Selasa, 26 Januari 2010

BEDAH BUKU JAGAD BERKATA-KATA

Selamat Datang
DI DUNIA ANGAN DAN BAYANG-BAYANG
Masihkah kita Bimbang?


oleh: aming aminoedhin

catatan: Makalah bedah buku ini disampaikan di STKIP PGRI Jombang, 15 Januari 2010. Pertama di tahun 2010 ini, aming aminoedhin, memulai ceramah sastra.


Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang! Masihkah bimbang?
Barangkali kalimat itu yang akan saya kedepankan lebih dahulu. Karena menulis puisi, identik dengan memasuki wilayah dunia angan dan bayang-bayang. Angan dan bayang-bayang yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk tulisan bernama, puisi. Ini berarti, rekan-rekan mahasiswa STKIP PGRI Jombang telah melangkah ke dalam dunia angan dan bayang-bayang.
Membaca antologi puisi “Jagad Berkata-kata” karya para mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2006, STKIP PGRI Jombang, yang diserahkan via email, saya jadi suka membacanya. Lantas dikirim pula, bukunya (meski terlambat), sudah berbentuk yang apik dan menarik. Buku kumpulan itu mengingatkan saya tentang beberapa komunitas sastra yang membuat kumpulan puisi semacam. Ada komunitas Kostela – Lamongan, diprakarsai Herry Lamongan, ada komunitas Dewan Sastra Jatim, dimotori W. Haryanto, komunitas sastra Luar Pagar Unair - Surabaya, yang di dalamnya ada Ribut Wijoto, FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) yang berkali buat kumpulan Malsasa, komunitas sastra Forasamo-Mojoketo, bersama Saiful Bakri dan Suyitno Ethexs-nya, serta komunitas lingkar sastra Tanah Kapur – Ngawi dimotori Tjahjono Widarmanto, dan Komunitas Teater Persada Ngawi, pimpinan Mh. Iskan.
Mereka semua hanya sebagian kecil dari komunitas sastra yang tetap eksis di peta sastra Jawa Timur, agar terus bergerak menumbuhkembangkan sastra kian marak kian beranak-pinak. Artinya, komunitas ini telah mencoba menjembatani dan mewadahi karya sastra melalui pener-bitan kumpulan puisi, betapa pun sederhananya.
Barangkali apresiasi yang tinggi saya acungkan buat Imam Ghozali dan kawan-kawan di STKIP PGRI Jombang yang telah memotori acara semacam ini. Saya yakin itikad yang baik ini akan membuahkan komunitas sastra Jombang kian membaik. Meski, sebenarnya telah baik, tapi gaung eksposenya yang kurang baik.
Bicara soal antologinya “Jagad Berkata-kata” saya bukanlah kritikus sastra yang baik. Tapi karena harus diberi mandat memberi komentar dan saran, maka yang harus saya katakan awal, adalah ‘bagus’ semua. Seperti guru lukis Tino Sidin, yang selalu mengatakan ‘bagus’ untuk semua pengirim lukisan kepadanya.
Mengapa bagus? Karena mereka telah berani membuat puisi, dan menerbitkan dalam sebuah antologi puisi. Keberanian menulis inilah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh seorang pengarang atau penyair. Artinya, tidak ada penyair yang tiba-tiba menjadi penyair. Mereka pasti melalui proses panjang menulis, menulis, dan menulis lagi.

