti hidup kita. Hubungan kita dengan dunia, lingkungan, dan dengan Tuhan.” Lebih lanjut HB Jassin menandaskan, “Maka beruntunglah kita bahwa ada penyair-penyair yang mencoba menyelami hakekat hidup, hakekat gerak, hakekat diam dan sunyi, yang mempertemukan kita dengan keabadian. Penyair melihat dengan matabatinnya, apa yang hidup dan bergolak di bawah permukaan segala kejadian yang nampak dan tidak, oleh mata kepala kita yang kasar”.
Sederet nama penyair ikut tergabung dalam acara itu, ada Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Leon Agusta, Mohammad Saribi, Goenawan Mohamad, Mohammad Diponegoro, Taufiq Ismail, dan Masbuchin.
Menengok di tingkat provinsi Jawa Timur, maka perhelatan sastra Islami yang cukup besar yang pernah digelar tahun 1993, adalah di Go Skate – Surabaya Indah – Jalan Embong Malang Surabaya; dengan tajuk “Parade Puisi Sejuta Doa Untuk Bosnia.”. Kegiatan yang melibatkan MUI Jatim, Kanwil Depag, Masjid Al-Falah, Mujahidin, Kemayoran, serta Dewan Kesenian Surabaya tersebut, cukup meriah. Acara digelar cukup mendapatkan respons positif pada waktu itu. Terbukti, penonton yang hadir memenuhi ruangan lantai dua Go Skate Surabaya Indah. Beberapa nama penyair besar Jakarta turun pada acara ini. Ada Sutardji Calzoum Bachri, Hammid Jabbar, Ikranegara, Jose Rizal Manua, Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, Soeparwan G Parikesit, Pertiwi Hasan, dan Aspar Paturisi. Sedangkan penyair Jawa Timur yang tampil ketika itu: Sam Abede Pareno. D. Zawawi Imron, Budi Darma, Aming Aminoedhin. M. Fudoli Zaini, dan Emha Ainun Nadjib.
Selanjutnya, pada 2006 lalu, ketika menggelar Festival Seni Surabaya (FSS), saya sebagai orang menangani sastranya, dengan berbekal keberanian menampilkan pentas sastra “Para Kyai Baca Puisi”. Ada beberapa kyai dijadwalkan baca puisi, mereka adalah: A. Mustofa Bisri (Rembang), D. Zawawi Imron (Sumenep), Ali Maschan Moesa (PW-NU Jatim, Surabaya), Wahib Wahab (Dosen IAIN Surabaya), dan Muhammad Thohir (Surabaya), dan Gus Ali (Kyai Tulangan, Sidoarjo). Hanya sayangnya, kyai asal Rembang, A. Mustofa Bisri, tidak hadir dan tampil baca puisi. Dari tampilan mereka, terbukti para kyai cukup baik dalam menulis dan membacakan puisinya. Bahkan penonton membludak memenuhi gedung Balai Pemuda Surabaya tersebut.
Kembali masuk di bulan Ramadhan, dua tahun lalu, tepatnya September 2008, meski hanya beberapa nama penyair dan penggurit, Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dengan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Surabaya, dan Arek Teve juga menggelar acara “Tadarus Puisi Bulan Suci” di halaman depan kantor Arek Tevelisi, Rich Palace, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Mereka yang tampil waktu itu: M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, AF Tuasikal, R. Giryadi, Budi Palopo, Widodo Basuki, Suko Widodo (Dosen Unair), Priyo Budi Santoso (anggota DPR-RI), dan Imung Mulyanto (Arek Teve). Di sela-sela penyair tampil, ada tampilan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Surabaya, yang dipimpin oleh Bokir Surogenggong.
Acara tadarus puisi bulan suci yang direkam oleh Arek Televisi, sejak mulai lepas tarawih, hingga sahur dekati imsak baru usai rekamnya. Kemudian rekaman tadarus puisi pun juga ditayangkan oleh Arek Televisi. Meski penayangannya agak lambat waktunya, tapi tadarus puisi itu tetap bisa ditayangkan bagi warga masyarakat Jawa Timur.
Puasa ramadhan adalah untuk menahan nafsu dari berbagai syahwat, sehingga manusia bersiap meniti dan mencari sesuatu yang menjadi puncak kebahagiaannya. Puasa tidaklah hanya menahan nafsu makan dan minum saja, akan tetapi juga menahan nafsu seks (birahi) seorang manusia, pada waktu siang hari. Menurut Abdul Munir Mulkan (Kompas-Opini, 10/8/2010), hakikat puasa adalah kesantunan kemanusiaan berbasis kerendah-hatian (tawadldlu’), dan pengendalian diri (nafsu) sebagai akar nilai hak asasi manusia.
Untuk itu, ketawadldlu’an dan pengendalian nafsu seorang manusia, bukanlah diartikan diam saja. Akan tetapi, dalam menjalankan puasa, sebagai manusia yang berpuasa, bukan lantas tidak berbuat apa-apa. Tidak! Tidak harus begitu! Bahkan sebagai pengarang (baca: penyair), saya tidaklah salah jika mengajak rekan-rekan penyair muslim se-Jatim untuk menggelar acara seperti dua tahun lalu, “Tadarus Puisi Ramadhan Suci” di pertengahan Ramadhan 1431-H tahun ini. Kebetulan, Drs. Karsono, M.Pd. sebagai kepala UPT Dikbangkes Taman Budaya Jatim, kemarin menawarkan tempatnya di pendapa Taman Budaya Jatim, dan FSBS bisa menggelarnya pada Jumat, 27 Agustus 2010 ini. Beberapa kawan yang ikut tampil di acara “Tadarus Puisi Ramadhan Suci 1431-H” tidak hanya dari Surabaya, tapi juga dari: Malang, Lamongan, Blitar, Bangkalan, Bojonegoro, Mojokerto, dan Sidoarjo.
Mereka itu adalah: Akhudiat (Surabaya), Bonari Nabonenar (Malang), Herry Lamongan, Pringgo HR, Bambang Kempling (Lamongan), Puput Amiranti, W. Haryanto (Blitar), Dewi ‘Bangkalan’ Masyithoh (Bangkalan), Ariyoko KSMB (Bojonegoro), AF Tuasikal, Aming Aminoedhin, Suyitno Ethexs (Mojokerto), serta Yudi Joyokusumo, Pung AD Mulya, Sarifudin Miftah (Sidoarjo). Beberapa nama yang sebenarnya juga akan tampil dan berhalangan adalah R. Giryadi dan Widodo Basuki (Sidoarjo) dan Budi Palopo (Gresik).
Adapun musik religius yang tampil adalah dari arek-arek Sanggar Alang-Alang pimpinan Didiet Hape, yang menyajikan dengan sangat memberi warna lain pada tampilan malam “Tadarus Suci Ramdhan Suci 1431-H” tersebut.
Selain syiar Islam, serta meningkatkan iman dan taqwa di bulan ramadhan suci ini, kegiatan ini juga menepis istilah bahwa orang puasa itu hanya bermalas-malas saja. Menepis anggapan bahwa penyair ketika puasa tidak kreatif adalah salah. Penyair tetap kreatif, dan akan tetap ngaji puisi, pada malam yang Ramadhan suci tahun ini.

Tadarus Puisi DKKM Mojokerto
Setelah sukses menggelarpentaskan malam “Tadarus Puisi Bulan Suci 1431-H” di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya; Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) selanjutnya menggandeng Dewan Kesenian Kabuapten Mojokerto (DKKM) untuk menggelarpentaskan kembali acara tersebut.
Tertanggal 7 September 2010, acara serupa digelar di Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Mojokerto, Jalan Jayanegara, Mojokerto. Mereka yang tampil tidak hanya penyair Mojokerto, tapi juga kyai Wahab Wahib, Wakil Bupati Terpilih, Ibu Hajjah Khairunnissa. Musik religi ditampilkan kelompok musik Girilaya Mojokerto.
Gelaran malam “Tadarus Puisi Ramadhan Suci 1431-H”, selain membaca al-Quran, juga membaca puisi Islami, serta musik-musik shalawatan yang membawa angin surgawi. Semoga acara ini bisa digelar di Ramadhan yang akan datang, seperti telah dijanjikan Drs. Karsono, M.Pd. Kepala UPT DikBangKes Taman Budaya Jatim, dan Drs. H. Eko Edy Susanto, M.Si., ketua DKKM Mojokerto. Semoga!


Desaku Canggu, Idul Fitri 1431-H

Minggu, 22 Agustus 2010

dua puisi untuk tadarus puisi 2010

Jawa Pos, Minggu, 22 Agustus 2010

Puisi-Puisi Aming Aminoedhin

aming aminoedhin
AKU MASIH MELIHAT

* catatan ramadhan 1431-h

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah

aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa

aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau

aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau

Canggu, 19 Agustus 2010


aming aminoedhin
MATEMATIKA LAILATUL QODAR

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu

aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010


aming aminoedhin
DENTANG SUARA


dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa

dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa

langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu

dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku

tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
PELUIT ITU JADI NYANYIAN

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik

polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya

ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
TELAH TAMAT
* sp

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!

aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!

Sidoarjo, 8/6/2010

*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas Malam Sastra Surabaya (Malsasa). Penyair, tinggal di Mojokerto

**) termuat di Jawa Pos Minggu, 22 Agustus 2010.

Senin, 09 Agustus 2010

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)

artikel ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 8 Agustus 2010. Rubrik Horizon, di halaman 7.


