Selasa, 30 Maret 2010

sastra jawa masuk sekolah

SASTRA JAWA MASUK SEKOLAH*
Oleh: Aming Aminoedhin

tulisan ini termuat di Radar Surabaya, Minggu, 28 Maret 2010

Menurut asumsi bahwa masyarakat Jawa Timur hampir sebagian besar atau lebih dari 75% masyarakatnya, menggunakan bahasa pergaulan (lingua-franca) bahasa Jawa. Dari sejumlah pengguna bahasa Jawa tersebut, muncul pengarang-pengarang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media penulisan dalam karya-karya mereka. Sebut saja nama-nama terkenal di ranah pengarang sastra Jawa ini, seperti: Satim Kadarjono, Suparto Brata, Yunani, Suharmono Kasijun, Djajus Pete, JFX Hoery. Lantas nama-nama lain yang lebih muda usia, seperti: Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Titah Rahayu, Sita T. Sita, Herry Lamongan, Widodo Basuki, Sumono Sandhy Asmoro, W. Haryanto, Wahyudi, Suyitno Ethexs, dan sederet lagi nama lain yang mungkin belum masuk dalam daftar urutan ini.
Perkembangan jumlah pengarang sastra Jawa di Jawa Timur yang signifikan ini, seharusnya menyadarkan kita betapa tidak terbatasnya olah kreasi dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia sastra Jawa. Menyikapi hal tersebut, tidaklah berlebihan apabila Pemerintah (Dinas Pendidikan) perlu mengadakan semacam apresiasi sastra Jawa di ruang-ruang kelas, pada sekolah-sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kenapa demikian?
Melalui sastrawan Jawa masuk sekolah diharapkan bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa yang diasumsikan banyak kalangan telah terpinggirkan atau ditinggalkan penuturnya. Melalui kegiatan ini pula diharapkan akan bisa memberikan pendidikan budi pekerti, yang dirasa telah agak luntur (jika tak boleh dikatakan sirna) dari budaya Jawa.
Jika dalam ranah sastra Indonesia, diawali majalah sastra Horison bersama Taufiq Ismail, telah menyelenggarakan kegiatan “Sastrawan Masuk Sekolah”, maka apa salahnya jika hal itu ditiru. Misalnya saja, sastrawan Jawa masuk sekolah pula.
Jawa Timur memiliki banyak sastrawan Jawa yang sangatlah handal. Sebut saja, maestronya pengarang Suparto Brata, yang telah banyak menulis karya-karya berbahasa Jawa. Salah satunya yang sangat dikenal, kumpulan cerkak ‘Trem’ yang memuat sekian banyak cerkak karangan Suparto Brata. Lantas sederet karangan lainnya: Donyane Wong Culika, Kremil, Tiada Nasi Lain, dan banyak lagi.
Belum lagi jika mau menghitung nama-nama pengarang sastra Jawa, asal Jawa Timur yang telah mendapatkan hadiah ‘Rancage’-nya Ajip Rosidi. Mereka itu, di antaranya: Suharmono Kasijun, Suparto Brata, Widodo Basuki, JFX Hoery, Esmiet. Bahkan konon, tahun ini ada juga nama yang penggurit Sumono Sandhy Asmoro dan Bonari Nabonenar, akan mendapatkan hadiah sastra ‘Rancage’ tersebut.