Puisi Baik itu Jujur Bicara
Apabila mau bicara secara keseluruhan puisi yang ada dalam antologi, maka kebanyak-an mereka para penyairnya masih menulis dengan berpanjang-panjang kata. Padahal, puisi yang baik, menurut saya, masih tetap yang ‘sedikit kata tapi banyak makna.’ Sedangkan rekan-rekan kita masih banyak yang menggunakan kata sambung dan imbuhan yang berlebihan. Padahal sebenarnya, menulis puisi bagi saya, mengusahakan (jika mungkin) menulis tanpa kata imbuhan dan tanpa kata sambung. Sehingga tulisan puisinya benar-benar menganut sedikit kata, tapi kaya makna tersebut.
Coba kita simak puisi berjudul ‘Titik’ berikut ini:

Muhammad Lucky Ali Murfiqi
TITIK

Titik tak akan pernah kau temui dalam kehidupanku
dan titik pun tak ada dalam matiku
titik hanyalah suatu koma yang panjang yang tak berujung
dan berakhir di balasan benih yang kau tanam di dunia yang hilang

Energi sungai yang meliuk
hilangnya bulu sayap yang terpuruk
mengikuti arus hidup yang kikuk
hingga menyadari insani yang terburuk

arus hidup yang tak menentu
tak ada seorang pun yang dapat tahu
ke mana perjalanan hidup mereka
tak ada yang mampu merubah semuanya

(Jagad Berkata-kata, halaman 74)

Puisi di atas, apabila kata sambung ‘yang’-nya dihilangkan semua, pasti puisi itu masih bisa berdiri dan enak dibaca. Bahkan artinya yang dikandungnya, tak berubah makna.
Kelemahan yang lain, jika boleh saya sebutkan, bahwa seorang penyair itu adalah orang lebih tahu tentang bahasa. Maka tidaklah harus salah dalam penulisannya. Baca larik akhir puisi ‘Titik’ di atas, kata ‘merubah’ sebenarnya ‘mengubah’. Lantas ada sederet panjang lagi kesalahan tulis dari kawan-kawan kita ini. Tak perlu disebutkan di sini. Malah nanti gak mau menulis puisi. Tapi itu semua memang proses untuk menjadi “penyair,” maka harus tahu kesalahannya yang ternyata tidak mahir.
Jika harus disebutkan mana puisi yang mendekati baik, dan punya prospek ke depan jadi penyair beneran, maka saya hanya menyebut beberapa judul puisi yang telah saya coba baca sehari ini, tanpa mengulang kembali. Maaf! Bukan berarti yang lain, lantas tidak punya prospek, tapi lebih ke arah mereka perlu berproses lebih panjang lagi. Artinya, harus terus menulis lagi, bukan lantas berhenti.
Mereka itu itu: Yang Terakhir oleh Nur Khoitoni, Aku Islam Abangan oleh Eli Sobikah, Kontroversi – Arie Oktaviyanti, Jalang- Ishom Junaidi, Masihkah Pantas – Muzayin, Kemeja Warna Emas – Maratus Shiolikhah, Sandi Leluhur – Khusnul Khotimah, Tragedi Hidup – Syamsah Ayuningrum, Jagat Berkata-kata, Supa’at, Pena- Nuril Baidlowi, Keranda – Andri Eko Yuwono, Ruang Cinta - Sudirman, Omong=O – Faisol Hidayatullah AF, Awal Belum Berakhir – Miftahul Huda Firmansyah, Timang-timang Badan - Niken Fajarwati, Sepotong Rasa - Zulmi Faktullah, Satu – Eli Nurmelia, Hallah Tanpa Kata – Tedi Subohastowo, dan Coro – Zainul Arifin, Puisi Hujan dan Kamu – Nugrahwati, Kuawali Dengan Airmata – Fitri Zahnya F.
Mengapa juga mereka mendekati baik? Lantaran tulisan puisinya tampak bicara dengan kejujuran hatinya. Penyair, harus jujur! Maka dalam tulisannya, harus bermuatan tulisan yang jujur pula. Lantas apa lagi? Mereka menulis dengan kesederhanaan dalam penulisan, dan bahkan ide yang diungkapkan. Sederhana tapi ada sesuatu yang ditawarkan kepada pembacanya. Tidak percaya? Coba simak puisi ini:

Fitri Zahnya F
KUAWALI DENGAN AIRMATA

Hari ini ku awali langkah jam
Dengan air mata semalam
Sujud yang bening
Subuh yang hening

Tumpah segala penyelesaian
Karena kemarin
Aku membawa jam – Mu
Ke negeri jauh
Tak bertanda

Karenanya, jika hari ini
Kuawali langkah jam
Dengan air mata dan nama Mu
Perkenankan sisa jejak-jejakku
Dengan satu ucap sakti Mu
Kun !