Beberapa waktu yang lalu ada beberapa artikel yang menyoal tentang perhelatan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V terpublikasi. Mereka itu antara lain dari pikiran birokrat peduli sastra Jawa, yaitu Tirto Suwondo (kepala Balai Bahasa Yogyarkata). Dia menulis di koran Jawa Pos, menyoal tentang persiapan KBJ V yang dirasa belum terasa maksimal tersebut.
Ada juga ada Beni Setia, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, dan W. Haryanto, yang tulisannya termuat di koran Kompas, Radar Surabaya, Jawa Pos, Kompas dan Radar Surabaya. Hampir semua artikel mempertanyakan persiapan KBJ V yang akan diselenggarakan Pemprov Jawa Timur.
Pada ranah majalah berbahasa Jawa, juga ramai bermunculan tulisan gonjang-ganjing persiapan KBJ V. Tak urung penulis asal Tulungagung, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, ketua Sanggar Triwida, menulis tentang adanya markus Bahasa Jawa dalam jagad sastra Jawa. Narko menulis adanya markus tanpa menyebut nama seseorang. Artikel Sodrun berjudul, Mapag KBJ V, Markus Basa Jawa, Sumono Gugat, dimuat di PS, No. 18, 1 Mei 2010.
Dari tulisan itu, kemudian ditanggapi, Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), dengan judul artikel ‘Bonari Nabonenar Markus-e Basa Jawa?’ dimuat di PS No. 20, 15 Mei 2010.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa tersebut, Bonari merasa seperti tertuduh sebagai markus, padahal secara eksplisit Sodrun tidak menuduh nama seseorang. Bahkan dalam tulisan itu pula, Bonari tidak lagi hanya bicara soal markus bahasa Jawa, tapi juga menyangkut masalah penghargaan sastra Rancange yang konon pada tahun ini, dia akan mendapatkan hadiah tersebut. Meskipun hadiah itupun, hanya pengalihan dari RM Yunani yang kebetulan meninggal dunia. Sehingga harus dialihkan kepada seseorang yang masih ada (baca: hidup), dan kemudian terpilihlah Bonari. Sebab penerima hadiah Rancage tidak mungkin diterimakan kepada orang telah meninggal dunia.
Bonari, sang calon penerima Hadiah Rancage tahun ini, saya pikir panitia pemilihan Hadiah Sastra Rancage tidaklah salah pilih. Sebab, betapa pun sang Bonari memang telah malang-melintang di ranah sastra Jawa berpuluh tahun. Bahkan mungkin telah sampai berdarah-darah! Menulis cerkak dan guritan, juga punya jam terbang cukup lama. Lantas menangani PPSJS telah bertahun lamanya. Meski sekarang ini, PPSJS mungkin kurang ada gaungnya, lantaran program Lomba Baca Guritan se-Jatim yang harusnya dua tahunan digelar tak juga digelar. Namun sang Bonari masih bersedia jadi ketuanya. Sebab selama ini, hampir semua orang di komunitas PPSJS ini, menolak jika dipilih jadi ketua.
Apabila Bonari, bersama Keliek Eswe sebagai sang penggagas Kongres Sastra Jawa (KSJ) Solo dan Semarang, yang dinilai banyak orang sebagai tandingan KBJ III dan IV pada tahun-tahun sebelumnya, itu pun bukanlah salah, apa lagi dosa. Namun malah merupakan sebuah kerja kreatif, kompetitif, dan sekaligus kritik bagi penyelenggara KBJ.
Membaca beberapa artikel yang ramai menyoal KBJ V Surabaya, yang antara lain: bicara soal sastrawan Jawa masuk sekolah, persiapan yang belum matang, belum terimplementasikan hasil KBJ terdahulu, dan ramainya sastra Jawa di majalah bahasa Jawa soal markus sastra Jawa; barangkali perlu direspons positif oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Betapa pun wacana tentang KBJ V Surabaya memang perlu dipersiapkan secara matang.
Menyosong Kongres Bahasa Jawa 2011, tugas utama kita memang agar semua manusia Jawa tetap ‘nguri-uri’ (melestarikan) bahasa Jawa. Toh yang punya gawe juga Pemda Jatim, DIY, dan Jateng. Menyongsong KBJ V selayaknyalah para Panitia Penyelenggara mempersiapkan kegiatan itu secara maksimal, dan tidak hanya seremonial belaka. Sebab biayanya, konon, milyaran rupiah!
Barangkali kita tak perlu mempersoalkan lagi adakah markus sastra Jawa di negeri ini, tapi bagaimana kita bisa nyengkuyung (bersama-sama) mempersiapkan dan melaksanakan KBJ V ini dengan nurani hati. Tidak syak wasangka kepada sesama. Dan bekerja dengan hati terbuka hati pun membunga! Hasilnya, pasti KBJ V akan sukses terselenggara! Mari!

Desaku Canggu, 7 Juni 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

OBITUARI M. THALIB PRASODJO

Obituari M. Thalib Prasodjo
PELUKIS YANG PENYAIR JATIM*
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dan mantan Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS)

*)artikel ini termuat di Harian Kompas Jatim, Jumat, 6 Agustus 2010.

Ketika itu Kamis pagi (5/8/2010) lalu, saya ikut takziah mengantarkan M. Thalib Prasodjo (pelukis/sketser) ke pemakaman umum di Taman Praloyo, Jalan Lingkar Timur, Sidoarjo; saya sempat bertemu beberapa seniman dan pelukis. Di antaranya: Akhudiat, Sabrot D. Malioboro, Henry Nurcahyo, Wadjie MS, Cak Poeng, Dhargandhen, Surachman KS, dan Haryadjie BS.
Dari pertemuan tersebut, yang paling menarik dan berkesan atas ketokohan Mbah Thalib, adalah berbincang dengan Harryadjie BS. Sebab, ketika saya menanyakan tentang puisi-puisinya, dia menjawab, bahwa sekarang ia tak lagi bisa menulis puisi. Tapi ia lebih banyak menanam pohon di berbagai hutan di berbagai kota, antara Lumajang, Malang, dan Lamongan.
Hal itu hanya sebagai ilustrasi saja, betapa ingatan saya jadi meloncat 17 tahun yang lalu, tepatnya 1993, ketika saya (sebagai biro sastra DKS) membuat kumpulan sajak pelukis bertajuk “Jembatan Merah” yang diterbitkan oleh biro sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Harryadjie BS adalah salah satu penyair yang ikut bergabung dalam kumpulan tersebut. Kumpulan sajak pelukis yang sangat sederhana tersebut, memuat 40 judul puisi yang ditulis oleh para pelukis semua. Mereka itu: Abdul Kadir Zaelani (alm.) menulis 7 puisi, Rudi Isbandi ada 8 judul puisi, Harryadjie BS ada 7 judul puisi, Hardjono WS menulis 11 judul puisi, dan Wiwiek Hidayat (alm.) menulis 7 judul puisi.
Tidak hanya puisi yang termuat dalam kumpulan sajak “Jembatan Merah,” akan tetapi juga memuat sketsa-sketsanya M. Thalib Prasodjo. Selain sketsa bergambar jembatan merah yang dijadikan sampul kumpulan sajak, di dalamnya juga memuat sketsa-sketsa beliau yang melukiskan gambar Gereja Maranatha (hal. 1), Pasar Krempyeng (hal. 7), Jembatan Merah (hal. 15), Baca Puisi Malsasa ‘92 (hal. 22), dan gambar Gedung Balai Pemuda (hal. 32).
Fakta tersebut di atas membuktikan bahwa seorang M. Thalib Prasodjo memang benar-benar seorang sketser sejati. Meski pada waktu itu, saya hanya menda-patkan fotokopian-nya saja, akan tetapi beliau mau meminjamkan sketsanya guna me-lengkapi tampilan kumpulan sajak para pelukis Surabaya ini.
Tidak hanya itu, Mbah Thalib pernah pula bercerita tentang sosok Markeso (alm.), ludruk garingan yang kerap kali mampir di DKS itu. Kata beliau, Markeso tidak pernah minta uang, tapi selalu menggunakan sanepan (sindiran), dengan mengatakan begini, “Mbah bojoku gorung nempur hari ini!” (Mbah istri saya belum beli beras hari ini). Dengan mengatakan kalimat itu, Mbah Thalib tahu, bahwa Markeso tidak punya uang. Maka beliau pasti akan memberikan uang meski tidak banyak jumlahnya, tapi yang pasti bisa buat beli 2-3 kilogram beras.
Mbah Thalib, sungguh seniman yang tahu kesulitan seniman lainnya.





Jembatan Merah
Kembali bicara masalah kumpulan sajak pelukis, bertajuk “Jembatan Merah” (Biro Sastra DKS, 1993); bahwa untuk menghimpun sajak-sajak pelukis ini memanglah amat sulitnya. Seperti yang tercatat dalam pengantar saya dengan judul “Pelukis Baca Puisi” yang antara lain mengatakan, “Ide dan rencana ini sudah lama sekali, hanya naskah yang masuk pada Biro Sastra DKS teramat lambatnya. Dan sementara naskah-naskah yang masuk telah saya ketiki, sedang lainnya belum kirim sama sekali. Sehingga amatlah sulit terbit secepatnya. Payah memang, tapi tak harus patah dengan kendala yang menghadang.”
Menarik untuk dicatat pula, bahwa ketika kumpulan sajak ini digelarpentaskan di DKS, banyak yang bertanya, mengapa nama pelukis se-kaliber Amang Rahman, kok tidak ikut dalam kumpulan puisi ini? Padahal Amang juga banyak menulis puisi. Syukurlah saya telah menjawabnya dalam pengantar, yang antara lain saya katakan, “Seperti misalnya Amang Rahman, tidak masuk dalam antologi ini – karena sudah berkali-kali ditagih karyanya, tak pernah memberi. Sayang sekali!”
Dari perjalanan panjang sastra Indonesia, maka beberapa nama pelukis yang juga menulis sastra (utamanya: puisi) memang tidak banyak jumlahnya. Tapi masih ada tercatat ada beberapa nama. Meski tidak lengkap saya bisa mencoba menyebut di antaranya: Nasyah Djamin, Motinggo Bosje, Walujati, Trisno Sumardjo, Danarto, D. Zawawi Imron, Rudi Isbandi, Amang Rahman, Jeihan, Wiwiek Hidayat, Adul Kadir Zaelani, Hardjono WS, Harryadjie BS, Mh. Iskan, dan mungkin masih banyak lagi.

                Sedangkan para pelukis Jawa Timur, termasuk cukup banyak jumlahnya. Jika kita mau memilah dari semua nama di atas, maka pelukis Jawa Timurnya adalah: Trisno Sumardjo, Rudi Isbandi, Amang Rahman, D. Zawawi Imron, Mh. Iskan, Wiwiek Hidayat, Hardjono WS, Harryadjie BS , Abdul Kadir Zaelani, dan mungkin juga masih ada lagi, hanya tak tercatat di tulisan pendek ini.
Dari pelukis yang penyair di Jawa Timur yang tidak banyak jumlahnya tersebut, ternyata ada juga yang peduli, serta rela puisinya dibukukan dalam kumpulan puisi yang sangat sederhana tersebut. “Jembatan Merah” kumpulan sajak pelukis, yang diprakarsai biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) waktu itu, sungguh sebuah dokumentasi sastra yang agak berbeda dengan lainnya. Kumpulan sajak yang ditulis oleh pelukis, sekaligus lengkap dengan ilustrasi sketsanya. Meskipun sketsa itu hanya dibuat M. Thalib Prasodjo, tapi cukup memberikan warna berbeda dengan yang lainnya. Terima kasih Mbah Thalib yang telah banyak ikut berkiprah merealisasikan semua ini.
Mengakhiri tulisan ini, barangkali menarik yang ditulis oleh Rudi Isbandi dalam larik-larik puisi berjudul “Rumah Sakit Simpang” yang berbunyi seperti ini:
/Tak ada yang kekal memang. Tak ada
yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
(dari Jembatan Merah, halaman 14)
Selamat jalan Mbah Thalib, semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah dan mengampuni segala dosa. Amin!


