Jumat, 19 Oktober 2012

LAKONE BAGONG IDU GENI

MOH, kumpulan guritan gagrag anyar
TAMPIL PERDANA DI ART-ROCK CAFE MALANG

Hari Jumat Wage Malam, 12 Oktober 2012, tiga penggurit Jawa Timur: Tengsoe Tjahjono, Herry Lamongan, dan Aming Aminoedhin; menggelarbacakan puisi-puisi Jawa bernama geguritan. Kumpulan guritan gagrag anyar yang diberi tajuh "Moh" itu dibacakan di hadapan audiens sastra Jawa kota Malang, bertempat di Art-Rock Cafe.
Selain acara baca gurit, buku juga dibedah oleh Karkono (Dosen UM), dan dihadiri para mahasiswa dan dosen dari UM dan Unibraw, serta penggemar budaya Jawa kota Malang.
Malam itu diramaikan juga dengan tampilan 'Kelompok Swara' Malang dengan menampilkan garapan-garapan barunya. Swara tampil sangat mempesona! Rancak, indah, dan merdu!
Malam itu, malam yang penuh tawa. Lantaran untuk berdialog, ternyata agak kesulitan jika harus dengan bahasa pengantar basa Jawa. Maka dialog pun, terpaksa dengan bahasa Indonesia. Menurut Tengsoe, penjelasannya agak gampang, mudah, dan sekaligus gamblang; maka saya harus pakai bahasa Indonesia. Moh, akan dibacakan di berbagai kota di Jatim. Siapa yang menyusul menyediakan tempat bacanya? (mat).
Catatan tambahan:
Berikutnya "MOH" digelarpentaskan di Tuban, lantas kampus Unesa Lidah Wetan, Surabaya. Sambutan audiensnya cukup responsif. Terbukti banyak yang hadir, dan bertanya soal geguritan yang termuat, maupun perkembangan puisi berbahasa Jawa ini. Di Unesa, Dr. Suharmono Kasijun, M.Pd. sebagai pembicaranya. (foto: aming)

Kamis, 11 Oktober 2012

PARA PENGARANG SASTRA JAWA


PARA PENGARANG SASTRA JAWA

1. SUPARTO BRATA
Suparto Brata, kelahiran Surabaya, 27 Februari 1932 ini sering menggunakan nama samaran Peni, Eling Jatmiko, Tera, dan M. Sholeh. Ia lahir dari pasangan Bendara Raden Ajeng Jembawati (Keturunan Paku Buwono V) dan Raden Suratman yang berasal dari Surakarta. Pendidikannya dimulai dari sekolah Angka Loro di Sragen (1938--1934), SR (1943—1945) di Surabaya, SR dan SMPnya dilalui dalam pengungsian di Probolinggo (1946–1947), kemudian diteruskan di SMPN II dan SMA Katolik St. Louis Surabaya (1954-1956).
Suparto Brata, lahir sebagai anak ke-8 dari 8 bersaudara. Namun, saudaranya yang hidup hanya satu orang, yaitu Raden Mas Soewondo, anak ke-4, sehingga ia hanya dua bersaudara. Pengarang yang menikah dengan Raden Rara Ariayati pada tahun 1962 ini memulai pekerjaan sebagai karyawan Rumah Sakit Kelamin di Surabaya tahun 1951 – 1952, kemudian pindah menjadi karyawan kantor telegrap PTT tahun 1952 – 1960 di Surabaya, pindah lagi menjadi karyawan perusahaan Dagang Negara Djaya Bhakti di Surabaya tahun 1960 – 1967, dan terakhir tercatat sebagai pegawai kotamadya II Surabaya tahun 1971 – 1988. Bapak empat orang anak, Ir. Tatit Merapi Brata ( 1963 ), Teratai Ayuningtyas, SE ( 1965 ), Neo Semeru Brata, S.TP ( 1964 ), dan Ir. Tenno Singgalang Brata ( 1971 ), ini sekarang tinggal di Rungkut Asri III / 12 Perum YKP RL – I – C 17 Surabaya 60293
Pertama kali menulis dengan media bahasa Indonesia pada tahun 1952 di majalah Siasat dan Mimbar Indonesia. Tulisannya itu merupakan artikel, sedangkan karyanya yang berbentuk sastra pertama kali muncul di majalah Garuda Jakarta tahun 1953 tanpa diberi imbalan. Tahun 1953 itu pula tulisannya terbit di majalah Kisah dengan imbalan Rp. 60. Pertama kali menulis didorong oleh keinginannya untuk memberitakan apa yang disaksikan, dipikirkan, diimajinasikan, dan dicita-citakan. Ia selalu merasa bahwa apa yang telah dia tulis belum sempurna, belum tuntas, dan belum memuaskan sehingga ia akan terus menulis. Pendapatannya sebagai seorang pengarang cukup memberikan kontribusi bagi kehidupan ekonominya. Suparto Brata menceritakan bahwa ketika ia mengambil rumah di Rungkut, kala itu cicilannya adalah Rp. 121.000. Padahal, gajinya sebagai pensiunan pegawai negeri hanya Rp. 120.000 sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya dan biaya kuliah anak-anaknya, praktis mengandalkan dari menulis. Ketika kebutuhan ekonomi mendesak, misalnya untuk biaya kuliah anak-anaknya, ia terpaksa ‘melacurkan’ diri dengan mendaur ulang tulisan-tulisannya yang pernah terbit untuk dikirimkan kembali ke media lain. Penghasilan yang cukup lumayan itu yang menjadi salah satu pendorong untuk produktif. Semasa masih bekerja di kantor telegrap, ia selalu membawa tulisannya yang ditulis tangan dengan rapi di rumah. Ia berangkat pagi-pagi sekali dan sebelum jam kerja dimulai ia mengetik tulisannya dengan mesin ketik kantor. Dengan demikian, ia merasa tidak mengorupsi waktu kerjanya di kantor telegrap. Honor tertinggi yang pernah diterima adalah ketika cerita sambungannya saksi mata dimuat di Kompas. Ia diberi imbalan Rp. 10.000.000. Uang hasil tulisannya dibelikan perlengkapan rumah seperti kulkas dan TV. Tulisannya yang berbahasa Jawa terakhir mendapat imbalan Rp. 18.000 per sekali muat atau total 360.000 untuk cerita sambung yang dimuat dalam 20 terbitan di majalah Panjebar Semangat.