Tapi kenapa peristiwa sehari hari
Tiada henti menggodaku?

(Jagad Berkata-kata, halaman 87)

Tidakkah sederhana? Kata kunci “Kun” atau “Jadilah” adalah hal yang ditawarkan Fitri, bahwa ternyata peristiwa sehari-hari di dunia tetap menggoda. Kemerduan bunyi baris puisinya juga indah dan merdu. Baca bait pertamanya, indah bukan?
Pada puisi lainnya, seorang Eli Sobikah, menulis dengan kejujurannya “Aku Islam Abangan” yang membuat pembacanya akan terdedah rasa hati, dan terjaga kesadarannya. Setidaknya, banyak manusia kita, masih seperti yang dikatakan Eli. Sangat sederhana, tapi memuat banyak makna bagi pembacanya. Kita simak puisinya:

Eli Sobikah
AKU ISLAM ABANGAN

Aku Islam tapi masih abangan
Aku percaya Allah adalah Tuhan
Tapi mengapa aku memberi sesajen
Pada pohon tua yang penuh syaitan
Aku Islam tapi masih abangan
Aku tahu Muhammad sebagai anutan
Tapi mengapa aku patuh pada dukun
Pada saat menjalani semua kehidupan
(Jagad Berkata-kata, halaman 42)


Puisi jujur yang lain, ditulis Gressi Tania Ayu, yang bicara wajar dan apa adanya. Jujur itulah mutiara. Kita baca puisinya:

Gressi Tania Ayu Dewi Rantau S.
TERI

Akulah teri
Seorang yang tak ada apa-apanya
Hanya seorang yang kecil
Tak berpengetahuan
Hanya bermodalkan keberanian
Menampakkan diri dengan tulisan
Yang tak beraturan
Kacau, tak berirama
Dengan ungkapan yang polos
Itulah aku
Yang tak pantas bersanding dengan pujangga sastra
Sekalipun dalam mimpi
(Jagad Berkata-kata, halaman 5)


Puisi Mbeling

Membaca puisinya Faisol Hidayatulloh AF berjudul Omong = 0 saya jadi teringat puisi mbelingnya Remy Sylado. Sederhana, tapi membuat pembacanya terjaga. Terjaga dalam arti membenarkan puisi mbeling itu.
Saya adalah orang yang berangkat dari puisi mbeling itu. Puisi pertama saya yang termuat juga puisi kategori ‘mbeling’. Saat itu, termuat di Majalah ‘Top’ Jakarta tahun 1975. Puisi saya berjudul ‘Bendera’. Sedangkan larik dan barisnya sangat sederhana. Secara lengkap saya kutipkan naskah itu.

aming aminoedhin
BENDERA

Merah
Putih
Biru
Hilang paling bawah
Indonesiaku

1975.

Puisi Faisol di bawah ini juga termasuk kategori puisi mbeling. Mbeling ide kreatifnya, tapi juga memuat pesan yang benar di kandungnya. Menurut Faisol, bahwa ketika kita banyak ngomong, hasilnya adalah nol. Atau ketika seseorang hanya omong-omong, dan omong saja, maka yang dikatakan adalah tanda kosong. Ini terbukti, bahwa banyak rekan kita yang ‘ngomong doang’ tapi tak pernah bekerja. Kerjanya yang ‘omong’ itu. Kita simak puisinya:


Omong = 0

(Wah gak mau tampil puisimu, Sol! Maaf, agak gaptek!)

(Jagad Berkata-kata, halaman 14)

Puisi mbeling yang lain, menurut saya adalah tulisan Diana. Bahkan judul puisinya pun dengan angka, bukan kata. Tapi ada yang dipesankan kepada kita pembacanya, bahwa kita manusia, yang berawal dari 1 dan 2. Satu mewakili ayah, dan dua mewakili Ibu. Benarkah? Tanyakan pada penulisnya?