Kegiatan apresiasi sastra dapat diartikan sebagai usaha pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap karya sastra, sehingga dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra tersebut. Apresiasi sastra juga dapat menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat pengenalan dan pemahaman terhadap sastra, yaitu dengan membaca karya sastra. Sedangkan sastra Jawa, dalam hal ini baca cerkak dan geguritan, sangatlah bisa dijadikan sarana guna meraih apresiasi sastra Jawa tersebut. Sekaligus akan dapat mengajarkan budi pekerti kepada para siswa yang mengapresiasi sastra Jawa tersebut. Karena dalam karya sastra Jawa memuat pesan-pesan moral budaya Jawa yang secara tersirat ada di dalam karya tersebut.
Peluang untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut ada, yaitu dalam mata pelajaran bahasa Jawa yang masih diajarkan di sekolah tingkat SD maupun SMP. Betapa pun kecilnya jam pelajaran yang ada, tetapi setiap minggunya pasti ada. Nah ... barangkali dalam satu semester, bisa diambil salah satu minggu (pada mata pelajaran sastra Jawa) untuk apresiasi pengarang sastra Jawa berhadapan para siswa.
Lantas bagaimanakah tekniknya?
Barangkali memang agak sulit mencari waktunya, para pengarang sastra Jawa tersebut, bisa terjun langsung ke sekolah. Akan tetapi, saya percaya, bila sekolah memang telah mengagendakan jadwalnya, mungkin para pengarang sastra Jawa juga akan mau dan mampu membagi waktu bagi para pelajar yang ingin apresiasi sastra Jawa tersebut. Mungkin bisa kerja sama dengan mengontaks PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), PSJB (Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro), atau Sanggar Triwida Tulungagung; FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), yang keempatnya tak lelah-lelahnya nguri-uri (melestarikan) bahasa dan sastra Jawa.
Program ini akan lebih menarik lagi, apabila kegiatan ini dalam rangka menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan digelar di kota Surabaya tahun 2011 oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Mungkinkah Pemda Jatim telah mempersiapkan hal ini? Walahu alam bishawab!
Selanjutnya, apabila para pengarang sastra Jawa telah masuk beberapa sekolah tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan lomba-lomba yang mengarah ke persoalan sastra Jawa, misalnya lomba tulis dan baca guritan. Lomba baca dan tulis cerkak bagi para siswa yang telah mendapatkan pelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolahnya, oleh para pengarang sastra Jawa.
Solusi lain, barangkali Pemerintah Pemda Jawa Timur, bisa memfasilitasi para pengarang sastra Jawa dengan mau menerbitkan buku-buku karangan mereka, lantas mensosialisasikannya di sekolah. Akan lebih baik jika, ada juga pembuatan rekaman dalam bentuk disc, yang berisi pelajaran baca geguritan, baca cerita cekak, dan juga baca tembang macapat.
Melalui garapan para pengarang sastra Jawa yang telah dibuat ini, selanjutkan didistribusikan kepada para guru-guru sastra Jawa yang ada di sekolah-sekolah.
Mengapa demikian?
Selama ini, memang banyak guru mata pelajaran bahasa Jawa, yang tidak mempunyai vak (keahlian/ijazah) bahasa Jawa. Sehingga, banyak sekali, mereka merasa kesulitan dalam megajarkan bahasa Jawa kepada siswa.
Semua ini hanyalah solusi yang mungkin cukup baik, agar mata pelajaran bahasa Jawa, bisa intens diajarkan kepada siswa tanpa harus ada kendala bagi gurunya.

