Sabtu, 19 Agustus 2023

PENGARANG KONDHANG ITU DJAJUS PETE

 

 

DJAJUS PETE PENGARANG KONDHANG

Oleh: Aming Aminoedhin

 

Pengarang sastra Jawa yang kreatif namun cukup nyentrik ini kelahiran kota Ngawi (1/8/1948), dan sejak umur 11 tahun ia pindah ke Bojonegoro. Ia seorang guru SD sejak 1971, dan pensiun pada 2008. Selain itu, Djajus pernah jadi wartawan Surabaya Post, Penyiar Radio Swasta di kotanya, Anggota PSJB (meski kemudian mengundurkan diri), dan pernah pula jadi Ketua Dewan Kesenian Bojonegoro.

  

Djajus Pete, dan rokok klobotnya; saat acara sastra di Ngawi. (Foto: AmAm).*                 

 

Karya sastra prosanya, berupa cerkak  (crita cekak) sungguh berbeda dengan tulisan cerkak pengarang lainnya. Keterkenalan nama Djajus Pete, memang lantaran nyentrik dan tulisan cerkaknya yang apik dan menarik. Selain juga dia seorang yang intens merokok klobot cak Oeloeng-Duku yang pabriknya dari Bojonegoro itu. Menurut Djajus, menulis sastra itu harus serius, simbolis-surealis yang dalam, dan penuh makna mengenai soal hidup dan kehidupan manusia. Sementara banyak pengarang-pengarang lain, tandas Djajus Pete,  biasanya mereka  ha-nya mengarang yang realis, gampang ditembak oleh pembacanya.

Pada awalnya, Djajus Pete, memang juga menulis sastra dengan jalur realis tersebut, kata Djajus, bahkan hingga 15 tahun berjalan. Demikian pengakuannya pada tulisan pendeknya, namun kemudian beralih ke aliran sastra simbolis-surealis yang lebih serius. Karya yang bisa ditangkap oleh pembaca yang cerdas dan tinggi cita rasa seni sastranya, tandas beliau almarhum.  Hal itu bisa dibaca pada karya-karya cerkak Djajus Pete pada kumpulan cerkak Kreteg Emas Jurag Gupit (2001), setahun kemudian  (2002) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage yang diketuai Ajip Rosidi itu. Sepuluh tahun berikutnya, 2011, Djajus Pete kembali menerbitkan buku kumpulan cerkan berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, tetap dengan aliran yang sama: simbolis-surealis.

 Bicara soal penghargaam Djajus Pete pernah mendapat Balai Bahasa Yogyakarta, sebagai pengarang sastra Jawa terbaik 1998. Penghargaan sebagai budayawan pelestari/pengembang Sastra Jawa dari Bupati Bojonegoro tahun 2000. Bukunya Kreteg Emas Jurag Gupit ' dapat Hadiah Sastra Yayasan Rancage, Jakarta, yang diketuai Ajib Rosidi tahun 2002.

Buku terakhir yang terbit karya Djajus Pete adalah berjudul Manuk-Manuk Mabur (2020)  memuat 15 cerkaknya, yang kebanyakan yang termuat sudah termuat di buku kumpulan sebelumnya. Sementara itu atas kepergian sang maestro cerkak  ( meninggal dunia, 19/7/2022) ini, komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menerbitan buku “Lelakon” Djajus Pete ing Antarane Para Kanca; yang berisi cerkak dan guritannya, juga tulisan para sastrawan Jawa lainnya yang ikut kirim esai pendek atau guritan untuk mengenang beliaunya. Mereka itu antara lain: Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, Agus Sighro Budiono, Yusuf Susilo Hartono, JFX Hoery, Sunarko Sodrun Budiman, Trinilya Kasih, Tito Setyo Budi, Mas Gampang Prawoto, Uciek Fuadhiyah, George Quinn, Arieyoko dan banyak lagi.