Kemampuannya menulis didapat dari belajar membaca karya orang lain, terutama karya-karya detektif dari Amerika dan Inggris. Ia gemar membaca karya-karya detektif Agatha Cristie, Shidney Sheldon dan karya-karya pengarang lainnya. Dari karya-karya yang dibaca itu timbul keinginan untuk menulis seperti mereka karena ia merasa mampu menulis seperti itu dan ia juga ingin terkenal seperti penulis-penulis tersebut.
Pendapatannya dari menulis dalam bahasa Indonesia jauh lebih besar bila dibandingkan dengan tulisannya dalam bahasa Jawa. Ia menulis karangan yang berbangsa Indonesia di Siasat, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. Segala genre, kecuali puisi, ia tulis karena ia ingin menulis lebih baik dari yang telah dibacanya.
Sebagai pengarang sastra Jawa yang sangat produktif, ia banyak mendapat penghargaan. Saking banyaknya penghargaan yang diperoleh, ia sampai lupa. Beberapa penghargaan yang masih diingatnya adalah (1) pemenang penulis sandiwara dari Departemen P dan K ( 1958 ) dan (2) dari yayasan Rancage tahun 2000 sebagai pembina bahasa dan sastra Jawa dan untuk kumpulan crita cekaknya yang berjudul Trem (Pustaka Pelajar) pada tahun 2001 dan Donyane Wong Culika (2005).
Kesulitan yang dialami sebagai pengarang adalah dalam hal penyebaran karya sastranya untuk sampai kepada pembaca. Selama menjadi pengarang ia merasa mendapat bantuan dari para redaktur majalah bahasa Jawa yang telah meloloskan karangannya, para penerbit buku bahasa Jawa, teman pengarang, peneliti, kritikus sastra, dan para mahasiswa yang telah menjadikan karya-karyanya sebagai objek penulisan skripsi atau tesis S-2.
Pengarang, yang bertekad akan terus menulis sampai merasa puas karena sampai sekarang ia belum merasa puas ini berharap agar sastra Jawa dapat menjadi warga sastra dunia. Dia menganggap bahwa bahasa Jawa dapat digunakan sebagai bahasa komunikasi dalam dunia modern. Hal itu didasarkan pada pengalamannya sebagai pengarang sastra Jawa yang merasa bahwa bahasa Jawa cukup sempurna sebagai bahasa pengantar di bidang apa saja dan kapan saja. Ia menganggap bahwa bahasa Jawa cukup sempurna untuk mengungkapkan kehidupan, perasaan, peradaban, dan sebagainya tentang hidup manusia kapan saja dari dahulu hingga sekarang.
Hasil karya Suparto Brata, sejak tulisannya yang pertama sampai dengan yang terbaru (2002), didokumentasikan dengan sangat baik.
  1. Tak Ada Nasi Lain (1958, diperbaiki 1989, 249 hal, diterbitkan bersambung Kompas Januari – Maret 1990).
  1. Si Gadis Datang (drama, 18-26 Desember 1958, dimainkan oleh SGTK Surabaya 1958, dimainkan oleh Sandradika Surabaya, ditayangkan TVRI Pusat Jakarta 1973 memperkenalkan Eva Rosdiana Dewi)
  2. Cinta Dan Penghargaannya (drama, Pemenang Harapan I penulisan naskah drama Departemen P& K Yogya tahun 1958).
  3. Kaum Republik (33 hal, pemenang pertama Sayembara crita sambung Panjebar Semangat. Terbit di Panjebar Semangat tahun 1959, judulnya diganti menjadi Jiwa Republik. Diterbitkan oleh CV. Ariyati 1965, dengan judul Lara Lapane Kaum Republik).
  4. Tanpa Tlacak (Seri Detektif Handaka, 1959, dimuat Panjebar Semangat 4 Maret-6 Mei 1961 (9X) dan dibukukan oleh CV Setia Kawan Surabaya tahun 1962).
  5. Kaum Republik (drama, dimuat bersambung di majalah Aneka Jakarta No. 6 Th. X 10 Mei 1960 - No. 14 Th. XI 10 Juli 1960. (9X)).
  6. Katresnan Kang Angker (dengan nama samaran Peni, 20 Juli – 10 Agustus 1961 52 hal. Dimuat bersambung di Panjebar Semangat No. 7 Th. 29. 17 Februari 1962 - No. 19 Th 29, 2 Juni 1962. (13X). Dibukukan Setia Kawan Surabaya 1962. Dimainkan jadi drama di FKIP Sanata Dharma Yogyakarta oleh Rama Th. Koendjono S.J. 1963).
  7. Pethite Nyai Blorong (dengan nama samaran Peni, 24 Januari – 12 Februari 1962. 60 hal, ide cerita Mignon G. Eberhart: White The Patient Slept, dimuat bersambung di Panjebar Semangat 1962 dan dibukukan oleh CV Ariyat Surabaya, 1965 serta dicetak ulang oleh Yayasan Penerbit Djojobojo Surabaya, 1996).
  8. Emprit Abuntut Bedug (seri Detektip Handaka. Agustus 1962, 60 hal, dimuat bersambung Panjebar Semangat 1963, dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1966).
  9. Kaduk Wani (seri Wiradi, 1962, 18 hal, dimuat bersambung Jaya Baya, 1966).
  10. Kena Pulut (seri Wiradi, 1963, 50 hal, dimuat bersambung Jaya Baya, 1967).
  11. Mulai Dengan Senyum (drama, dimuat bersambung di majalah Gapura Surabaya 1963).
  12. Kadurakan Ing Kidul Dringu (Oktober 1963, 64 hal., dimuat bersambung Panyebar Semangat, 1963, dibukukan CV. Ariyati Surabaya, 1965).
  13. Titising Sepata (24 Januari 1964, 116 hal., cerkak (fragmen) di Jaya Baya 1966, dengan judul: Wong Wadon Narionint).
  14. Tretes Tintrim (seri Detektip Handaka, 1- 27 Agustus 1964, dimuat bersambung Jaya Baya, 1961, dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1965).
  15. Asmarani (dengan nama samaran Peni, 1964, dimuat bersambung Jaya Baya 1964, dibukukan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya, 1983).
  16. Pawestri Telu (dengan nama samaran Peni, Agustus – September 1964, dimuat bersambung Jaya Baya, 1964, dibukukan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya, 1983).
  17. Sanja Sangu Trebela (dengan nama samaran Peni, 6 Oktober 1964, 64 hal. Ide cerita Friedrich Duerrenmatt, dari naskah drama Die Besuch der Alten Dame. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 1964. Dibukukan oleh CV. Ariyati Surabaya, 1967. Diterbitkan ulang oleh Yayasan Penerbitan Djojoboyo Surabaya, Juli 1996).
  18. Sala Lelimengan (24 Januari 1965, 65 hal., dimuat bersambung Panjebar Semangat 15 April – 15 Agustus 1965 (18X)).
  19. Guru Sangtanu (Maret - Juni 1966. 400 hal., belum terbit).
  20. November Abang (7, September – 16 Oktober 1965, 56 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1965).
  21. Jaring Kalamangga (seri Detektip Handaka. Januari – Maret 1966, 83 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1966).
  22. Patriot-patriot Kasmaran (29 April 1966, 25 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
  23. Lintang Panjer Sore (17 Juli 1966, 32 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
  24. Dinamit (19 September 1966, 36 hal. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1966).
  25. Pendekar Banjaragam (cerita silat, diterbitkan CV. Gema Solo, 1966-1967, 6 jilid).
  26. Gempar Djojocoroko (18 Juni 1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967).
  27. Boyolali Ricuh (1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1978).
  28. Asmara Jahanam (Seri Mubagus, 1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967).
  29. Clurit Bataputih (1967. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1967. Dimuat bersambung oleh Jawa Pos, 1982).
  30. Nyawa 28 (dengan nama samaran Eliang Jatmika. Dimuat bersambung Jaya Baya 1967).
  31. Gempur-gempuran di Lereng Lawu (seri Mubagus. 26 Oktober 1968. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1968).
  32. Asmara Terpendam (1968, belum diterbitkan).
  33. Bidadari Cemara Sewu (seri Mubagus 1968. Diterbitkan oleh CV. Gema Solo, 1968).
  34. Kucing Item Tergencet (seri Mubagus 1968. Diterbitkan oleh Gema Solo, 1968).
  35. Luwih Becik Neraka (Dimuat bersambung di Panjebar Semangat, 1970. Judul diganti oleh Redaksi: Tangise Prawan Sundha).
  36. Dlemok-dlemok Ireng (1971, 51 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1972. Judul diganti oleh Redaksi Ngebut).
  37. Dom Sumuruping Banyu (1971, 51 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, No. 14 tahun 26 5 Desember 1971 – 8 Maret 1972. (14X)).
  38. Jemini (dengan nama samarab Peni, 1971, 86 hal. Ide cerita Lin Scholte. Dimuat bersambung Jaya Baya, No. 28 Th. XXVI Maret 1972 (14X)).
  39. Jaring Kalamangga (diindonesiakan dari judul sama. Diterbitkan CV. Bina Ilmu Surabaya, 1972).
  40. Malam Pengantin (2 Agustus 1972, 50 hal. Cerita film untuk Basuki Film).
  41. Fantasi (1 Oktober 1972. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, No. 44 th. 38-24 November 1972. (12X)).
  42. Asap Hitam (2. Oktober – 6 November 1972. Belum diterbitkan).
  43. Sang Ajudan (2 Januari – 10 Februari 1973. Belum diterbitkan).
  44. Bibit di Mantren (26 Februari – 26 Maret 1973. Belum diterbitkan).
  45. Kepelet (dengan nama samaran Peni), 18 Januari 1973. 56 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, no. 47/XXVII, 29 1973, judul diganti Nglacak Ilange Sedulur Ipe (8X)).
  46. Surabaya Tumpah Darahku (1973. Dimuat bersambung Kompas, 10 November 1973 (37X). Dibukukan oleh CV. Bina Ilmu Surabaya, 1978).
  47. Garuda Putih (seri Detektip Handaka, 5 Januari 1974. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 31 Januari 1974. (11X)).
  48. Sisa-sisa Kemarin (1974. Pemenang Harapan I, sayembara menulis novel DKJ 1974).
  49. Ngingu Kutuk Ing Suwakan (1974, 52 hal. Dimuat bersambung di Panjebar Semangat, 15 Maret 1975. (11X)).
  50. Hari Jadi Kota Surabaya (682 TAHUN SURA ING BAYA. Karya bersama Kolonel Laut Dokter Sugiyono Tirtiatmojo, diterbitkan Pemda II Kotamadya Surabaya, 1875).
  51. Gila di Abun-abun (April-Juli 1975, 206 hal. Belum diterbitkan).
  52. Harimau Mati Meninggalkan Belang (Desember 1975. Diterbitkan oleh CV. Bina Ilmu Surabaya, 1978).
  53. Oh, Surabaya (1975. Diterbitkan CV. Bina Ilmu Surabaya. (Inpres SD 1975)).
  54. Damarwulan (29 Maret 1976. Diterbitkan PT. Gramedia Jakarta, 1976. (Inpres SD)).
  55. Mata-mata (Juni-Agustus 1976. 143 hal. Diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, 1967. Diindonesiakan dari Dom Sumuruping Banyu).
  56. Sayembara di Mamenang (11 November 1967. Diterbitkan oleh PT. Dunia Pustaka Jaya, 1967).
  57. Ali Baba (15 Januari 1977. Diterbitkan oleh PT. Gramedia Jakarta, 1977).
  58. Rembulan Kasmaran (28 Januari 1977, 100 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya, 1977).
  59. Hisaplah Maduku, Lalu Campakkan (18 Agustus 1977, 50 hal. Diindonesiakan dari Dlemok-dlemok Ireng. Diterbitkan sebagai booklet VISTA 1979).
  60. Terjerat Buih Pantai Selatan (22 Maret 1977, 50 hal. Di Indonesiakan dari Kepelet, diterbitkan oleh CV. Surya Raya Surabaya, 1978).
  61. Hancurkanlah Pasukan Tartar Itu (1978. Diterbitkan CV. Surya Raya, 1978).
  62. Rembulan Kasmaran (22 Agustus 1978, 140 hal. Di Indonesiakan dari Rembulan Kasmaran, dibukukan oleh PT. Cita Bandung 1980.)
  63. Generasi Yang Hilang (1979. Pemenang II sayembara menulis novel Kartini, 1979. Dibukukan oleh Kartini Group, 1980).
  64. Panji Gandrung Anggreni (1979. 100 hal. Diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya 1981).
  65. Kota Angin Tercinta (Januari – September 1979. 197 hal. Dimuat bersambung oleh Jawa Pos, Februari – April 1987).
  66. Donyane Wong Culika (16 Oktober – 26 Desember 1979. pemenang Harapan I novel PKJT 1979. Belum pernah disiarkan).
  67. Jatuh Bangun Bersama Sastra Jawa (Oktober 1980. Pemenang harapan I naskah bacaan mahasiswa Dept. P.&.K. 1980. Dibukukan Dept. P.&.K. Jakarta, 1982).
  68. Kunanti di Selat Bali (29 Oktober – 21 November 1980. Pemenang I novel Majalah Putri Indonesia, 1981. dibukukan Kartini Group, 1981. Disadur oleh Prof. Madya Ju San Yuan dan diterbitkan dalam bahasa Cina di RRC, 1989).
  69. Pacarku di Bis Kota (18-23 April 1981, 33 hal. Dibukukan PT. Bina Ilmu, 1995).
  70. Kekenesan Partiyem. (Terdiri dari dua bagian. Bagian Pertama dimuat Kartini bersambung dengan judul : Tanahku, Darahku (1981). Bagian kedua dimuat Sarinah bersambung dengan judul : Dalam Irama Musim, Desember 1985, 224 hal).
  71. Memperebutkan Pusaka Jenggal (13 Oktober 1982, 67 hal. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu, 1982).
  72. Surabaya No Monogatari (Surabaya Zaman Jepang, Mei 1983. Dimuat bersambung Jawa Pos, 30 Mei – 21 Juni 1983. (20X)).
  73. Sugriwo Subali (1983, 100 hal. Dibukukan Tiga A Solo, 1983).
  74. Nona Sekretaris (dengan nama samaran Peni, ide cerita Jacqueline Susann: Valley of the Dolls, 1966, 15 Desember 1983 – 24 Mei 1984, 150 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya no. 19/XXXVIII 9 Januari 1984 – 5 Agustus 1984. (28X)).
  75. November Merah (DiIndonesiakan dari November Abang. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu, 1984).
  76. Pahlawan November (Pemenang I Lomba naskah buku anak-anak Penerbit IK Bandung. Dibukukan oleh PT. Bina Ilmu 1985).
  77. Membakar Surabaya (skenario sinetron, 1986. 108 hal).
  78. Geger Jayacaraka (dari judul Gempar Djojocoroko, 1967. Dimuat bersambung Surabaya Post, 1986).
  79. Pertempuran 10 November 1945 (Buku sejarah karya bersama diterbitkan oleh Panitia Pelestarian Nilai-nilai Kepahlawanan 10 November 1945 di Surabaya, diketuai oleh Blegoh Soemarto (Ketua DPRD I Jawa Timur), 1985).
  80. Dimana Kamu, Yusman? (10 September 1988, 109 hal. DiIndonesiakan dari Kepelet. Belum terbit).
  81. Dokoh Jantung Hati (dari judul Boyolali Ricuh (1967). Dimuat bersambung Surabaya Post, November 1988. Januari 1980).
  82. Sejarah Pers Jawa Timur (1988. Karya bersama, Panitia SPS Jawa Timur).
  83. Sejarah Panglima-panglima Brawijaya (sampai Majen Sugeng Subroto, karya bersama Panitia LIPI Jakarta dan Seksi Sejarah Kodam V Brawijaya. 1988).
  84. Buron Papat, 1989 (skenario ludruk untuk TVRI Stasion Surabaya).
  85. Membakar Surabaya (Oktober 1989 – Desember 1989, 204 hal. Dimuat bersambung Surya, November – Desember 1989).
  86. Tokoh Hitam Putih (Oktober 1989, 42 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
  87. Iklan (November 1989, 30 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
  88. Pacar Si Udin (8 Desember 1989, 39 hal. Skenario TV, seri Polwan Citra).
  89. Saputangan Gambar Naga (Febaruari-April 1989. Dimuat bersambung Surabaya Post, 17 April – 6 September 1990).
  90. Spookhuis (28 Agustus 1990, 59 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, no. 6, 2 Februari 1991 – no. 16, 16 April 1991. (11X)).
  91. Mencari Sarang Angin (27 Januari 1991 – 26 April 1991, 286 hal. Dimuat bersambung Jawa Pos, 23 Oktober 1991 – 27 Desember 1991).
  92. Kunarpa Tan Bisa Kandha (seri Detektip Handaka, 20 Juni 1991, 81 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya no. 12/17 November 1991 – no. 28/8 Maret 1992. (17X)).
  93. Detektif (16 Agustus 1991. 30 hal. Skenario TV, seri Melati Mekar Setangkai).
  94. Gadis Tangsi (2 September – 1 Oktober 1991. 150 hal. Dimuat bersambung Jawa Pos, 16 Januari – 8 April 1994 (71X)).
  95. Terjebak di Monitor (4 – 27 November 1991. Pemenang Harapan II Sayembara menulis novel Kartini 1991. 108 hal. Dimuat bersambung Kartini, Oktober 1992).
  96. Astirin Mbalela (dengan nama samaran Peni, 6 Januari – 22 Maret 1992. 100 hal. Dimuat bersambung Djaka Lodang Yogyakarta, 27 Maret – 10 Juli 1993. (16X)).
  97. Aurora, Sang Pengantin (13 Juni – 24 Juli 1992. 133 hal. Dimuat bersambung Surabata Post, 27 Agustus – 22 November 1992. (86X).
  98. Donyane Wong Culika (perbaikan cerita 1979, 7-28 September 1992, 154 hal. Belum diterbitkan).
  99. Dahuru Ing Loji Kepencil (29 Juli 1993. 40 hal. Dimuat bersambung Jawa Anyar 21 Juni – 1 September 1993).
  100. Trem (antologi crita cekak 1960 – 1993, 350 hal. Diterbitkan jadi buku oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta November 2000).
  101. Surabaya, di Sanalah Aku Berdiri (September – 11 November 1994. 303 hal.)
  102. Kremil (11 November 1994 – Maret 1995. 273 hal. Dimuat bersambung Kompas, 7 Agustus 1995 – 9 Januari 1996. (151X). Diterbitkan buku oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta Juli 2002).
  103. Solo Gelap Gulita (diIndonesiakan dan Solo Lelimengan, 1965, 13 Juni – 13 Juli 1995. Dimuat bersambung Republika, 2 Oktober – 3 Desember 1995 (77X). Judul diganti Buku Harian Seorang Perwira).
  104. Clemang-Clemong (8-31 Agustus 1995, 95 hal. Dimuat bersambung Jaya Baya 4 Agustus – 22 Desember 1996, (21X)).
  105. Saksi Mata (7 Oktober – 3 Desember 1995. 253 hal. Dimuat bersambung Kompas Januari 2002).
  106. Dinamit (8 Desember 1995 – 12 Januari 1996, 150 hal. Dimuat bersambung Surabaya Post, 8 September 1996 – 27 November 1996. (81X)).
  107. Teti Si Tegar Hati (perbaikan dari Gadis Tangsi, 14 Februari 1996 – 1 Oktober 1996 475 hal. Belum diterbitkan).
  108. Pariwara Mini (25 Oktober – 15 November 1998. 44 hal. Dimuat bersambung Djaka Lodang, 13 Maret 1999 – 1 Mei 1999 (10X)).
  109. Pacare Udin (25 November – 20 Desember 1998. 62 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 2 Januari 1999 – 10 April 1999. (15X)).
  110. Bekasi Remeng-remeng (20 Maret – 12 April 2000. 65 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat, 8 Juli 2000 – 30 September 2000. (13X)).
  111. Lelakone Si Lan Man (kumpulan crita cekak 1960-2002, 218 hal.).
  112. Donyane Wong Culika (perbaikan, diperbaiki 15 Maret 2001) 514 hal.).
  113. Interogasi (kumpulan cerita pendek, 188 hal. Diterbitkan oleh Dewan kesenian Jawa Timur, Surabaya, Agustus 2001).
  114. Keluwarga Pejuang (21 November 01 – 21 Januari 02, 119 hal. Dimuat bersambung Panjebar Semangat NO. 9, 2 Maret 2002 – No. 27 6 Juli 2002).
  115. Srawungku Karo Sastra Jawa (Esai, 27 Februari – 24 Mei 2002, 200 hal.).

Karyanya yang berupa cerita pendek (berbahasa Indonesia): (1) "Miss Rika Di Angkasa" (Garuda, no. 40, 25 Oktober 1953), (2) "Layar Terkembang" (Kisah, no. 5 th. I, November 1953), (3) "Di Tepi Bengawan Solo" (Mimbar Indonesia, Jakarta, no. 5 th. VIII, 30 Januari 1954), (4) "Kembali Ke Pangkalan" (Siasat, no. 357, th. VIII, 11 April 1954), (.5) "Gadis Dari Penjara" (Roman, no. 1 th. I, Oktober 1954), (5) "Gadis Dan Janda" (Roman, no. 1 th. II, Januari 1955), (6) "Rumah Hantu" (Roman, no. 1 th. I Januari 1955), (7) "Mencari Rangka" (Indonesia, no. 2 th VI, Februari 1955), (8) "Lahirnya Tuhan" (Roman, no. 5 th. II Mei 1955), (9) "Arang" (Siasat, no. 419, th. X, 19 Juni 1955), (10) "Per" (Kisah, no. 5 th. IV, Mei 1956), (11) "Pes" (Kisah, no. 10 th. IV, Oktober 1956), (12) "Hilangnya Dunia Asli" (Sadar, no. 39 th. VIII, 30 Desember 1956), (13) "Mengatur Perabot Rumah" (Mimbar Indonesia, no. 13 th XI, 13 Maret 1957), (14) "Gembala Kambing" (Siasat, no. 520, th. XI, 29 Mei 1957), (15) "Pohon Tomat" (Siasat, no. 548 dan 549 th. XI, 11 dan 18 Desember 1957), (16) "Cyrano Kami" (Aneka, no. 8 th. IX, 10 Mei 1958), (17) "Menanti Lahirnya Napoleon" (Sarinah, no. 2 th. I, Juli 1958), (18) "Dansawan Baru" (Aneka, no. 28 th. IX, 1 Desember 1958), (19) "Amarah Seorang Jurutulis" (Roman, no. 3 th. VI Maret 1959), (20) "Dendam Kesepian" (Hidangan, no. 10 th, IV, 10 Maret 1959), (21) "Dendam Seorang Bandol" (Aneka, no. 8 th. X, 10 Mei 1959), (21) "Penjual Kue Dan Tumbuhan Durian" (Roman, no. 8 th. VI Agustus 1959), (22) "Kupu-kupu Di Tengah Padang" (Aneka, no. 17 th. X, 15 Agustus 1959), (23) "Malam Tidak Jahanam" (Aneka, no. 32 th. X, 10 Januari 1960), (24) "Dua Asmarawan" (Hidangan, no. 13 th, V, 5 Maret 1960;Harian Surabaya Post (Surabaya), no. 117 th. IV, 29 Mei 1961; Harian Umum (Surabaya) no. 199 th. XII, 1 Juni 1961; Gelora (Surabaya), no. 13/14 th 11, Juli 1961), (25) "Tak Ada Nasi Lain" (Aneka, no. 3 th. XI, 21 Maret 1960), (26) "Hadaninggar" (Indah, no. 37 th. IV, Agustus 1960), (27) "Gara-gara" (Indah, no. 40 th. IV, November 1960), (28) "Daun Keladi" (Indah, no. 37 th. IV, Agustus 1960), (29) "Kena Getah" (Gelora Surabaya Post, no. 168 th. IX, 18 September 1961), (30) "Kurang Bulan" (Tanah Air, no. 12 th. XV, 1961), (31) "Pencuri Dompet" (Tanah Air, no. 3 th. XVI, 1962), (32) "Laboratorium Kasih" (Tanah Air, no. 7 th. XVI, 1962), (33) "Langkah-lankah Berpeluh" (Tanah Air, no. 1 th. XVIII, 1964), (34) "Buronan Si Mata Merah" (Tanah Air, no. 5 th. XVIII, 1964), (35) "Surabaya Tumpah Darahku" (Gapura, no. 1 th. 1 April 1968), (36) "Dibayangi Tali Gantungan" (Harian Indonesia Raya, 5 April 1970), (37) "Jatuhnya Seorang Nyonya Besar" (Harian Kompas, 25 Mei 1970), (38) "Mreteli Roda Mobilnya" (Harian Indonesia Raya, 19 Juli 1970), (39) "Semalam Dengan Titisari" (Harian Indonesia Raya,16 Agustus 1970), (40) "Penyamun Anak Perawan" (Harian Kompas, 13 Oktober 1970), (41) "Interogasi" (Harian Kompas, 30 Januari 1971), (42) "Bertamu" (Harian Kompas, 5 Juni 1971), (43) "Berteduh" (Harian Kompas, 11 Desember 1971), (43) "Orang Baru" (Harian Sinar Harapan, Sabtu 15 Januari 1972), (44) "Asia No Yoi Kodomo" (Harian Kompas, 9 Mei 1972), (45) "Cover Story" (Majalah Senyum, 7 Januari 1973), (46) "Karya Sastera" (Harian Kompas, 1 Juli 1979), (47) "Manjepret Hantu" (Putri Indonesia, no. 74, 25 Agustus – 7 September 1981), (47) "Pasien Terakhir, no. 199, 21 Juni – 4 Juli 1982), (48) "Pengantin Baru" (Kartini, no. 216, 21 14 – 27 Februari 1983), (49) "Saksi Dari Menara" (Harian Kompas, 5 Juni 1983), (50) "Laki-laki Pergi Sendiri" (Sarinah, 13 Juni 1983), (51) "Dendam Kesumat" (Surabaya Post, 7 Agustus 1988), (52) "Limau Walikota" (Surabaya Post, 24 September 1989), (53) "Pangilon Sang Walikota" (Surabaya Post, 5 Agustus 1990), (54) "Empat" (Suara Pembaruan, 9 Juni 1991), "Kereta Jenasah" (Kompas, 8 November 1992), dan (55) "Paman Doblang Vs Mbah Jambrot" (Surabaya Post, 14 Agustus 1994).


2. SURIPAN SADI HUTOMO

Suripan Sadi Hutomo, lahir di Blora pada tanggal 5 Februari 1940 (meninggal dunia pada tanggal 19 Juni 2001). Beliau sering disebut sebagai HB Jassin-nya sastra Jawa karena aktivitas kritik sastra Jawanya di berbagai majalah berbahasa Jawa, seperti Jayabaya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Mekarsari, Kumandhang, dan Dharma Nyata serta ketekunannya dalam mendokumentasikan karya sastra Jawa tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh HB Jassin terhadap sastra Indonesia.
Suripan menyelesaikan pendidikan SMA di Blora. Tahun 1968, ia lulus dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Airlangga di Madang. Pada tanggal 3 Agustus 1987 mendapat gelar doctor dalam bidang filologi lisan dari Universitas Indonesia dengan judul disertasi “Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban”. Selanjutnya, ia menempuh posdoktoral di Universiteit Leiden, Belanda.
Keterlibatan Suripan dalam dunia kesusasteraan, baik sastra Indonesia maupun sastra Jawa, tidak hanya melalui tulisan, tetapi juga secara langsung dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengannya. Suripan aktif membina Organisasi Pengarang Sastra Jawa Pusat (OPSJ), anggota pembina Sarasehan Sastra Jawa di Ungaran, melakukan siaran apresiasi sastra di RRI dan TVRI Surabaya, memprakarsai dan mendanai berdirinya Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), memprakarsai dan merintis dibukannya Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa di IKIP Surabaya, melakukan ceramah-ceramah sastra di berbagai forum, bersama dengan Basoeki Rahmat menjadi anggota pleno Dewan Kesenian Surabaya, dan sebagainya.
Meskipun keberadaannya sebagai akademisi dan kritikus sastra lebih menonjol dibandingkan dengan posisinya sebagai pengarang, Suripan juga menunjukan prestasi yang baik dalam dunia tulis menulis. Dua karyanya pernah mendapatkan penghargaan, yaitu (1) “Cumedhak” berupa puisi, juara I dalam lomba penulisan puisi oleh Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada tahun 1971 dan (2) “Apa Wis”, berupa gurit, terpilih sebagai pemenang lomba menulis gurit yang diselenggarakan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Sebagai kritikus sastra, tulisannya yang berupa kritik juga pernah mendapatkan penghargaan yaitu (1) “Kringet Saka Tangan Prakosa: Kumpulan Crita Cekak St. Iesmaniasita” mendapat penghargaan dari Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) pada tahun 1974 dan (2) “Ngrembug Layang Jatiswara” yang terbit di majalah Jaya Baya pada tahun 1984 mendapat hadiah dari Proyek Javanologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Karya-karya yang berupa buku teori dan kumpulan esai adalah (1) Telaah Kesusasteraan Jawa Modern ( Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1974), (2) Mutiara yang Terlupakan : Metode Penelitian Sastra Lisan (Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Surabaya), (3) Sosiologi Sastra Jawa, (4) “Intoyo, Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya, 24 November 1974), (5) “Sepisan Maneh Bab Intoyo, Bapak Soneta Jawa Anyar” (Jaya Baya, 26 Januari 1975), (6) “Pengarang Wanita dalam Sastra Jawa” , (7) “Pengarang Iesmaniasita: Napas lan Lageyane ing Karya-Karyane” (Panjebar Semangat, 20 Agustus—3 September 1983), (8) “Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ)”, dan (9) “Grup Diskusi Sastra Blora”.
Hasil karya sastranya antara lain (1) Angin Sumilir (Balai Pustaka, 1988, antologi guritan)
  1. Kidung Balada (Pusat Kesenian Jawa Tengah, 1980, antologi guritan), (2) Hartati (1988, kumpulan guritan), (3) Guritan : Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980 (Sinar Wijaya Surabaya, 1985), (4) "Kabar Saka Bendulmrisi:" "Ing Kreteg Kaliwangan Ana Rembulan Jingga: Kagem Hari Astuti Sisihanku" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001), (5) "Kelipe Lampu Kapal" dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), (6) “Prawan Cilik” (Jaya Baya no. 10 tahun 1967, guritan), (7) “Pelabuhan Semarang’ (Jaya Baya no. 30, 1969), (8) “Iki Sonet” (Jaya Baya no. 6, 1972), dan (9) “Cepu Katresnan” (Jaya Baya no. 7, 1974)

3. DJAJUS PETE DAN CERKAKNYA
Djajus Pete, lahir di desa Dempel, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 1 Agustus 1948. Djajus saat ini tinggal di Jalan Tambangan II/203, Purwosari, Kabupaten Bojonegoro. Dalam karya-karyanya Djajus sering menggunakan nama samaran Djajus Pete. Tidak ada alasan khusus dari Djajus, mengapa ia menggunakan nama itu.
Laki-laki beragama Islam ini pada tahun 1961, menamatkan sekolah dasar (SD) di Kecamatan Purwosari, Kabupaten Bojonegoro, kemudian melanjutkan ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tahun 1967 di Bojonegoro, pada tahun 1968 melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG) di Kabupaten Bojonegoro. Pendidikan terakhirnya ditempuh di KPG Bojonegoro pada tahun 1976.
Pengalaman kerja Djajus diawali sebagai guru sekolah dasar (SD) sejak tahun 1971 di Bojonegoro dan pada tahun 1985—1993 sebagai wartawan Jaya Baya dan Surabaya Post. Kegiatan kepengarangan Djajus dimulai tahun 1967. Ia mengakui dunia tulis menulis baginya adalah semacam bakat yang didukung kerja keras untuk terus belajar menulis yang lebih baik dari yang telah dihasilkan sebelumnya. Pada awalnya Djajus merasa harus banyak membaca karya-karya sastra untuk memenuhi keinginannya yang sangat besar dalam hal menulis. Ia juga menyarankan hal yang sama kepada penulis-penulis pemula. Hingga kemudian, ide atau gagasan itu secara otomatis mengalir dan mengendap dalam pikiran sebagai bahan yang akan dituangkan dalam bentuk karya sastra. Ide atau gagasan tidak harus dicari-cari karena sebenarnya ide itu telah tersedia di sekitarnya. Materi karya-karya Djajus terutama cerita cekak miring sebagian besar adalah berupa pengutaraan gagasan (menumpahkan uneg-uneg) yang dibumbuhi dengan latar penceritaan yang inkonvensional .
Karya pertama yang dihasilkan oleh Djajus berupa geguritan berjudul “Pepesthen” yang dimuat dalam majalah Panjebar Semangat tahun 1967. dalam berkarya Djaus sulit memeberikan gambaran bagaimana proses kreatifnya. Hal tersebut menurutnya, karena sebuah proses kreatif itu bersifat person, cakupannya seperti tudak terhingga, mulai dari bagaimana mengungkap ide (meskipun ide datang dengan sendirinya), hingga berupa sebuah tulisan setelah mengalami proses pengendapan yang sangat lama.
Sering ia tidak langsung menulis apa yang menjadi idenya, tetapi harus memprosesnya terlebih dahulu dengan perenungan yang sangat dalam, barulah dapat diwujudkan dalam bentuk tulisan atau karya sastra. Djajus mengakui bahwa ia bukanlah glongan pengarang spontanitas yang memunyai keterampilan langsung berhadapan dengan mesin ketik ketika sebuah ide muncul. Ia membutuhkan beberapa tahapan yang bisa dikatakan rumit. Sebuah cerita cekak membutuhkan proses berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, dan tidak jarang menambah dan mengurangi dengan gagasan baru untuk menjadi lebih sempurna.
Ia mengakui bahwa pada awalnya ia selalu dibantu oleh pengarang senior seperti JFX Hoery. Hoery lah yang pertama kali memberikan dorongan dan semangat menjadi penulis sastra Jawa. Suripan Sadi Hutomo dalam suratnya selalu memberikan saran, semangat, dan keyakinan bahwa Djajus akan menjadi pengarang yang besar. Dorongan semangat dari tokoh-tokoh besar tersebut disikapi Djajus dengan rendah hati. Ia bahkan terus-menerus mengasah kemampuan, karena ia berkeyakinan bahwa menjadi penulis sastra Jwa ternyata tidak cukup hanya bermodal semangat, tetapi harus masuk dalam taraf penyerahan diri secara mutlak. Artinya, setiap tingakah laku dan perbuatan, sesuatu yang ia dengar, ia lihat, dan ia rasakan hanyalah untuk kepentingan sastra Jawa. Dorongan menulis seperti itu telah menyatu dalam denyut nadinya. Profesi menulis dijalani dengan sepenuh jiwa, sepanjang masih bernafas, dengan berpegangan bahwa sastra adalah renungan pengarang tentang kehidupan untuk menyebarkan nilai religi, moral maupun filsafat. Bahkan ia berfikir bahwa dirinya bukan guru, melainkan pengarang. Tentang profesi guru yang diembannya tersebut, Djajus mengatakan bahwa itulah jalan pengabdiannya kepada masyarakat secara langsung, sedangkan menulis atau mengarang disebytnya sebagai duania yang ia ciptakan sendiri. Di dunia tulis-menulis itulah Djajus serasa hidup bebas. Kebebasan berekspresi, berpikir dan berkarya itulah yang menjadi karya-karya Djajus menjadi unik.
Tentang peranan penerbit dewasa ini berkaitan dengan profesinya sebagai penulis, menurut Djajus sangat menunjang dalam menerbitkan hasil karyanya, walaupun media-media tersebut keberadaannya masih terbatas, khususnya media yang berbahasa Jawa. Tentang penghasilan, Djajus berpendapat bahwa honor yang diterimanya untuk sebuah karya sastra dapat dianggap belum layak. Akan tetapi, masalah utama perkembangan sastra Jawa tidak hanya itu. Ada faktor yang lebih penting yakni kemauan dan kemampuan untuk secara total nguri-uri bahasa dan sastra Jawa.
Walupun demikian, ia sangat optimis bahwa sastra Jawa masih akan terus hidup, apalagi dibantu oleh media-media berbahasa Jawa karena majalah-majalah tersebut merupakan benteng terakhir media ekspresi estetik sastra Jawa.
Djajus menulis dalam berbagai genre sastra, yaitu cerita pendek (cerita cekak), cerita bersambung (cerbung), dan geguritan. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini ia memfokuskan diri hanya menulis cerita pendek.
Karya monumental Djajus Pete berjudul “Kretek Emas Jurang Gupit”, yang berupa buku antologi cerita cekak. Antologi ini berisi sepuluh cerita pendek yang ditulis antara tahun 1986—1998 dan pernah dimuat dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Zed Amidien seorang wartawan majalah Tempo, membantu menerbitkan buku tersebut dengan dibantu sejumlah pengarang sastra yang ada di Surabaya. Antologi cerita cekak “Kreteg Emas Jurang Gupit” merupakan buku Djajus yang memperoleh penghargaan Rancage.
Kesepuluh cerita pendek tersebut adalah “Bedhug” (Panjebar Semangat, No. 19, 10 Mei 1997), “Dasamuka” (Jaya Baya, No. 19/XLVI, 5 Januari 1992), “Kadurjanan”(Jaya Baya, No. 41/XLIV, 10 Juni 1990), “Kakus” (Panjebar Semangat, No. 44, 31 Oktober 1992), “Kreteg Emas Jurang Jupit” (Jaya Baya, No. 47/XL, 20 Juli 1986), “Pasar Rakyat” (Panjebar Semangat, No. 25, 22 Juni 1996) dengan judul “Topeng”, “Petruk” (Jaya Baya, No. 4/XLV, 23 September 1990), “Rajapati” (Panjebar Semangat, No. 49, 5 Desember 1998), “Setan-setan” (Panjebar Semangat, No. 31, 31 Juli 1993), dan “Tikus lan Kucinge Penyair” (Jaya Baya, No. 8/XLV, 21 Oktober 1990).
Setelah membaca sepuluh cerita pendek yang termuat dalam antologi itu, pembaca dihadapkan paad cerita dengan permasalahan-permasalahan absurd. Akan tetapi, dengan keabsurdan itu justru pemca seolah disadarkan bahwa hal-hal tersirat dalam cerita itu sebenarnya amat dekat, bahkan mungkin melekat dan menyatu dengan sifat, sikap, dan perilaku manusia.
Dalam “Bedhug”, Djajus seolah menyadarkan bahwa disekitar kita, masih banyak orang tega melakukan kekejaman, kejahatan, dan korupsi di saat orang lain sedang mengalami kesusahan. Llebih tragis lagi, yang berbuat seperti itu adalah orang-orang yang begitu kita percaya, kita anut, dan kita beri amanat menjadi pemimpin.
Sedangkan pada cerita “Dasamuka”, pengarang mengingatkan bahwa di dalam kehidupan ini keburukan dan kejahatan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Orang-orang jahat merupakan bagian dari orang baik dalm kehidupan manusia. Aturan-aturan atau norma yang dibuat oleh masyarakat tidak selamanya membuat menusia menjadi lebih baik. Absurdisme Djajus menjkadi-jadi dalam cerita pendeknya “Kadurjanan”. Hal ini diperkuat dengan pengakuannya yang ia tulis juga dalam ceritanya itu
Aneh, batinku kaget mlegong. Selawase ngarang cerita wiwit tahun 1971, lagi iki ana paraganing critaku bisa nyebal metu saka kekeraning imajinasiku. Bisa nguwuh nyaruwe marang lakuning crita kang lagi dak garap” (Kreteg Emas Jurang Gupit h.20)

Dalam cerita ini, tokoh cerita Khosin dapat berdialog dengan Djajus Pete sebagai pengarang. Khosin yang dalam cerita itu berperan sebagai pembunuh, memberontak daningin keluar dari alur cerita yang ingin dibuat oleh Djajus. Pada akhir cerita, tokoh Khosin bahkan akan membeli cerita Djajus seharga lima kali honor yang bisa diterima Djajus sebagai pengarang.
Kakus” mengajarka kepada orang agar tidak serakah terhadap ap yang telah didapatkannya. Materi yang berlimpah belum jadi jaminan seseorang akan bahagia di dalam kehidupannya. Dalam cerita ini juga digambarkan bahwa orang yang berkecukupan dalam hal harta, dapat dengan mudah mewujudkan keinginannya, meski itu dilakukan dengan cara mengorbankan orang lain.
Kretek Emas Jurang Gupit”, bercerita tentang keinginan masyarakat yang hendak membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua desa yang selama ini dipisahkan oleh sebuah jurang. Istimewanya, jembatan yang akan dibangun tersebut berbahan baku emas. Membandingkan cerita cekak yang disajikan dalam kumpulan cerita cekak “Kretek Emas Jurang Gupit”, pembaca diajak melihat kenyataan yang sebenarnya tidak mungkin terjadi di alam kenyataan. Hal itu bisa terjadi pada alam bawah sadar. Segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia, percaya dengan janji-janji yang sebenarnya tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Pada kenyataannya hal-hal yang tidak mungkin itu menjadi jurang pemisah kehidupan social, keadilan, terasa jauh, dan lagi mengharap segalasesuatu yang jauh dari kenyataan hidup. Orang yang selamat ialah orang yang ingat dengan dirinya sendiri da menyadari segala sesuatu yang terjadi dan kita alami, merupakan takdir dari yang Maha Kuasa.
Pasar Rakyat” menyoroti kesewnang-wenangan sebuah system kekuasaan yang melibatkan orang-orang yang secara individu sebenarnya masih mempunyai nurani. Kritik social yang kental juga diungkap oleh Djajus. Cerita ini berkisar pada pergulatan atau konflik tokoh Kamto, seorang anggota Dispol Pamongpraja yang ditugaskan untuk menggususr sebuah pasar liar yang dianggap merusdak keindahan kota besar. Konflik batin timbul saat diceritakan bahw apara pedagang yang brjualan di pasar itu tidak lain adalah tetangga para anggota Pamongpraja. Untuk menghindari agar petugas tidak dikenali, mereka memutuskan untuk memakai topeng. Topeng ini juga merupakan sebuah simbol ketidaktetapan pendirian seseorang, tergantung pada lingkungan yang menguasainya. Meskipun bertentangan dengan kata hatinya, sebuah tugas yang bersifat dilematis harus dilakukan , meskipun kadangkala tidak dapat diketahui untuk apa dan untuk siapa ia berbuat demikian.
Keterpurukan wong cilik menghadapai keras dan kejamnya kehidupan, kembali digambarkan oleh Djajus dengan mengambil Petruk simbol. Petruk, dalam dunia pewayangan merupakan penggambaran tokoh dari rakyat kecil atau kawula alit. Diceritakan oleh Djajus seorang perajin wayang kulit yang mendapat pesanan membuat wayang petruk. Ketika kulit yang sudah digambar tersbut dijemur, mendadak menjadi rebutan segerombolan anjing. Kulit itu diperebutkan oleh berpuluh-puluh anjing sehingga koyak di beberapa tempat. Kulit itu yang semula halus, terpaksa harus direkayasa agar tetap dapat berwujud Petruk. Yang terjadi emudian adalah Petruk bentuk yang tidak seperti biasanya. Petruk yang dibuat kali ini lebih kurus, lebih bongkok, dan lebih hitam. Pesan simbolis yang dapat ditangkap dati cerita tersebut adalah kesengsaraan masyarakat kecil yang disebabkan oleh keangkamurkaan penguasa.
Watege asu iku nistha. Wareg lan kaliren ora ana bedane. Arepa wis wareg diweleg sega daging, imbuh roti lan ngombe susu pisan, ya isih saba pawuhan doyan panganan rusuh. Kaya ngono iku apa irunge mung ambon-ambonen daging wae. Mangka Petruk iku wis ora ana daginge. Kari lulang garing kok dimangsa” (Kreteg Emas Jurang Gupit h. 59)
Begitulah Djajus menggambarkan kesengsaraan kaum yang masih banyak terdapat di negeri ini. sementara masih banyak rakyat yang sengsara hidupnya, orang-orang yang dekat dengan kekuasaan seolah tidak mau tahu dan tetap mengincar kekuasaan.
Dalam “Rajapati” sekali lagi Djajus berkisah tentang ketertindasan rakyat kecil oleh kekuasaan. Kesabaran seseorang yang tertindas, dalam cerita ini digambarkan sudah habis. Rakyat atau masyarakat tertindas ternyata dapat berbuat nekat dan tidak terduga yang bisa mengacaukan keseimbangan pemerintahan atau kekuasaan yang sedang berjalan. Oleh karena jengkel terus menerus dituduh sebagai pembunuh, seseorang yang berprofesi sebagai pengasah pisau akhirnya membunuh polisi yang menuduhnya itu. Bagi orang tersebut , melakukan kejahatan atau tidak, akibat yang akan ia terima akan sama, yakni tetap dihukum. Daripada ia dihukum untuk kesalahan yang tidak ia perbuat, lebih baik ia melakukan tuduhan yang diarahkan kepadanya, yakni membunuh.
Dalam cerita cekak “Tikus lan Kucinge Penyair”, Djajus Pete sengaja memilih obyek yang sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari. dari seekor tikus, pengarang sengaja membuat ungkapan baru, seperti contoh Isti (Istri Tikus), atau Kuslan (Tikus Lanang), membuat karya-karya Djajus semakin menarik. Jika diperhatikan dari cerita cekak satu dengan cerita cekak yang lainnya, menunjukkan sedikit kalimat, tetapi mempunyai makna yang sangat dalam, pendek dan mewakili apa yang diharapkan oleh pengarang. Pengarang yang satu ini dapat dikatakan memang tipe penulis cerita cekak (cerita pendek). Dalam dunia penciptaan, sama-sama pengharang Jawa, namun ia sendiri mengalami pergulatan pemilihan kata dan kalimat yang intens.
Dalam “Setan-setan”, Djajus menceritakan khayalan dan mengungkapkan kritiknya terhaadap dunia penerbitan di Indonesia. Ia menceritakan bahwa di dunia alam lelembut juga terdapat penerbitan. Bedanya, penerbitan di alam lelembut sudah sedemikian majunya. Buku-buku yang diterbitkan tidak dijual, melainkan dibagikan gratis sejumlah empat juta eksemplar. Dalam cerita ini Djajus juga mengkritik cerita-cerita horror di berbagai majalah berbahasa Jawa yang selalu memberikan ilustrasi tokoh setan dengan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan. Setan-setan melakukan protes terhadap manusia yang melakukan pekerjaan itu.
a. Karya sastra berupa Crita Cekak
(1) “Tatu Lawas Kambuh Maneh” (Penebar Semangat, No. 15, 10 Mei 1971), (2) “Erma” (Dharma Nyata, No. 18, Minggu V, September 1971), (3) “Baladewa Ilang Gapite” (Penjebar Semangat, No. 8, 24 Februari 1972), (4) “Wewadi Tansah Kineker” (Penjebar Semangat, No. 28, 24 Juli 1972), (5) “Antinen Sawetara Dina” (Penjebar Semangat), (6) “Rekasane Urip” (Penjebar Semangat, No. 44, 24 November 1972), (7) “Bapak Ana Kene” (Jaya Baya, No. 40/XXVII, 10 Juni 1973), (8) “Tiwi” (Djaka Lodhang, Minggu IV, Oktober 1973), (9) “Ringkih” (Dharma Nyata, No.131


4. SUHARMONO KASIJUN

Suharmono Kasijun, lahir di Ponorogo, 19 Maret 1953 ini sering menggunakan nama samaran Anam Rabus. Ia menyelesaikan SR (1960 – 1966), SMP (1967 – 1969) di Ponorogo, sedangkan SMAnya (1970-1973) dilalui di tiga kota yaitu Ponorogo, Madiun dan Surabaya. Tahun 1975 – 1978 menempuh pendidikan Sarjana Muda di IKIP Surabaya dilanjutkan dengan S1 di IKIP Malang. Sekarang ia berkesempatan menempuh pendidikan S-3 di Unesa. Setamat dari pendidikan S1, ia menjadi guru PPSP IKIP Surabaya (1980-1988) dan mengajar di Jurusan Bahasa Jawa FPBS IKIP Surabaya tahun 1981 – 1987. Sekarang menjadi dosen Universitas Negeri Surabaya (UNESA), jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Suharmono lahir sebagai anak ke-11 dari 11 bersaudara pasangan Sumiyatin dan Kasiyun Atmo Sukarto yang berasal dari Ponorogo, tepatnya di Desa Kauman, Kecamatan Kauman – Sumoroto, Kabupaten Ponorogo. Saudaranya yang hidup hanya delapan orang yaitu Ismiyati, Suhartomo, Suharwoto, Suhartono, Istini, Siti Chaerul, Suhartanto, dan Indartiningsih. Pernikahannya dengan Zuhrowati pada tahun 1983 dikaruniai tiga orang putra Lalita Jiwanti (1984), Aji Parama Jiwangga (1985), dan Manggala Anindita Jiwangga (1990). Bersama keluarganya, pengarang, yang mulai menulis dalam bahasa Indonesia untuk majalah dinding sekolah pada tahun 1972, ini sekarang bertempat tinggal di jalan Mangga IV/ H – 35 Pondok Candra Indah Surabaya 60400.
Karangannya, yang pertama, terbit di koran Sinar Kota dan tidak mendapat bayaran. Pengarang yang memperoleh kemampuan mengarangnya secara otodidak ini termotivasi menjadi pengarang karena ingin terkenal. Media bahasa Indonesia dan bahasa Jawa digunakan dalam upaya mengekspresikan jiwa dan idealismennya karena kedua bahasa itu dikuasainya dengan baik. Menulis sudah merupakan bagian hidupnya. Selama menjadi pengarang Sastra Jawa, ia tidak banyak mengalami kesulitan. Orang yang dianggap membantu proses kreatifnya adalah Suripan Sadi Hutomo. Suharmono akan terus menulis karena menulis sudah merupakan bagian hidupnya sehari-hari. Wawas rambahnya cukup luas terbukti dari tulisan-tulisannya yang tidak hanya berupa novel, tetapi juga crita cekak dan gurit. Ia memang ingin menulis semua genre sastra. Honornya sebagai penulis berkisar antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 1.000.000. Sebagai pengarang Sastra Jawa, ia berharap agar masyarakat etnis Jawa mau menghargai budaya Jawa.
Karya-karyanya mendapat pengakuan publik, seperti (1) novelnya yang berjudul Den Bagus pernah menjadi juara harapan sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1980, (2) cerkaknya yang berjudul “Tatu-tatu Lawos” memenangkan lomba penulis cerkak Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) tahun 1980, (3) novelnya yang berjudul Kidung Katresnan memenangkan juara harapan Sayembara novel PKJT tahun 1981, (4) crita sambungnya yang berjudul Pupus Kang Pepes dinilai sebagai crita sambung terbaik Panjebar Semangat dalam kurun waktu lima tahun, dan (5) Pupus kang Pepes mendapat hadiah dari Yayasan Rancage tahun 1999.
Karya yang berbentuk puisi dimuat di majalah Penjebar Semangat, Jaya Baya, dan Kumandang sejak tahun 1974 sampai sekarang “Kidung Langsir Wengi”, “Ing Pucuk Gagak Layar Dakcancang Gendera Putih”, “Mujahidin Perak”, “Tandong”, “Ketudangan”, “Doran”, “Mitraku”, “Wus”, “Kidung Kayu Aking”, “Wengkar”, “Jalatunda”, “Guritan Kapang”, “Lintang-lintang”, Udan Riwis-riwis Kenya Manis”, “Lajnaran”, “Doran”, “Dukuh Kupang, “Panguripan”, “Pasuruan”, Karyanya yang berbentuk crita sambung adalah Gerimis (Jaka Lodang, 1980), Kidung Katresnan (Penjebar Semangat, 1986), Guwing (Jaya Baya, 1989), Pupus Kang Pepes (Panjebar Semangat, 1991), dan Edan (Jaya Baya, 1997), “Kampus”, “Keluke Cerobong Pabrik”, “Pomahku Omah Putih”, “Perang Kembang”, yang terbit dalam buku antologi bersama antara lain "Mujahidin Perak" "Kelandengan" "Kidung Kayu Aking" "Mitraku" "Wus" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001) dan "Kidung Kayu Aking" dalam Drona Gugat (Bukan Panitian Parade Seni WR Supratman, 1995), dll. Karyanya yang berupa crita cekak dalam Penjebar Semangat dan Jaya Baya tahun 1973 sampai sekarang “Subuh”, “Peteng Sing Ireng”, “Sanip Tambak Oso”, “Biotrop”, “Ratni”, “Tumbal”, “Bapa”, “Andheng-andheng Ngisor Lambe”, “Sore Ing Pesisir”, “Tatu-tatu Lawas”, “Gombak”, “Barong Dance”, “Sahadewa”, “Warok”, “Wiramane Lagu Dangdut”, “Musibah”, “Surup”, “Prahara”, “Tangga Anyar”, “Ratin” dll.
Karyanya yang berbentuk crita sambung adalah Gerimis (Jaka Lodang, 1980), Kidung Katresnan (Penjebar Semangat, 1986), Guwing (Jaya Baya, 1989), Pupus Kang Pepes (Panjebar Semangat, 1991), dan Edan (Jaya Baya, 1997),
Pernah menjabat sebagai ketua Umum Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) 1990 – 1994, dan kemudian menjadi ketua umum lagi pada periode 2001 – 2004. Hingga sekarang masih mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia – Universitas Negeri Surabaya (UNESA).


5. WIDODO BASUKI

Widodo Basuki, lahir di Trenggalek pada tanggal 18 Juli 1967. Ia termasuk pengarang sastra Jawa yang produktif. Karya-karyanya telah terbit di berbagai media berbahasa Jawa, seperti Penjebar Semangat dan Jaya Baya. Meskipun lebih dikenal sebagai penyair, Widodo Basuki juga menulis cerpen, esai, drama, cerita bersambung, dan cerita rakyat untuk anak-anak. Ia sering diundang untuk membacakan puisi-puisinya, terlibat dalam pementasan drama, dan menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan sarasehan. Dalam tulisannya, kadang-kadang ia menggunakan nama Liesty W, W. Basuki, dan Widodo B.
Ia adalah anak ke-5 dari delapan bersaudara. Ibunya bernama Asilah dan ayahnya bernama S. Muchtarom. Ia berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Widodo Basuki menempuh pendidikan di SD Tawing I (1974 – 1980), SMP Munungan (1980-1983), dan SMAN I Trenggalek (1983-986). Setelah lulus dari SMAN I Trenggalek, ia meneruskan ke STK “Wilwatikta” Surabaya (1986—1990) dan lulus dari IKIP PGRI Surabaya (1994—1997) jurusan seni rupa. Ia menikah tahun 1995 dengan Dra. Sri Sulistiani, M.Pd. dosen bahasa dan sastra Jawa di Universitas Negeri Surabaya. Ia mempunyai dua anak, yaitu dan dikaruniai dua orang putra, yaitu Abhimata Zuhra Pramudita (1997) dan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika (1999).
Sebelum menjadi wartawan dan redaktur majalah Jayabaya dari tahun 1993 sampai sekarang, Widodo Basuki pernah bekerja sebagai desainer Taman PT. Moer Sociates (1991—1992), Guru menggambar SD (1987—1991), dan penulis lepas (1987—1993).
Karyanya yang telah diterbitkan dalam bentuk buku, baik sebagai antologi sendiri maupun bersama, antara lain (1) Gurit Panantang (Bengkel Muda Surabaya, 1993, pernah dibaca di DKS dan aula Deppen Blitar tahun 1993), (2) "Layang Saka Tlatah Wetan" "Manjing Djroning Dhisket" "Rembulane Dahpaser" "Tembang ing Sungapan" "Pitakon" dalam Pisungsung : Antologi Guntan 6 Penyair (1995), (3) "Episode Sawise Iku" dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), (4) Layang Saka Paran, (5) "Jagir Wonokromo Surup Surya" "Layang Saka Tlatah Sumbreng" "Pithakon ing Pethit Ombak" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001), (5) "Nyuwun Praune Anakku" "Kadurakan ing Kidul Srengenge" dalam Omonga Apa Wae: Kumpulan Puisi dan Guritan (Festival Cak Durasim, 2000), (6) "Tembang Lemah Ngare" "Bebanteng Majapahit" "Kadurakan ing Kidung Srengenge" dalam Negeri Bayang-Bayang (Festival Seni Surabaya, 1996), (7) "Megatruh ing Tengah Wengi" "Nalika Bende Tinabuh" dalam Prosesi Kolaborasi Ruwatan Balai Pemuda (Seni Multimedia Komunitas Seniman Surabaya, 1998), (8) "Mbatik" "Kadurakan ing Kedhung Srengenge" Medhitasi Godhong Gedhang: Pelukis Agus Koching" dalam Gerimis Lembayung: Puisi, Essay, dan Geguritan, (9) Kitir Tengah Wengi (terbitan sendiri dan dibaca pada acara Semaan Sastra di Galeri DKS), (10) Layang Saka Tlatah Wetan: Antologi Guritan (terbitan sendiri dan dibaca pada Malam Pagelaran dan Diskusi Sastra Daerah di DKJ TIM Jakarta), (11) "Megatruh Tengah Wengi" "Ublik ing Trotoar" "O, Jogrok" "Bambar Bunelan" dalam Tes….:Antologi Puisi Penyair Jawa Timur (Taman Budaya Jawa Timur, 1987), (12) Liong, Tembang Prapatan (Taman Budaya Yogyakarta, 1999), (13) Wulan Sandhuwuring Geni (Yayasan Obor Jakarta, 1996), (14) Bandha Warisan, Antologi Dongeng Jawa (SSJY-LKBS, 2001), Bandha Pusaka: Antologi Crita Cekak (SSJY-LKBS, 2001), dan Ayang-Ayang Wewayangan (PPSJS, 1992). Tulisannya yang lain (1) Menak Sopal dan Buaya Putih (berupa cerita untuk anak, PT Citra Jaya Murni, 1997), (2) Orang-orang Berpeci (berupa naskah drama untuk Bengkel Muda Surabaya tahun 1996), (3) Geger Kali Rungkut (berupa naskah wayang kentrung bersama-sama dengan Bengkel Muda Surabaya tahun 1998) dan tulisan-tulisannya yang berupa cerpen, cerita bersambung, cerita anak-anak, cerita wayang, artikel sastra tersebar di berbagai media, seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, Surabaya Post, Jawa Pos, Surya.
Karya-karyanya sering mendapat penghargaan. Penghargaan paling bergengsi yang pernah diterima adalah dari Yayasan Rancage untuk kumpulan puisinya yang berjudul Layang Saka Paran pada tahun 2000. Puisinya yang berjudul “Guritan Pari Sawali” pernah terpilih sebagai juara I versi Kanwil Depdikbud Jawa Timur tahun 1996. “Cak Dul lan Maimanah” adalah cerpennya yang memenangkan juara harapan II dari Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta (SSJY) tahun 1998. Cerpennya yang berjudul “Supinah” terpilih sebagai sepuluh besar dalam lomba penulisan cerpen berbahasa Jawa Taman Budaya Yogyakarta tahun 1998 dan dimasukan dalam antologi Liong: Tembang Prapatan (1999). "Njaga Banyune Sendang" juara I Naskah Dongeng, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta tahun 2002. "Kudhi Bujel" juara harapan I lomba menulis cerpen Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan Lembaga Kajian Budaya Surakarta 2002). "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" juara I Jurnalistik Perkoperasian, Depkop-Deppen Jawa Timur tahun 1993.
Pada tanggal 24 Juni 1999, ia diundang untuk membacakan puisinya dalam acara gelar sastra daerah oleh Dewan Kesenian Jakarta bertempat di Taman Ismail Marzuki. Tahun 2001, ia menjadi pemakalah dalam Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta dan diundang pada Kongres Internasional Budaya Sunda di Bandung serta terlibat dalam penerjemahan teks klasik dan pesisiran naskah Jawa Lama, Serat Babad Madura. Widodo juga aktif di seni teater Bengkel Muda Surabaya, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, Kelompok Seni Rupa Bermain, mengisi fragmen bahasa Jawa di TVRI, siaran pembinaan bahasa dan sastra Jawa di RRI Surabaya bersama Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, dan mengikuti pameran lukisan dan keramikIa pernah menduduki posisi sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Surabaya periode tahun 1998—2003. Di samping itu, ia berusaha memasukkan sastra Jawa dalam kentrung atau naskah drama yang dipentaskan bersama teman-temannya di Bengkel Muda Surabaya. Untuk berbagai aktivitas dan perhatiannya pada sastra Jawa modern di Jawa Timur, Widodo Basuki mendapat perhatian dan apresiasi dari Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur berupa Penghargaan Seniman Jawa Timur pada tahun 2004.

6. BONARI NABONENAR

Bonari Nabonenar, lahir di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek pada tanggal 1 Januari 1964. Bonari, termasuk pengarang dwibahasa dan cukup produktif. Ia tidak hanya menulis puisi atau cerpen, tetapi juga artikel, esai, anekdot, dan novelet yang ditulis dengan menggunakan media bahasa Jawa dan Indonesia. Karya-karyanya dipublikasikan melalui media, seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, Merdeka, Bernas, Suara Merdeka, Wawasan, Surya, Jawa Pos, dan Surabaya Post. Bonari menganggap bahwa bahasa adalah alat yang dapat digunakan untuk mengekpresikan ide dan gagasannya. Ia mengibaratkan menulis seperti menanam benih padi, yaitu di tanam di media yang tepat. Begitu pula dengan ide dan gagasannya yang juga harus diekpresikan dengan bahasa yang tepat.
Kata 'Nabonenar” di belakang namanya, adalah nama tambahan. Bonari sering menggunakan nama samaran, seperti Sriningtyastuti dan Nuning Ningtyas dalam tulisan-tulisannya. Ayahnya bernama Sugimin dan ibunya bernama Insiyah. Keduanya berasal dari Trenggalek. Bonari berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Ia menikah dengan Sri Winarni, S. Pd. Pada tahun 1994 dan dikaruniani seorang putri bernama Nang Aristya.
Bonari menempuh pendidikan SD Cakul I (1970-1976), SMP Berbantuan Panggul (1976-1979), SPG Sore di Trenggalek (1979-1982), dan IKIP Surabaya Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1982-1987). Setelah lulus, bekal ilmu keguruan itu ia manfaatkan untuk bekerja sebagai guru tidak tetap di SMA Panggul, Trenggalek, pada tahun 1987—1989. Tahun 1992—1994, ia menjadi staf redaksi tabloid Jawa Anyar. Tahun 1995—2000, ia bergabung dengan JPNN (Jawa Pos News Network) dan tahun 2000 ia menjadi redaktur tabloid X-file. Bersama dengan Leres Budi Santosa dan Arif Santosa, ia memprakarsai berdirinya Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos. Ia juga salah seorang penggagas Kongres Sastra Jawa (2001), pengadilan sastra Jawa (2002), dan festival sastra buruh. Dalam organisasi ia juga aktif, seperti menjadi pengurus komunitas sastra Jawa Cantrik, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (2004—2008), dan komite sastra Dewan Kesenian Jawa Timur (2003—2008). Pada tahun 2003, ia dikirim oleh Dewan Kesenian Jawa Timur mengikuti Pertemuan sastrawan Nusantara XII di Singapura dan mengunjungi Dewan Bahasa di Malaysia. Tahun 2005, ia diundang untuk memberikan workshop penulisan bagi para pekerja rumah tangga (TKI) di University of Hong Kong di Kowloon.
Bonari sudah mulai menggemari kegiatan menulis sejak masih sekolah dasar melalui pelajaran mengarang yang diberikan oleh gurunya dan dari kegemarannya membaca. Bakatnya dibidang menulis mulai terasah dengan baik ketika duduk di bangku SPG karena mempunyai kesempatan lebih banyak untuk membaca karya-karya para pengarang Indonesia dan bergaul dengan para pengarang sastra Jawa di Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung. Karyanya yang pertama berupa puisi dan dimuat di majalah Taman Siswa Yogyakarta pada tahun 1981. Cerpennya yang berjudul "Klanthung Sastramindring" pernah mendapat hadiah sebagai Juara II lomba menulis crita cekak yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Yogyakarta bekerja sama dengan Dewan Kesenian Yogyakarta pada tahun 1991.
Sebagai pengarang, Bonari cukup produktif menghasilkan dan mempublikasikan karya-karyanya. Berikut adalah sebagian karya-karya Bonari yang sudah diterbitkan dalam majalah "Ombak Kuni", "Kembang Kang Mekar ing Ketiga Aking" (JB, cc, 1987), "Pakeliran" "Omah" "Lakon" (JB, grt, 1987), "Wong Ayu lan Gedhang" (PS, cc, 1990), "Ing Pangkone Sulastri" (MS, cc, 1990), "Rembulan Tatu" (MS, grt, 1990), "Kayu Pating Slekrah" (DL, cc, 1990), "Lambe" (JB, cc, 1990), "Klantung Sastramidring" "Guru: Kacatur Ngalor-ngidul" (PS, cc, 1991), "Cendhela" "Angin" (JB, cc, 1991), "Prahara" (PS, cc, 1992), "Dheweke Teka" "Candhi Wurung" (JB, grt, 1992), "Tembang Tangise Sinten" (Surabaya Post, grt,1992), "Jaka Durung Duwe SIM" ( JB, cc,1992)., "Maling" dan (Jawa Anyar, cc, 1994)," Ponorogo" (PS, grt, 1995).
Karya-karya Bonari juga ada yang diterbitkan dalam bentuk buku dalam antologi bersama pengarang lain, seperti (1) Byar (1992), merupakan kumpulan crita cekak Sanggar Triwida Tulungagung, (2) Mutiara Segegem (Jurusan Bahasa dan Sastra Daerah IKIP Yogyakarta), (3) "Ana Kembang Mekar ing Tatu" "Ana Kembang Mekar ing Tawang" "Sukerta" "Maneh-maneh" "Pupuh Ngucireng" dalam Pisungsung: Antologi Guritan Enam Penyair yang diterbitkan oleh Forum Kajian Kebudayaan Surabaya, (4) Suharto dalam Cerpen Indonesia, merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta tahun 2001, (5) "Aji Tresna" "Aku Lan Sliramu" "Dhuhkitaku" "Malatrisna" dalam Kabar Saka Bendulmrisi: Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001), (6) "Dakgelah Lakune Rembulan" dalam Drona Gugat (Bukan Panitia Parade Seni WR Supratman, 1995), dan (7) Bermula dari Tambi, merupakan kumpulan cerpen berbahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Panitia Pekan Seni Surabaya tahun 2001.
Di samping menggeluti sastra Jawa, Bonari juga memiliki perhatian pada kebudayaan Jawa dan dunia pendidikan. Perhatiannya itu tampak dari tulisannya, seperti (1) "Cangkriman: Biyen lan Saiki" (Panjebar Semangat, 1987), (2) "Murid: Biyen lan Saiki" (Panjebar Semangat, 1989), (3) "Kasusastran lan Bonsai" (Panjebar Semangat, 1989), (4) "Majalah Sastra Jawa, Perlu" (Mekar Sari, 1990), (5) "Maneh, Sithik Ngenani Gurit" (Panjebar Semangat, 1990), (6) "Pancakaki: Biyen lan Saiki" (Panjebar Semangat, 1991), "Nasibe Lulusan SPG" (Panjebar Semangat, 1991), "Isih Cilik Ngabotohan" (Panjebar Semangat, 1992), "Sastra Jawa: Juru Kritik lan Tesmak" (Panjebar Semangat, 1992), dan "Nangisi Ludruk" (Panjebar Semangat, 1994).

