Rabu, 02 Agustus 2017

NASKAH LOMBA BACA PUISI KODAM V BRAWIJAYA



NASKAH LOMBA PUISI BAGI SISWA SMA/SMK/MA
KODAM V BRAWIJAYA SURABAYA 2017

Catatan:
Setiap peserta membaca salah satu puisi dari puisi-puisi yang tersedia berikut ini. Salam sastra

Pilihan Naskah 1  - SMA/SMK/MA:
TANAH AIR MATA
Karya : Sutardji Calzoum Bachri

Tanah air mata tanah tumpah dukaku
mata air airm ata kami
air mata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara

tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak ke mana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu

namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak air mata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar

kalian arungi air mata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata kami

(1991)


Pilihan Naskah 2  -  SMA/SMK/MA:



KEPADA  KAWAN
Karya: Chairil Anwar

Sebelum ajal mendekat dan mengkhianat
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa

belum bertugas kecewa dan gentar belum ada
tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam
layar merah berkibar hilang dalam kelam
kawan, mari kita putuskan kini di sini:
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan tambatkan pada siang dan malam

Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat.
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak memberi pamit pada siapa saja!

Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi
Sekali lagi kawan, sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!


30 November 1946



Pilihan Naskah 3  -  SMA/SMK/MA:
JADI PAHLAWAN NEGERI INI
Karya: Aming Aminoedhin

Indonesia negeriku
Negeri indah dari Sabang hingga Merauke
Negeri gemah ripah loh jinawi
Tata tentrem karta raharja
Negeri pesona zamrud khatulistiwa
Presiden boleh diganti, tapi Pancasila
Sebagai dasar negara tetap abadi  tetap di hati

Indonesia negeriku
Ladang-ladang minyak begitu banyak
Ladang-ladang tambang begitu bergelimang
Tambang emas, perak, kuningan, dan batu bara
Menyejuta jumlahnya. Begitu kaya raya negeriku!
         Tapi mengapa banyak orang lupa diri
         Menumpuk harta, berebut tahta, dan wanita

Inilah negeri pesona zamrud khatulistiwa
Ketika gempa melanda,  ketika tsunami
Meluluhlantakkan negeri ini
Negeri ini tetap sakti tegak berdiri
Tapi mengapa banyak orang lupa diri
Menimbun harta hasil korupsi

Beribu, mungkin berjuta pahlawan
boleh tumbang. Tapi Indonesia tetap tegak
Berdiri. Kokoh tak tertandingi
Jayalah Indonesiaku! Jayalah Negeriku!
Kini zaman telah berganti
Kau-aku, dan semua harus jadi pejuang
Berjuang melawan orang-orang serakah
Berjuang melawan koruptur kian mewabah

Kini kau-aku, dan semua rakyat, haruslah
Singsingkan lengan baju, kerja keras
Mengolah sendiri ladang-ladang minyak
Menambang sendiri tambang bergelimang banyak
Jangan serahkan ke negara asing, malah bikin pusing
Jangan pula serakah, kau kangkangi sendiri hasil berlimpah
Semua milik negeri ini, bagikan kepada rakyat
agar mereka tak melarat dan kesrakat
hidup bisa terangkat bermartabat

Jadi pahlawan negeri ini                                               
mengolah sendiri membangun negeri
Indonesia nan indah ini. Meski kini
negeri kian tampak compang-camping
benahi dengan hati bersih nan bening
Jadilah pahlawan negeri ini! Jadilah!
                                               
                             Mojokerto, 17/10/2011



Pilihan Naskah 4  -  SMA/SMK/MA:

SENJA DI PELABUHAN KECIL
Karya: Chairil Anwar

                   * buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946



Pilihan Naskah 5  -  SMA/SMK/MA:
DOA SEORANG SERDADU SEBELUM PERANG
Karya: WS Rendra

                  
Tuhanku,
Wajah-Mu membayang di kota terbakar
dan firman-Mu tergores di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan Bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya 
Bukannya benih yang disebar di subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti
sempurnalah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari
– biarpun bersama penyesalan –

Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah?
Sementara kulihat kedua lengan-Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati-Mu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Mimbar Indonesia, Th XIV, No. 25 18 Juni 1960





Pilihan Naskah 6  -  SMA/SMK/MA:
MEMBACA TANDA-TANDA
Karya: Taufiq Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan dan meluncur lewat sela-sela jari kita
ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita sasksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak asam arang
dan karbon dioksid itu menggilas patu-paru
Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air
Mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda

Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
Akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
Tapi kini kami mulai meruindukannya.

***



Selasa, 11 Juli 2017

SKETSA-SKETSA LEO KRISTI



SKETSA-SKETSA CERITA LK
Oleh: Aming Aminoedhin

            Banyak cerita-cerita tentang Leo Kristi yang menarik bagi saya, selain dia orang yang suka senyum setiap waktu, setiap bertemu; ia suka  mau cerita jika kita mau bertanya. Saya bertemu, Leo Kristi, pertama kali sejak masih Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menempati gedung lawasnya. Depan gedung lawas itu, masih ada pohon keresnya, dan berandanya tak begitu luas itu, biasa untuk latihan apa saja: baca puisi, nyanyi, atau sekedar untuk kongkow-kongkow seniman apa saja. Leo Kristi (LK) dan kelompoknya, waktu itu, pernah juga berlatih di tempat ini. Selepas Isya, mereka berlatih melantunkan lagu-lagunya nan indah itu, jika tak salah waktu itu vokalis perempuannya, Cicilia, yang selalu pakai celena pendek warna putih. Aku lupa tahun berapa waktu itu. Tapi masih terngiang lagu-lagu Leo Kristi itu indah dilantunkan riang. Heroik tapi juga romantik.
            Selain Leo Kristi, di DKS, saya juga sering ketemu Naniel, personilnya Konser Rakyat Leo Kristi. Suatu waktu, kuputar lagu-lagu Leo dari ponsel-ku, sambil berbincang soal LK.  Naniel pernah cerita bahwa  gambaran sosok guru tua pada lagu Di Deretan Rel-Rel itu, adalah tokoh Pak Guru Tua yang jualan kopi di stasiun Lawang, dekat Malang. Selengkapnya syair lagunya seperti ini:

DI DERETAN REL-REL

 

Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk di bangku peron
Tiada seorang pun menemani
Majalah dan koran pagi, tak banyak menolongku
Dan hati mulai bernyanyi

Olalai olai oleiei…oleilei oleieioleiei…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Becek hujan turun semalaman
Menambah dinginnya pagi
Dengan seratus rupiah di kantong
Dapatkan rokok keretek , kopi panas dan goreng pisang
Di kedai pak guru tua

Olalai..olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Saat pulang kini telah tiba
Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi-bayi menangis

Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu

Lalalallalalala..lalalalalallalalla……

Lihat kereta apiku mengeluh
Lihat kereta tua mengeluh!
                        *                      *                      *

            Suatu ketika Leo Kristi pernah juga diundang untuk ikut memeriahkan Festival Seni Surabaya (tahunnya lupa). Dalam tampilan itu, ia minta memasang lukisan-lukisannya dengan ukuran besar-besar di pajang di dinding-dinding Balai Pemuda. Minta pula dalam arena panggung pentasnya nanti diletakkkan beberapa balok es besar-besar yang tak beraturan (alias malang-melintang) untuk mendukung tampilannya.
            Panitia FSS, ketika itu juga menyanggupi atas semua permintaan Leo Kristi yang agak aneh ini. Dan saat waktunya tiba ia harus tampil, ternyata dia hanya ke luar sebentar mencangklong gitar, seraya berucap selamat malam. Lantas turun panggung, dan menghilang entah ke mana?
            Beberapa penonton, penggemar dan fans-nya Leo Kristi, banyak yang berteriak-teriak; tapi pertunjukan ternyata telah usai. Itulah gaya tampilan seni pertunjukan Leo Kristi!
Tak perlu risau tak perlu galau! Biasa saja!
            Jika tak aneh, maka bukanlah Leo Kristi!