Desaku Canggu, 5 Agustus 2010

Selasa, 13 Juli 2010

LABEL BAHASA INDONESIA

LABEL BAHASA INDONESIA*)
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), mantan pengurus DKS

*) artikel ini termuat di koran Radar Surabaya Minggu, rubrik Horizon, 4 Juli 2010, hal. 7


Saya tergelitik membaca Radar Surabaya (21/5/2010) memuat berita berjudul Wajib Label Bahasa Indonesia Mulai 1 Juli yang dalam inti berita mengatakan bahwa, “Jika tidak ditaati akan diberikan sanksi mulai dari pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), denda Rp 2 milyar, atau hukuman kurungan maksimal 5 tahun.”
Sungguh sebuah upaya sangat melegakan bagi kalangan yang sangat peduli dengan keberlangsungan Bahasa Indonesia, antara lain: Pusat Bahasa, Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, serta para guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Di mana mereka tak pernah lelah untuk terus menumbuhkembangkan Bahasa dan Sastra Indonesia. Begitu pula para guru, yang mengajarkan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kepada para siswanya. Lebih melegakan lagi, bagi masyarakat pengguna Bahasa Indonesia, sebab mereka tidak akan susah untuk mengetahui cara pemakaian atau penggunaan barang-barang luar negeri yang telah dibelinya itu.
Kasus yang terjadi, beberapa produk luar negeri (obat maupun barang lain) yang masuk ke Indonesia memang hampir semuanya masih berbahasa dengan menggunakan bahasa produsen. Produk China masih berbahasa China, produk Jepang masih berbahasa Jepang, produk Taiwan masih berbahasa Taiwan dst.dst. Lihat saja, ketika kita beli obat atau mainan anak dari China, maka bahasa petunjuknya masih menggunakan bahasa China. Begitu pula, barang-barang elektronik produk Jepang, masih menggunakan bahasa Jepang atau bahasa Inggris. Ini cukup menyusahkan bagi orang yang tidak mengetahui bahasa Inggris, apa lagi Jepang. Mereka, para konsumen pembelinya akan bisa salah artikan penggunaan barang yang dibelinya.
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 62/M-DAG/Per-12/2009 tentang kewajiban pencantuman label barang Berbahasa Indonesia inilah, barangkali kita ma-syarakat akan menyambut gembira atas peraturan ini. Setidaknya bagi masyarakat konsu-men barang-barang luar negeri, tidak lagi dibingungkan atas petunjuk penggunaan dan pemakaiannya, barang-barang yang telah dibelinya.
Peraturan MENDAG Nomor 62/2009 ini, barangkali perlu kita sambut gembira, karena melalui peraturan ini pula, setidaknya Pemerintah RI melalui Permendag telah ikut pula menjaga, menumbuhkembangkan, serta melestarikan Bahasa Indonesia. Ini sekaligus bagi orang luar negeri yang akan masuk Indonesia (meski hanya barangnya) itu, mau belajar dan menggunakan bahasa Indonesia.
Permendag Nomor 62/2009 ini harus dilaksanakan dengan tegas, mulai 1 Juli 2010 nanti, bagi yang melanggar benar-benar diberi sanksi. Jangan sampai Permendag ini hanyalah diberlakukan secara hangat-hangat tai ayam, alias tidak berani menindak karena backingnya jenderal, menteri atau ketua partai tertentu. Tidak! Tidak boleh begitu. Siapa pun pelakunya, harus diberi sanksi dan tindakan tegas. Kita harus belajar berdemokrasi dari hal ini. Berani berkata benar, dan menindak dengan benar pula!
Demi kepentingan itulah, perlu adanya pengawasan yang ketat dalam pelaksana-annya. Setidaknya, pada 1 Juli 2010, pihak Kementerian Perdagangan RI perlu menerjun-kan tim pengawas ke beberapa barang-barang produk luar negeri yang dijajakan di pasar-pasar tradisional maupun supermarket, plaza, serta mall-mall. Bahkan jika mungkin, masyarakat juga ikut terlibat mengawasi adanya barang-barang luar negeri yang masih berlabel dengan menggunakan bahasa produsennya.
Untuk itu, perlu kiranya Kementerian Perdagangan, membuka web atau portal pengaduan di jagad maya bagi masyarakat yang ikut peduli akan hal ini. Setidaknya, melalui portal itu masyarakat bisa melaporkan temuan-temuannya, jika memang pada bulan Juli 2010 nanti masih banyak barang-brang luar negeri berlabel non-bahasa Indonesia.

Sejalan Permendag Nomor 62/2009 ini seharusnya memang ditindaklanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri, dengan peraturan baru yang melarang perusahaan yang mencantumkan nama perusahaannya yang tidak mencerminkan bahasa Indonesia. Lihat saja di kota Surabaya, yang banyak sekali memasang baner-baner perusahaan dengan skala besar-besar, terpampang di jalanan tengah kota, yang mana tidak mencerminkan bahasa Indonesia, tapi lebih menggunakan bahasa Inggris. Sebut saja, City of Tomorrow), Hypertmart, Royal Plaza, Giant Hypermarket, Carrefour, Dramo Trade Centre, Mercure Hotel, Mc. Donald, Kentucky Fried Chicken, Tunjungan Plaza, The Empire Palace Hotel, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Palace Hotel, dan mungkin masih banyak lagi.
Apabila Mendagri juga membuat Permendagri yang juga melarang penggunaan nama perusahaaan berbahasa Inggris, barangkali kita tidak akan merasa asing di kotanya sendiri. Artinya, memasuki kota Surabaya, seperti memasuki kota di luar negeri. Atau setidaknya, jika nama-nama itu sudah terlanjur terkenal; minimal tidak memasang banernya dengan ukuran yang besar, dan mencolok mata kita.
Ini hanyalah semacam usulan saja. Agar masyarakat Indonesia kian mencintai bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Sedangkan kebijakan, kembali kepada pengambil keputusan, yaitu Menteri Dalam Negeri RI sendiri.
Yang patut disyukuri bahwa Permendag Nomor 62/2009 itu, minimal telah ikut menjaga, menumbuhkembangkan, dan melestarikan Bahasa Indonesia. Bravo buat Menteri Pedagangan RI! Menteri apa lagi yang menyusul?


Desaku Canggu, 9 Juni 2010

Rabu, 02 Juni 2010

surabaya kehilangan jati diri

KOTA SURABAYA KEHILANGAN JATI DIRI
oleh: aming aminoedhin*

artikel ini termuat di koran Radar Surabaya edisi khusus menyambut Ultah Kota Surabaya 717 -- Senin, 31 Mei 2010


Menurut asumsi hampir semua orang di Indonesia, bahwa kota Surabaya, adalah kota kedua di Indonesia, setelah yang pertama Jakarta, sebagai ibu kota negara. Sebagian yang lain, ada juga berasumsi bahwa kota Surabaya, bukan lagi kota kedua, tetapi sebagai kota peringkat enam terbesar di Indonesia. Mengapa demikian? Karena di atas kota Surabaya, ada lima kota lainnya, yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan ada Jakarta Timur. Sehingga sebagai kota terbesar di Indonesia, kota Surabaya hanya menduduki peringkat keenamnya.

  
         Terlepas dari persoalan Surabaya sebagai kota kedua atau keenam, yang pasti Surabaya sebentar lagi akan ada pilihan walikota baru. Para kandidatnya sekarang lagi kampanye, agar benar-benar jadi walikota. Bahkan Surabaya, tahun ini, telah sudah 717 tahun usianya. Surabaya, kota besar setelah Jakarta, terus saja berbenah mengejar ketertinggalannya. Meski belum punya bus-way, seperti Trans Jakarta dan Trans Yogya. Meski pun belum punya kereta rel listrik (KRL), tapi Surabaya sudah punya ‘komuter’, kereta angkutan penumpang murah-meriah bagi warga masyarakatnya. Lantas baru-baru ini ada jembatan terpanjang di Indonesia bernama “Suramadu” yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura.
Sebagai kota besar yang konon berjaya di sebagai kota kedua atau keenam ini, infrastrukturnya pun cukup memadai. Surabaya mempunyai pelabuhan besar ‘Tanjung Perak’ guna mendukung laju perkembangan kotanya. Belum lagi, Surabaya, juga mempunyai bandara internasional ‘Juanda’, lantas jalan-jalan tol yang terus dibangun, terminal bus antarkota ‘Purabaya’ yang representatif sarana dan prasarananya. Belum lagi banyaknya gedung-gedung menjulang berupa mal-mal, pusat perkantoran, hingga plaza, pasar swalayan, hotel, dan seabreg rumah-rumah susun yang dibangun.
Bahkan konon, Surabaya, sebagai kota besar juga punya julukan yang tidak tanggung-tanggung, katanya sebagai kota nomor wahid soal pelacurannya.
Apakah ini benar? Masih perlu penelitian lebih mendalam. Tapi jika mau melihat kenyataan, memang sebenarnya bisa dibenarkan. Karena hampir di semua sudut kota ini, banyak sekali praktik-praktik pelacuran. Dari yang hanya berdiri di pinggir jalan, pinggir rel kereta api, ruang-ruang tunggu terminal, dan bahkan yang terang-terangan, seperti kawasan: Dolly, Njarak, dan Kremil. Belum lagi, praktik-praktik pelacuran yang di hotel-hotel, kost-kosan, dan banyak lagi.
Bahkan kini Surabaya sedang ngebut menata-garap jalan Ahmad Yani sisi timurnya, yang konon nantinya akan dijadikan satu arah menuju selatan. Konon, juga akan digarap jalur bus-way, dan kereta mono-rail? Wah.... Surabaya kian mempesona, jadinya!
Surabaya, memanglah kota hebat, sehebat pahlawannya yang mengusir para penjajah yang mencoba kembali memasuki negeri ini.
Pada ulang tahunnya ke-717, angka yang sangat cantik layaknya nomor cantik telepon seluler ini, adakah yang hilang dari kota ini?

Benarkah ini kota Surabaya?

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang kawan dari Ngawi yang datang ke kota Surabaya. Dalam pembicaraan malang-melintang tersebut, termasuk di antaranya bicara kangen-kangenan tentang kota Ngawi yang sepi, masjid (yang sebenarnya cagar budaya) telah diambrugkan, bicara pula kawan-kawan lama yang tak lagi bersua. Kawan-kawan yang kini telah jadi kaya, lantas kawan yang tetap setia dengan idealismenya, dan ada juga pembicaraan tentang bahasa. Berbicara tentang item yang terakhir, yaitu bahasa inilah, yang kemudian saya jadi terjaga.
Mengapa terjaga? Karena pertanyaan yang dilontarkan kawan lama saya tersebut adalah, “Apakah orang kota Surabaya ini, sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi?”
“Lho, memangnya kenapa?” tanya saya kemudian.
“Ming, aku memasuki Surabaya kini, seperti memasuki kota di luar negeri!” katanya kalem, tanpa ekspresi.
“Lantas apanya yang luar negeri!” tanyaku mendesak.
Dengan berbisik menggelitik dia mengatakan bahwa Surabaya kini, sudah keinggris-inggrisan, padahal masih tetap ada tukang becak, ada pasar loak, ada wilayah kumuh (jika tak boleh dikatakan rusuh). Ini kan lucu? Lihatlah, dengan mentereng di jalan-jalan protokol itu, bahasanya sangat Inggris. Sebut saja misalnya: Cito (City of Tomorrow) yang di atasnya tertulis FIRST, Jatim Expo International, Hypertmart Royal Plaza, Giant Hypermarket, Carrefour, Dramo Trade Centre, Mercure Hotel, Mc. Donald, Kentucky FC, Tunjungan Plaza, The Empire Palace Hotel, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Palace Hotel, Citraland, dan seabreg nama-nama yang semuanya menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi ada nama-nama Kentucky Fried Chicken, Mc. Donald, Texas Fried Chicken, dan banyak lagi lainnya.
Dari keterangan kawan lama tersebut, saya benar-benar terjaga. Ternyata, memang benar, kota Surabaya, telah jadi kota yang kehilangan jati diri, sebagai kota yang berada di Indonesia. Semuanya hampir berlabel bahasa Inggris, lantas benarkah ini kota Surabaya? Dari sini kemudian muncul tanya, siapakah yang harus disalahkan? Balai Bahasa Jawa Timur? Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Indonesia? Walikota? Atau Gubernur?
Saya tak tahu jawabnya?

