Kamis, 10 Februari 2011

SASTRAWAN KOTA NGAWI

KOTA NGAWI dan SASTRAWAN
Catatan Kecil dari anggota Komunitas Persada Ngawi
ditulis: Aming Aminoedhin




Perkembangan sastra Indonesia telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, dengan ditandai banyaknya pengarang-pengarang muda yang bermunculan, baik laki-laki maupun pengarang perempuan. Begitu pula karya-karya yang diterbitkan, baik prosa, puisi, maupun naskah drama; sangatlah beragam corak, tema, dan gaya penulisannnya. Begitu pula perkembangan sastra di provinsi Jawa Timur ini, juga mengalami kepesatan dalam hal jumlah pengarang, maupun mutu karya yang diterbitkan.
Perkembangan sastra di wilayah ini, meski tidak sefenomenal daerah lain, jika ditilik dari sisi perkembangan kuantitas dan kualitas penggiat pelaku sastra, di provinsi ini patut mendapat perhatian tersendiri. Banyak karya sastra ditulis oleh pengarang sastra Indonesia yang lahir atau berdomisili di Jawa Timur ini. Di sisi lain, ada suatu ironi, yakni ketidaktahuan masyarakat tentang keberadaan pengarang sastra Indonesia di Jawa Timur beserta karya-karya sastranya.

aming aminoedhin
Salah satu indikator perkembangan sastra Indonesia di Jawa Timur dapat dilihat dari pemunculan karya-karya pangarang dan penyair di media massa. Dari beberapa nama yang ada, sejumlah nama pengarang sering muncul di surat kabar atau majalah, yaitu: Budi Darma, Suripan Sadi Hutomo, Akhudiat, Aming Aminoedhin, M. Shoim Anwar, D. Zawawi Imron, Rusdi-Zaki, Beni Setia, Sirikit Syah, Luthfi Rachman, Muhammad Ali, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widiyanto, Herry Lamongan, Mashuri, Indra Tjahyadi, W. Haryanto, S. Yoga, S. Jai dan sederet nama terkenal lainnya. Berbagai genre sastra yang mereka tampilkan meliputi prosa (cerpen/cerita sambung/novel), puisi, bahkan naskah drama.
Sebagai salah satu cabang kesenian, berupa sastra di Jawa Timur cukup banyak digemari. Banyaknya komunitas sastra yang hidup dan berkembang di provinsi Jawa Timur merupakan salah satu bukti, di samping seringnya dilakukan pementasan-pementasan sastra. Beberapa komunitas sastra Indonesia yang dapat dicatat adalah FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), Komunitas Sastra Pesantren Al-Amien (Sumenep), Komunitas Sastra dan Teater Gapus (Fakultas Sastra Unair Surabaya), Komunitas Kalimas (Unesa/IKIP Surabaya) Forum Seni Sastra Luar Pagar (Unair Surabaya), dan FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya)
Ironisnya, banyaknya pergelaran kesastraan ternyata tidak diikuti oleh kepopuleran para sastrawan yang melakoninya. Para pengarang sastra Indonesia di Jawa Timur memang kurang dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sendiri. Padahal di antara pengarang dan penyair tersebut, ternyata telah menghasilkan beberapa karya yang monumental dan cukup fenomenal. Puisi berjudul “Ibu” karya D. Zawawi Imron, puisi berjudul “Berjamaah di Plaza” karya Aming Aminoedhin, novel “Olenka” karya Budi Darma, novel “Saksi Mata” dan “Kremil” karya Suparto Brata, merupakan beberapa contoh karya tersebut.
Berangkat dari persoalan inilah, penulis ingin mencoba menyajikan keseimbangan antara ciptaan dan pencipta, haruslah juga dikenalkan kepada masyarakat pembacanya, yaitu keberadaan komunitas ‘Teater Persada’ yang secara kebetulan saya pernah jadi anggotanya.

Teater Persada Ngawi
Membicarakan sejarah komunitas sastra ‘Teater Persada’ Ngawi, cukuplah panjang perjalanannya. Menurut keterangan, Mh. Iskan, ketua Teater Persada, bahwa kelompoknya berawal dari komunitas para pelajar yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tahun 1960-an.

