Senin, 15 Maret 2010

Bahasa Ibuku Bahasa Jawa

BAHASA JAWA BAHASA IBUKU*)

Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)

Mencatat kegiatan yang sangat berhubungan dengan bahasa pada bulan Februari, barangkali bisa disebut adalah tanggal 9 Februari ada Hari Pers Nasional, lantas pada tanggal 21-nya ada Hari Bahasa Ibu Internasional. Untuk peringatan Hari Pers Nasional lebih mengedepankan bagaimanakah para jurnalis menulis berita dengan baik dan berimbang. Artinya, tulisan berita itu haruslah berimbang antara nara sumber dan fakta yang ada di lapangan. Bahkan jika perlu, nara sumber tidak hanya satu, tapi bisa banyak jumlahnya. Sehingga akan didapatkan keakuratan berita.
Menulis berita, artinya seseorang wartawan akan menggunakan bahasa untuk menyampaikan beritanya kepada pembaca. Meski melalui televisi, pastilah berita itu ditulis dengan menggunakan bahasa. Begitu pula berita yang ada di radio.
Sedangkan bicara soal Hari Bahasa Ibu Internasional, maka kita jadi ingat bahwa kegiatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini diperingati setiap tahun, dan telah disahkan oleh Unesco, sekitar lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
Membicarakan kegiatan kebahasaan yang kedua, Hari Bahasa Ibu Internasional, saya jadi teringat yang dikatakan oleh beberapa kawan pada acara ‘Mengenang RM Yunani’ (18/2/2010) di Galeri Surabaya. Menurut Dhimam Abror, bahwa RM Yunani adalah seorang jurnalis yang konsistens dalam pemakaian bahasa, terutama bahasa Jawa.
Beliau, kata Dhiman menambahkan, adalah sosok yang serba bisa, dan punya wawasan dan kepandaian menulis luar biasa. Seorang sastrawan Jawa, Suharmono Kasijun, mengatakan bahwa budayawan yang satu ini adalah seorang jurnalis yang berani dalam tulisan-tulisan beritanya. Sementara begawan sastra Jawa Timur, Suparto Brata, lain lagi. Sang begawan mengatakan, bahwa RM Yunani itu seorang guru yang menulis cerita anak sangat baik, pada tahun 1971-an. Mengapa begitu? Lantaran RM Yunani selalu mengirimkan naskah ke majalah anak ‘Kuncup’ yang pada waktu itu, Suparto Brata jadi redakturnya. Lebih jauh begawan sastra ini juga mengatakan bahwa Dahlan Iskan (yang punya Jawa Pos, dan kini Direktur PLN itu) mengakui bahwa RM Yunani adalah guru jurnalisnya, sewaktu masih berada di Samarinda.
Lantas apa hubungannya dengan Bahasa Ibu Internasional?
Menurut catatan yang saya baca di berbagai situs di internet dikatakan, bahwa dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional, kita tidak boleh melupakan pada bahasa Ibu kita sendiri. Padahal di Indonesia, mempunyai banyak suku bangsa dengan banyak pula bahasa daerah (baca: bahasa Ibu) yang dipunyainya. Jika boleh mencatat bahkan ada bahasa daerah yang konon mempunyai sistem tulisan sendiri, seperti: Jawa, Lampung, Bali, Bugis, dan Batak.
Terlepas dari persoalan apa hubungannya dengan Hari Bahasa Ibu Internasional, dengan bahasa daerah, yang pasti kita sadari bahwa kondisi bahasa, sastra, dan aksara daerah pada saat ini, sudah agak terpinggirkan. Jika tidak boleh dikatakan ditinggalkan oleh penuturnya. Maka tidak mengherankan, jika Bahasa Jawa telah dikongreskan sampai ketiga, dalam rangka melestarikan bahasa Jawa yang terpinggirkan itu.
Dalam rangka merayakan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun ini, tidaklah berlebihan saya sebagai orang Jawa akan juga memperingati Hari Bahasa Ibuku sendiri, bahasa Jawa, meski tidak pas tanggalnya. Karena saya termasuk sastrawan Jawa, perkenankan pula saya muatkan guritan bertajuk ‘Ndhuk Anakku Wadon’, guna melengkapi tulisan ini.

//ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/dadi wong wadon iku kudu/suci uni, suci rupi, lan suci ati//amarga donya wis menehi tandha/akeh wong wadon lambene bengak-bengok/akeh wong wadon matane plerak-plerok/akeh wong wadon aten-atene bosok/lungguh methothok mlaku ora ndedelok/kabeh iku aja mbok tiru, anakku//ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang /mbulan ora werna abang mbranang/lintang-lintang ora gelem gumebyar/lan srengenge kaya ngece-ece//mula iku omonga sing apik/dandana sing resik/mlakuwa sing becik/ing ngalam donya/ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe/goleka dalan swarga liwat tetep madhep/lan manteb terus dhedhepe marang Gusti// Canggu, 2003

Secara harafiah terjemahannya sebagai berikut:

nak, anakku perempuan yang paling cantik/ jadi perempuan itu harus/ suci bicara, suci wajah, dan suci hati// lantaran dunia sudah memberi tanda/banyak anak perempuan mulutnya teriak-teriak/banyak perempuan matanya jelalatan/banyak perempuan hati busuk/duduk seenaknya jalan sembarangan/semua itu jangan ditiru, anakku//nak, anakku perempuan, lihatlah di langit/ bulan tak lagi berwarna merah/bintang-bintang tak mau berpijar/ dan matahari seperti meledek// untuk itu, bicara yang baik/berbusana yang bersih/jalanlah yang baik/di dunia ini// nak, anakku perempuan yang paling cantik/carilah jalan ke surga dengan tetap selalu setia/mantap mendekat kepada Allah SWT//Canggu, 2003

Guritan atau puisi di atas menyadarkan kepada kita, bahwa perempuan sekarang ini telah memasuki pergeseran budaya yang tidak kita perkirakan sebelumnya. Tidaklah berlebihan, ketika kita mempunyai anak perempuan akan merasa ketakutan apabila anak perempuan kita tersebut jadi ikut-ikutan seperti yang tertera dalam guritan tersebut.
Sekali lagi bahasa Jawa cukup efektif untuk mengingatkan manusia Jawa agar berbuat baik, dan berlaku sopan santun dalam mejalani hidupnya. Belum lagi jika kita mau membaca beberapa buku sastra Jawa yang banyak memuat pitutur luhur di dalamnya.
Kembali pada persoalan Hari Bahasa Ibu Internasional, saya adalah orang yang sering jadi juri lomba baca dan tulis geguritan. Tahun lalu saja, 2009, di Museum Mpu Tantular, pada Festival Tantular, tercatat lebih dari 100 pelajar (laki-laki dan perempuan) se-Jawa Timur ambil bagian jadi peserta lomba ini. Kemudian pada kegiatan sejenis diselenggarakan Dinas Pendidikan Surabaya, Dinas Pariwisata & Kebudayaan Surabaya, kerja sama Kalawarti Basa Jawa ‘Jaya Baya’ di Cak DurasimTaman Budaya Jawa Timur; juga diikuti lebih dari 100 pelajar (laki-laki+perempuan) se-Kota Surabaya.
Begitu pula terbitan majalah berbahasa Jawa, juga diterbitkan dari kota Surabaya. Majalahnya adalah ‘Panjebar Semangat’ dan ‘Jaya Baya”. Lantas ada program ‘Jawa Days’ yang diwajibkan sekolah-sekolah di Surabaya, harus berbahasa Jawa pada hari tertentu. Pertanyaan yang muncul, adakah program ‘Jawa Days” ini bisa efektif dilaksanakan di sekolah? Perlu penelitian tersendiri.
Dari catatan ini terindikasi bahwa bahasa Jawa masih diminati oleh orang Jawa sendiri. Setidaknya bagi beberapa lembaga Pemerintah maupun swasta yang masih terus memompakan semangat agar generasi muda tetap mencintai bahasa Jawa. Terlepas, apakah mereka hanya ikut karena disuruh gurunya, atau pun memang mereka punya keinginan sendiri guna mengikuti lomba-lomba ini. Pastinya, masih banyak peminat lomba baca dan tulis gurit diikuti para siswanya.
Menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan diselenggarakan di Jawa Timur, pada tahun mendatang, maka sewajarlahnya bila Pemerintah Jawa Timur dan swasta yang terkait dengan hal ini, bersegeralah kembali mengadakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan bahasa Jawa. Lomba penulisan sastra Jawa, lomba baca guritan dan macapatan, atau semacamnya. Akan lebih pas pula, jika diselenggarakan bercerita atau mendongeng dengan menggunakan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa merupakan bahasa Ibu bagi suku bangsa Jawa. Orang Jawa di Indonesia sudah tersebar di berbagai daerah dan wilayah Indonesia, dari Sumatra hingga Papua. Akankah bahasa itu akan tetap terpinggirkan? Sebuah tanya yang barangkali perlu jawaban pasti bagi suku Jawa sendiri?
Bahasa Jawa bahasa Ibuku, itu hanya sebuah pengakuan. Praktiknya di lapangan, sebagai orang Jawa (ternyata banyak jumlahnya) tidak bisa berbahasa Jawa. Ironis memang!

Desaku Canggu, 19/2/2010


*) Tulisan ini telah termuat di koran Radar Surabaya, Jawa Pos Grup, Minggu, 28 Februari 2010.

Tidak ada komentar: