Rabu, 23 Juli 2014

PPSJS BACA GURIT DI SURABAYA DAN SOLO



PPSJS BACA GURIT DI SURABAYA
DAN TAMAN BUDAYA SOLO
Oleh:  M. Amir Tohar


Beberapa waktu lalu, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) telah menerbitkan kumpulan guritan gagrag anyar bertajuk “Mlesat Bareng Ukara” yang ditulis oleh para penggurit komunitas PPSJS, dan beberapa penggurit lain di luar kota Surabaya.
 

Kumpulan guritan ini, kemudian di pentas-gelarbacakan di Dewan Kesenian Surabaya, 22 April 2014 lalu. Pentas yang melibatkan banya banyak penggurit sastra Jawa di Jawa Timur tersebut, cukup sukses digelar di Surabaya. Beberapa nama besar yang hadir: Suparto Brata, Akhudiat, dan sebagian besar penggurit yang ada dalam kumpulan itu hadi dan tampil. Mereka itu: R. Giryadi, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan,  Pringgo HR, Puspo Endah, Teguh dan Yayuk YY Iswatin, Indrie Soewari, Widodo Basuki, Ardi Susanti, Gampang Prawoto, Deny Tri Aryanti,  Nono Warnono,  R. Djoko Prakosa,Trinil, dan banyak lagi. Sedangkan tampil maestro panembrama Ki Subroto SMKI.

Tampilan gelaran baca gurit yang sukses oleh komunitas PPSJS di Dewan Kesenian Surabaya tersebut, menjadikan pengurus PPSJS berniat menggelarbaca-kan kembali di Taman Budaya Solo. Lantas jadwal direncanakan, 11 Juni 2014 di Joglo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah di Solo.

Pentas di Solo
          Seperti yang telah direncanakan, acara pentas sastra Jawa di Solo, benar-benar berlangsung, tepatnya Rabu, 11 Juni 2014 di Joglo, Wisma Seni, Taman Budaya Solo.
          Bedah buku ‘Mlesat Bareng Ukara’ di Taman Budaya Solo, diulas oleh Drs. Wieranta, S.U. (Dosen Fakultas Sastra UNS Sebelas Maret Surakarta) yang pada kesempatan  itu, mengatakan bahwa, “Komunitas Sastra Jawa PPSJS dari Jawa Timur ini memang  ampuh. Sebab, orang lain sudah tidak peduli akan sastra Jawa, mereka malah menggeluti dan mencetak karya-karya mereka untuk dipentasbaca-kan di  Solo ini.”
   

          Karya-karya memang tidak semuanya bisa ditangkap dengan gampang, oleh pembacanya. Karena idiom dan diksinya yang dipakai dengan kosa kata bahasa Jawa Timuran, sehingga tidak mudah menangkap makna isinya. Namun ada juga yang bisa ditangkap makna isinya, yang ditulis dengan bahasa Jawa standar, seperti tulisan Widodo Basuki dan Aming Aminoedhin. Tapi setidaknya karya-karya mereka menggelitik kita, bahwa sastra Jawa tetap hidup dan berkembang; tambah Wieranta.
  


          Sebelum acara bedah buku ‘Mlesat Bareng Ukara’  malam itu, para peng-guritnya juga tampil membacakan guritan masing-masing. Mereka itu: Ardi Susanti, Widodo Basuki, Indri Soewari, Puspo Endah, R. Djoko Prakosa, Aming Aminoe-dhin, Deny Tri Aryanti, Tjahjono Widarmanto, Suharmoko K, JFX Hoery, dan Suparto Brata.
          Malam yang dipenuhi sastrawan dan penggemar sastra di Solo tersebut, Aming Aminoedhin baca salah satu guritnya berjudul:

aming aminoedhin
WENGI PETENG NDHEDET


Wengi peteng ndhedet. Jam kaya ora mlaku
abot, kayadene karaten. Apa amarga batereine entek?
Apa amarga atiku sing karaten, weruh akeh wong
korupsi ora mekakat jumlahe. Meneng wae.
Kebangeten, anggone ora eling karo wong cilik
golek dhuwit njungkir njempalik
sirah dadi sikil, sikil dadi sirah
urip durung wae prenah-prenah

Donya apa ya wis melu sekarat
tata krama, tata susila, lan kabeh paugeran
diterak tan kaya ngapa. Nora weruh
dalan bener, apa maneh angger-angger
sekolah mung kaya dalan mlayu
nguber bandha tan kira-kira
pokoke kabeh kecekel, mesthi
dalan lakune ora pener

Wengi peteng ndhedet. Jam kaya ora mlaku
ana langit lelintang kelap-kelip mendrip-mendrip
ana rembulan katon regemeng-regemeng
wengi tambah sepi ana ing ati

Mendripe lelintang, lan regemenge rembulan
kaya-kaya nggawa pitakonku, apa bener
donya wis nyedhaki kiyamat? Ana manungsa
wis ora duwe isin, maling dhuwite rakyat
gawe tambahing rakyat tansaya kesrakat?