Dari komunitas ini, kemudian terbentuklah apa yang dinamakan komunitas bernama “Himpunan Pecinta Sastra Etsa’ kemudian lebih dikenal kelompk ‘Etsa Divina Artis Magistra’ yang merupakan gabungan para pelajar PII tersebut, dengan membuat sebuah kelompok seni pertunjukan, menampilkan berbagai cabang seni. Di antaranya: pentas, drama, dan baca puisi. Beberapa nama yang aktif di komunitas ini adalah: Anwaroeddin, Suwandi Black, Mh. Iskan, Ummi Haniek, Rodiyah, Sutomo Ete, Gisran, Rosyid Hamidi, Wahab Asyhari, Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, M. Har Harijadi, Heru, Aming Aminoedhin, Djoko Mulyono, Ratih Ratri, Alina Evawanti, Susilowati, Agnes Maria Soejono, dan banyak lagi.
Pada mulanya komunitas ini hanya tampil di komunitasnya sendiri, Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Ngawi, tapi pada perkembangannya bisa mementaskan seni pertunjukannya di luar komunitasnya. Misalnya diundang di Bupati Ngawi, pentas drama di pendapa Kabupaten Ngawi.
Berawal dari intensnya komunitas ini berkumpul dan latihan seni pertunjukan inilah yang kemudian memunculkan ide memberi nama komunitas, yaitu ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ pada tahun 1978. Pada waktu itu, kata Mh. Iskan, komunitas ini akan mengikuti Lomba Drama se Jawa Timur di Surabaya.
 
m. har harijadi
Susunan kepengurusan, Mh. Iskan, terpilih sebagai ketuanya; dan M. Har Harijadi menjadi sekretaris. Beberapa nama yang ikut jadi pengurus antara lain: Salimoel Amien, A. Mukhlis Subekti, Wahab Asyhari, dan Suwandi Black.
Markas atau pangkalan dari Komunitas Sastra Teater Persada adalah Jalan Trunojoyo 90, Ngawi; yang merupakan rumah pribadi Mh. Iskan. Sedangkan latihan-latihan drama, dan baca puisi, biasanya dilaksanakan di pendapa Paseban WR. Soepratman Widyodiningrat, yang berada di depan Kantor Bupati Ngawi. Alternatif lain dalam penyelenggaraan latihan drama dan puisi, berada di halaman masjid besar Ngawi atau di rumah AM. Subekti di dekat masjid.

Aktivitas Teater Persada
Selama perjalanan panjangnya ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi adalah mengadakan latihan-latihan baca puisi dan drama. Dari latihan-latihan tersebut, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ berkali-kali pentas drama/teater dan selalu diawali dengan pembacaan puisi, bahkan tak jarang di dalam pentas drama/teaternya selalu memasukkan unsur di dalamnya.
Dalam aktivitas pentas drama, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ tidak hanya pentas drama panggung, tapi juga drama radio di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Kabupaten Ngawi, dan Radio Al-Azhar (Radio Swasta milik Pelajar Islam Indonesia) Cabang Ngawi.
Selain pentas drama radio, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, juga pernah membuat video-film bekerja sama dengan BKKBN Jawa Timur, dengan KPU Kabupaten Ngawi, dan instansi pemerintah di Kabupaten Ngawi.
Pentas drama panggung ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tidak hanya di kotanya sendiri Ngawi, dan berulang kali; akan tetapi juga tercatat pernah pentas di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah (PKJT) Sasonomulyo, Surakarta, Taman Budaya Jawa Timur, Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika (PPIA), Dharmahusada Barat, Surabaya, Taman Budaya Jawa Tengah di Surabaya; dan Taman Budaya Yogyakarta.
Mh. Iskan sebagai ketua komunitas, ketika teman-teman Persada tidak lagi bisa diajak bermain, maka dia memainkan sendiri sebuah naskah monolog karya Putu Wijaya berjudul ‘Mulut’. Pentas monolog berdurasi sekitar satu jam ini, telah digelarpentaskan 5 kali pertunjukan. Pentas pertama di depan siswa-siswa SMAN 1 Ngawi, MAN Ngawi, Dewan Kesenian Surabaya, dan SMAN 2 Ngawi; pada tahun 2006. Sedangkan tahun 2007 dipentaskan di depan mahasiswa Universitas Widya Mandala Madiun (tidak ingat tanggal dan hari pentasnya).
Naskah-naskah drama yang dipentaskan oleh‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, kebanyakan memang naskah yang ditulis dan disutradarai sendiri oleh ketuanya, Mh. Iskan; kecuali naskah pementasan dalam rangka lomba drama se-Jawa Timur.
                  Dalam rangka lomba pementasan drama se-Jawa Timur, ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, pernah mendapatkan predikat terbaik (sutradara dan kelompok) di tahun
1978; serta sutradara, kelompok, dan aktor terbaik pada tahun 1983. Secara catatan prestasi ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi sudah memenangkan dua kali kemenangan di tingkat Jawa Timur, yaitu 1978 dan 1983. Belum lagi, telah beberapa kali para anggotanya memenangkan beberapa kali lomba baca dan menulis puisi di berbagai lomba.
                  Aktivitas dari ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi memang tak pernah berhenti, bahkan ketuanya sendiri, Mh. Iskan, tetap bermonolog sendiri serta pentas di berbagai tempat dan komunitas lain. Di samping itu, Mh. Iskan, juga masih melukis dengan corak lukisan gaya ‘Sanggar Bambu” Yogyakarta, di mana dulu ia termasuk anggota komunitas itu.