7. ST. IESMANIASITA

St. Iesmaniasita, lahir di desa Terusan, Mojokerto, 18 Maret 1933; dengan nama Sulistyo Utami Djojowisastro. Pengarang ini serba bisa dan sangat produktif. Karyanya berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, drama, dan puisi. Karya puisinya lebih dari 500 judul, cerpennya lebih dari 100 judul, dan cerita bersambungnya lebih dari 10 judul. Karya-karyanya itu terbit di berbagai media seperti Jayabaya, Panjebar Semangat, Crita Cekak, Mekarsari, Djaka Lodang, Candra Kiranan, dan Waspada. Pada umumnya, karya-karyanya telah diterbitkan, baik dalam terbitan sendiri maupun dalam antologi bersama pengarang lain. Sebagai penyair, St Iesmaniasita dianggap memelopori penulisan puisi bebas dalam sastra Jawa, baik dari segi struktur maupun bahasa. Sebagai cerpenis, ia juga dianggap telah mengawali penulisan cerpen supranatural (menyatukan dunia nyata dan dunia fana).
Iesmaniasita, anak pertama dari sembilan bersaudara yang terdiri atas dua perempuan dan tujuh laki-laki. St Iesmaniasita berasal dari suku Jawa. Ayahnya bernama M. Said dan bekerja sebagai pegawai perairan di Mojokerto. Ibunya bernama Soedorowerti adalah seorang ibu rumah tangga. Pendidikan sekolah rakyat diselesaikannya tahun 1951 dan pendidikan guru SGB diselesaikannya tahun 1954 di Mojokerto. Sekolah menengah pertama diselesaikannya di Wlingi, Blitar. Selanjutnya, dia mengikuti kursus guru tahun 1963.
Selepas pendidikan guru SGB, St Iesmaniasita mengabdikan diri sebagai guru di SD Mojosari tahun 1954. Tahun 1958, dia pindah menjadi guru di SD Purwotengah II. Selanjutnya, dia mengabdikan diri di SD Wates VI. Di SD Wates dia menjabat sebagai kepala sekolah sampai memasuki masa pensiun tahun 1993. Dia tidak menikah, dan selama hidupnya tinggal di rumah keluarganya di Jalan Trunojoyo 19 Mojokerto. Dia tinggal bersama adiknya, Ny. Setiati, dan keponakan-keponakannya. Dia meninggal dunia pada tanggal 8 April 2000 di Rumah Sakit Mojokerto karena penyakit liver.
St Iesmaniasita mulai menulis pada tahun 1950. Tulisan pertamanya berupa cerpen. Akan tetapi, dia baru dikenal luas pada tahun 1954 ketika puisinya yang berjudul ”Kowe Wis Lega?” (”Sudah Puaskah Engkau?”) terbit di majalah Panjebar Semangat No. 8 Tahun XIII, tanggal 2 Februari. Selanjutnya, ”Kowe Wis Lega?” masuk dalam buku Kalimput ing Pedut: Kumpulan Crita Cekak Lan Guritan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1976. Puisi itu amat terkenal dan dinilai sarat dengan konsep avangard. Melalui puisinya itu, dia dianggap sebagai pelopor dan pembaharu sastra Jawa modern, khususnya puisi. Dia juga adalah pengarang perempuan pertama dalam sastra Jawa dan dianggap sebagai pengarang pertama yang berani tampil dengan bahasa Jawa yang tidak baku. Bahasa Jawa ragam ngoko yang digunakannya mengundang kontroversi. Berikut kutipan puisi ”Kowe Wis Lega?” dan terjemahannya oleh Widati (2004:67)

Aku turuning pujangga
bisa nyipta Palgunadi & Anggrahini
bisa nyipta Panji & Candrakirana
bisa nyipta edining kuncup melati
jingga tuwin aruning ludira.

O, jaman Kanwa
jaman Sedah
pepuspan amrik
mekar endah.

Leluhurku
urip ing saben jaman
ngelik sesindhenan ing padesan
lan ngumbara urut pasisir
nasak wana salumahing bawana.
rungokna
rungokna....

O, sumitra,
apa sliramu wis lega
sesindhenan lagu warisan??
(Panjebar Semangat, 2 Februari 1954)

Sudah Puaskah Engkau?
Aku keturunan Pujangga
dapat menciptakan Palgunadi & Anggraini
dapat menciptakan Panji & Candrakirana
dapat cerita indahnya kuncup melati
jingga dan harumnya darah

O, zaman Kanwa
zaman Sedah
bunga-bunga menarik
mekar indah

Leluhurku
hidup sepanjang zaman
mengalun menembang
di pedesaan
dan mengembara di sepanjang pantai
menembus hutan di seluruh (muka) bumi
dengarkan, dengarkan..........

O, kawan
apakah engkau sudah puas
menembangkan lagu warisan?


Kesenangan membaca yang dimiliki St Iesmaniasita diperkirakan berasal dari tradisi keluarganya yang senang membaca. Keluarganya yang tergolong berkecukupan pada zamannya berlangganan majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat dan Jaya Baya, majalah Intisari, koran Kompas, Surabaya Post, dan Jawa Pos. Ia juga memiliki hobi mendengarkan musik klasik dan membaca karya-karya alexander Pushkin (penyair dan cerpenis Rusia).
Iesmaniasita mulai menulis sejak kelas III SMP. Dia mempunyai nama samaran Lies Djojowisastro dan Umi Gultoum. Karyanya yang berupa kumpulan cerpen dan sudah diterbitkan adalah (1) Kidung Wengi ing Gunung Gamping (Balai Pustaka, 1958) dan (2) Kringet Saka Tangan Prakosa (Yayasan Jayabaya, 1974). Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan adalah (1) Kalimput ing Pedhut (Balai Pustaka, 1976) yang di dalamnya ada 3 buah cerpen dan 20 puisi dan (2) Mawar-Mawar Ketiga (Yayasan Jaya Baya, 1996). Antologi puisi bersama yang memuat karya Iesmaniasita adalah (1) Geguritan : Antologi Sajak-Sajak Jawa (Pustaka Sasanamulya, 1978), (2) Seroja Mekar ( Balai Pustaka, 1985), (3) Kalung Barleyan: Antologi Guritan Penyair Wanita (Suripan Sadi Hutomo (ed), F IKIP Surabaya), (4) Kabar Saka Bendulmrisi : Kumpulan Guritan (PPSJS, 2001, suntingan Suharmono Kasiyun), Lintang-Lintang Ambyor (1983, suntingan Soesatya Darnawi) dan Guritan : Antologi Puisi Jawa Modern 1940-1980 (1950, suntingan Suripan Sadi Hutomo).
St Iesmaniasita selalu aktif, baik sebagai pembicara maupun peserta dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan sastra Jawa. Tahun 1983, dia mendapat penghargaan dari Balai Penelitian Bahasa Yogyakarta atas jasanya mengembangkan sastra Jawa. Tahun 1999, dia mendapat hadiah Rancage sebagai orang yang telah berjasa melakukan pembinaan sastra Jawa.
Menurut Widati (2001:303), St Iesmaniasita adalah pelopor penulisan puisi Jawa modern, baik dalam bentuk: bebas dalam larik, jumlah silabus, irama yang ringan, dan persajakan yang dinamis, maupun dalam tema dan masalah yang digarap. Widati juga mengatakan bahwa St Iesmaniasita telah mengawali model penulisan perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Hampir semua cerpennya menunjukkan bahwa teknik penulisannya berbeda dengan laki-laki yang merefleksikan adanya perlakuan berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Suripan Sadi Hutomo (1983) mengatakan bahwa St Iesmaniasita adalah pengarang wanita yang meretas jalan bagi kaumnya dalam mengembangkan sastra Jawa modern karena sebelum St Iesmaniasita muncul, belum ditemukan hasil karya perempuan pengarang sastra Jawa.

8. SRI 'TRINIL' SETYOWATI

Trinil, lahir di Surabaya tanggal 27 Juli 1965 dengan nama Sri Setyawati, termasuk sebagai pengarang generasi muda sastra Jawa. Meskipun tergolong baru, dia banyak dibicarakan karena dianggap memelopori penulisan karya sastra dengan ragam dialek Suroboyo-an, khusunya dalam genre puisi.
Trinil anak ketiga dari empat bersaudara, dua perempuan dan dua laki-laki. Trinil berasal dari suku Jawa dan beragama Islam. Trinil menempuh pendidikan SD tahun 1972 – 1978, SMP tahun 1978 – 1981, SMA Tritunggal 3 tahun 1981 – 1984, STK Wilwatikta tahun 1985 – 1989, dan IKIP Negeri tahun 1992 – 1997 di kota kelahirannya, Surabaya. Atas biaya dari Fakultas, Trinil menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Negeri Surabaya. Saat ini, Trinil sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Negeri Malang. Ketika menjadi mahasiswa seni tari, Trinil mendapat penghargaan dari Menpora sebagai pemeran utama dalam lakon Rumah Tak Beratap yang dipentaskan dalam Pekan Teater Nasional tahun 1996 dan dari Direktorat STSI Surakarta sebagai penari eksibisi dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Surakarta tahun 1996.
Setamat dari Jurusan Seni Tari, IKIP Surabaya, sejak tahun 1998 sampai sekarang, Trinil mengabdikan diri sebagai pengajar di Universitas Negeri Surabaya (dahulu IKIP Surabaya). Sebelumnya, dia pernah mengajar di TK tahun 1984 – 2000 dan selalu menang dalam lomba sebagai koreografer.
Trinil menikah dengan Edhy Brodjowaskito, seorang Pegawai Negeri di Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Dari pernikahan itu, Trinil dikaruniai tiga orang anak, yaitu Randhu Radjawanu (lahir 1989), Dhirgan Grudowaringin (lahir 1992), dan Merak Badra Wakaruyung (lahir 2001). Ayah Trinil bernama Salam Parto Suyidno berasal dari Ngawi dan ibunya bernama Armunah berasal dari Gresik. Trinil mempunyai tiga orang saudara, yaitu Endang Sri Purwanti (Guru SMP), Bambang Sukarno (Pegawai PJKA), dan Djoko Setyo Utomo (Swasta).
Trinil mulai menulis tahun 1997 di Majalah Jayabaya. Selain dalam bahasa Jawa ragam dialek Surabaya dan Surakarta, dia juga menulis dalam bahasa Indonesia. Tulisan dalam bahasa Indonesianya berupa esai untuk tabloid Wisata dan Budaya dan majalah Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur. Tulisannya mengenai pendidikan, feminisme, wisata, budaya, seni, dan sejarah ada di majalah Kidung dan tabloid Bromo (th 1998 – 2001). Hasil karyanya yang berupa puisi dan novel sudah diterbitkan, yaitu Donga Kembang Waru (2000) dan Sarunge Jagung (2004).
Menurut Sutarto (2005), upaya Trinil mengangkat martabat ragam dialek Surabaya menjadi bukti nyata bahwa pengarang yang hidup dalam komunitas budaya tertentu dapat mengekspresikan gagasannya dan pengalaman hidupnya melalui bahasa yang dikuasainya. Trinil dinilai berhasil menepatkan budaya Jawa-Surabaya sebagai ruh dalam puisi-puisinya dan hal itu merupakan lompatan langka karena selama ini Surabaya telah ditampilkan dalam berbagai wajah, baik dalam karya seni maupun dalam cultural events, tetapi belum berhasil menghadirkan ruh Surabaya di dalamnya. Ragam dialek Surabaya dianggap sebagai bahasa yang kasar dan hampir tidak pernah dipilih sebagai bahasa sastra, apalagi puisi sehingga keberanian Trinil tergolong istimewa dalam dunia sastra Jawa.
Menurut Kasiyun (2004), puisi Trinil khas Surabaya karena memiliki rima, mencakup berbagai kata kiasan yang ada di Jawa Timur, dan memakai struktur sastra tradisional, seperti Dandhanggula, Pucung, dan Maskumambang. Kekhasan itu terutama dikarenakan menggunakan bahasa ragam dialek Surabaya dan berisi kritik terhadap kota Surabaya.
Brata (2005) mengatakan bahwa Trinil telah memasarkan ragam dialek Surabaya kepada masyarakat, khususnya kalangan generasi muda agar tidak malu menggunakannya. Ia menunjukkan bahwa karya sastra etnik bukan karya yang memalukan. Menurutnya, Trinil pantas disebut sebagai satu-satunya pembaharu dalam dunia sastra Jawa modern ragam dialek Surabaya.