Surabaya, Jelang Ultah 717

Senin, 19 April 2010

KARTINI, BUMI DAN SASTRA

KARTINI, BUMI DAN SASTRA*
Oleh: Aming Aminoedhin

Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), koordinator Malsasa


* tulisan ini termuat di koran Radar Surabaya, rubrik Horizon, Minggu 18 April 2010



Apa hubungannya Kartini, Bumi, dan Sastra? Pertanyaan itu memang wajar dimunculkan, sebab ketika kita memasuki bulan April yang diingat masyarakat adalah Hari Kartini. Pendekar emansipasi wanita negeri ini. Padahal, di bulan April, ada peringatan hari besar lainnya yaitu Hari Bumi dan Hari Sastra. Namun demikian, banyak orang tidak tahu adanya dua peringatan yang saya sebut terakhir. Ironis memang!

Hari Kartini

Beberapa waktu yang lalu di harian Kompas (Minggu, 21/3/2010) saya baca berita tentang ‘Gairah Mendaki di Usia 50 Tahun” yang di dalam laporannya mengisahkan tentang kegairahan para perempuan berusia lebih dari 50 tahun tetap melakukan pendakian gunung, lantaran hobby mereka sejak masih muda. Komunitas itu ada dua, yaitu Fit@Fifty dan Kartini Petualang (Karpet). Bahkan mereka para pendaki perempuan ini akan merencanakan pendakian Gunung Himalaya, dan merayakan Hari Kartini, 21 April 2010 di puncaknya.
Dari berita ini membuktikan bahwa perempuan itu bukanlah sebagai kanca wingking belaka, teman di belakang suami saja, adalah benar! Buktinya, mereka juga bisa beraktivitas tanpa harus merengek pada suaminya. Mendaki gunung bersama sesama kaum perempuan lain, bahkan ketika mereka telah berusia di atas 50 tahun.
Kata perempuan mempunyai konotasi wanita. Jika wanita, bisa diartikan dalam bahasa Jawa wani ditata, berani ditata; maka kata perempuan, yang berasal dari kata empu dan puan, lebih berkonotasi lebih terhormat katimbang wanita. Sebab kata empu, berarti gelar kehormatan yang berarti tuan atau seorang ahli (utamanya keris), dan puan, berarti tempat sirih dari emas atau perak. Perempuan, artinya orang yang harus dihormati, dan harganya cukup mahal karena layaknya emas, yang termasuk barang mulia. Maka, perempuan seharusnya dihormati dan dimuliakan.
Perempun di negeri kita, Indonesia, hampir semua mengidoalakan perempuan bernama Kartini. Pahlawan bangsa, yang telah memperjuangkan kesejajaran (emansipasi) antara perempuan dan lelaki. Kartini, juga seorang yang telah berjuang agar para perempuan juga mendapatkan pendidikan, seperti layaknya kaum lelaki.
Bila kita mau menerjemahkan agak luas lagi, kata perempuan identik juga ibu. Sedangkan kata ibu, mempunyai keampuhan makna tersendiri. Betapa tidak? Bayangkan, ketika dalam bahasa Indonesia, ada kata Ibu Jari, Ibu Pertiwi, Hari Ibu, Ibu Negara, Ibu Peri, dan Ibu Kota, dan mungkin masih banyak lagi. Jika kata-kata tersebut kita coba untuk dipertentangkan, maka tidak akan pernah ada kata: Bapak Jari, Bapak Pertiwi, Hari Bapak, Bapak Negara, Bapak Peri, dan Bapak Kota.
Kata-kata tersebut meyakinkan kepada kita semua bahwa perempuan yang identik dengan ibu itu memanglah hebat atau ampuh, seampuh sebutannya perempuan. Ini sekaligus memperkuat komitmen Nabi Besar Muhammad SAW, yang meletakkan Ibu pada urutan satu sampai tiga dalam menghormati dan selalu memuliakannya. Baru kemudian angka keempatnya, disebutkan Bapak.
Perempuan, tidak selamanya lemah, terbukti ada para perempuan yang berusia 50-an tahun ke atas masih tetap tegar, dan akan mendaki gunung Himalaya, dalam peringati Hari Kartini tahun ini. Perempuan, itu bisa jadi pemimpin yang tangguh. Selamat berhari Kartini, dan janganlah para perempuan selalu merasa lemah. Bergairahlah, seperti para perempuan komunitas Fit@Fifty dan Karpet itu.

Hari Bumi

Mengingat tanggal 22 April 2010 ini adalah Hari Bumi Internasional, maka selayaknyalah kita mengingatkan kembali kepada warga masyarakat Indonesia, termasuk diri kita sendiri; untuk tidak berbuat kerusakan di bumi ini.
Persoalan lingkungan hidup memang terkadang dilupakan begitu saja, dan bahkan manusia baru sadar ketika bencana itu datang dengan tiba-tiba. Banjir, misalnya; yang menenggelamkan ribuan rumah-rumah penduduk. Menelan korban bagi manusia yang tak sempat mencari selamat, karena banjir datang tiba-tiba. Begitu pula tanah longsor yang mengubur manusia hidup-hidup dalam sekejap saja. Lebih lagi bencana gempa seperti tsunami di Aceh, yang menyapu bersih ribuan manusia dan rumah-rumahnya. Begitu cepat, begitu tiba-tiba.
Sungguh, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Ilahi, dan sekaligus pertanda bahwa manusia tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi ini. Manusia, seharusnya merawat bumi, agar bumi tetap lestari dan tetap nyaman dihuni bagi manusia berikutnya, dari generasi ke generasi. Mari lestarikan bumi, dengan mewajibkan seorang anak manusia menanamkan satu pohon, pada peringatan Hari Bumi tahun ini.
Mengingat Hari Bumi berarti kita harus menyadari bahwa dunia semakin tua, tak layak bagi kita membuatnya kian renta, kian runyam, dan kita tetap berbuat kerusakan bagi alam sekitar. Tidak! Tidak harus begitu! Mari bersama kita menanam pohon di kota, agar kota juga bisa bernafas lega. Punya jantung atau paru-pru kota, bernama hutan kota. Bersihkan pula sungai dari kotoran dan limbah, agar kota kian jadi indah.

Hari Sastra


Tidak banyak yang tahu, bahwa pada tanggal 28 April adalah peringatan Hari Sastra, yang mana pada tanggal itu tahun 1949 lalu, merupakan tanggal wafatnya sang penyair binatang jalang, Chairil Anwar.
Meskipun penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menuai pro-kontra dari para sastrawan pada waktu itu, tapi yang pasti banyak para mahasiswa fakultas sastra di berbagai perguruan tingggi, akan tetap memperingatinya. Mengapa demikian? Karena Chairil Anwar merupakan tonggak kepenyairan Indonesia di zamannya, dan tetap diakui hingga sekarang ini.
Bahkan kritikus sastra, yang berpredikat paus sastra Indonesia, HB Jassin; sang penyair Chairil Anwar, atau yang punya predikat si binatang jalang itu, telah dinobatkan sebagai tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia. Chairil, dari catatan Jassin. ternyata selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat 70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Tidak banyak ternyata! Tapi namanya sangat melambung tinggi ke langit peta sastra Indonesia. Begitu pula karyanya, melebihi usianya yang tidak panjang itu, bahkan puisinya berjudul ‘Aku’ telah melampaui abad terdahulu. Dari abad 20 ke abad 21.
Untuk mengingatkan kembali puisi berjudul ‘Aku’ itu, kami muatkan puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret 1943.
Menyimak isi yang tersurat dan tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil, kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.
Perjuangan Kartini perlu diteladani, bumi harus dijaga lestari, dan semangat Chairil Anwar tak harus mati di bumi Indonesia tercinta ini.