Terbitan BukuTeater Persada
Membicarakan sejarah perjalanan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, maka tidak lengkap apabila tidak membicarakan penerbitan yang telah dihasilkan komunitas ini. Secara hitungan, ada tiga kumpulan puisi (meski sederhana bentuknya), tapi merupakan bukti keberadaannya selama ini.
Ketiga buku penerbitan ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi tersebut adalah merupakan trilogi kumpulan puisi, yaitu Tanah Persada (1983), Tanah Kapur (1986), dan Tanah Rengkah (1998). Para penulisnya adalah tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin yang selalu ada dalam kumpulan puisi tersebut. Hanya pada kumpulan Tanah Persada terbitan tahun 1983, ada salah satu anggotanya ikut menulis puisi dalam kumpulan tersebut, bernama LH. Irmawati

Tanah Persada, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Persada’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1983. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (stensilan) ini, diberi kata pengantar oleh M. Har Harijadi, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.

Dalam kata pengantarnya, antara lain dikatakan, “ Beberapa puisi yang termuat, dihimpun dengan acak, dalam artian tak ketat selektif, mengingat waktu mempersiapkan hanya sehari semalam – setelah ide mencuat dari seseorang yang obsesinya telah lama terpendam – namun dilanda kesibukan. Di antaranya pernah termuat di surat kabar atau majalah yang entah kapan tahun penerbitannya, serta yang lain bertahun lebih dari satu dekade dari yang sekarang. Apa boleh buat, suatu ‘kehadiran’ terkadang memang hanya satu kebetulan. Yang penting, mari diisi dengan perbuatan. Keliru tidak malu, yang benar kita kejar. Setuju?
Pengantar M. Har Harijadi menunjukkan betapa ‘Komunitas Sastra Teater Persada’ Ngawi, telah menunjukkan kehadirannnya lewat kumpulan puisi ‘ Tanah Persada’ ini, betapapun sederhananya. Serta berbuat untuk mengkoleksi puisi-puisi para anggota komunitasnya.
Kumpulan puisi ‘Tanah Persada’ bersisi 28 judul puisi, terdiri 5 judul puisi karya Mh. Iskan, 7 judul karya M. Har Harijadi, 8 judul karya Aming Aminoedhin, dan 8 judul puisi karya LH. Irmawanti S.

Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:

mh iskan
mh. iskan
SEBUAH JENDELA TERBUKA
PAGI INI

salamku saja untukmu, gadis kecil
yang berdiri tegak di jendela
pagi ini


benang-benang mentarimenciummu kasih
bagai selaksa bidadari turun
beruntun

salamku saja untukmu, gadis kecil
yang mengerti bunga mekar pagi hari
tubuhmu ranum-ranum buah pisang
di jendela segar
alangkah terdampar

sebuah jendela terbuka
pagi ini
di jantung kota
menara yang tegak adalah ibunya
di bawah taman lebat berbunga

dan gadis kecil itu
masih saja sayu menatapnya
-adakah bonekaku ketemu di sana

segala tanpa kata
sebab jendela itu tinggi
dan gadis itu sendiri

1967



mh. iskan
DI JALAN-JALAN TENGAH KOTA

di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
setiap kata adalah keyakinan
meski cuma dengar dari berita

di jalan-jalan tengah kota
orang lebih tertarik untuk duduk
dan bicara seenaknya tentang perburuan
nyawa anak-anak yang di pertaruhkan
dan serpihan-serpihan logam jadi akrab
di antara padang-padang rumput
hutanpun lata penuh asap mesiu
kota-kota jadi mati
kabut semakin rendah, semakin rendah

langitpun mulai mengeluh
kapan bayi-bayi itu damai dalam gendongan
tak terganggu desingan peluru
tapi ini adalah permainan
dari tangan-tangan yang haus
dan jiwa-jiwa yang sunyi
dari tuntutan kemerdekaan
atau kerinduan yang dicanangkan
lewat sumur-sumur bermata bangkai