Desaku Canggu, 16 Maret 2010

Senin, 15 Maret 2010

Bahasa Ibuku Bahasa Jawa

BAHASA JAWA BAHASA IBUKU*)

Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)

Mencatat kegiatan yang sangat berhubungan dengan bahasa pada bulan Februari, barangkali bisa disebut adalah tanggal 9 Februari ada Hari Pers Nasional, lantas pada tanggal 21-nya ada Hari Bahasa Ibu Internasional. Untuk peringatan Hari Pers Nasional lebih mengedepankan bagaimanakah para jurnalis menulis berita dengan baik dan berimbang. Artinya, tulisan berita itu haruslah berimbang antara nara sumber dan fakta yang ada di lapangan. Bahkan jika perlu, nara sumber tidak hanya satu, tapi bisa banyak jumlahnya. Sehingga akan didapatkan keakuratan berita.
Menulis berita, artinya seseorang wartawan akan menggunakan bahasa untuk menyampaikan beritanya kepada pembaca. Meski melalui televisi, pastilah berita itu ditulis dengan menggunakan bahasa. Begitu pula berita yang ada di radio.
Sedangkan bicara soal Hari Bahasa Ibu Internasional, maka kita jadi ingat bahwa kegiatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini diperingati setiap tahun, dan telah disahkan oleh Unesco, sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Membicarakan kegiatan kebahasaan yang kedua, Hari Bahasa Ibu Internasional, saya jadi teringat yang dikatakan oleh beberapa kawan pada acara ‘Mengenang RM Yunani’ (18/2/2010) di Galeri Surabaya. Menurut Dhimam Abror, bahwa RM Yunani adalah seorang jurnalis yang konsistens dalam pemakaian bahasa, terutama bahasa Jawa.
Beliau, kata Dhiman menambahkan, adalah sosok yang serba bisa, dan punya wawasan dan kepandaian menulis luar biasa. Seorang sastrawan Jawa, Suharmono Kasijun, mengatakan bahwa budayawan yang satu ini adalah seorang jurnalis yang berani dalam tulisan-tulisan beritanya. Sementara begawan sastra Jawa Timur, Suparto Brata, lain lagi. Sang begawan mengatakan, bahwa RM Yunani itu seorang guru yang menulis cerita anak sangat baik, pada tahun 1971-an. Mengapa begitu? Lantaran RM Yunani selalu mengirimkan naskah ke majalah anak ‘Kuncup’ yang pada waktu itu, Suparto Brata jadi redakturnya. Lebih jauh begawan sastra ini juga mengatakan bahwa Dahlan Iskan (yang punya Jawa Pos, dan kini Direktur PLN itu) mengakui bahwa RM Yunani adalah guru jurnalisnya, sewaktu masih berada di Samarinda.
Lantas apa hubungannya dengan Bahasa Ibu Internasional?
Menurut catatan yang saya baca di berbagai situs di internet dikatakan, bahwa dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, kita tidak boleh melupakan pada bahasa Ibu kita sendiri. Padahal di Indonesia, mempunyai banyak suku bangsa dengan banyak pula bahasa daerah (baca: bahasa Ibu) yang dipunyainya. Jika boleh mencatat bahkan ada bahasa daerah yang konon mempunyai sistem tulisan sendiri, seperti: Jawa, Lampung, Bali, Bugis, dan Batak.
Terlepas dari persoalan apa hubungannya dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, dengan bahasa daerah, yang pasti kita sadari bahwa kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah pada saat ini, sudah agak terpinggirkan. Jika tidak boleh dikatakan ditinggalkan oleh penuturnya. Maka tidak mengherankan, jika Bahasa Jawa telah dikongreskan sampai ketiga, dalam rangka melestarikan bahasa Jawa yang terpinggirkan itu.
Dalam rangka merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini, tidaklah berlebihan saya sebagai orang Jawa akan juga memperingati Hari Bahasa Ibuku sendiri, bahasa Jawa, meski tidak pas tanggalnya. Karena saya termasuk sastrawan Jawa, perkenankan pula saya muatkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’, guna melengkapi tulisan ini.

//ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/dadi wong wadon iku kudu/suci uni, suci rupi, lan suci ati//amarga donya wis menehi tandha/akeh wong wadon lambene bengak-bengok/akeh wong wadon matane plerak-plerok/akeh wong wadon aten-atene bosok/lungguh methothok mlaku ora ndedelok/kabeh iku aja mbok tiru, anakku//ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang /mbulan ora werna abang mbranang/lintang-lintang ora gelem gumebyar/lan srengenge kaya ngece-ece//mula iku omonga sing apik/dandana sing resik/mlakuwa sing becik/ing ngalam donya/ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/goleka dalan swarga liwat tetep madhep/lan manteb terus dhedhepe marang Gusti// Canggu, 2003