           
                                    Desaku Canggu, 17/1/2012

 Sedangkan Widodo Basuki membacakan guritnya berjudul:
 
 


Widodo Basuki
MLESAT BARENG  UKARA

ukara iki lumesat
      menyang langit!
              nepusi laladan-laladan sing tan kinira
tan kajangka sadurunge
jalaran ukara ngungkuli nalar

ora tak bayangake dinane
             kaya dina iki!
             seje karo dina-dina
liyane, beda karo wengi-wengi
liyane, wektu-wektu uga
             ora padha!

wis dak rajut
gelang karet kang njepretake
panah sasada lanang
dak tembus impene bocah cilik
kang mbuntoni dalan

lan aku weruh srengenge !
kaya ing wengi jaman cilikan kae
wujude mung pindha samrica kabubut
ning  wus mancorong anelahi
kuwawa madhangi jembare jagad

2012

          Acara ini cukup banyak dihadiri audiens sastra Solo, karena dibarengkan dengan acara bedah buku kumulan cerpen “Botol-Botol Berisi Senja” dari komunitas sastra Solo. Tampak hadir pula beberapa nama sastrawan dan dosen: Christ Wardhana (Dosen UNS), Dhanu Priyo P. (Peneliti Balai Bahasa Yogya), Ardus M Sawega (Wartawan Kompas), Kusprihyanto Namma (Penyair Ngawi), Tito Setyo Budhi (Penyair Sragen), dan banyak lagi.
 


          Betapa pun PPSJS telah melangkah menumbuhkembangkan sastra Jawa di dua kota besar (Surabaya dan Solo), dengan menggelarbacakan sastra Jawa bernama geguritan. Harapannya, tidak hanya sastra, tapi juga budaya Jawa bisa tumbuh kembang di tanah Jawa. Semoga!** (sang presiden penyair jatim)

MALSALIS BERSAMA WIDODO BASUKI

MALSALIS DAN KALIMAS
DI TENGAH PAMERAN LUKISAN
WIDODO BASUKI
Oleh: m. amir tohar


Malam Sastra Jurnalis atau Malsalis digelarbacakan bersama peluncuran majalah sastra ‘Kalimas’ yang terbit dari Surabaya, di tengah acara pameran lukisan Widodo Basuki, 22 Februari 2014 di Dewan Kesenian Surabaya. Malsalis membukukan puisi-puisi karya para jurnalis, berjudul ‘Puisi Ini Kutulis Pakai Komputer’ memuat tulisan puisi 13 jurnalis. Mereka itu antara lain: Moh Anis, Sirikit Syah, Toto Sonata, Amang Mawardi, Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, JFX Hoery, dan banyak lagi.
Dalam catatan bukunya, Aming Aminoedhin, sebagai editor antara lain mengatakan, “Tidak banyak jurnalis mau menulis karya sastra, karena memang membutuhkan pengendapan dalam setiap tulisannya. Jika mereka mau menulis, memang terasa jurnalis itu  punya rasa empati berlebih dibandingkan lainnya. Lebih lagi, mereka mau bersepakat buat antologi puisi semacam ini. Meski harus membiayai sendiri dari koceknya yang tidak banyak sekali, dibanding para tukang korupsi. Sungguh, ini hanya upaya dari beberapa jurnalis, dan mantan jurnalis, yang punya mimpi baca sastra bersama. Hanya beberapa, karena yang lain mungkin kurang tertarik atau bahkan merasa hanya akan sia-sia. Sebab, mereka merasa akan ketinggalan berita. Ah.... entahlah!”