Desaku Canggu, 11 April 2010

Selasa, 30 Maret 2010

sastra jawa masuk sekolah

SASTRA JAWA MASUK SEKOLAH*
Oleh: Aming Aminoedhin

tulisan ini termuat di Radar Surabaya, Minggu, 28 Maret 2010

Menurut asumsi bahwa masyarakat Jawa Timur hampir sebagian besar atau lebih dari 75% masyarakatnya, menggunakan bahasa pergaulan (lingua-franca) bahasa Jawa. Dari sejumlah pengguna bahasa Jawa tersebut, muncul pengarang-pengarang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media penulisan dalam karya-karya mereka. Sebut saja nama-nama terkenal di ranah pengarang sastra Jawa ini, seperti: Satim Kadarjono, Suparto Brata, Yunani, Suharmono Kasijun, Djajus Pete, JFX Hoery. Lantas nama-nama lain yang lebih muda usia, seperti: Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Titah Rahayu, Sita T. Sita, Herry Lamongan, Widodo Basuki, Sumono Sandhy Asmoro, W. Haryanto, Wahyudi, Suyitno Ethexs, dan sederet lagi nama lain yang mungkin belum masuk dalam daftar urutan ini.
Perkembangan jumlah pengarang sastra Jawa di Jawa Timur yang signifikan ini, seharusnya menyadarkan kita betapa tidak terbatasnya olah kreasi dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia sastra Jawa. Menyikapi hal tersebut, tidaklah berlebihan apabila Pemerintah (Dinas Pendidikan) perlu mengadakan semacam apresiasi sastra Jawa di ruang-ruang kelas, pada sekolah-sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kenapa demikian?
Melalui sastrawan Jawa masuk sekolah diharapkan bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa yang diasumsikan banyak kalangan telah terpinggirkan atau ditinggalkan penuturnya. Melalui kegiatan ini pula diharapkan akan bisa memberikan pendidikan budi pekerti, yang dirasa telah agak luntur (jika tak boleh dikatakan sirna) dari budaya Jawa.
Jika dalam ranah sastra Indonesia, diawali majalah sastra Horison bersama Taufiq Ismail, telah menyelenggarakan kegiatan “Sastrawan Masuk Sekolah”, maka apa salahnya jika hal itu ditiru. Misalnya saja, sastrawan Jawa masuk sekolah pula.
Jawa Timur memiliki banyak sastrawan Jawa yang sangatlah handal. Sebut saja, maestronya pengarang Suparto Brata, yang telah banyak menulis karya-karya berbahasa Jawa. Salah satunya yang sangat dikenal, kumpulan cerkak ‘Trem’ yang memuat sekian banyak cerkak karangan Suparto Brata. Lantas sederet karangan lainnya: Donyane Wong Culika, Kremil, Tiada Nasi Lain, dan banyak lagi.
Belum lagi jika mau menghitung nama-nama pengarang sastra Jawa, asal Jawa Timur yang telah mendapatkan hadiah ‘Rancage’-nya Ajip Rosidi. Mereka itu, di antaranya: Suharmono Kasijun, Suparto Brata, Widodo Basuki, JFX Hoery, Esmiet. Bahkan konon, tahun ini ada juga nama yang penggurit Sumono Sandhy Asmoro dan Bonari Nabonenar, akan mendapatkan hadiah sastra ‘Rancage’ tersebut.
Kegiatan apresiasi sastra dapat diartikan sebagai usaha pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap karya sastra, sehingga dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra tersebut. Apresiasi sastra juga dapat menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat pengenalan dan pemahaman terhadap sastra, yaitu dengan membaca karya sastra. Sedangkan sastra Jawa, dalam hal ini baca cerkak dan geguritan, sangatlah bisa dijadikan sarana guna meraih apresiasi sastra Jawa tersebut. Sekaligus akan dapat mengajarkan budi pekerti kepada para siswa yang mengapresiasi sastra Jawa tersebut. Karena dalam karya sastra Jawa memuat pesan-pesan moral budaya Jawa yang secara tersirat ada di dalam karya tersebut.
Peluang untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut ada, yaitu dalam mata pelajaran bahasa Jawa yang masih diajarkan di sekolah tingkat SD maupun SMP. Betapa pun kecilnya jam pelajaran yang ada, tetapi setiap minggunya pasti ada. Nah ... barangkali dalam satu semester, bisa diambil salah satu minggu (pada mata pelajaran sastra Jawa) untuk apresiasi pengarang sastra Jawa berhadapan para siswa.
Lantas bagaimanakah tekniknya?
Barangkali memang agak sulit mencari waktunya, para pengarang sastra Jawa tersebut, bisa terjun langsung ke sekolah. Akan tetapi, saya percaya, bila sekolah memang telah mengagendakan jadwalnya, mungkin para pengarang sastra Jawa juga akan mau dan mampu membagi waktu bagi para pelajar yang ingin apresiasi sastra Jawa tersebut. Mungkin bisa kerja sama dengan mengontaks PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), PSJB (Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro), atau Sanggar Triwida Tulungagung; FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), yang keempatnya tak lelah-lelahnya nguri-uri (melestarikan) bahasa dan sastra Jawa.
Program ini akan lebih menarik lagi, apabila kegiatan ini dalam rangka menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan digelar di kota Surabaya tahun 2011 oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Mungkinkah Pemda Jatim telah mempersiapkan hal ini? Walahu alam bishawab!
Selanjutnya, apabila para pengarang sastra Jawa telah masuk beberapa sekolah tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan lomba-lomba yang mengarah ke persoalan sastra Jawa, misalnya lomba tulis dan baca guritan. Lomba baca dan tulis cerkak bagi para siswa yang telah mendapatkan pelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolahnya, oleh para pengarang sastra Jawa.
Solusi lain, barangkali Pemerintah Pemda Jawa Timur, bisa memfasilitasi para pengarang sastra Jawa dengan mau menerbitkan buku-buku karangan mereka, lantas mensosialisasikannya di sekolah. Akan lebih baik jika, ada juga pembuatan rekaman dalam bentuk disc, yang berisi pelajaran baca geguritan, baca cerita cekak, dan juga baca tembang macapat.
Melalui garapan para pengarang sastra Jawa yang telah dibuat ini, selanjutkan didistribusikan kepada para guru-guru sastra Jawa yang ada di sekolah-sekolah.
Mengapa demikian?
Selama ini, memang banyak guru mata pelajaran bahasa Jawa, yang tidak mempunyai vak (keahlian/ijazah) bahasa Jawa. Sehingga, banyak sekali, mereka merasa kesulitan dalam megajarkan bahasa Jawa kepada siswa.
Semua ini hanyalah solusi yang mungkin cukup baik, agar mata pelajaran bahasa Jawa, bisa intens diajarkan kepada siswa tanpa harus ada kendala bagi gurunya.

Desaku Canggu, 16 Maret 2010

Senin, 15 Maret 2010

Bahasa Ibuku Bahasa Jawa

BAHASA JAWA BAHASA IBUKU*)

Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)

Mencatat kegiatan yang sangat berhubungan dengan bahasa pada bulan Februari, barangkali bisa disebut adalah tanggal 9 Februari ada Hari Pers Nasional, lantas pada tanggal 21-nya ada Hari Bahasa Ibu Internasional. Untuk peringatan Hari Pers Nasional lebih mengedepankan bagaimanakah para jurnalis menulis berita dengan baik dan berimbang. Artinya, tulisan berita itu haruslah berimbang antara nara sumber dan fakta yang ada di lapangan. Bahkan jika perlu, nara sumber tidak hanya satu, tapi bisa banyak jumlahnya. Sehingga akan didapatkan keakuratan berita.
Menulis berita, artinya seseorang wartawan akan menggunakan bahasa untuk menyampaikan beritanya kepada pembaca. Meski melalui televisi, pastilah berita itu ditulis dengan menggunakan bahasa. Begitu pula berita yang ada di radio.
Sedangkan bicara soal Hari Bahasa Ibu Internasional, maka kita jadi ingat bahwa kegiatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini diperingati setiap tahun, dan telah disahkan oleh Unesco, sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Membicarakan kegiatan kebahasaan yang kedua, Hari Bahasa Ibu Internasional, saya jadi teringat yang dikatakan oleh beberapa kawan pada acara ‘Mengenang RM Yunani’ (18/2/2010) di Galeri Surabaya. Menurut Dhimam Abror, bahwa RM Yunani adalah seorang jurnalis yang konsistens dalam pemakaian bahasa, terutama bahasa Jawa.
Beliau, kata Dhiman menambahkan, adalah sosok yang serba bisa, dan punya wawasan dan kepandaian menulis luar biasa. Seorang sastrawan Jawa, Suharmono Kasijun, mengatakan bahwa budayawan yang satu ini adalah seorang jurnalis yang berani dalam tulisan-tulisan beritanya. Sementara begawan sastra Jawa Timur, Suparto Brata, lain lagi. Sang begawan mengatakan, bahwa RM Yunani itu seorang guru yang menulis cerita anak sangat baik, pada tahun 1971-an. Mengapa begitu? Lantaran RM Yunani selalu mengirimkan naskah ke majalah anak ‘Kuncup’ yang pada waktu itu, Suparto Brata jadi redakturnya. Lebih jauh begawan sastra ini juga mengatakan bahwa Dahlan Iskan (yang punya Jawa Pos, dan kini Direktur PLN itu) mengakui bahwa RM Yunani adalah guru jurnalisnya, sewaktu masih berada di Samarinda.
Lantas apa hubungannya dengan Bahasa Ibu Internasional?
Menurut catatan yang saya baca di berbagai situs di internet dikatakan, bahwa dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, kita tidak boleh melupakan pada bahasa Ibu kita sendiri. Padahal di Indonesia, mempunyai banyak suku bangsa dengan banyak pula bahasa daerah (baca: bahasa Ibu) yang dipunyainya. Jika boleh mencatat bahkan ada bahasa daerah yang konon mempunyai sistem tulisan sendiri, seperti: Jawa, Lampung, Bali, Bugis, dan Batak.
Terlepas dari persoalan apa hubungannya dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, dengan bahasa daerah, yang pasti kita sadari bahwa kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah pada saat ini, sudah agak terpinggirkan. Jika tidak boleh dikatakan ditinggalkan oleh penuturnya. Maka tidak mengherankan, jika Bahasa Jawa telah dikongreskan sampai ketiga, dalam rangka melestarikan bahasa Jawa yang terpinggirkan itu.
Dalam rangka merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini, tidaklah berlebihan saya sebagai orang Jawa akan juga memperingati Hari Bahasa Ibuku sendiri, bahasa Jawa, meski tidak pas tanggalnya. Karena saya termasuk sastrawan Jawa, perkenankan pula saya muatkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’, guna melengkapi tulisan ini.

//ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/dadi wong wadon iku kudu/suci uni, suci rupi, lan suci ati//amarga donya wis menehi tandha/akeh wong wadon lambene bengak-bengok/akeh wong wadon matane plerak-plerok/akeh wong wadon aten-atene bosok/lungguh methothok mlaku ora ndedelok/kabeh iku aja mbok tiru, anakku//ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang /mbulan ora werna abang mbranang/lintang-lintang ora gelem gumebyar/lan srengenge kaya ngece-ece//mula iku omonga sing apik/dandana sing resik/mlakuwa sing becik/ing ngalam donya/ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/goleka dalan swarga liwat tetep madhep/lan manteb terus dhedhepe marang Gusti// Canggu, 2003

Secara harafiah terjemahannya sebagai berikut:

nak, anakku perempuan yang paling cantik/ jadi perempuan itu harus/ suci bicara, suci wajah, dan suci hati// lantaran dunia sudah memberi tanda/banyak anak perempuan mulutnya teriak-teriak/banyak perempuan matanya jelalatan/banyak perempuan hati busuk/duduk seenaknya jalan sembarangan/semua itu jangan ditiru, anakku//nak, anakku perempuan, lihatlah di langit/ bulan tak lagi berwarna merah/bintang-bintang tak mau berpijar/ dan matahari seperti meledek// untuk itu, bicara yang baik/berbusana yang bersih/jalanlah yang baik/di dunia ini// nak, anakku perempuan yang paling cantik/carilah jalan ke surga dengan tetap selalu setia/mantap mendekat kepada Allah SWT//Canggu, 2003