Secara harafiah terjemahannya sebagai berikut:

nak, anakku perempuan yang paling cantik/ jadi perempuan itu harus/ suci bicara, suci wajah, dan suci hati// lantaran dunia sudah memberi tanda/banyak anak perempuan mulutnya teriak-teriak/banyak perempuan matanya jelalatan/banyak perempuan hati busuk/duduk seenaknya jalan sembarangan/semua itu jangan ditiru, anakku//nak, anakku perempuan, lihatlah di langit/ bulan tak lagi berwarna merah/bintang-bintang tak mau berpijar/ dan matahari seperti meledek// untuk itu, bicara yang baik/berbusana yang bersih/jalanlah yang baik/di dunia ini// nak, anakku perempuan yang paling cantik/carilah jalan ke surga dengan tetap selalu setia/mantap mendekat kepada Allah SWT//Canggu, 2003

Guritan atau puisi di atas menyadarkan kepada kita, bahwa perempuan sekarang ini telah memasuki pergeseran budaya yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Tidaklah berlebihan, ketika kita mempunyai anak perempuan akan merasa ketakutan apabila anak perempuan kita tersebut jadi ikut-ikutan seperti yang tertera dalam guritan tersebut.
Sekali lagi bahasa Jawa cukup efektif untuk mengingatkan manusia Jawa agar berbuat baik, dan berlaku sopan santun dalam mejalani hidupnya. Belum lagi jika kita mau membaca beberapa buku sastra Jawa yang banyak memuat pitutur luhur di dalamnya.
Kembali pada persoalan Hari Bahasa Ibu Internasional, saya adalah orang yang sering jadi juri lomba baca dan tulis geguritan. Tahun lalu saja, 2009, di Museum Mpu Tantular, pada Festival Tantular, tercatat lebih dari 100 pelajar (laki-laki dan perempuan) se-Jawa Timur ambil bagian jadi peserta lomba ini. Kemudian pada kegiatan sejenis diselenggarakan Dinas Pendidikan Surabaya, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Surabaya, kerja sama Kalawarti Basa Jawa ‘Jaya Baya’ di Cak DurasimTaman Budaya Jawa Timur; juga diikuti lebih dari 100 pelajar (laki-laki+perempuan) se-Kota Surabaya.
Begitu pula terbitan majalah berbahasa Jawa, juga diterbitkan dari kota Surabaya. Majalahnya adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya”. Lantas ada program ‘Jawa Days’ yang diwajibkan sekolah-sekolah di Surabaya, harus berbahasa Jawa pada hari tertentu. Pertanyaan yang muncul, adakah program ‘Jawa Days” ini bisa efektif dilaksanakan di sekolah? Perlu penelitian tersendiri.
Dari catatan ini terindikasi bahwa bahasa Jawa masih diminati oleh orang Jawa sendiri. Setidaknya bagi beberapa lembaga Pemerintah maupun swasta yang masih terus memompakan semangat agar generasi muda tetap mencintai bahasa Jawa. Terlepas, apakah mereka hanya ikut karena disuruh gurunya, atau pun memang mereka punya keinginan sendiri guna mengikuti lomba-lomba ini. Pastinya, masih banyak peminat lomba baca dan tulis gurit diikuti para siswanya.
Menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan diselenggarakan di Jawa Timur, pada tahun mendatang, maka sewajarlahnya bila Pemerintah Jawa Timur dan swasta yang terkait dengan hal ini, bersegeralah kembali mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bahasa Jawa. Lomba penulisan sastra Jawa, lomba baca guritan dan macapatan, atau semacamnya. Akan lebih pas pula, jika diselenggarakan bercerita atau mendongeng dengan menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa Ibu bagi suku bangsa Jawa. Orang Jawa di Indonesia sudah tersebar di berbagai daerah dan wilayah Indonesia, dari Sumatra hingga Papua. Akankah bahasa itu akan tetap terpinggirkan? Sebuah tanya yang barangkali perlu jawaban pasti bagi suku Jawa sendiri?
Bahasa Jawa bahasa Ibuku, itu hanya sebuah pengakuan. Praktiknya di lapangan, sebagai orang Jawa (ternyata banyak jumlahnya) tidak bisa berbahasa Jawa. Ironis memang!

Desaku Canggu, 19/2/2010


*) Tulisan ini telah termuat di koran Radar Surabaya, Jawa Pos Grup, Minggu, 28 Februari 2010.