Diana
1.2

Bila kita menjadi
Tentu tak ada dua
Bila kita menjadi
Tentu masing-masing tak mendua
Bila kita menjadi
Tentu takkan ada angka setelah itu…!!
Satu titik dua
Manusia selalu ada
(Jagad Berkata-kata, halaman 24)


Kategori puisi mbeling yang lain, ditulis Miftaqul HF, sederhana tapi mengandung makna. Kita simak saja:



Miftaqul Huda Firmansyah
AWAL BELUM BERAKHIR

kata berawal dari
A
B
C
Angka berawal dari
1
2
3
Musik berawal dari
Do
Re
Mi
Kisahku berawal dari
Panggung
dan
Sepi-ku

(Jagad Berkata-kata, halaman 11)


Lantas ada juga termasuk mbeling berjudul 'Sepuluh' pada halaman 100 yang ditulis oleh Ainul Yaqin. Hanya saja main-main angkanya itu tak tertebak oleh sang pembaca. Minimal saya, sulit menangkap pesan yang dikandungnya.

Format Buku dan Tata Letak
Seperti saya katakan di muka, bukunya apik dan menarik. Hanya saja format ukuran akan lebih cantik jika diperkecil, 20 X 13 sentimeter. Tata letaknya, sudah baik, hanya konsistensi spasi tiap puisi tidak sama, begitu juga font hurufnya, sehingga agak mengganggu pembaca. Coba kita lihat puisi pada halaman 7, 86, 88, 90, serta halaman 28 fontnya lebih besar dari yang lain.
Jika dicari salahnya lagi, judul buku 'Jagad Berkata-Kata' tidak konsisten dengan puisinya yang termuat di halaman 60, yang menulisnya dengan 'Jagat Berkata-kata'. Penulisan kata 'jagad' pada puisinya bertuliskan 'jagat' pakai konsonan 't'. Nah... ini juga mengganggu.
Kelemahan yang lain, jika harus dicari salahnya, adalah sang editor tidak menyertakan biodata penyair atau penulisnya. Sehingga tidak diketahui persis usia berapa mereka menulis puisi. Akan lebih lengkap, apabila disertakan pula aktivitas yang pernah dilakukan penyair tersebut. Lantas ada pula, salah yang agak ironis, ketika buku itu tak menuliskan angka tahun pembuatan/penerbitan buku. Bahkan dalam buku itu, tak ada satu pun angka 2010, yang mana buku ini telah diterbitkan. Sayang!
Tapi itu hanya kesalahan, dan kekurangan yang teramat kecil saja. Ada yang lebih besar dari hal itu, yaitu kemauan, keberanian, vitalitas, dan kreativitas yang tak terbatas, karena mau mengumpulkan dan menerbitkan buku puisi itu. Selamatlah!

Penutup
Barangkali itulah yang bisa saya tulis dalam bahasan tentang kumpulan “Jagad Berkata-kata” ini, tentu banyak lemahnya. Kajiannya, memang tanpa teori. Maaf! Sebab selama ini, saya memang kurang pas dengan berbagai teori. Bahkan, ketika lulus sekolah sastra, saya mencoba membuang semua teori tentang sastra. Sekali lagi maaf!
Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang. Masihkah kalian semua bimbang? Menulis memang kerja sambilan, tapi jika kita mau serius, barangkali cukup menjanjikan. Selamat datang!
Yang harus diyakini adalah bagaimanakah kita tetap mau menulis untuk berproses menjadi penyair itu. Belajar menulis, menulis lagi, dan menulis tanpa henti. Insya Allah, segala damba akan tergapai nanti. Seperti pedoman saya dalam penulisan (termuat di blogger dan fb saya), “berbekal yakin pasti, berpayung iman nan suci, berusaha sepenuh ikhlasnya hati, lantas berdoa tanpa henti, insya allah segala damba segala cita, bahkan cinta akan tergapai nanti.”
Sukses buat komunitas sastra STKIP PGRI Jombang! Sukses buat Cak Imam Ghozali yang telah menebarkan virus sastra ini. Terima kasih rekan-rekan semua, yang percaya pada Aming Aminoedhin, untuk bicara. Sekali lagi, optimis tinggi adalah kunci. Semoga rintisan dengan itikad baik ini akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat.
Atas semua bahasan di atas, rekan-rekan boleh bersetuju atau tidak bersetuju, tapi saya bicara dengan itikad baik agar sastra terus melaju laju di kotamu, Jombang Beriman itu. Lantas, mari kita dialog sastra! Betapa pun sederhananya. Mari!
Salam sastra!

Desaku Canggu, 13 Januari 2010 Aming Aminoedhin, sang penyair

Senin, 11 Januari 2010

PUISI-PUISI AMING AMINOEDHIN

Puisi-puisi Aming Aminoedhin
yang termuat di Jawa Pos Minggu, 10 Januari 2010.



aming aminoedhin
KUSIMPAN KANGEN INI

kusimpan kangen ini
kusimpan. ternyata aku tak bisa
tak bisa tak membuka
dan kubuka hati

membaca tanda atas status tertera
barangkali hanya kata usang
tak berubah, hingga petang
telah tiba kini

lama nian tak bersua
lantaran jarak mendinding antara
tapi dunia maya, antarkan
semua bisa bicara. ada sesuatu
begitu menggoda. lalu .........
sepi. begitu sepi, dan barangkali
hanya sejumlah doa
terucap tanpa terasa

ada sesuatu terkadang bisa lupa
ada sesuatu terkadang menghadang
termasuk jarak lokasi dan waktu
ada juga sebersit rasa ingin memburu
tapi hanya mimpi angan yang sirna
ditelan jarak dan waktu itu

kangen, bikin hidup kian gairah
meski mungkin hanya desah
ah......
kangenku kusimpan di ujung resah
pada hujan petang yang basah!

canggu, desember rain 2009

aming aminoedhin
GERIMIS TELAH HABIS

bila sesuatu kadang lupa
tak harus ada curiga
gerimis telah habis pada senja
ketika aku bersiap menangis
pada sesuatu terlupa

barangkali gerimis menipu kita
tanda setujunya berpuluh tahun lalu
hanya sekedar kata-kata
tak pernah ada. tak pernah ada
tanpa ada ujung dan juntrungnya

tapi gerimis telah habis
aku kehilangan angan menulis
senja berdiri hanya sunyi
selebihnya langit hitam
lorong jalanan, tak ada orang
lalu-lalang. begitu menakutkan

jarum jam tak bergerak
seperti aku dan kau
dibatasi waktu dan jarak

Siwalanpanji, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
MELANGKAH KE SURAU ITU

gerimis siapakah itu
membentur pada dinding waktu
senja memang telah berlalu
tinggal gerimis, dan kerdip lampu-lampu
dibalut kabut terasa syahdu

gerimis siapakah itu
mengetuk pintuku lantas berlalu

disc musik mozart mengalun
antarkan senja pada rembang petang itu
kadang menghentak kadang syahdu
membalutbangunkan angan rinduku
ada juga suara adzan terdengar
sayup-sayup di kejauhan
ajak langkahku menuju surau itu, lalu
kubunuh mozart menghentak syahdu

gerimis belum juga habis
kucari payung tak kutemu juntrung
gerimis terus saja jatuh
tak harus membuat hatiku kisruh

jika ada rinduku bertumbuh
biarkan tumbuh di surau-Mu

gerimis boleh menghadangku
tapi langkah rinduku tetap bermuara
pada-Mu, kaki melangkah ke surau itu