Guritan atau puisi di atas menyadarkan kepada kita, bahwa perempuan sekarang ini telah memasuki pergeseran budaya yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Tidaklah berlebihan, ketika kita mempunyai anak perempuan akan merasa ketakutan apabila anak perempuan kita tersebut jadi ikut-ikutan seperti yang tertera dalam guritan tersebut.
Sekali lagi bahasa Jawa cukup efektif untuk mengingatkan manusia Jawa agar berbuat baik, dan berlaku sopan santun dalam mejalani hidupnya. Belum lagi jika kita mau membaca beberapa buku sastra Jawa yang banyak memuat pitutur luhur di dalamnya.
Kembali pada persoalan Hari Bahasa Ibu Internasional, saya adalah orang yang sering jadi juri lomba baca dan tulis geguritan. Tahun lalu saja, 2009, di Museum Mpu Tantular, pada Festival Tantular, tercatat lebih dari 100 pelajar (laki-laki dan perempuan) se-Jawa Timur ambil bagian jadi peserta lomba ini. Kemudian pada kegiatan sejenis diselenggarakan Dinas Pendidikan Surabaya, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Surabaya, kerja sama Kalawarti Basa Jawa ‘Jaya Baya’ di Cak DurasimTaman Budaya Jawa Timur; juga diikuti lebih dari 100 pelajar (laki-laki+perempuan) se-Kota Surabaya.
Begitu pula terbitan majalah berbahasa Jawa, juga diterbitkan dari kota Surabaya. Majalahnya adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya”. Lantas ada program ‘Jawa Days’ yang diwajibkan sekolah-sekolah di Surabaya, harus berbahasa Jawa pada hari tertentu. Pertanyaan yang muncul, adakah program ‘Jawa Days” ini bisa efektif dilaksanakan di sekolah? Perlu penelitian tersendiri.
Dari catatan ini terindikasi bahwa bahasa Jawa masih diminati oleh orang Jawa sendiri. Setidaknya bagi beberapa lembaga Pemerintah maupun swasta yang masih terus memompakan semangat agar generasi muda tetap mencintai bahasa Jawa. Terlepas, apakah mereka hanya ikut karena disuruh gurunya, atau pun memang mereka punya keinginan sendiri guna mengikuti lomba-lomba ini. Pastinya, masih banyak peminat lomba baca dan tulis gurit diikuti para siswanya.
Menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan diselenggarakan di Jawa Timur, pada tahun mendatang, maka sewajarlahnya bila Pemerintah Jawa Timur dan swasta yang terkait dengan hal ini, bersegeralah kembali mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bahasa Jawa. Lomba penulisan sastra Jawa, lomba baca guritan dan macapatan, atau semacamnya. Akan lebih pas pula, jika diselenggarakan bercerita atau mendongeng dengan menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa Ibu bagi suku bangsa Jawa. Orang Jawa di Indonesia sudah tersebar di berbagai daerah dan wilayah Indonesia, dari Sumatra hingga Papua. Akankah bahasa itu akan tetap terpinggirkan? Sebuah tanya yang barangkali perlu jawaban pasti bagi suku Jawa sendiri?
Bahasa Jawa bahasa Ibuku, itu hanya sebuah pengakuan. Praktiknya di lapangan, sebagai orang Jawa (ternyata banyak jumlahnya) tidak bisa berbahasa Jawa. Ironis memang!

Desaku Canggu, 19/2/2010


*) Tulisan ini telah termuat di koran Radar Surabaya, Jawa Pos Grup, Minggu, 28 Februari 2010.

Selasa, 26 Januari 2010

BEDAH BUKU JAGAD BERKATA-KATA

Selamat Datang
DI DUNIA ANGAN DAN BAYANG-BAYANG
Masihkah kita Bimbang?


oleh: aming aminoedhin

catatan: Makalah bedah buku ini disampaikan di STKIP PGRI Jombang, 15 Januari 2010. Pertama di tahun 2010 ini, aming aminoedhin, memulai ceramah sastra.


Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang! Masihkah bimbang?
Barangkali kalimat itu yang akan saya kedepankan lebih dahulu. Karena menulis puisi, identik dengan memasuki wilayah dunia angan dan bayang-bayang. Angan dan bayang-bayang yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk tulisan bernama, puisi. Ini berarti, rekan-rekan mahasiswa STKIP PGRI Jombang telah melangkah ke dalam dunia angan dan bayang-bayang.
Membaca antologi puisi “Jagad Berkata-kata” karya para mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2006, STKIP PGRI Jombang, yang diserahkan via email, saya jadi suka membacanya. Lantas dikirim pula, bukunya (meski terlambat), sudah berbentuk yang apik dan menarik. Buku kumpulan itu mengingatkan saya tentang beberapa komunitas sastra yang membuat kumpulan puisi semacam. Ada komunitas Kostela – Lamongan, diprakarsai Herry Lamongan, ada komunitas Dewan Sastra Jatim, dimotori W. Haryanto, komunitas sastra Luar Pagar Unair - Surabaya, yang di dalamnya ada Ribut Wijoto, FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) yang berkali buat kumpulan Malsasa, komunitas sastra Forasamo-Mojoketo, bersama Saiful Bakri dan Suyitno Ethexs-nya, serta komunitas lingkar sastra Tanah Kapur – Ngawi dimotori Tjahjono Widarmanto, dan Komunitas Teater Persada Ngawi, pimpinan Mh. Iskan.
Mereka semua hanya sebagian kecil dari komunitas sastra yang tetap eksis di peta sastra Jawa Timur, agar terus bergerak menumbuhkembangkan sastra kian marak kian beranak-pinak. Artinya, komunitas ini telah mencoba menjembatani dan mewadahi karya sastra melalui pener-bitan kumpulan puisi, betapa pun sederhananya.
Barangkali apresiasi yang tinggi saya acungkan buat Imam Ghozali dan kawan-kawan di STKIP PGRI Jombang yang telah memotori acara semacam ini. Saya yakin itikad yang baik ini akan membuahkan komunitas sastra Jombang kian membaik. Meski, sebenarnya telah baik, tapi gaung eksposenya yang kurang baik.
Bicara soal antologinya “Jagad Berkata-kata” saya bukanlah kritikus sastra yang baik. Tapi karena harus diberi mandat memberi komentar dan saran, maka yang harus saya katakan awal, adalah ‘bagus’ semua. Seperti guru lukis Tino Sidin, yang selalu mengatakan ‘bagus’ untuk semua pengirim lukisan kepadanya.
Mengapa bagus? Karena mereka telah berani membuat puisi, dan menerbitkan dalam sebuah antologi puisi. Keberanian menulis inilah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh seorang pengarang atau penyair. Artinya, tidak ada penyair yang tiba-tiba menjadi penyair. Mereka pasti melalui proses panjang menulis, menulis, dan menulis lagi.

Puisi Baik itu Jujur Bicara
Apabila mau bicara secara keseluruhan puisi yang ada dalam antologi, maka kebanyak-an mereka para penyairnya masih menulis dengan berpanjang-panjang kata. Padahal, puisi yang baik, menurut saya, masih tetap yang ‘sedikit kata tapi banyak makna.’ Sedangkan rekan-rekan kita masih banyak yang menggunakan kata sambung dan imbuhan yang berlebihan. Padahal sebenarnya, menulis puisi bagi saya, mengusahakan (jika mungkin) menulis tanpa kata imbuhan dan tanpa kata sambung. Sehingga tulisan puisinya benar-benar menganut sedikit kata, tapi kaya makna tersebut.
Coba kita simak puisi berjudul ‘Titik’ berikut ini:

Muhammad Lucky Ali Murfiqi
TITIK

Titik tak akan pernah kau temui dalam kehidupanku
dan titik pun tak ada dalam matiku
titik hanyalah suatu koma yang panjang yang tak berujung
dan berakhir di balasan benih yang kau tanam di dunia yang hilang

Energi sungai yang meliuk
hilangnya bulu sayap yang terpuruk
mengikuti arus hidup yang kikuk
hingga menyadari insani yang terburuk

arus hidup yang tak menentu
tak ada seorang pun yang dapat tahu
ke mana perjalanan hidup mereka
tak ada yang mampu merubah semuanya

(Jagad Berkata-kata, halaman 74)

Puisi di atas, apabila kata sambung ‘yang’-nya dihilangkan semua, pasti puisi itu masih bisa berdiri dan enak dibaca. Bahkan artinya yang dikandungnya, tak berubah makna.
Kelemahan yang lain, jika boleh saya sebutkan, bahwa seorang penyair itu adalah orang lebih tahu tentang bahasa. Maka tidaklah harus salah dalam penulisannya. Baca larik akhir puisi ‘Titik’ di atas, kata ‘merubah’ sebenarnya ‘mengubah’. Lantas ada sederet panjang lagi kesalahan tulis dari kawan-kawan kita ini. Tak perlu disebutkan di sini. Malah nanti gak mau menulis puisi. Tapi itu semua memang proses untuk menjadi “penyair,” maka harus tahu kesalahannya yang ternyata tidak mahir.
Jika harus disebutkan mana puisi yang mendekati baik, dan punya prospek ke depan jadi penyair beneran, maka saya hanya menyebut beberapa judul puisi yang telah saya coba baca sehari ini, tanpa mengulang kembali. Maaf! Bukan berarti yang lain, lantas tidak punya prospek, tapi lebih ke arah mereka perlu berproses lebih panjang lagi. Artinya, harus terus menulis lagi, bukan lantas berhenti.
Mereka itu itu: Yang Terakhir oleh Nur Khoitoni, Aku Islam Abangan oleh Eli Sobikah, Kontroversi – Arie Oktaviyanti, Jalang- Ishom Junaidi, Masihkah Pantas – Muzayin, Kemeja Warna Emas – Maratus Shiolikhah, Sandi Leluhur – Khusnul Khotimah, Tragedi Hidup – Syamsah Ayuningrum, Jagat Berkata-kata, Supa’at, Pena- Nuril Baidlowi, Keranda – Andri Eko Yuwono, Ruang Cinta - Sudirman, Omong=O – Faisol Hidayatullah AF, Awal Belum Berakhir – Miftahul Huda Firmansyah, Timang-timang Badan - Niken Fajarwati, Sepotong Rasa - Zulmi Faktullah, Satu – Eli Nurmelia, Hallah Tanpa Kata – Tedi Subohastowo, dan Coro – Zainul Arifin, Puisi Hujan dan Kamu – Nugrahwati, Kuawali Dengan Airmata – Fitri Zahnya F.
Mengapa juga mereka mendekati baik? Lantaran tulisan puisinya tampak bicara dengan kejujuran hatinya. Penyair, harus jujur! Maka dalam tulisannya, harus bermuatan tulisan yang jujur pula. Lantas apa lagi? Mereka menulis dengan kesederhanaan dalam penulisan, dan bahkan ide yang diungkapkan. Sederhana tapi ada sesuatu yang ditawarkan kepada pembacanya. Tidak percaya? Coba simak puisi ini:

Fitri Zahnya F
KUAWALI DENGAN AIRMATA

Hari ini ku awali langkah jam
Dengan air mata semalam
Sujud yang bening
Subuh yang hening

Tumpah segala penyelesaian
Karena kemarin
Aku membawa jam – Mu
Ke negeri jauh
Tak bertanda

Karenanya, jika hari ini
Kuawali langkah jam
Dengan air mata dan nama Mu
Perkenankan sisa jejak-jejakku
Dengan satu ucap sakti Mu
Kun !

Tapi kenapa peristiwa sehari hari
Tiada henti menggodaku?