  *                    *                      *

            Pernah juga suatu ketika, ketika saya dolan ke DKS, saat ada pameran lukisan entah punya siapa (lupa juga tahunnya), saya bertemu Asri Nugroho (pelukis) yang berada di acara pameran itu. Lantas tiba-tiba ia, mengajak saya ke rumah Leo Kristi yang berada di Karang Empat, Surabaya. Katanya, “Ayo ke rumah Leo, dia sekarang lagi doyan melukis. Ayo kita lihat lukisannya!” ajaknya.
            Dengan menumpang mobil Asri Nugroho, saya meluncur ke rumah Leo Kristi di Karang Empat itu. Tiba di rumahnya, benar, dia sedang melukis. Rumahnya yang agak aneh, karena di dinding-dinding tersandar ada perahu, jaring, dan dayung-dayung di pohon randu yang ada di dalam rumah. Terpajang juga beberapa lukisan abstraknya yang berukuran besar-besar itu. Sungguh saya senang bisa ikut berkunjung ke rumahnya itu. Aneh dan sekaligus cerminan rumah seniman.




            Tapi ada yang menarik dalam kunjungan itu, ketika kami sama-sama melihat tayangan Ebiet G Ade, di televisi, dia bertanya pada saya, “Pira jumlahe rek, albume Ebiet?”
            Saya jawab dengan sekenanya, “Wah....ya wis huakeh, Rek!”
            “Iya....rek, awake dhewe, kalah akeh!” kata Leo Kristi.
            Dalam dialog itu, tampak bahwa Leo Kristi merasakan bahwa ia kurang produktif dalam karya album yang dibuatnya. Padahal seingat saya, kemunculan Leo Kristi, memang lebih dulu katimbang Ebiet G Ade. Tapi menurut saya pribadi, nasib memang tak selamanya tertib. Dan pilihan, serta kesunggguhan berkarya dalam berkesenian memang tidak harus sama. Leo Kristi, telah memilih jalur konser rakyat! Dan itu pilihan berat, tepat sekaligus bermatabat! Selamat, dan salut, Cak!

                        *                      *                      *
            Sosok yang suka pakai celana pendek, bertopi, bersepatu putih adalah gambaran Leo Kristi yang nyentrik ini. Dia suka pula mengikat rambutnya dengan ada bulu (lar) ayam atau burung (tak jelas) di sela rambutnya itu. Selalu senyuman ramah yang tersungging di bibirnya, jika bertemu siapa saja. Namun kenyentrikannya, tidak lepas dari persoalan sosial semacam mau takziah ketika seorang teman seniman meninggal dunia.


            Waktu itu, aku bersama dia ikut takziah pemakaman Mas Yunani Prawiranegara, yang dikuburkan di Surabaya utara. Selepas pemakaman, aku berjalan pulang bersamanya, melalui jalan setapak saja. Karena panas mentari menyengat kami berdua, berhentilah di bawah pohon kamboja dekat jalan setapak itu. Dari arah utara menuju ke selatan itu hanya jalan setapak, dan waktu itu akan lewat Prof. Dr. Tjuk Sukiadi yang sama-sama takziah.
            Lantas secara guyonan aku bicara sama dia, “Sik-sik.... nanti Pak Tjuk Sukiadi lewat jalan ini, apakah beliau akan menyapa Anda atau tidak? Jika tidak, maka kau memang tidak terkenal di kota Surabaya.”
            Leo menjawab,”Oke! Kita lihat saja nanti!” tandasnya.
            Ternyata ketika Pak Tjuk lewat, tidak menyapa, bahkan menoleh pun tidak!
            Setelah Pak Tjuk Sukiadi berlalu agak jauh, lantas kami berdua ngakak bersama-sama, dan berucap bareng-bareng, “Ternyata kita tidak terkenal di Surabaya!”
            “Hidup memang ternyata sungguh tidak dinyana. Kita bisa terkenal di blantika musik atau sastra, tapi tidak ada apa-apanya, ketika di blantika pemakaman semacam ini,” kataku sambil kami beriringan menuju parkiran.
            Leo Kristi hanya mengiyakan kata-kata saya tadi, sambil tertawa.
            Siang itu panas begitu menyengat, Leo Kristi pulang dengan motor Ninja warna hijaunya, dan aku numpak Honda lawas yang kupunya. Selamat jalan, Mas Yunani! Selamat jalan juga buat Leo Kristi!***(aming aminoedhin).