di jalan-jalan tengah kota
dimana-mana barat timur utara
kabutpun semakin rendah, semakin rendah
sementara burung-burung nyanyi lagu duka
dan dimatanya terkenang nanah
yang setiap kali meleleh
genderang-genderang sayup mengetup satu-satu
diantara kibaran-kibaran bendera setengah tiang

langitpun tetap mengeluh
kabut semakin rendah, semakin rendah
bumi seperti biasa mendukung beban
meski tangis ini tertahan

di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian

jakarta, 1972



mh. har harijadi
SIANG HARI

ruang persegi empat ini pengap
tubuhku lungkrah dan dadaku sesak
haruskah tinggal berlama-lama menatap
tanpa sedikitpun berusaha
melapangkan nurani yang mendesak
doapun telah berlaksa dilafazkan
hatipun yang gundah telah dicobasegarkan
tapi hanya padaMu-lah Tuhan
yang kuasa menyejukkan
apalah arti seorang hamba
apalah arti segala usaha
apalah artinya seorang manusia

ngawi, 1973

mh. har harijadi
SEBELUM SENJA

tercenung setelah tidur siang hari
resahku yang abadi
mengeram dalam hati

hari belum senja
mestinya hari-haripun masih panjang pula

ngawi, 1972

aming aminoedhin
SELAMAT TINGGAL KOTA


aku seperti tak kuasa berucap ‘selamat tinggal’
kota tanahku tercinta

selayang kulihat beburung berarak terbang menjauh kian jauh
seperti telah jenuh melihat kotaku selalu melenguhkan keluh

tapi akankah aku tetap bertahan
pada sebuah kota, di mana
yang abadi hanya sepi

kota yang berbatas kali dan berbatas kali
dan bila air meluap musim hujan, di jalan raya
pasti sebatas lutut kaki. mobil terhenti
anak-anak mendorong bernyanyi

dan bila saatnya nanti, aku memang harus enyah
melangkah pergi. mungkinkah resahku akan istirah
dan sepiku akan menepi
atau lebih terpatri?

memang ludah yang telah kuludahkan
tiadalah mungkin akan kujilat kembali

hanya pesan padamu, mitraku
kata ‘kenangan’ hanya memunculkan keindahan beragam
tapi cinta dengan beribu jalan bisa tetap bertahan
meski sejuta luas samudra jarak terbentang

ngawi, 1982

aming aminoedhin
PATUNG

Telah kupatungkan wajahmu
pada hatiku. Yang berarti ini tak
memungkinkan bayang-bayang wajah
akan lagi bergerak mendesak
pada hati yang gelisah

Wajahmu telah jadi petapa yang semedi
tenang. Seperti cendawan, pada
hatiku tersimpan

Tapi kulihat dirimu masih rawan
di hadapanku enggan. Di matamu
memuat ragu-ragu

ngawi, 1983


lh. irmawanti s.
TELAGA SARANGAN

milikMukah ini Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingkai Lawu?
teriak bocah-bocah kecil
tawarkan sekeranjang sayuran
juga mainan anak-anak
berjalan sepetak
perempuan tua
tawarkan barang serupa
milikMukah Tuhan
lalu laki-laki
dengan kuda
tujuh ratus lima puluh keliling telaga
milikMukah Tuhan
juga orang-orang papa
yang gemetar memohon kasih?
milikMukah Tuhan
telaga menghijau, bening, tenang
berbingkai Lawu?


lh. irmawanti s.
PAHLAWAN TANPA TANDA JASA
yang tercinta Ibu Bapak

jalan berdebu
setia kalian lalui
dengan beban
makin sarat di pundak
engkau kian senja
sedang aku
baru sampai pada titian pertama
Tuhan
nyalakan lilinMu
singkirkan kerikil
di jalan berdebu itu!


Tanah Kapur, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Kapur’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1986. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (fotokopian) ini, diberi kata pengantar oleh M. Har Harijadi, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya, antara lain dikatakan,” Perjalanan panjang Teater Persada memang tak bisa tercatat secara keseluruhan, namun demikian kegiatan yang pasti adalah teater/drama, dan beberapa kegiatan lain seperti baca puisi, serta membuat semacam latihan-latihan kesenian lainnya.
Dalam perjalanan selama ini, Teater Persada pernah mencatat sebagai pemenang festival Drama se-Jawa Timur pada tahun 12978 dan 1983 di Surabaya.
Lebih dari itu, sementara waktu ini Teater Persada Ngawi hanya berlatih teater secara tidak rutin di kampungnya sendiri, misalnya untuk persaiapan pementasan sewaktu-waktu. Lantara beberapa waktu berselang – sementara sedang gencar-gencarnya mempersiapkan ikut Festival teater di Surabaya – kabar yang terdengaer justru festival dibatalkan. Barangkali ada menyelinap kecewa, namun ada pula terasa yang diambil maknanya.
Sebab itu kemudian memunculkan ide untu menerbitkan kumpulan sajak ‘Tanah kapur ini, agar komunikasi masih ada terjalin.”
Dari kata pengantar ini, bisa diketahui bahwa Teater Persada Ngawi, memang tidak lelah-lelahnya berproses latihan teater. Sedang melalui latihan latihan-latihan itu, yang kemudian memunculkan ide lain berupa penerbitan kumpulan puisi ‘Tanah Kapur.”
Kumpulan puisi ini memuat karya-karya puisi dari tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin; memuat sejumlah 45 judul puisi, terbagi atas 12 judul karya Mh. Iskan, 19 judul karya M. Har Harijadi, dan 14 judul karya Aming Aminoedhin.

Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:
mh. iskan
RUMPUT-RUMPUT BERGOYANG
DI TANAH LAPANG

rumput-rumput bergoyang di tanah lapang, adik
rindu rumput rindu jemput menggamit jiwaku
adalah kehadiran yang memanjang dan menyesak
jika rumput-rumput bergoyangan
di tanah lapang

sepotong dukana nyangkut di daun pintu
dan aku menatap goyangan perdu
di bendul jendela
nyanyi sunyi di padang itu
jengkerik pun menyusut sayapnya
rindu rumput rindu lumut adalah menyatu
dalam tatapan warna senja

rumput-rumput bergoyang di tanah lapang, adik
rumput rindu menyaput dukana
yang membasuh warna malam
melantunkan suara merdeka
damai di bumi damai adalah kerinduan
seperti nyala rinduku padamu

Ngawi, 1976





mh. iskan
AKRABNYA BIRU LANGI T
DI ATAS BUKIT

akrabnya biru langit di atas bukit
simphoni menyusup lewat senja itu
secangkir teh mengulum hasratku
yang sekian kali kutahan
dan alam adalah selimutku
di sini

angin jatuh satu-satu
sementara gembala itu meniti senja
namun suara gaung doaku
menepis punggung-punggung bukit
mengalir di gerisik air mengelus batu-batu
secangkir teh melewatkan sepiku
dan doaku telah kuendap
jadilah jiwa yang menuntunku ke lembah sana

dan perjalananku tak usah kau tangisi
karena inilah hasrat untuk menembus waktu
sampai kapan jam menghentikan detaknya
akrabnya biru langit di atas bukit
nyala sepiku menggugah
aroma dan sendrian mengurut punggung bukit
di sini kutatah namaku
menjelang usia yang ketiga puluh enam
Ngawi, 1978
mh. har harijadi
SEBELUM PATAH HATI

segera setelah mencintai
kutetapkan syarat-syarat administrasi
demi efisiensi
abad teknologi
Ngawi, 1978

mh. har harijadi
DI NGAWI

apalagi yang bisa saya pelajari
pengulangan itu sudah membosankan
sulit ditarik sepercik kemanfaatan
sedang jadwal masih begini hari-hari
tumpah darah katanya harus dijunjung tinggi
saya malah tak bisa krasan-krasan

1979


aming aminoedhin
STASIUN BALAPAN

Di antara gerbong-gerbong barang
Matahari panas menyerang. Stasiun
seperti terbakar. Membakar

Di antara gerbong-gerbong renta
Aku berlindung dari matahari yang tua. Terjepit
tersudut antara gerbong-gerbong bisu
Terkantuk-kantuk mata. Menunggu
Menunggu lama. Saat loko tiba

Di antara gerbong-gerbong yang ada
Laparku menghunjam perut, seperti
keris yang punya tuah. Bersiap
menancap untuk membedah

Kereta belum berangkat, meski
muatan barang dan penumpang telah
sarat. Sarat muatan

Gerah tengah hari membakar
Aku lelah duduk bersandar
Menekan pikirrasaku berlayar
Menekan perutku yang lapar