(Jagad Berkata-kata, halaman 87)

Tidakkah sederhana? Kata kunci “Kun” atau “Jadilah” adalah hal yang ditawarkan Fitri, bahwa ternyata peristiwa sehari-hari di dunia tetap menggoda. Kemerduan bunyi baris puisinya juga indah dan merdu. Baca bait pertamanya, indah bukan?
Pada puisi lainnya, seorang Eli Sobikah, menulis dengan kejujurannya “Aku Islam Abangan” yang membuat pembacanya akan terdedah rasa hati, dan terjaga kesadarannya. Setidaknya, banyak manusia kita, masih seperti yang dikatakan Eli. Sangat sederhana, tapi memuat banyak makna bagi pembacanya. Kita simak puisinya:

Eli Sobikah
AKU ISLAM ABANGAN

Aku Islam tapi masih abangan
Aku percaya Allah adalah Tuhan
Tapi mengapa aku memberi sesajen
Pada pohon tua yang penuh syaitan
Aku Islam tapi masih abangan
Aku tahu Muhammad sebagai anutan
Tapi mengapa aku patuh pada dukun
Pada saat menjalani semua kehidupan
(Jagad Berkata-kata, halaman 42)


Puisi jujur yang lain, ditulis Gressi Tania Ayu, yang bicara wajar dan apa adanya. Jujur itulah mutiara. Kita baca puisinya:

Gressi Tania Ayu Dewi Rantau S.
TERI

Akulah teri
Seorang yang tak ada apa-apanya
Hanya seorang yang kecil
Tak berpengetahuan
Hanya bermodalkan keberanian
Menampakkan diri dengan tulisan
Yang tak beraturan
Kacau, tak berirama
Dengan ungkapan yang polos
Itulah aku
Yang tak pantas bersanding dengan pujangga sastra
Sekalipun dalam mimpi
(Jagad Berkata-kata, halaman 5)


Puisi Mbeling

Membaca puisinya Faisol Hidayatulloh AF berjudul Omong = 0 saya jadi teringat puisi mbelingnya Remy Sylado. Sederhana, tapi membuat pembacanya terjaga. Terjaga dalam arti membenarkan puisi mbeling itu.
Saya adalah orang yang berangkat dari puisi mbeling itu. Puisi pertama saya yang termuat juga puisi kategori ‘mbeling’. Saat itu, termuat di Majalah ‘Top’ Jakarta tahun 1975. Puisi saya berjudul ‘Bendera’. Sedangkan larik dan barisnya sangat sederhana. Secara lengkap saya kutipkan naskah itu.

aming aminoedhin
BENDERA

Merah
Putih
Biru
Hilang paling bawah
Indonesiaku

1975.

Puisi Faisol di bawah ini juga termasuk kategori puisi mbeling. Mbeling ide kreatifnya, tapi juga memuat pesan yang benar di kandungnya. Menurut Faisol, bahwa ketika kita banyak ngomong, hasilnya adalah nol. Atau ketika seseorang hanya omong-omong, dan omong saja, maka yang dikatakan adalah tanda kosong. Ini terbukti, bahwa banyak rekan kita yang ‘ngomong doang’ tapi tak pernah bekerja. Kerjanya yang ‘omong’ itu. Kita simak puisinya:


Omong = 0

(Wah gak mau tampil puisimu, Sol! Maaf, agak gaptek!)

(Jagad Berkata-kata, halaman 14)

Puisi mbeling yang lain, menurut saya adalah tulisan Diana. Bahkan judul puisinya pun dengan angka, bukan kata. Tapi ada yang dipesankan kepada kita pembacanya, bahwa kita manusia, yang berawal dari 1 dan 2. Satu mewakili ayah, dan dua mewakili Ibu. Benarkah? Tanyakan pada penulisnya?


Diana
1.2

Bila kita menjadi
Tentu tak ada dua
Bila kita menjadi
Tentu masing-masing tak mendua
Bila kita menjadi
Tentu takkan ada angka setelah itu…!!
Satu titik dua
Manusia selalu ada
(Jagad Berkata-kata, halaman 24)


Kategori puisi mbeling yang lain, ditulis Miftaqul HF, sederhana tapi mengandung makna. Kita simak saja:



Miftaqul Huda Firmansyah
AWAL BELUM BERAKHIR

kata berawal dari
A
B
C
Angka berawal dari
1
2
3
Musik berawal dari
Do
Re
Mi
Kisahku berawal dari
Panggung
dan
Sepi-ku

(Jagad Berkata-kata, halaman 11)


Lantas ada juga termasuk mbeling berjudul 'Sepuluh' pada halaman 100 yang ditulis oleh Ainul Yaqin. Hanya saja main-main angkanya itu tak tertebak oleh sang pembaca. Minimal saya, sulit menangkap pesan yang dikandungnya.

Format Buku dan Tata Letak
Seperti saya katakan di muka, bukunya apik dan menarik. Hanya saja format ukuran akan lebih cantik jika diperkecil, 20 X 13 sentimeter. Tata letaknya, sudah baik, hanya konsistensi spasi tiap puisi tidak sama, begitu juga font hurufnya, sehingga agak mengganggu pembaca. Coba kita lihat puisi pada halaman 7, 86, 88, 90, serta halaman 28 fontnya lebih besar dari yang lain.
Jika dicari salahnya lagi, judul buku 'Jagad Berkata-Kata' tidak konsisten dengan puisinya yang termuat di halaman 60, yang menulisnya dengan 'Jagat Berkata-kata'. Penulisan kata 'jagad' pada puisinya bertuliskan 'jagat' pakai konsonan 't'. Nah... ini juga mengganggu.
Kelemahan yang lain, jika harus dicari salahnya, adalah sang editor tidak menyertakan biodata penyair atau penulisnya. Sehingga tidak diketahui persis usia berapa mereka menulis puisi. Akan lebih lengkap, apabila disertakan pula aktivitas yang pernah dilakukan penyair tersebut. Lantas ada pula, salah yang agak ironis, ketika buku itu tak menuliskan angka tahun pembuatan/penerbitan buku. Bahkan dalam buku itu, tak ada satu pun angka 2010, yang mana buku ini telah diterbitkan. Sayang!
Tapi itu hanya kesalahan, dan kekurangan yang teramat kecil saja. Ada yang lebih besar dari hal itu, yaitu kemauan, keberanian, vitalitas, dan kreativitas yang tak terbatas, karena mau mengumpulkan dan menerbitkan buku puisi itu. Selamatlah!

Penutup
Barangkali itulah yang bisa saya tulis dalam bahasan tentang kumpulan “Jagad Berkata-kata” ini, tentu banyak lemahnya. Kajiannya, memang tanpa teori. Maaf! Sebab selama ini, saya memang kurang pas dengan berbagai teori. Bahkan, ketika lulus sekolah sastra, saya mencoba membuang semua teori tentang sastra. Sekali lagi maaf!
Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang. Masihkah kalian semua bimbang? Menulis memang kerja sambilan, tapi jika kita mau serius, barangkali cukup menjanjikan. Selamat datang!
Yang harus diyakini adalah bagaimanakah kita tetap mau menulis untuk berproses menjadi penyair itu. Belajar menulis, menulis lagi, dan menulis tanpa henti. Insya Allah, segala damba akan tergapai nanti. Seperti pedoman saya dalam penulisan (termuat di blogger dan fb saya), “berbekal yakin pasti, berpayung iman nan suci, berusaha sepenuh ikhlasnya hati, lantas berdoa tanpa henti, insya allah segala damba segala cita, bahkan cinta akan tergapai nanti.”
Sukses buat komunitas sastra STKIP PGRI Jombang! Sukses buat Cak Imam Ghozali yang telah menebarkan virus sastra ini. Terima kasih rekan-rekan semua, yang percaya pada Aming Aminoedhin, untuk bicara. Sekali lagi, optimis tinggi adalah kunci. Semoga rintisan dengan itikad baik ini akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat.
Atas semua bahasan di atas, rekan-rekan boleh bersetuju atau tidak bersetuju, tapi saya bicara dengan itikad baik agar sastra terus melaju laju di kotamu, Jombang Beriman itu. Lantas, mari kita dialog sastra! Betapa pun sederhananya. Mari!
Salam sastra!

Desaku Canggu, 13 Januari 2010 Aming Aminoedhin, sang penyair

Senin, 11 Januari 2010

PUISI-PUISI AMING AMINOEDHIN

Puisi-puisi Aming Aminoedhin
yang termuat di Jawa Pos Minggu, 10 Januari 2010.



aming aminoedhin
KUSIMPAN KANGEN INI

kusimpan kangen ini
kusimpan. ternyata aku tak bisa
tak bisa tak membuka
dan kubuka hati

membaca tanda atas status tertera
barangkali hanya kata usang
tak berubah, hingga petang
telah tiba kini

lama nian tak bersua
lantaran jarak mendinding antara
tapi dunia maya, antarkan
semua bisa bicara. ada sesuatu
begitu menggoda. lalu .........
sepi. begitu sepi, dan barangkali
hanya sejumlah doa
terucap tanpa terasa

ada sesuatu terkadang bisa lupa
ada sesuatu terkadang menghadang
termasuk jarak lokasi dan waktu
ada juga sebersit rasa ingin memburu
tapi hanya mimpi angan yang sirna
ditelan jarak dan waktu itu

kangen, bikin hidup kian gairah
meski mungkin hanya desah
ah......
kangenku kusimpan di ujung resah
pada hujan petang yang basah!

canggu, desember rain 2009

aming aminoedhin
GERIMIS TELAH HABIS

bila sesuatu kadang lupa
tak harus ada curiga
gerimis telah habis pada senja
ketika aku bersiap menangis
pada sesuatu terlupa

barangkali gerimis menipu kita
tanda setujunya berpuluh tahun lalu
hanya sekedar kata-kata
tak pernah ada. tak pernah ada
tanpa ada ujung dan juntrungnya

tapi gerimis telah habis
aku kehilangan angan menulis
senja berdiri hanya sunyi
selebihnya langit hitam
lorong jalanan, tak ada orang
lalu-lalang. begitu menakutkan

jarum jam tak bergerak
seperti aku dan kau
dibatasi waktu dan jarak

Siwalanpanji, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
MELANGKAH KE SURAU ITU

gerimis siapakah itu
membentur pada dinding waktu
senja memang telah berlalu
tinggal gerimis, dan kerdip lampu-lampu
dibalut kabut terasa syahdu

gerimis siapakah itu
mengetuk pintuku lantas berlalu

disc musik mozart mengalun
antarkan senja pada rembang petang itu
kadang menghentak kadang syahdu
membalutbangunkan angan rinduku
ada juga suara adzan terdengar
sayup-sayup di kejauhan
ajak langkahku menuju surau itu, lalu
kubunuh mozart menghentak syahdu

gerimis belum juga habis
kucari payung tak kutemu juntrung
gerimis terus saja jatuh
tak harus membuat hatiku kisruh

jika ada rinduku bertumbuh
biarkan tumbuh di surau-Mu

gerimis boleh menghadangku
tapi langkah rinduku tetap bermuara
pada-Mu, kaki melangkah ke surau itu

