Senin, 19 April 2010

KARTINI, BUMI DAN SASTRA

KARTINI, BUMI DAN SASTRA*
Oleh: Aming Aminoedhin

Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), koordinator Malsasa


* tulisan ini termuat di koran Radar Surabaya, rubrik Horizon, Minggu 18 April 2010



Apa hubungannya Kartini, Bumi, dan Sastra? Pertanyaan itu memang wajar dimunculkan, sebab ketika kita memasuki bulan April yang diingat masyarakat adalah Hari Kartini. Pendekar emansipasi wanita negeri ini. Padahal, di bulan April, ada peringatan hari besar lainnya yaitu Hari Bumi dan Hari Sastra. Namun demikian, banyak orang tidak tahu adanya dua peringatan yang saya sebut terakhir. Ironis memang!

Hari Kartini

Beberapa waktu yang lalu di harian Kompas (Minggu, 21/3/2010) saya baca berita tentang ‘Gairah Mendaki di Usia 50 Tahun” yang di dalam laporannya mengisahkan tentang kegairahan para perempuan berusia lebih dari 50 tahun tetap melakukan pendakian gunung, lantaran hobby mereka sejak masih muda. Komunitas itu ada dua, yaitu Fit@Fifty dan Kartini Petualang (Karpet). Bahkan mereka para pendaki perempuan ini akan merencanakan pendakian Gunung Himalaya, dan merayakan Hari Kartini, 21 April 2010 di puncaknya.
Dari berita ini membuktikan bahwa perempuan itu bukanlah sebagai kanca wingking belaka, teman di belakang suami saja, adalah benar! Buktinya, mereka juga bisa beraktivitas tanpa harus merengek pada suaminya. Mendaki gunung bersama sesama kaum perempuan lain, bahkan ketika mereka telah berusia di atas 50 tahun.
Kata perempuan mempunyai konotasi wanita. Jika wanita, bisa diartikan dalam bahasa Jawa wani ditata, berani ditata; maka kata perempuan, yang berasal dari kata empu dan puan, lebih berkonotasi lebih terhormat katimbang wanita. Sebab kata empu, berarti gelar kehormatan yang berarti tuan atau seorang ahli (utamanya keris), dan puan, berarti tempat sirih dari emas atau perak. Perempuan, artinya orang yang harus dihormati, dan harganya cukup mahal karena layaknya emas, yang termasuk barang mulia. Maka, perempuan seharusnya dihormati dan dimuliakan.
Perempun di negeri kita, Indonesia, hampir semua mengidoalakan perempuan bernama Kartini. Pahlawan bangsa, yang telah memperjuangkan kesejajaran (emansipasi) antara perempuan dan lelaki. Kartini, juga seorang yang telah berjuang agar para perempuan juga mendapatkan pendidikan, seperti layaknya kaum lelaki.
Bila kita mau menerjemahkan agak luas lagi, kata perempuan identik juga ibu. Sedangkan kata ibu, mempunyai keampuhan makna tersendiri. Betapa tidak? Bayangkan, ketika dalam bahasa Indonesia, ada kata Ibu Jari, Ibu Pertiwi, Hari Ibu, Ibu Negara, Ibu Peri, dan Ibu Kota, dan mungkin masih banyak lagi. Jika kata-kata tersebut kita coba untuk dipertentangkan, maka tidak akan pernah ada kata: Bapak Jari, Bapak Pertiwi, Hari Bapak, Bapak Negara, Bapak Peri, dan Bapak Kota.
Kata-kata tersebut meyakinkan kepada kita semua bahwa perempuan yang identik dengan ibu itu memanglah hebat atau ampuh, seampuh sebutannya perempuan. Ini sekaligus memperkuat komitmen Nabi Besar Muhammad SAW, yang meletakkan Ibu pada urutan satu sampai tiga dalam menghormati dan selalu memuliakannya. Baru kemudian angka keempatnya, disebutkan Bapak.
Perempuan, tidak selamanya lemah, terbukti ada para perempuan yang berusia 50-an tahun ke atas masih tetap tegar, dan akan mendaki gunung Himalaya, dalam peringati Hari Kartini tahun ini. Perempuan, itu bisa jadi pemimpin yang tangguh. Selamat berhari Kartini, dan janganlah para perempuan selalu merasa lemah. Bergairahlah, seperti para perempuan komunitas Fit@Fifty dan Karpet itu.