Solo, 1983

aming aminoedhin
TANAH KAPUR
* sketsa kota ngawi pagi hari

tanah pegunungan kendheng memanjang tampak kabur
oleh kabut pagi, dan matahari muncul memerah
di timur menyenandung. berbaur suara
kicau burung dan indahnya embun di rumput daun
mengucap kata selamat pagi kota ngawi

rerumput di alun-alun berembun
alun-alun nan luas, dan tetukang kayu
memikul beban kayunya melintas
dari arah utara kota baris berjalan memanjang
menuju selatan ke pasar Beran, punya tujuan

adakah yang lebih berat
memikul kayu yang sarat demi nasi sesuap
atau menjual lebatnya hutan jati
demi mengejar tingkat teknologi abad ini?

adakah kita kan kehilangan hutan jati
kicau burung, indahnya embun di rumput daun
saat matahari menjemput pagi
di esok hari nanti?
1986

Tanah Rengkah, kumpulan puisi
Kumpulan puisi yang berjudul ‘ Tanah Rengkah’ ini diterbitkan oleh kelompok Teater Persada Ngawi, tahun 1998. Dalam kumpulan puisi yang sederhana (masih berbentuk fotokopian) ini, diberi kata pengantar oleh Aming Aminoedhin, salah satu dari penyair yang puisi-puisinya termuat dalam kumpulan ini.
Dalam kata pengantarnya Aming Aminoedhin antara lain, mengatakan,”Ada semacam benang-merah yang melatarbelakangi terbitnya kumpulan puisi ini. Bermula dari omong kosong (Saya, Mas Iskan, dan Mas Harijadi) di beranda rumahnya Mh. Iskan yang kebak lukisan itu, tentang betapa banyaknya sekarang ini, generasi muda yang kepingin jadi penyair tanpa melalui tempaan pengalaman yang tearasa tiada mudah untuk menyandang ‘sang penyair’. Tak kurang pula bicara soal pentas ‘Wayangan Sabtu Legi’ di pendapa Bupati yang kini jadi tradisi di Ngawi. Kemudian dilanjutkan perbincangan soal perlu kiranya menyambung dua kumpulan puisi terdahulu terbitan Teater Persada Ngawi, yaitu Tanah Persada dan tanah Kapur. Lantas ketemulah ide untuk menerbitkan ‘Tanah Rengkah’ sebagai trilogi kumpulan puisi dari Teater Persada Ngawi.
Sebenarnya tidak itu saja, kumpulan puisi yang terbit dari kota Ngawi. Bilau mau mencatat (dan itu pun tidak lengkap) adalah kumpulan puisi ‘Surat dari Ngawi’ (Mei, 1994) diterbitkan Kelompok Lingkar Sastra ‘ Tanah Kapur’ Ngawi, yang ternyata sebagian besar penulisnya juga anak-anak Teater Persada Ngawi sendiri. Begitu pula kumpulan puisi berjudul ‘Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam’ (November, 1994), terbitan Teater Sampar Ngawi, yang para awaknya juga embrio dari Teater Persada Ngawi.
Dari catatan pengantarnya kumpulan tersebut di atas, bisa diketahui bahwa di kota Ngawi juga banyak kelompok teater lain yang cukup berkembang keberadaannya. Belum lagi ada nama Teater Magnit yang diketuai oleh Kuspriyanto Namma, seorang penggagas Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP).
Kumpulan puisi ‘Tanah Rengkah’ ini, masih memuat karya-karya puisi dari tiga penyair, yaitu: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, dan Aming Aminoedhin; memuat sejumlah 41 judul puisi, terbagi atas 14 judul karya Mh. Iskan, 13 judul karya M. Har Harijadi, dan 14 judul karya Aming Aminoedhin.
Beberapa karya yang termuat dalam kumpulan tersebut penulis sertakan guna melengkapi penelitian ini:
mh. iskan
LEMBAYUNG BAKUNG

lembayung bakung
nagasari santapan pagi
tak mungkin sirna oleh teknologi
tak mungin mati oleh gerigi-gerigi
lembayung kangkung, serai madu, jenang ragi
adalah tumbal raga, adalah ruh lembah cadasku
yang tumbuh menurut getar jari-jari mencakari bumi
yang tumbuh melumasi otot-otot bayi

napas lembayung daun kunci laos jahe
adalah bau kesturi menggugah alam pagi
menapaki ranjam batu dan desah tanah
yang tergugah
karena jiwa-jiwa yang pasrah
kemurnian yang abadi

lembayung-lembayung bakung
nagasari santapan pagi
selalu kutemui setiap jengkal tanah
dan tubuhku menyatu di pusar raganya

ngawi, 1993

mh. iskan
SAJAK TEMBANG KAPUR

angin letih menepisi ranting
dan bau tanah purba bangkit
merebak di kulit bumi
adalah nafas sukma yang bening

harumnya tanah kapur, coklatnya lembah
tak mengubah niat yang tabah
kali sunyi adalah rengkuh
tembang megatruh
menyusup jiwa-jiwa yang pasrah
tak pernah istirah
adalah tonggak adalah akar adalah
getar yang memuput bongkah tebing cadas
dicium langit tak wingit

Ngawi, 1994
mh. har harijadi
SEPANJANG JALAN RAYA

Kadang terasa hina, tak berani mempercepat kendaraan
Waktu sudah kencang jalannya, hanya mati ketakutan satu-satunya
Aku yakin tak tahu nasib apa selama di jalan raya
Tapi segalanya begitu gampang terlaksana
Seperti yang sudah kerap terlihat, namun tak pernah teralami
Padahal kini semuanya kian memaksa, tak bisa menghindari
Ah, biarlah ditertawakan, lantaran terlalu berjaga-jaga
Padahal kini, harus banyak pergi menuruti arah teknologi
Barangkali belum terlambat, masih selalu mengucap doa
Walau orang semakin tak saling mengenalnya
Tak pernah lagi perlu basa-basi, menyapa sekedarnya
Kini aku malah merasa dekat Tuhan berada di jalan
Aku berjumpa Tuhan di mana-mana
Sampai kapan berlaku hari-hari demikian
Siapakah yang patut disalahkan?
Jika memang begini keadaan
Kesimpulannya? Anak jaman akan kembali padaMu sendirian!

Ngawi, 1979

mh. har harijadi
GEDONGTATAAN

saya ingin menyalahkan petani kalau begini
sudah bertransmigrasi lalu pulang kembali
tidakkah sesuai dengan profesi
hidup bertahun di dusun ternyata tak dihayati
masihkah hasrat mengekalkan urbanisasi

hutan yang bergayutan bukan untuk ditakutkan
betapa luasnya tak terhitungkan masa depan
salamkan hatimu, kita adalah satu
mari kita benah, sama-sama punya rumah
bukankah ini khalifah yang telah jadi anugrah

sebenarnya tak lagi perlu tawaran
kalau kita sudah darahkan pikiran
tinggallah keteguhan, barangkali juga segumpal pengorbanan
di sana juga kerasan, kenapa di tanah sini tak kerasan
ahoi hidup bukan lagi hanya menerima sesuap makanan

Lampung, 1980

aming aminoedhin
MATAKU MATA IKAN
malam telah begitu larut
tapi mataku adalah mata ikan
terjaga. tanpa ada kantuk
datang menyerang sepanjang malam

jika harus dirunut awalnya
barangkali hanya hati yang hanyut
pada kenangan teramat indah
mendepakku ke ujung dunia yang resah

mataku mata ikan malam ini
terjaga sepanjang malam begitu sunyi
hatiku hati yang lebam kini
begitu hitam seperti kelam berdiri

mataku mata ikan
hingga berlabuhnya parak pagi
hatiku hati rawan
begitu rapuh didepak sunyi

Surabaya, 1991

aming aminoedhin
TANAH RENGKAH I
* mashar + mh. iskan

selalu saja kita bincangkan seni
di kota tanah rengkah ini
selebihnya seperti telah bertahun
kutulis dalam baris puisi
yang abadi di kota ini
hanya sepi hanya seni
meski kota dilanda hujan
dilanda banjir
dilanda kemarau panjang
kehabisan air
hanya seni terus bernafas segar
mengalir

masihkah kita akan menipu diri
mengacuhkan nafas seni
yang mengental dalam dada ini
yang mengakar dari generasi
ke generasi, mengalir
tanpa mau henti

kota tanah rengkah yang tua
telah mencatat peristiwa budaya
ke peristiwa budaya
yang mengkristal dalam dada
adakah kita akan lupa?