 

Sedangkan cerkaknya berjudul 'Kakus' dapat hadiah sastra dari majalah Panjebar Semangat (1993) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada  1989 hingga 1993. Begitu pula cerkak  'Bedhug" dapat hadiah yang sama dari majalah Panyebar Semangat (1997) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada 1993 - 1997. Cerkak kak 'Tikus lan Kucinge Penyair' dapat hadiah sastra dari Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung, tahun 1995. Pernah juga mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, 2004, sebagai bidang Sastrawan Jawa.

     Djajus Pete yang rokonya khas rokok klobot cap Oeloeng ini, pernah menjabat jadi Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bojongeoro, masa bakti 2001 - 2004. Pernah tahun 1999, baca cerkake di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada acara sastra Daerah. Waktu itu bersama almarhun Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (IKIP Surabaya) sebagai penceramah sastra Jawa. Lantas Widodo Basuki (redaktur Jaya Baya) baca guritan, juga Poer Adhie Prawoto dari Surakarta.. Jadi pemakalah dan narasumber tunggal penulisan sastra kreatif di sanggar-sanggar Sastra Jawa, di  Fakultas Sastra -Jurusan basa - sastra Jawa, IKIP Surabaya. Beberapa mahasiswa dari  IKIP PGRI Semarang, UGM Yogya, dan UNS Sebelas Maret Solo, yang menjadikan karya-karya Djajus Pete untuk objek penelitian skripsinya.

   Bersama kawan-kawan PSJB dari Bojonegoro sempat hadir acara di teras Arena Teater Taman Budaya Jawa Tengah ( Surakarta ), 18 April 2022 pada perhelatan Malam Sastra Jawa "Anggara Kasih 7 " di Solo.

    Dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, Komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) meluncurkan sebuah buku antologi bertajuk “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” pada Minggu (30/10/2022). Bertem-pat di kediaman pegiat sastra jawa JFX Hoerry, yang menginisiasi buku itu. Persisnya berada  di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.

Beberapa tokoh sastra Jawa ikut hadir dan berdiskusi waktu, antara lain: Dr. Tito  Setyo Budi ( Sragen), Dr. Rahmat Djoko Prakosa, Dr. Suharmono K dari PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), pengarang Sanggar Triwida Trenggalek, St. Sri Emyani;  Dr. M Shoim Anwar dari Unipa (Universitas PGRI Adi Buana) Surabaya, peneliti BBY Yogyakarta, Dhanu Priyo Prabowo dan banyak lagi. Djajus Pete bukan cuma pengarang cerkak, tapi juga penggurit atau menulis pula puisi berbahasa Jawa. Selamat jalan, Kang Djajus Pete. Semoga jembar lan padhang kuburane. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).***

 


PUISI-PUISI MINGGU INI: GURITAN DJAJUS PETE

     Melengkapi tulisan mengenang sang maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, berikut ini saya sertakan beberapa guritan beliaunya. Diambil dari buku: “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” terbitan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, 2022.

 

Djajus Pete

R O K O K

 

Asep-asep putih

Mertamu njero dhadha

Ngukungake oleh-oleh

Ing dluwang-dluwang burem dakseleh

 

Asep-asep putih

Pawewehmu ngebaki ati

Balungan prosa lan puisi

 

Yen sliramu ora mertamu

Utegku njendhel, drijiku kaku

 

 

 

Potret diri, sketsanya sendiri karya Djajus Pete. (Foto: Istimewa).*

 

Djajus Pete

LELAKON

 

Ana randha ayu moblong

Nyangking koper, menyang Hongkong

Luru sandhang lan pangan

Kanggo anake loro ing padesan

Blitar, Jawa Timur

Bale somah bubar, atine ajur

O…lelakon

Ping pindho atine ketaton

Oleh pacar mung seneng kelon

 

Surabaya nyimpen sacuwil crita

Pacare nggantheng, duweke wong liya

Saya kelara-lara

Mangkat lunga, golek tamba

 