Desaku Canggu, 10 /12/ 2009

aming aminoedhin
TENTANG GURITA ITU


penghujung tahun langit warna kelabu
ada gurita bernama buku
mengganggu langkah
setiap jaga-tidur rakyatmu
tapi langkah bisa tak terarah
angin demokrasi telah berhembus
tak perlu risau atas semua itu

tahun baru perlu ada buku baru
barangkali bukan tentang gurita
tapi bisa tentang paus, raja-diraja ikan
yang berkuasa di samudra

tahun lalu biarkan berlalu
kita berbenah di tahun baru
menulis buku tanpa mengganggu
tidur-jaga rakyat yang berseteru
menulis buku demokrasi bukan democrazy
menulis buku politik bukan sekedar kritik
menulis buku tentang cinta sesama, lantas
menulis buku yang bermuara
atas kebesar-esaan-Mu

Mojokerto, 27/12/2009

Jumat, 08 Januari 2010

malsasa 2009 sukses pentas

Meriah dan Sukses!
PENTAS KESEMBILAN
MALSASA 2009 DI TBJT SURABAYA

Banyak bintang tamu ikut tampil baca puisi
• Dimeriahkan Sanggar Alang-alang – Didiet Hape

Catatan : Aming Aminoedhin


           Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya? Sebuah tanya yang barangkali kita semua baru bisa menjawabnya, setelah pentas benar-benar digelar.
           Hanya saja bahwa ketika pada tahun ini, 2009, acara Festival Seni Surabaya (FSS) dan Festival Cak Durasim (FCD) tidakdiselenggarakan, praktis acara sastra yang berlevel Jawa Timur berkurang. Karena kedua festival tersebut, biasa mengusung kegiatan sastra pada kedua aktivitasnya. Setidaknya kegiatan sastra yang melibatkan banyak penyair atau cerpenis sastra Jawa Timur beraktivitas (menonton acaranya atau ikut terlibat jadi panitianya), serta ikut tampil dan baca sastra, tidak ada lagi.
               Sejalan dengan persoalan inilah, maka saya bersama komunitas FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), mencoba kembali menggelarpentaskan “Malsasa 2009” atau malam sastra Surabaya, betapa pun pahitnya. Karena kegiatan sastra yang didanai sendiri, hampir semua orang tahu pasti, adalah sebuah kegiatan yang merupakan projek merugi. Kegiatan ini pun, masih seperti tahun-tahun sebelumnya, membuat buku dan pentas sastranya, didanai secara patungan (urunan dana) oleh para penyair dan pengguritnya. Adanya Malsasa 2009 ini, sekaligus untuk menjawab atas tidak adanya kedua festival yang sudah cukup dikenal masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Setidaknya ada sedikit angin segar yang akan mewarnai peta sastra Surabaya dan Jawa Timur.

Malsasa 2009 digelar pada penghujung tahun 2009, tepatnya 29 Desember 2009, bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Diawali dengan sambutan Ketua Dewan Kesenian Surabaya, Sabrot D. Malioboro. Lantas penyair, Aming Aminoedhin, sang penggagas Malsasa, sedikit memberikan cerita tentang sejarah awal kegiatan Malsasa yang digelar sejak tahun 1989 hingga tahun ini. Dilanjutkan kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Karsono M.Pd., memberikan sambutan, dan sekaligus membaca salah satu puisi karya penyair yang ada dalam kumpulan guritan dan puisi Malsasa 2009.