malam telah begitu larut
suasana terasa nglangut
dari pendapa bupati
masih terdengar pergelaran
wayang kulit sabtu legi
lamat-lamat menyibak sepi

adakah kita akan menipu
dan lupa diri?
Ngawi, 2 Maret 1996

Kota Tercinta, kumpulan puisi
Komunitas Sastra Teater Persada Ngawi, telah menerbitkan buku 3 (tiga) kumpulan puisi tersebut, juga memprakarsai penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen bertajuk ‘Kota Tercinta’ (November, 2003) berisi tulisan sastra para alumni SMAN Ngawi, pada acara semarak Lima Windu atau 40 Tahun SMAN Ngawi yang kemudian berubah jadi SMAN 2 Ngawi. Dalam buku ini termuat tulisan puisi-puisi karya: Aming Aminoedhin, M. Har Harijadi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widiyanto, serta cerita pendek karya Etik Minarti. Dalam kata pengantar yang ditulis M. har Harijadi, antara lain dikatakan, “Memang banyak sastrawan kelahiran Ngawi yang sudah terkenal, bahkan sudah almarhum, tapi mereka bukan alumni SMA Ngawi. Selain mereka menulis dalam bahasa Indonesia, juga di antaranya menulis dengan bahasa daerah, Jawa. Ada nama Poerwadi Atmodihardjo, Umar Kayam, satim Kadarjono, M. alwan Tafsiri, Mh. Iskan, Basuki Rahmad, Djajus Pete, Hardho sayoko SPB, Hamdy Salad, Junaidi Haes, Kuspriyanto Namma, dan banyak lagi.
Sementara itu komunitas sastra teater lainnya ada juga yang menerbitkan kumpulan puisi, yaitu: Kelompok Lingkar Sastra ‘Tanah Kapur’, dan ‘Teater Sampar’.
Kelompok Lingkar Sastra ‘Tanah Kapur’
Kelompok lain bernama Lingkar sastra Tanah Kapur, diprakarsai oleh Tjahjono Widarmanto, telah menerbitkan buku antologi 9 penyair Ngawi bertajuk ‘Surat Dari Ngawi’. Mereka para penyair tersebut adalah: Mh. Iskan, Junaidi Haes, Aming Aminoedhin, Tjahjono Widiyanto, Anas Yusuf, Tjahjono Widarmanto, M. Har Harijadi, Agus Honk, dan Setiyono.
Antologi ini memuat sebanyak 59 judul puisi, terbagi masing-masing 7 judul puisi karyaMh. Iskan, Junaidi Haes, Aming Aminoedhin, Tjahjono Widiyanto, Tjahjono Widarmanto, dan M. Har Harijadi. Sedangkan Anas Yusuf karyanya termuat 8 judul, Agus Honk 5 judul, dan Setiyono 4 judul puisi.
Selain itu, komunitas ini juga pada bulan Maret 2001, dalam rangka ulang tahun jurnal kebudayaan ‘Rontal’ menerbitkan buku kumpulan puisi ‘Secangkir Kopi Buat Kota Ngawi’ sekaligus acara malam baca puisinya, bertempat di Pendapa Kabupaten Ngawi. Kumpulan ini adalah antologi puisi 12 penyair asal Jakarta, Surakarta, Surabaya, Mojokerto, Madiun dan Ngawi. Mereka itu adalah: Dari kota Ngawi ada nama: Kuspriyanto Namma, Meidyna Arrisandi, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widiyanto.Dari kota Madiun: Anas Yusuf dan Beni setia, dari kota Surabaya: Syaiful Hadjar, dan Tengsoe Tjahjono; sedang dari Mojokerto adan nama: Hardjono WS dan Aming Aminoedhin. Sedangkan masing-masing satu penyair adalah Hardho Sayoko SPB (Jakarta), dan Sosiawan Leak (Surakarta).


Kelompok Teater Sampar
Ada lagi kelompok bernama kelompok “Teater Sampar Ngawi,” dengan tokohnya Anas Yusuf dan Tjahjono Widarmanto, menerbitkan kumpulan puisi bertajuk ‘Suluk Hitam Perjalanan Hitam di Kota Hitam’ (November, 1994), berisi tulisan puisi karya penyair empat kota: Ngawi, Surabaya, Solo dan Malang. Mereka itu antara lain: Mh. Iskan, M. Har Harijadi, Aming Aminoedhin, Anas Yusuf, dan Tjahono Widarmanto (Ngawi), Arief B. Prasetyo, Leres Budi Santosa, dan Saiful Hadjar (Surabaya), Sosiawan Leak (Solo), Tjahjono Widiyanto (saat itu masih di Malang, mewakili kota Malang).
Ini hanya sekedar catatan sepenggal sejarah susastra kota Ngawi dan para penyairnya.Jika saja ada yang terlewatkan, barangkali hanyalah keterbatasan saya mencari data yang tidak komplit. Maaf!
Setidaknya saya telah mencoba mencatatnya, betapa pun sederhananya. Salam!



Desaku Canggu, 22 Januari 2011