                                    Agustus, 2010

 

Djajus Pete

KUNJARAN

 

Tlatah iki

Kunjaran sepi

Kunjaran Gusti

Tan bisa disingkiri

 

 

Kunjaran ikisepi

Njerone bangsane maling-maling kuthuk

Kapan koruptor ngringkuk

Kunjaran iki sepi

Awit bebener lan keadilan

Onya

Bareng gebyare mutiara

 

Dharma Kandha, Juli 1971

 

 

Djajus Pete

TILINGNA

 

Apa sing dioyak nabrak-nabrak, nerak-nerak

Ngoyak butuh mripat peteng ora weruh

Montang-manting

Kebanting-banting

Meksa ora eling

Endi sangumu kanggo bali yen wis titiwanci

Apa lali, durung kakupadi

 

Telingna swara kanthinira

Jroning ati nyuwara rina lan wengi

Dumeling nuntun ajak eling

Iku dalane rahayu

Ora bakal kleru

 

Tobo-Bojonegoro, 2010

 

 

 

MAESTRO SASTRA SURABAYA

 

Mengenang Suparto Brata

MAESTRO SASTRA SURABAYA

Oleh: Aming Aminoedhin



Betapa tidak maestronya seorang Suparto Brata? Sebab selama  perjalanan hidupnya, beliau telah menulis banyak karya sastra berupa novel dan cerita pendek, baik berbahasa Indonesia maupun Jawa. Bahkan ratusan jumlahnya, dan bagi pembaca setia Harian Kompas pasti akan pernah membaca cerita seperti Kremil, yang termuat secara bersambung di harian ini, sekian tahun yang lalu. Saya sendiri, membaca cerita Kremil juga dipada cerita sambungnya Kompas itu. Sungguh banyak orang yang sangat kenal Suparto Brata, melalui cerita-cerita yang termuat di koran  itu.

Beliau pernah menggunakan nama samaran dalam menulis (utamanya berbahasa Jawa) seperti nama: Peni, Eling Jatmiko, dan M. Sholeh. Keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat, putra dari R. Suratman Bratatanaya dan RA. Jembawati. Suparto Brata merupakan anak ke-8 dari 8 bersaudara, namun hanya satu yang hidup, yaitu Raden Mas Soewondo.

Suparto Brata lahir di kota Surabaya, Sabtu Legi 27 Februari 1932; dan meninggal Jumat, 11 September 2015. Beliau menikah dengan Rara  Ariyati—lahir di Meurudu Aceh 27 Desember 1940—pada tanggal 22 Mei 1962 di Purworejo, Kedu (Jateng).  Dikaruniai empat orang anak, yakni Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neo Semeru Brata (1964), dan Tenno Singgalang Brata (1971). Keempat anak Suparto Brata, memberinya delapan orang cucu. Suparto Brata tinggal di Rungkut Asri III/12 Perum YKP RL-I C 17 Surabaya 60293.

Menurut pengakuan, ketika beliau masih hidup dikatakan bahwa  pendidikannya berawal dari pendidikan di Angka Loro Sragen (1938—1934), Sekolah Rakyat di Surabaya (1943—1945), Sekolah Rakjat VI Jalan Laut Probolinggo, lulus tahun 1946, SMPN II Jalan Kepanjen Surabaya, lulus tahun 1950, SMAK St. Louis Jalan Dr. Sutomo Surabaya, lulus tahun 1956.

 Maestro Sastra Surabaya

            Kota Surabaya, memang punya banyak pengarang yang cukup dikenal sampai ke tingkat Nasional, sekedar menyebut beberapa nama, seperti: Muhammad Ali, Basuki Rahmad, Suripan Sadi Hutomo (ketiganya almarhum), lantas Budi Darma, Akhudiat, Dukut Imam Widodo, M. Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Tengsoe Tjahjono, Suharmono K, R. Giryadi,  dan banyak lagi. Namun mereka tidak seperti Suparto Brata, yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Jawa, dan karya sastranya tetap punya kualitas dan kuantitas yang cukup diperhitungkan dalam dunia sastra. Baik di ranah sastra Indonesia dan Jawa.