9. J.F.X HOERY DAN KARYANYA

Nama panjangnya Joseph Fransiscus Xaverius Hoery, yang kemudian disingkat JFX Hoery ini, lahir di desa Karangnongko, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan pada tanggal 7 Agustus 1945 ini dapat dikatakan sebagai salah satu ikon sastra Jawa di Bojonegoro. Pemeluk agama Katholik ini mulai menulis sejak berusia 14 tahun, ketika karya pertamanya dimuat di salah satu majalah yang berbahasa Jawa Taman Putra pimpinan Pak SIN (Soebagijo IN) terbitan Panjebar Semangat, Surabaya tahun 1959.
Tulisan pertama yang dimuat adalah laporan perjalanan wisata yang dillakukan pada saat itu. Untuk penulisan pertama di majalah tersebut, ia tidak memperoleh honor. Satu-satunya motivasi awal yang menggerakkan dirinya untuk tepat menulis adalah keinginannya yang besar untuk dapat mengarang.
Setelah karya pertamanya dimuat di majalah, selanjutnya tulisan Hoery termuat di banyak majalah berbahasa Jawa seperti Panjebar Semangat, Jaya Baya, Dharma Nyata, Dharma Kanda, Djaka Ludang, Cenderawasih, Mekar Sari, Kumandang, Pustaka Candra, dan Parikesit. Tulisan-tulisan yang dimuat tersebut berupa cerita cekak ’cerita pendek’, cerita sambung ‘cerita bersambung’, geguritan ‘puisi’, cerita rakyat, laporan atau reportase, dan juga esai. Pengarang yang juga menggunakan nama samaran Retno Yudhawati, Cantrik Gunung Lima, dan Frans HJ ini beristrikan Sri Narjati, Ama.Pd. Seorang guru yang mengajar di SDN di Bojonegoro. Mantan anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro. Dalam usia pernikahan yang mencapai 30 tahun (menikah 3 November 1974), pasangan ini dikaruniai 2 anak perempuan dan 1 laki-laki yang sekarang semuanya bergelar sarjana.
Menyelesaikan jenjang pendidikan di sekolah dasar tahun 1957 di kota kelahirannya, Hoery kemudian pindah ke Blora dan menyelesaikan pendidikan SMP di kota itu tahun 1963. Tahun 1967, Hoery lulus dari STM C1 Mesin di Semarang, Jawa Tengah. Kegemaran menulis Hoery terus diasah dengan cara melanjutkan pada kursus-kursus seperti mengetik, administrasi, jurnalistik, dan penataran kewartawanan.
Dunia kepenulisan J.F.X. Hoery berlanjut saat ia menjadi wartawan. Tahun 1975—1980 menjadi wartawan di mingguan Jaka Lodhang, tahun 1976 di mingguan Kumandang, 1980—1985 di majalah Mekarsari, tahun 1985—1989 sebagai wartawan di harian Kedaulatan Rakyat, dan tahun 1991—2001 di harian Bernas. Kegiatan menulis sempat ia hentikan sementara, saat ia disibukkan oleh pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai anggota DPRD Kabupaten Bojonegoro. Setelah masa bhaktinya sebagai anggota DPRD selesai tahun 2004 ia mulai menulis kembali beberapa karya sastra, terutama karya-karya sastra berbahasa Jawa. Selain menulis karya sastra menggunakan bahasa Jawa Hoery juga menulis menggunakan bahasa Indonesia. Majalah-majalah dan surat kabar yang pernah memuat tulisan-tulisan Hoery antara lain Kuncum Jakarta, Arena Pelajar Jakarta, kuncup Jakarta, Buana Minggu Jakarta, Suara Merdeka Minggu Semarang, Warta Pertamina Jakarta, dan Suluh Marhaen Surabaya. Karya sastra dalam bentuk buku selain “pagelaran” yang diterbitkan oleh Narasi Yogjakarta, berjudul “Lintang Abyor”, “Kabar Saka Tlatah Jati“, juga buku cerita anak-anak “Permaisuri yang Cerdik” dan “Sosiawan-sosiawan kecil” yang diterbitkan oleh PT Mandira Semarang.
Perhatian terhadap sastra Jawa dan perkembangannya, diwujudkan Hoery dalam keaktifannya dalam organisasi-organisasi kesastraan seperti organisasi Pengarang sastra Jawa (OPSJ), anggota pleno Dewan Kesenian Bojonegoro, dan sebagai ketua Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), sebuah organisasi local kesastraan yang mampu menampung sastrawan, peminat, dan pemerhati sastra Jawa. Selain itu, dalam bidang kemasyarakatan, Hoery juga aktif di Keuskupan Surabaya wilayah Kevikevan IV sebagai staf komisi sosial (Komsos) sebagai sekretaris pada Paroki Santo WillI Brodus Cepu, dan juga anggota Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) Jawa Tengah.
Hoery mengakui, kemampuan menulis yang ia miliki, didapatkannya dari pengetuahannya dari pergaulannya dengan teman sesama pengarang, berdialog dan berdiskusi, baik dalam situasi formal maupun informal. Hal-hal seperti itu menjadi bagian proses kreatif seorang Hoery, di samping pengembangan imajinasi dan penuturan pengalaman hidup yang ia dapatkan sehari-hari. Dengan keyakinan bahwa bahasa, sastra dan kebudayaan Jawa tidak akan pernah mati, hingga sekarang Hoery masih terus menulis. Hingga kini telah 325 geguritan, dan sekitar 85 crita cekak telah ia hasilkan. Ia berharap, dalam perkembangan selanjutnya semakin banyak bermunculan lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri dalam perhatiannya terhadap karya-karya sastra seperti Yayasan Rancage milik Ajip Rosidi. Melalui yayasan inilah, pada tanggal 31 Maret 2004, bertempat di Universitas Pakuan Bogor, hoery memperoleh penghargaan buku antologi “Pagelaran” yang memuat 185 kumpulan guritannya.
Diakui oleh Hoery, ketika menerima pengahargaan itu berbagai perasaan seperti bangga, malu dan juga prihatin bercampur menjadi satu. Bangga karena ia menerima penghargaan tersebut merupakan perwujudan prestasinya dalam berkiprah dalam dunia sastra selama ini. Malu karena menganugerahkan pengahargaan itu adalah sebuah yayasan yang didirikan oleh tokoh yang berasal dari Suku Sunda, Ajip Rosidi. Hal itu, menurut Hoery menandakan bahwa masyarakat Jawa tidak begitu memperhatikan dan mengindahkan keberadaan serta keluhuran sastra Jawa. Keprihatinan Hoery didasarkan pada kenyataan bahwa sastra Jawa sudah tidak diagungkan lagi oleh mayoritas suku Jawa.
Di samping hadiah sastra Rancage, geguritan Hoery juga pernah meraih juara harapan dalam kegiatan yang diadakan oleh lembaga Javanologi tahun 1982. Geguritannya “Bendhe-bendhe Patembayan” juga pernah terpilih sebagai yang terbaik versi Taman Budaya Yogyakarta. Berikut adalah karya-karya J.F.X. Hoery.
A. Karya sastranya yang berupa crita cekak
(1) “Alun Isih Gumulung” (Mekar sari No. 13 tanggal 1 September 1975), (2) “Sunar Dewanti” (Mekar Sari No. 19 tanggal 1 Desember 1975), (3) “Tilgram Saka Bapak” (Mekar Sari No. 2 tanggal 15 Maret 1976), (5) “Anak Lanang Mbarep” (Mekar Sari No. 22 tanggal 15 Januari 1977), (6) “Kowe Apa Wis Dhewasa Tenan Mirah” (Mekar Sari No. 12 tanggal 15 Agustus 1977), (7) “Layang Saka Sumenep” (Mekar Sari No. 2 tanggal 15 Maret 1978), (8) “Klebu Jaring” (Mekar Sari No. 7 tanggal 1 Juni 1978), (9) “Mojang Kamojang” (Mekar Sari No. 13 tanggal 1 September 1978), (10) ;Gondrong” “Mekar Sari No. 13 tanggal 1 Desember 1978), (11) “Kasep” (Mekar Sari No. 4 tanggal 15 April 1979), (12) “Kawiyak” (Mekar Sari No. 13 tanggal 1 September 1979) (13) “Mbakyune Nyawang Kanthi Tajem” (Mekar Sari No. 10 tanggal 15 Juli 1980), (14) “Atining Wanita” 9 Mekar Sari No. 20 tanggal 15 Desember 1980), (15) “Angin Wengi Segara Kidul” (Jaya Baya No. 45 tanggal 6 Juli 1975), (16) “Banjire Wis Surut” (Jaya Baya No. 49 tanggal 3 Agustus 1975), (17) “Mengko Ketemu Maneh” (Jaya Baya), (18) “Lien Nio Atimu Putih” (Jaya Baya No. 11 tanggal 11 November 1984), (19) “Rembulan Surem” (Jaya Baya No. 17 tanggal 21 Desember 1984), (20) “Wisel” (Jaya Baya No. 50 tanggal 12 Agustus 1984(, (21) “Dhewekw Wis Bali” (Jaya Baya), (22) “Gunung Lima Sinaput Pedhut” (Jaya Baya No. 51 tanggal 19 Agustus 1990), (23) “Layang Waiyat” (Jaya Baya, 1975), (24) “Panjaluke Mbak Widya” (Jaya Baya 1983), (25) “Hadiah Natal” (Jaya Baya), (26) “Tamu Lingsir Wengi Ing Lokasi” (Jaya Baya No. 38 tanggal 19 Mei 1985), (27) “Pangorbanan” (Jaya Baya), (28) ‘Guru” (Jaya Baya No. 2 tanggal 9 September 1979), (29) “Dudu Slahku” (Jaya Baya No. 45 tanggal 12 Juli 1981), (30) “Cease Fire” (Jaya Baya No. 29 tanggal 17 Maret 1991), (31) “Kenya Ing Kamar Losmen” (Jaya Baya, 1986), (32) “Ah” (Jaya Baya No. 2 tanggal 8 September 1991), (33) “Cipanas Gawe Ati Panas” (Jaya Baya No. 30 tanggal 24 Maret 1895), (34) “Temlawung” (Jaya Baya No. 6 tanggal 8 Oktober 1983), (35) “Ambyar” (Jaya Baya No. 38 tanggal 18 Mei 1980), (36) “Kinanthi” (Jaya Baya No. 28 tanggal 12 Maret 1989), (37) “Tsunami” (Jaya Baya No. 29 tanggal 16 Maret 2003), (38) ”Lonceng Tengah Wengi” (Jaya Baya No. 18 tanggal 4 Januari 1976), (39) “Testening Kringet Ing Tlatah Cengkar” (Jaya Baya No. 46 tanggal 18 Juli 1976), (40) “Banjire wis Surut” (Jaya Baya No. 49 tanggal 3 Agustus 1978), (41) “Oh Jakrta’ (Jaya Baya No. 46 tanggal 17 Juli 1977), (42) “Kelayu Kenya Ayu” (Jaya Baya No. 13 tanggal 12 November 1974), (43) “Kabuncang Ing Pangangen” (Jaya Baya No. 36 tanggal 4 14 Mei 1978), (44) “Rembulan Sadhuwuring Falmboyan” (Jaya Baya No. 37 tanggal 14 Mei 1978), (45) “Mengko Ketemu Maneh” (Jaya Baya No. 8 tanggal 19 Oktober 1986), (46) “Teluk Lorok Dadi Saksi” (Jaya Baya No. 35 tanggal 26 April 1987), (47) “Ing Teluk poph” (Jaya Baya No. 30 tanggal 1 April 1988), (48) “Meja Kursi” (Jaya Baya), (49) “Nedhenge Flamboyan Mekar” (Jaya Baya No. 30 tanggal 28 Maret 1982), (50) “Luputku” (Jaya Baya No. 1 tanggal 5 Spetember 1993), (51) “Balok-balok Jati” (Panjebar Semangat No. 30 tanggal 29 Juli 1978), (52) “Wewadi” (Panjebar Semangat), (53) “Jerit Bubar Maghrib” (Panjebar Semangat No. 33 tanggal 16 Agustus 1975), (54) “Sepur Kapindho” (Panjebar Semangat), (55) “Kanugrahan” (Panjebar Semangat), (56) “Katresnan lan wewadi kang Kineker” (Panjebar Semangat No. 39 tanggal 25 September 1976), (57) “Oh Anakku” (Panjebar Semangat No. 15 tanggal 10 April 1982), (58) “Tanjung” (Panjebar Semangat No. 41 tanggal 10 Oktober 1987), (59) “Mas Yudi Nyandiwara” (Panjebar Semangat No. 24 tanggal 16 April 1973), (60) “Bali” (Panjebar Semangat No. 1 tanggal 2 Januari 1973), (61) “Mirah” (Panjebar Semangat No. 30 tanggal 23 Juli 1977), (62) “Kadurakan” (Panjebar Semangat No. 37, 2004), (63) “sayati” (Panjebar Semangat), (64) “uwit Nakal” (Panjebar Semangat No. 52 tanggal 24 Desember 19769, (65) “Timbalan” (Panjebar Semangat No. 52 tanggal 25 desember 1976), (66) “Selekta Abang” (Djaka Lodang Minggu II September 1975), (67) “Lukisan” (Djaka Lodang No. 19 tanggal 7 Agustus 1993), (68) “tandure Wis Sumilir” (Kumandhang), (69) “Ringin Ngarep Rumah Sakit” (Kumandhang), (70) “Aja Kleru Tampa Yanny” (Kumandhang), (71) “Perbawaning Kanugrahan” (Dharma Nyata), (72) “Turis” (Dharma Nyata), (75) “Formulir” (Pustaka candra No. 8 tahun 1981), (76) “Titising Panyuwun” (Pustaka Candra No. 33 tahun 1981), dan beberapa crita cekak lain yang tidak terdata oleh pengarang.