Hari Bumi

Mengingat tanggal 22 April 2010 ini adalah Hari Bumi Internasional, maka selayaknyalah kita mengingatkan kembali kepada warga masyarakat Indonesia, termasuk diri kita sendiri; untuk tidak berbuat kerusakan di bumi ini.
Persoalan lingkungan hidup memang terkadang dilupakan begitu saja, dan bahkan manusia baru sadar ketika bencana itu datang dengan tiba-tiba. Banjir, misalnya; yang menenggelamkan ribuan rumah-rumah penduduk. Menelan korban bagi manusia yang tak sempat mencari selamat, karena banjir datang tiba-tiba. Begitu pula tanah longsor yang mengubur manusia hidup-hidup dalam sekejap saja. Lebih lagi bencana gempa seperti tsunami di Aceh, yang menyapu bersih ribuan manusia dan rumah-rumahnya. Begitu cepat, begitu tiba-tiba.
Sungguh, semua itu adalah tanda-tanda kebesaran Ilahi, dan sekaligus pertanda bahwa manusia tidak boleh berbuat kerusakan di muka bumi ini. Manusia, seharusnya merawat bumi, agar bumi tetap lestari dan tetap nyaman dihuni bagi manusia berikutnya, dari generasi ke generasi. Mari lestarikan bumi, dengan mewajibkan seorang anak manusia menanamkan satu pohon, pada peringatan Hari Bumi tahun ini.
Mengingat Hari Bumi berarti kita harus menyadari bahwa dunia semakin tua, tak layak bagi kita membuatnya kian renta, kian runyam, dan kita tetap berbuat kerusakan bagi alam sekitar. Tidak! Tidak harus begitu! Mari bersama kita menanam pohon di kota, agar kota juga bisa bernafas lega. Punya jantung atau paru-pru kota, bernama hutan kota. Bersihkan pula sungai dari kotoran dan limbah, agar kota kian jadi indah.

Hari Sastra


Tidak banyak yang tahu, bahwa pada tanggal 28 April adalah peringatan Hari Sastra, yang mana pada tanggal itu tahun 1949 lalu, merupakan tanggal wafatnya sang penyair binatang jalang, Chairil Anwar.
Meskipun penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra menuai pro-kontra dari para sastrawan pada waktu itu, tapi yang pasti banyak para mahasiswa fakultas sastra di berbagai perguruan tingggi, akan tetap memperingatinya. Mengapa demikian? Karena Chairil Anwar merupakan tonggak kepenyairan Indonesia di zamannya, dan tetap diakui hingga sekarang ini.
Bahkan kritikus sastra, yang berpredikat paus sastra Indonesia, HB Jassin; sang penyair Chairil Anwar, atau yang punya predikat si binatang jalang itu, telah dinobatkan sebagai tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia. Chairil, dari catatan Jassin. ternyata selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat 70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan.
Tidak banyak ternyata! Tapi namanya sangat melambung tinggi ke langit peta sastra Indonesia. Begitu pula karyanya, melebihi usianya yang tidak panjang itu, bahkan puisinya berjudul ‘Aku’ telah melampaui abad terdahulu. Dari abad 20 ke abad 21.
Untuk mengingatkan kembali puisi berjudul ‘Aku’ itu, kami muatkan puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret 1943.
Menyimak isi yang tersurat dan tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil, kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.
Perjuangan Kartini perlu diteladani, bumi harus dijaga lestari, dan semangat Chairil Anwar tak harus mati di bumi Indonesia tercinta ini.

Desaku Canggu, 11 April 2010