            Tidaklah salah jika beliaunya diberi predikat sebagai Maestro sastra Surabaya. Gigih dan tekun dalam menulis dibuktikan dari lamanya ia berkecimpung dalam menulis. Menulis diawali  tahun 1951.  Beliau menulis apa saja dari: menulis berita, feature, artikel, dan sastra di banyak media massa, seperti: Majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Kisah, Seni, Buku Kita, Sastra, Aneka, Vista, Sarinah, Kartini, Putri Indonesia, Panjebar Semangat, Mekar Sari, Jaya Baya, Djoko Lodang, Jawa Anyar, dan Dharma Nyata, korannya antara lain: Surabaya Post, Harian Umum, Suara Rakjat, Pikiran Rakjat, Trompet Masyarakat, Jawa Pos, Sinar Harapan, Indonesia Raya, Kompas, Suara Karya, dan Republika.

            Hal tersebut dikarenakan beliau pernah  bekerja sebagai pegawai Kantor Telegrap PTT Surabaya tahun 1952—1960, yang pada waktu senggangnya bisa digunakan menulis. Beliau lantas bekerja pada Perusahaan Dagang Negara Djaja Bhakti Surabaya 1960-1967. Jadi wartawan frelance/lepas tahun  1968—1988 di berbagai media massa seperti Jaya Baya, Surabaya Post, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, dan Suara Karya. Pada saat yang hampir bersamaan, yakni dari tahun 1971 hingga 1988, Suparto Brata bekerja sebagai PNS di Pemda II Kotamadia Surabaya, Bagian Humas. Memasuki masa pensiun PNS, beliau merasa lebih bebas merdeka untuk menulis karya sastra.

 Menulis Sastra Jawa

         Bicara soal sastra Jawa, maka Supatro Brata, memang sangatlah peduli. Tulisan sastra berbahasa Jawanya, banyak sekali – baik cerita cekak maupun novel atau roman --  berbahasa Jawa. Melalui karya-karyanya itu, beliau mendapatkan anugerah hadiah Rancage tahun 2000 atas jasanya mengembangkan sastra dan bahasa Jawa. Tahun  2001 untuk karyanya Trem (kumpulan cerkak),  dan 2005 untuk karyanya Donyane Wong Culika.

Begitu pula soal organisasi sastra Jawa, beliau tetap terus memberi semangat komunitas ini. Beliau pernah sebagai penasehat PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), yang diketuai Dr. Suharmono Kasijun (dosen Unesa). Bahkan ketika PPSJS akan menerbitkan kumpulan guritan beserta terjemahannya, bertajuk Gurit Bandha Donya, beliau minta karyanya ikut dalam kumpulan guritan tersebut. Anehnya, guritan beliau hanya ditulis dalam satu kata, yaitu ‘plung’.

Ketika bedah buku Gurit Bandha Donya, di Taman Budaya Jawa Timur (2014), beliau sempat hadir, dan ikut diskusi dengan pembedah bukunya, M. Shoim Anwar. Sedangkan ketika rombongan PPSJS tampil lagi membawa Gurit Bandha Donya dalam sajian ludruk-guritan di Tembi Rumah Budaya-Yogya, 31 Juli 2015 lalu, sang Maestro tidak kami ajak serta, karena kondisi sedang sakit.

Kini mbah Parto Brata, memang telah tiada. Tapi karya-karya sastranya akan tetap abadi untuk terus dibaca dan diteliti. Karya sastra yang kebanyakan bercerita dengan latar/setting tentang kota Solo dan kota Surabaya.

Selamat jalan maestro sastra Surabaya, doa kami semua mengiringi! Semoga semua amal ibadahnya diterima Allah SWT; dan diampuni segala salah dan khilafnya. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).