Malsasa 2009 juga dimeriahkan oleh komunitas anak-anak “Sanggar Alang-Alang” pimpinan Didiet Hape, yang menyuguhkan komposisi angklung versi Jawa Timuran. Kata Didiet Hape, bahwa komposisi ini memang digarap dengan media angklung yang ada di Jawa Timur, yaitu angklung Banyuwangi, Ponorogo, dan Tengger-Bromo, Probolinggo. Ketiganya diramu dan kemudian ditampilkan apik di hadapan penonton Malsasa, malam itu. Lengkap pula dengan dua anak-gadis menari yang melanggak-lenggok dengan gemulainya. Sungguh sebuah seni pertunjukan yang menawan.
Malsasa 2009 benar-benar sebuah pentas sastra yang cukup menarik dan enak dinikmati. Tak urung, Arek Teve Surabaya dan Radio Suara Surabaya, juga meliput atas gelaran Malsasa tahun ini.
Setelah Drs. Karsono, membuka dengan baca puisi; dilanjutkan dengan beberapa penyair dan penggurit tampil membacakan puisi dan guritannya. Ada Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, Widodo Basuki, AF Tuasikal, W. Haryanto, Hardho Sayoko SPB, Kusprihyanto Namma, Akhudiat, Herry Lamongan, Bambang Kempling, Pringgo HR, dan Budi Palopo.

 


  Sayang beberapa nama yang seharusnya ikut tampil harus absen, mereka itu: Anas Yusuf dan Beni Setia (Madiun), Samsudin Adlawi (Banyuwangi), R. Giryadi dan Rusdi Zaki (Sidoarjo), Fahmi Faqih, Ribut Wijoto dan Tan Tjin Siong (Surabaya), Bagus Putu Parto dan Puput Amiranti (Blitar), serta JFX Hoery (Bojonegoro). Namun demikian, ketidakhadiran mereka, tidak mengurangi semaraknya pentas Malsasa 2009 malam itu, karena ada beberapa bintang tamu yang banyak tampil malam itu: Pribadi Agus Santosa (mantan Kepala TBJT), Yudho Herbeno (penyair kawakan Surabaya), Alfiana Latief (guru dari SMAN 3 Ciamis-Jabar), Arieyoko dan Gampang (Bojonegoro), Aan Tjandra Anie Asmara dan Yanto (Surabaya).

Gaya baca puisinya pun berbeda-beda, Aming yang menghipnotis audiensnya. Sabrot baca datar tapi cukup menarik. Akhudiat, sebelum baca puisi malah berorasi. Kata Diat, ketika zaman sudah tanpa batas, campur bawur informasi yang tiada henti, Aming tetap mengajak baca puisi. Bahkan mungkin, kata Diat, ketika datang seperti zaman seperti Nabi Nuh, semua pulau tenggelam, maka Aming tetap baca puisi. Lantas dengan santainya, Diat membaca dua judul puisinya.
 
             Lain Aming, Diat, dan Sabrot, Widodo Basuki sang penggurit, sebelum baca gurit melantunkan sepenggal tembang Jawa yang berupa doa. AF tampil bacakan puisinya Fahmi Faqih, selain baca dua puisinya sendiri. Sedang penggurit yang lain, Bonari Nabonenar, tidak baca gurit, tetapi malah mengajak rembugan setelah acara pentas Malsasa. Tapi, apa lacur, dia malah menghilang duluan, sedang yang lain masih rembugan.
Tiga penyair asal Lamongan, Bambang Kempling, Herry Lamongan, dan Pringgo HR tampil biasa saja. Kecuali Pringgo agak tampak memberi muatan seni dalam pembacaan puisinya. Kota Blitar, diwakili W. Haryanto baca dua puisinya, dan kota Malang, tampil Tengsoe Tjahjono yang juga dosen Unesa, tampil menarik di depan audiens yang lesehan memenuhi di pendapa Taman Budaya Jawa Timur itu.
Seperti juga Diat, Budi Palopo, tampil baca puisi dengan mengawali orasi dulu. Bicara soal keris dan semacamnya. Tapi Budi tampil apik dan menarik.
Sungguh pentas Malsasa 2009 ini cukup memuaskan para audiens yang hadir malam itu.