Selain acara malam sastra jurnalis, yang mana para jurnalis seperti Toto Sonata, R. Giryadi, Leres BS, Amang Mawardi, Widodo Basuki, Aming, dan JFX Hoery baca puisi; malam itu juga digelar peluncuran majalah sastra “Kalimas” yang dulu pemimpin redaksinya Tengsoe Tjahjono. Menurut Tengsoe, majalah ini sebenarnya terbitnya sudah lama, tapi karena krisis dan pengelolanya banyak yang telah berpencaran alamat; maka mengalami stagnasi. Kini, tahun 2014, majalah ‘Kalimas’ kembali hadir terbit dengan format dan isi yang lebih baik.
Armada keredaksiannya juga ditangani anak-anak muda, dengan dikomandoi oleh R. Giryadi, tambah Tensoe Tjahjono, pada sambutannya. Lebih jauh Tengsoe juga mengatakan bahwa penanganannya masih banyak dipegang dari teman-teman muda Unesa, yang dulu bernama IKIP Surabaya. Mereka itu antara lain: Much Khoiri, A. Muttaqin, Aleks Subairi, dan banyak lagi.
            Selain sambutan, sebagai pemimpin redaksi Kalimas, Tengsoe, juga berpamitan akan pergi ke Korea, guna melaksanakan tugas negara yaitu mengajar bahasa dan sastra Indonesia,  di Hankuk University, Seoul, Korsel.
Acara malam itu, sungguh meriah dan penuh gairah guna menumbuhkembangkan sastra Jawa Timur ini. Tampak hadir tokoh-tokoh sastra: Setya Yuwono Sudikan, Suharmono Kasijun, M. Shoim Anwar, Bagus Putu Parto, Suparto Brata, Akhudiat, dan banyak lagi.


Catatan Perjalanan Penggurit
Pameran berupa lukisan, drawing, dan sketsa karya  Widodo Basuki, berlangsung di Galeri Surabaya, Dewan Kesenian Surabaya, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya, dari tanggal 21 hingga 28 Februari 2014. Pameran yang dibuka dengan acara macapatan dan baca guritan itu, sangalah meriah.











Tampil maestro macapatan FY Darmono Saputro dan Subroto, sedang penggurit tampil Aming Aminoedhin dan R. Giryadi. Ketua DKS, Sabrot D. Malioboro, dalam sambutannya antara lain mengatakan, “Tanpa terasa seorang Widodo Basuki adalah manusia paripurna. Bisa menulis sastra, dan melukis seni rupa. Utuh, lengkap, tentu tak terabaikan juga kesantunan, dan kesederhanaan dalam hidupnya.”
Dalam pembukaan pameran pada saat itu, dihadiri banyak teman kolega sang penggurit yang pelukis, antara lain: Nuzurlis Koto, yang dalam kesempatan ikut memberikan kesaksian perjalanan seni rupa Widodo Basuki. 

Widodo Basuki, lahir ing Trenggalek 18 Juli 1967, alumni Jurusan Seni Rupa (STKW dan IKIP PGRI Adhibuana Surabaya), sejak 1993 bekerja  menjadi wartawan, sekarang ditugasi sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah Berbahasa Jawa “Jaya Baya”. Dia  lebih dikenal sebagai “penggurit” di sastra Jawa  daripada pelukis yang  juga  masih ditekuni.
Sering diundang sebagai pembicara. Di bidang sastra karya-karyanya selain berupa guritan, crita cekak, crita wayang, crita rakyat, crita sambung,  cerpen, cerita anak-anak, juga beberapa esai  tersebar di media berbahasa Jawa dan Indonesia. Beberapa karyanya pernah mendapat penghargaan di antaranya:  “Njaga Banyune Sendhang”, Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional (Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta – Lembaga Kajian Budaya Surakarta)  tahun 2002, karya guritannya “Guritan Pari Sawuli” pernah Juara I naskah geguritan  tingkat Jawa Timur tahun 2001, dan buku kumpulan guritan “ Layang Saka Paran” mendapat hadiah Sastra Rancage tahun 2000. Tahun 2004 mendapat penghargaan Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Cerpennya “Sang Panji Parmi(n)” mendapat  Juara  II Lomba Cerpen Bernafaskan Panji, kerjasama Dewan Kesenian Jawa Timur – Dewan Kesenian Jombang, tahun 2010. Pernah diundang membaca guritan  “Layang Saka Tlatah Wetan” dalam Apresiasi Sastra Jawa –Sunda tahun 1999 di TIM  Jakarta.
Tulisan jurnalistiknya berjudul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Tahun  2008 Juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur. Tahun 2009 Juara III, Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur, dan tahun 2012, Juara Harapan II.
Dengan isteri tercinta Dra. Sri Sulistiani MPd, dikaruniai dua orang putra: Abhimata Zuhra Pramudita dan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika. Sekarang tinggal di Sukolegok RT 13/RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Sidoarjo. Tilp. 031  7870475,  email:  wid_basuki@yahoo.co.id (mat)*