Desaku Canggu, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
TENTANG GURITA ITU


penghujung tahun langit warna kelabu
ada gurita bernama buku
mengganggu langkah
setiap jaga-tidur rakyatmu
tapi langkah bisa tak terarah
angin demokrasi telah berhembus
tak perlu risau atas semua itu

tahun baru perlu ada buku baru
barangkali bukan tentang gurita
tapi bisa tentang paus, raja-diraja ikan
yang berkuasa di samudra

tahun lalu biarkan berlalu
kita berbenah di tahun baru
menulis buku tanpa mengganggu
tidur-jaga rakyat yang berseteru
menulis buku demokrasi bukan democrazy
menulis buku politik bukan sekedar kritik
menulis buku tentang cinta sesama, lantas
menulis buku yang bermuara
atas kebesar-esaan-Mu

Mojokerto, 27/12/2009

Jumat, 08 Januari 2010

malsasa 2009 sukses pentas

Meriah dan Sukses!
PENTAS KESEMBILAN
MALSASA 2009 DI TBJT SURABAYA

Banyak bintang tamu ikut tampil baca puisi
• Dimeriahkan Sanggar Alang-alang – Didiet Hape

Catatan : Aming Aminoedhin


           Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya? Sebuah tanya yang barangkali kita semua baru bisa menjawabnya, setelah pentas benar-benar digelar.
           Hanya saja bahwa ketika pada tahun ini, 2009, acara Festival Seni Surabaya (FSS) dan Festival Cak Durasim (FCD) tidakdiselenggarakan, praktis acara sastra yang berlevel Jawa Timur berkurang. Karena kedua festival tersebut, biasa mengusung kegiatan sastra pada kedua aktivitasnya. Setidaknya kegiatan sastra yang melibatkan banyak penyair atau cerpenis sastra Jawa Timur beraktivitas (menonton acaranya atau ikut terlibat jadi panitianya), serta ikut tampil dan baca sastra, tidak ada lagi.
               Sejalan dengan persoalan inilah, maka saya bersama komunitas FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), mencoba kembali menggelarpentaskan “Malsasa 2009” atau malam sastra Surabaya, betapa pun pahitnya. Karena kegiatan sastra yang didanai sendiri, hampir semua orang tahu pasti, adalah sebuah kegiatan yang merupakan projek merugi. Kegiatan ini pun, masih seperti tahun-tahun sebelumnya, membuat buku dan pentas sastranya, didanai secara patungan (urunan dana) oleh para penyair dan pengguritnya. Adanya Malsasa 2009 ini, sekaligus untuk menjawab atas tidak adanya kedua festival yang sudah cukup dikenal masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Setidaknya ada sedikit angin segar yang akan mewarnai peta sastra Surabaya dan Jawa Timur.

Malsasa 2009 digelar pada penghujung tahun 2009, tepatnya 29 Desember 2009, bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Diawali dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Surabaya, Sabrot D. Malioboro. Lantas penyair, Aming Aminoedhin, sang penggagas Malsasa, sedikit memberikan cerita tentang sejarah awal kegiatan Malsasa yang digelar sejak tahun 1989 hingga tahun ini. Dilanjutkan kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Karsono M.Pd., memberikan sambutan, dan sekaligus membaca salah satu puisi karya penyair yang ada dalam kumpulan guritan dan puisi Malsasa 2009.

Malsasa 2009 juga dimeriahkan oleh komunitas anak-anak “Sanggar Alang-Alang” pimpinan Didiet Hape, yang menyuguhkan komposisi angklung versi Jawa Timuran. Kata Didiet Hape, bahwa komposisi ini memang digarap dengan media angklung yang ada di Jawa Timur, yaitu angklung Banyuwangi, Ponorogo, dan Tengger-Bromo, Probolinggo. Ketiganya diramu dan kemudian ditampilkan apik di hadapan penonton Malsasa, malam itu. Lengkap pula dengan dua anak-gadis menari yang melanggak-lenggok dengan gemulainya. Sungguh sebuah seni pertunjukan yang menawan.
Malsasa 2009 benar-benar sebuah pentas sastra yang cukup menarik dan enak dinikmati. Tak urung, Arek Teve Surabaya dan Radio Suara Surabaya, juga meliput atas gelaran Malsasa tahun ini.
Setelah Drs. Karsono, membuka dengan baca puisi; dilanjutkan dengan beberapa penyair dan penggurit tampil membacakan puisi dan guritannya. Ada Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, AF Tuasikal, W. Haryanto, Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Akhudiat, Herry Lamongan, Bambang Kempling, Pringgo HR, dan Budi Palopo.

 


  Sayang beberapa nama yang seharusnya ikut tampil harus absen, mereka itu: Anas Yusuf dan Beni Setia (Madiun), Samsudin Adlawi (Banyuwangi), R. Giryadi dan Rusdi Zaki (Sidoarjo), Fahmi Faqih, Ribut Wijoto dan Tan Tjin Siong (Surabaya), Bagus Putu Parto dan Puput Amiranti (Blitar), serta JFX Hoery (Bojonegoro). Namun demikian, ketidakhadiran mereka, tidak mengurangi semaraknya pentas Malsasa 2009 malam itu, karena ada beberapa bintang tamu yang banyak tampil malam itu: Pribadi Agus Santosa (mantan Kepala TBJT), Yudho Herbeno (penyair kawakan Surabaya), Alfiana Latief (guru dari SMAN 3 Ciamis-Jabar), Arieyoko dan Gampang (Bojonegoro), Aan Tjandra Anie Asmara dan Yanto (Surabaya).

Gaya baca puisinya pun berbeda-beda, Aming yang menghipnotis audiensnya. Sabrot baca datar tapi cukup menarik. Akhudiat, sebelum baca puisi malah berorasi. Kata Diat, ketika zaman sudah tanpa batas, campur bawur informasi yang tiada henti, Aming tetap mengajak baca puisi. Bahkan mungkin, kata Diat, ketika datang seperti zaman seperti Nabi Nuh, semua pulau tenggelam, maka Aming tetap baca puisi. Lantas dengan santainya, Diat membaca dua judul puisinya.
 
             Lain Aming, Diat, dan Sabrot, Widodo Basuki sang penggurit, sebelum baca gurit melantunkan sepenggal tembang Jawa yang berupa doa. AF tampil bacakan puisinya Fahmi Faqih, selain baca dua puisinya sendiri. Sedang penggurit yang lain, Bonari Nabonenar, tidak baca gurit, tetapi malah mengajak rembugan setelah acara pentas Malsasa. Tapi, apa lacur, dia malah menghilang duluan, sedang yang lain masih rembugan.
Tiga penyair asal Lamongan, Bambang Kempling, Herry Lamongan, dan Pringgo HR tampil biasa saja. Kecuali Pringgo agak tampak memberi muatan seni dalam pembacaan puisinya. Kota Blitar, diwakili W. Haryanto baca dua puisinya, dan kota Malang, tampil Tengsoe Tjahjono yang juga dosen Unesa, tampil menarik di depan audiens yang lesehan memenuhi di pendapa Taman Budaya Jawa Timur itu.
Seperti juga Diat, Budi Palopo, tampil baca puisi dengan mengawali orasi dulu. Bicara soal keris dan semacamnya. Tapi Budi tampil apik dan menarik.
Sungguh pentas Malsasa 2009 ini cukup memuaskan para audiens yang hadir malam itu.


Mengenang Malsasa

                     Ketika kita mau mengenang Malsasa-Malsasa sebelumnya, maka kita akan mencatat nama-nama pengarang seperti: Hardjono WS, Akhudiat, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Robin Al-Kautsar, Mh. Zaelani Tammaka, W. Haryanto, S. Yoga, Sirikit Syah, Adi Setijowati, Ida Nurul Chasanah, Debora Indrisoewari, Puput Amiranti, Suhandayana, Zoya Herawati. L. Machali, HU Mardiluhung, Tan Tjin Siong, Tubagus Hidayathullah, Surasono Rashar, Poedwianto Arisanto, Sigit Hardadi, Saiful Hadjar, Saiful Bakri, Arief B. Prasetyo, M. Shoim Anwar, Leres Budi Santosa, Mashuri, Jil Kalaran, Roesdi-Zaki, Redi Panuju,adalah nama-nama yang pernah ikut tampil di Malsasa.
                     Pada awalnya Malsasa hanya melibatkan penyair saja, lantas pada perkembangannya Malsasa juga melibatkan penggurit, bahkan juga cerpenis dalam buku Malsasa tersebut.
Sedangkan pada gelaran pentas Malsasa 2009, melibatkan 26 penulis sastra (pernyair dan penggurit) yang akan tampil akhir tahun 2009, di Taman Budaya Jatim. Nama-nama yang akan tampil adalah: AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling, Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayoko SPB, Herry Lamongan, J.F.X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R. Giryadi, Sabrot D. Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W. Haryanto, dan Widodo Basuki.
            
             Harapan pentas Malsasa ini adalah menjawab atas kurang adanya aktivitas sastra berlevel Jawa Timur pada tahun ini, dan sekaligus menumbuhkembangkan kembali pentas sastra di depan masyarakatnya. Karena sastra, tanpa sosialisasi secara pentas sastra semacam ini, kurang ada gaungnya. Meski saya sadar, bahwa tidak selamanya karena sosialisasi pentas sastra, mesti berhasil. Mesti bergaung! Tidak! Tidak selamanya!
              Kegiatan ini juga diharapkan memicu kreativitas dan aktivitas penyair-penyair muda lainnya untuk juga tampil, dan sekaligus membuat kegiatan semacam Malsasa di waktu lainnya. Artinya, bahwa penyair muda Jawa Timur, haruslah juga mempunyai greget bersastra melebihi penyiar-penyair terdahulu. Semoga!
Kembali ke awal tulisan, yang mempertanyakan kebesaran pentas Malsasa 2009. Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya?
Jawabnya, memang selama Malsasa digelar dari waktu ke waktu, Malsasa ke-9 ini memang yang paling meriah. Selain banyak bintang tamu hadir dan tampil, juga ada tampilan "Sanggar Alang-Alang" yang tampil menawan. Sanggar Alang-alang pimpinan Didiet Hape, menyumbangkan seni pertunjukan angklung Jawa Timuran yang tampil apik dan menarik, bahkan menyemarakkan malam sastra kian mempesona. Lepas tampilan malam itu, komunitas ini, langsung ke Denpasar – Bali, untuk tampil pada malam tahun baruan di pulau Dewata.
Apakah Malsasa kesepuluh nanti masih bisa digelar kembali? Apakah angka sepuluh seampuh angkanya? Wallahu alam bissawab!
Tinggal apakah kita semua bisa tetap bersinergi untuk urunan kembali menggelar Malsasa tahun 2010 dengan suka cita. Mari! Mari bersinergi!

** Desaku Canggu, Penghujung Desember nan Basah 2009