Mengenang Malsasa

                     Ketika kita mau mengenang Malsasa-Malsasa sebelumnya, maka kita akan mencatat nama-nama pengarang seperti: Hardjono WS, Akhudiat, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Robin Al-Kautsar, Mh. Zaelani Tammaka, W. Haryanto, S. Yoga, Sirikit Syah, Adi Setijowati, Ida Nurul Chasanah, Debora Indrisoewari, Puput Amiranti, Suhandayana, Zoya Herawati. L. Machali, HU Mardiluhung, Tan Tjin Siong, Tubagus Hidayathullah, Surasono Rashar, Poedwianto Arisanto, Sigit Hardadi, Saiful Hadjar, Saiful Bakri, Arief B. Prasetyo, M. Shoim Anwar, Leres Budi Santosa, Mashuri, Jil Kalaran, Roesdi-Zaki, Redi Panuju,adalah nama-nama yang pernah ikut tampil di Malsasa.
                     Pada awalnya Malsasa hanya melibatkan penyair saja, lantas pada perkembangannya Malsasa juga melibatkan penggurit, bahkan juga cerpenis dalam buku Malsasa tersebut.
Sedangkan pada gelaran pentas Malsasa 2009, melibatkan 26 penulis sastra (pernyair dan penggurit) yang akan tampil akhir tahun 2009, di Taman Budaya Jatim. Nama-nama yang akan tampil adalah: AF Tuasikal, Akhudiat, Anas Yusuf, Aming Aminoedhin, Bagus Putu Parto, Bambang Kempling, Bonari Nabonenar, Budi Palopo, Beni Setia, Fahmi Faqih, Hardho Sayoko SPB, Herry Lamongan, J.F.X. Hoery, Kusprihyanto Namma, Tan Tjin Siong, Tengsoe Tjahjono, Rusdi Zaki, Ribut Wijoto, R. Giryadi, Sabrot D. Malioboro, Samsudin Adlawi, Suharmono Kasijun, Pringgo HR, Puput Amiranti, W. Haryanto, dan Widodo Basuki.
            
             Harapan pentas Malsasa ini adalah menjawab atas kurang adanya aktivitas sastra berlevel Jawa Timur pada tahun ini, dan sekaligus menumbuhkembangkan kembali pentas sastra di depan masyarakatnya. Karena sastra, tanpa sosialisasi secara pentas sastra semacam ini, kurang ada gaungnya. Meski saya sadar, bahwa tidak selamanya karena sosialisasi pentas sastra, mesti berhasil. Mesti bergaung! Tidak! Tidak selamanya!
              Kegiatan ini juga diharapkan memicu kreativitas dan aktivitas penyair-penyair muda lainnya untuk juga tampil, dan sekaligus membuat kegiatan semacam Malsasa di waktu lainnya. Artinya, bahwa penyair muda Jawa Timur, haruslah juga mempunyai greget bersastra melebihi penyiar-penyair terdahulu. Semoga!
Kembali ke awal tulisan, yang mempertanyakan kebesaran pentas Malsasa 2009. Angka sembilan merupakan angka terbesar nilainya, dibandingkan angka delapan, tujuh dan seterusnya. Tapi adakah angka sembilan pada pesta Malam Sastra Surabaya 2009 tahun ini benar-benar akan yang terbesar dalam perhelatannya?
Jawabnya, memang selama Malsasa digelar dari waktu ke waktu, Malsasa ke-9 ini memang yang paling meriah. Selain banyak bintang tamu hadir dan tampil, juga ada tampilan "Sanggar Alang-Alang" yang tampil menawan. Sanggar Alang-alang pimpinan Didiet Hape, menyumbangkan seni pertunjukan angklung Jawa Timuran yang tampil apik dan menarik, bahkan menyemarakkan malam sastra kian mempesona. Lepas tampilan malam itu, komunitas ini, langsung ke Denpasar – Bali, untuk tampil pada malam tahun baruan di pulau Dewata.
Apakah Malsasa kesepuluh nanti masih bisa digelar kembali? Apakah angka sepuluh seampuh angkanya? Wallahu alam bissawab!
Tinggal apakah kita semua bisa tetap bersinergi untuk urunan kembali menggelar Malsasa tahun 2010 dengan suka cita. Mari! Mari bersinergi!

** Desaku Canggu, Penghujung Desember nan Basah 2009