B. Karya sastranya berupa crita sambung
Tante Haryati” (Jaya Baya No. 8 tanggal 16 Oktober 1988—No. 17 tanggal 25 Desember 1988)
C. Karya sastranya berupa geguritan
    1. Kali Grindulu” (Panjebar Semangat tahun 1971), (2) “Sugeng Esuk Surabaya” (Panjebar Semangat No. 42 tanggal 10 Nopember 1972), (3) “Pacitan” (Panjebar Semangat), (4) “Sungapan Pacitan” (Kumandhang No. 115 Minggu III Januari 1976), (5) “Tlatah Rengka” (Kumandhang No. 20 tanggal 23 Maret 1074), (6) “Napas-napas Talatah Cengkar” (Dharma Nyata No. 163 Minggu IV Juli 1974), (7) “Cirebon” (Kumandhang No. 1 Minggu III Maret 1975), (8) “karangpacar” (Panjebar Semangat No. 21 tanggal 24 Mei 19750, (9) “Baureno” (Dharma Nyata No. 207 Minggu I Juni 1975), (10) “Wadhuk Leran” (Dharma Nyata No. 207 Minggu I juni 1975), (11) “Kabar Saka Desa” (Dharma Nyata No. 249 Minggu IV Maret 1976), (12) “Madiun” (Djaka Lodang No. 303 Minggu IV Mei 1977), (13) “Ing Sasonomulyo Aku”, (14) “Kayangan Api” (Djaka Lodang No. 341 tanggal 5—15 Mei 1978), (15) “Ing Gegere Gunung Cerme” (Djaka Lodang No. 341 tanggal 5—15 Mei 1978), (16) “Cepu” (Djaka Lodang No.348 tanggal 25 Juli 1978), (17)”Padangan” (Djaka Lodang No. 348 tanggal 25 Juli 1978),(18)”Alun-Alun Bojinegoro” (Panjebar Semangat No. 30 tanggal 28 Juli 1979), (19 “Dakcethet Ing Banjarjo 22” (Panjebar Semangat No. 37 tanggal 15 September 1979), (20) “ Pacitan Cepu Aku Ketemu” (Djaka Lodang No. 349 tanggal 15 Desember 1979), (21) “Alun-Alun Bojonegoro 1982” (Jaya Baya No. 23 tanggal 16 Februari 1983), (22) “Trotoar” (Parikesit No.481 tanggal 4 aApril 1982), (23) “Kenjeran Tugu Pahlawan” (Parikesit No.558 tanggal 25 September 1983), (24) “Gunung Sewu” (Parikesit No.585 tanggal 3 Desember 1983), (25) “ Alas Roban” (Jaya Baya No. 22 tanggal 29 januari 1984), (26)”Angin Padesan” ( Mekarsari No. 11 tanggal 1 Agustus 1985), (27)”Taman” (Jaya Baya No. 28 tanggal 9 Maret 1986), (28)” Sengkaling” (Djaka Lodang No. 740 tanggal 22 November 1986), (29) “Selekta” (Djaka Lodang No. 740 tanggal 22 November 1986),(30) ”Blitar “, (31) “Tarub” (Panjebar Semangat No.17 tanggal 22 November 1987), (32) “Srengenge Mlethek Ing barehan” (Panjebar Semangat No. 14 Tanggal 4 April 1987), (34) “Pacitan kang Dakkangeni” (Jaya Baya No. 2 tanggal 6 Maret 1988), (35) “Bumi Kelairan” (Panjebar Semangat No. 24 tanggal 2 April 1988), (36) “Sadawaning dalan Pacitan-Tegalombo” (Jaya Baya No. 1 tanggal 4 September 1988), (37) “Bojonegoro” (1982), (38) “Sugeng Keri pacitan” (1989), (39) “Punung”(1989), (40 “Yogya” (1989, (41 “Teleng ( Panjebar Semangat No. 48 tanggal 27 November 1933), (42) “Sungapan Lorok”, (43) “Bandar” (Panjebar Semangat No. 34 tanggal 20 Agustus 1995), (44) “Cilacap” (Panjebar Semangat No. 7 tanggal 14 Februari 1988), (45) “Stasiun Purwokerto” (1997), (46) “Baturaden” (1997), (47) “Tlatah Rengka” (Kumandang No. 20 tanggal 23 Maret 1974), (48) “ Panalangsa” (Kumandang No. 22 tanggal 6 April 1974), (49) “Aku Ora Kuwawa” ( kumandang No. 43 tanggal 31 Agustus 1974), (50) “Kapang” (Kumandang No. 52 tanggal 2 November 1974), (51) “Prawan Sunthi” (Dharma Nyata Minggu II April 1974), (52) “Panglocita” (Panjebar Semangat No. 44 tanggal 2 November 1974), (53) “Pangrasa”, (54) “Jaran Guyang” (Djaka Lodang No. 242 Minggu IIIMaret 1976), (55) “Salam Kagem Sliramu” (Panjebar Semangat No. 23 tanggal 5 Juni 1976), (56) “Sliramu Kang Anguwuh Kapang” (Dharma Nyata No. 305 Minggu IV 1977), (57) “Tumenga” (Djaka Lodang Minggu IV Mei 1977), (58) “Sliramu Wis Tinimbalan Bali” (Dharma Nyata No. 280 Minggu IV Oktober 1976), (59) “Sepi” (Lintang-lintang Abyor, 1983), (60) “Antarane aku Lan Sliramu” (Djaka Lodang No. 354 tanggal 25 September 1978), (61) “Ballada Wong-wong Pengeboran” (Jaya Baya 1980): Pemenang II penelitian geguritan Javanologi tahun 1980, (62) “Esem” (Djaka Lodang No. 479 tanggal 21 Nopember 1981), (63) “Swara Ing Batin Swara Ing Asepi” (1982), (64) “ Rembulan Leledhang” (Jaya Baya No. 36 tanggal 8 Mei 1983), (65) “Ing Atiku Ing Atimu” (Parikesit No. 541 tanggal 29 Mei 1983), (66) “Apa Maneh Sing Mboklari” (Parikesit No. 541 tanngal 29 Mei 1983), (67) “ Gumalewang” (1985), (68) “Koncatan” (Jaya Baya No.46 tanggal 13 Juli 1986), (69) “Tumpak” (Panjebar Semangat No. 19 tanggal 9 Mei 1987), (70) “Saka Kedheping Netramu” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (71) “ Sugeng Tindak Mitra” (Djaka Lodang No. 816 tanggal 7 Mei 1988), (72) “Tumibal” (Djaka Lodang No. 816 tanggal 7 Mei 1988), (73) “Ambyar” (Panjebar Semangat No. 1 tanggal 30 Desember 1989), (74) “ Dakantu Tekane Kabar Ing Mangsa Iki” (Jaya Baya No. 9 tanggal 29 Oktober 1988), (75) “Kaca” (Panjebar Semangat No. 1 tanggal 30 Desember 1989), (76 “ Kasmaran” (Panjebar Semangat No. 49 tanggal 4 Desember 1993), (77) “Pendhut” (Djaka Lodang No. 48 tanggal 27 April 1996), (78) “Kemrungsung” (Jaya Baya No. 31 tanggal 5 April 1998), (79) “ Wengi Pangumbaran” (Mekar Sari No. 22 tanggal 15 Januari 1982), (80) “Keblat” (Jaya Baya No. 41 tanggal 9 Juni 1991), (81) “Slenca” (Jaya Baya No. 8 tanggal 24 Oktober 1993), (82) “Kasaguhan” (Djaka Lodang No. 20 tanggal 15 Oktober 1994), (83) “Kelangan” (1993), (84) “Nglenggana” (Jaya Baya No. 4 tanggal 25 September 1994), (85) “Pamrih” (Jaya Baya No. 5 tanggal 11 Oktober 1995), (86) “Wis Samesthine” (Panjebar Semangat No. 38 tanggal 23 September 1995), (87) “Aku Iki” (Jaya Baya No. 5 tanggal 11 Oktober 1995), (88) “Ora Perlu Ditangisi” (Jaya Baya No. 24 tanggal 15 Februari 1998), (89) “Mega Putih” (Panjebar Semangat No. 6 tanggal 7 Februari 1998), (90) “Pahargyan” Dharma Nyata No. 73 Minggu III Oktober 1972), (91) “Upeti” (Kumandhang 1973), (92) “Penget” (Dharma Kandha No. 220 Minggu III Januari 1974), (93) “Aku Ora Kuwawa” (Kumandhang, No. 43 tanggal 31 Agustus 1974), (94) “Monumen” (Kumandhang, No. 37 tanggal 20 Juli 1974), (95) “Pragmen” (Mekar Sari No. 22 tanggal 15 Januari 1982), (96) “Perkutut” (Djaka Lodang No. 205 Minggu I Juli 1975), (97) “Penggurit Wis Dhek Wingi Mardika” (Dharma Nyata No. 212 Minggu II Juli 1975), (98) “Layang Kekancinagn” (Dharma Nyata No. 227 Minggu IV Oktober 1975), (99) “Sadurunge Sirine Mecah Ombak” (Jaya Baya No. 38 tanggal 23 Mei 1976), (100) “Panantang” (Jaya Baya No. 38 tanggal 23 Mei 1976), (101) “Apa Abamu Panggurit” Kumandhang, No. 136 Minggu II Juni 1976), (102) “Biwara” (Dharma Nyata No. 305 Minggu IV April 1977), (103) “Atiku Lan KArepmu” (1977), (104) “Patembayan” (Kumndhang No. 204 tanggal 21 November 1977), (105) “Simbah” (Djaka Lodang No. 381 tanggal 5 julli 1978), (106) “Layang –I” (Mekar Sari No. 8 tanggal 15 juni 1978), (107) “Layang –II” (Mekar sari No. 8 tanggal 15 Juni 1978), (108) “Kang Diarep” (Dharma Nyata No. 378 Minggu III September 1978), (109) “Ing Mburine Redaksi” (Jaya Baya, 1968), (110) “Pranyatan” (Djaka Lodang No. 365 tanggal 25 Januari 1979), (111) “Lhadallah” (Djaka Lodang No. 383 tanggal 25 Juli –5 Agustus 1979), (112) “Prasetya” (1982), (113) “Trotoar” (Parikesit No. 481 tanggal 4 April 1982), (114) “Pangruwat” (Jaya Baya No. 47 tanggal 22 Juli 1984), (115) “Waris” (Mekar Sari No. 31 tanggal 27 September 1989), (116) “Tuntutan Jaman Edan” (Jaya Baya No. 19 tanggal 5 Januari 1986), (117) “Iki Dudu Layang Panantang” (Jaya baya No. 2 tanggal 6 September 1987), (118) “Iki Layang Kangenku” (Djaka Lodang No. 834 tanggal 10 September 1988), (119) “Senthir” (Djaka Lodang No. 840 tanggal 22 Oktober 1988), (120) “Panggah” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 4 Maret 1989), (121) “Sketsa” (Panjebar Semangat No. 16 Tanggal 15 April 1989), (122) “Panandhang” (1988), (123) “Jingklong” (1989), (124) “Paseksen” (1988), (125) “Kaca” (Panjebar Semangat No. 1 anggal 30 Desember 1989), (126) “Dongeng” (1989), (127) “Paseksen Panggurit” (1990), (128) “Aja” (Jaya Baya No. 7 tanggal 17 OKTOBER 1993), (129) “Kelangan” (1993), (130) “Srakah” (Panjebar Semangat No. 49 tanggal 4 Desember 1993), (131) “Panggresah Ing Tengah Sawah” (Jaya Baya No. 26 tanggal 27 Februari 2000), (132) “Tekamu” (Panjebar Semangat No. 35 tanggal 2 September 1995), (133) “Kendhang” (Jaya Baya No. 29 tanggal 17 Maret 1996), (134) “Sing Katon Kae” (Djaka Lodang No. 25 tanggal 10 November 1996), (135) “Refleksi Kesunyatan” (Panjebar Semanagt No. 14 tanggal 1 April 2000), (136) “Panggugat” (Panjebar Semanagt No. 37 tanggal 13 September 1997), (137) “Kemrungsung” 9Jaya Baya No. 31 tanggal 5 April 1998), (138) “Pagelaran” (Jaya Baya No. 7 tanggal 11 Oktober 1987), (139) “Iman” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1976), (140) “Komuni” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1974), (141) “Salip” (Dharma Nyata No. 253 Minggu III April 1974), (142) “Natal” (Dharma Nyata No. 288 Minggu IV Desember 1976), (143) “Yerusalem” (Dharma Nyata No. 310 Minggu IV Mei 1977), (144) “Slogan” (Dharma Nyata No. 310 Minggu IV Mei 1977), (145) “Paskah” (Kumandhang No. 204 tanggal 21 November 1977), (146) “Gemothange Lonceng Sangisore Kayu Pamenthangan” (1982), (147) “Ing” (Jaya Baya No. 44 tanggal 1 juli 1984), (148) “Ing Astamu Rinakit Gurit” (Jaya Baya No. 17 tanggal 23 Desember 1984), (149) “Kapangku” (Panjebar Semangat No. 9 tanggal 1 Maret 1986), (150) “Sapa Ta” (1986), (151) “Pasrah” (Panjebar Semangat No. 27 tanggal 5 Juli 1986), (152) “Manunggal” (Panjebar Semangat No. 27 tanggal 5 Juli 1986), (153) “Donga Pungkasan” (Djaka Lodang No. 735 tanggal 18 Oktober 1986), (154) “Menep” (Panjebar Semangat No. 19 tanggal 19 Mei 1987), (155) Sumendhe” (Panjebar Semangat No. 38 tanggal 19 September 1987), (156) “Ing Rasa RasaMu” (Jaya Baya No. 6 tanggal 4 Oktober 1987), (157) “Saka Kedheping NetraMu” (Panjebar Semanagt No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (158) “Lintang” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 5 Maret 1988), (159) “Saka Altar Greja Tuwa” (Jaya Baya No. 23 tanggal 31 Januari 1988), (160) “Donga Wengi” (Panjebar Semangat No. 9 tanggal 25 Februari 1989), (161) “Palungan” (1989), (162) “Pitakon” (Panjebar Semangat No. 10 tanggal 3 Maret 1989), (163) “Ing Kene getihmu” (1989), (164) “Roh” (Jaya Baya No. 41 tanggal 10 Juni 1990,(165) “Saka Asihmu” (Jaya Baya No. 41 tanggal 10 Juni 1990, (166) “Suwung” (Djaka Lodang No. 1073 tanggal 10 April 1993), dan banyak lagi.***
      Catatan: Bahan Kuliah Mahasiswa Jurusan SPI - VII - IAIN Suna - Surabaya


      Desaku Canggu, Jetis, Mojokerto, 11/10/2012