Sabtu, 19 Agustus 2023

PENGARANG KONDHANG ITU DJAJUS PETE

 

 

DJAJUS PETE PENGARANG KONDHANG

Oleh: Aming Aminoedhin

 

Pengarang sastra Jawa yang kreatif namun cukup nyentrik ini kelahiran kota Ngawi (1/8/1948), dan sejak umur 11 tahun ia pindah ke Bojonegoro. Ia seorang guru SD sejak 1971, dan pensiun pada 2008. Selain itu, Djajus pernah jadi wartawan Surabaya Post, Penyiar Radio Swasta di kotanya, Anggota PSJB (meski kemudian mengundurkan diri), dan pernah pula jadi Ketua Dewan Kesenian Bojonegoro.

  

Djajus Pete, dan rokok klobotnya; saat acara sastra di Ngawi. (Foto: AmAm).*                 

 

Karya sastra prosanya, berupa cerkak  (crita cekak) sungguh berbeda dengan tulisan cerkak pengarang lainnya. Keterkenalan nama Djajus Pete, memang lantaran nyentrik dan tulisan cerkaknya yang apik dan menarik. Selain juga dia seorang yang intens merokok klobot cak Oeloeng-Duku yang pabriknya dari Bojonegoro itu. Menurut Djajus, menulis sastra itu harus serius, simbolis-surealis yang dalam, dan penuh makna mengenai soal hidup dan kehidupan manusia. Sementara banyak pengarang-pengarang lain, tandas Djajus Pete,  biasanya mereka  ha-nya mengarang yang realis, gampang ditembak oleh pembacanya.

Pada awalnya, Djajus Pete, memang juga menulis sastra dengan jalur realis tersebut, kata Djajus, bahkan hingga 15 tahun berjalan. Demikian pengakuannya pada tulisan pendeknya, namun kemudian beralih ke aliran sastra simbolis-surealis yang lebih serius. Karya yang bisa ditangkap oleh pembaca yang cerdas dan tinggi cita rasa seni sastranya, tandas beliau almarhum.  Hal itu bisa dibaca pada karya-karya cerkak Djajus Pete pada kumpulan cerkak Kreteg Emas Jurag Gupit (2001), setahun kemudian  (2002) mendapatkan Hadiah Sastra Rancage yang diketuai Ajip Rosidi itu. Sepuluh tahun berikutnya, 2011, Djajus Pete kembali menerbitkan buku kumpulan cerkan berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, tetap dengan aliran yang sama: simbolis-surealis.

 Bicara soal penghargaam Djajus Pete pernah mendapat Balai Bahasa Yogyakarta, sebagai pengarang sastra Jawa terbaik 1998. Penghargaan sebagai budayawan pelestari/pengembang Sastra Jawa dari Bupati Bojonegoro tahun 2000. Bukunya Kreteg Emas Jurag Gupit ' dapat Hadiah Sastra Yayasan Rancage, Jakarta, yang diketuai Ajib Rosidi tahun 2002.

Buku terakhir yang terbit karya Djajus Pete adalah berjudul Manuk-Manuk Mabur (2020)  memuat 15 cerkaknya, yang kebanyakan yang termuat sudah termuat di buku kumpulan sebelumnya. Sementara itu atas kepergian sang maestro cerkak  ( meninggal dunia, 19/7/2022) ini, komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menerbitan buku “Lelakon” Djajus Pete ing Antarane Para Kanca; yang berisi cerkak dan guritannya, juga tulisan para sastrawan Jawa lainnya yang ikut kirim esai pendek atau guritan untuk mengenang beliaunya. Mereka itu antara lain: Widodo Basuki, Aming Aminoedhin, Agus Sighro Budiono, Yusuf Susilo Hartono, JFX Hoery, Sunarko Sodrun Budiman, Trinilya Kasih, Tito Setyo Budi, Mas Gampang Prawoto, Uciek Fuadhiyah, George Quinn, Arieyoko dan banyak lagi.

 

Sedangkan cerkaknya berjudul 'Kakus' dapat hadiah sastra dari majalah Panjebar Semangat (1993) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada  1989 hingga 1993. Begitu pula cerkak  'Bedhug" dapat hadiah yang sama dari majalah Panyebar Semangat (1997) sebagai cerkak terbaik selama empat tahun dari cerkak-cerkak lain yang termuat di Panyebar Semangat pada 1993 - 1997. Cerkak kak 'Tikus lan Kucinge Penyair' dapat hadiah sastra dari Sanggar Sastra Triwida, Tulungagung, tahun 1995. Pernah juga mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur, 2004, sebagai bidang Sastrawan Jawa.

     Djajus Pete yang rokonya khas rokok klobot cap Oeloeng ini, pernah menjabat jadi Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bojongeoro, masa bakti 2001 - 2004. Pernah tahun 1999, baca cerkake di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada acara sastra Daerah. Waktu itu bersama almarhun Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo (IKIP Surabaya) sebagai penceramah sastra Jawa. Lantas Widodo Basuki (redaktur Jaya Baya) baca guritan, juga Poer Adhie Prawoto dari Surakarta.. Jadi pemakalah dan narasumber tunggal penulisan sastra kreatif di sanggar-sanggar Sastra Jawa, di  Fakultas Sastra -Jurusan basa - sastra Jawa, IKIP Surabaya. Beberapa mahasiswa dari  IKIP PGRI Semarang, UGM Yogya, dan UNS Sebelas Maret Solo, yang menjadikan karya-karya Djajus Pete untuk objek penelitian skripsinya.

   Bersama kawan-kawan PSJB dari Bojonegoro sempat hadir acara di teras Arena Teater Taman Budaya Jawa Tengah ( Surakarta ), 18 April 2022 pada perhelatan Malam Sastra Jawa "Anggara Kasih 7 " di Solo.

    Dalam rangka mengenang 100 hari meninggalnya maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, Komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) meluncurkan sebuah buku antologi bertajuk “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” pada Minggu (30/10/2022). Bertem-pat di kediaman pegiat sastra jawa JFX Hoerry, yang menginisiasi buku itu. Persisnya berada  di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro.

Beberapa tokoh sastra Jawa ikut hadir dan berdiskusi waktu, antara lain: Dr. Tito  Setyo Budi ( Sragen), Dr. Rahmat Djoko Prakosa, Dr. Suharmono K dari PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), pengarang Sanggar Triwida Trenggalek, St. Sri Emyani;  Dr. M Shoim Anwar dari Unipa (Universitas PGRI Adi Buana) Surabaya, peneliti BBY Yogyakarta, Dhanu Priyo Prabowo dan banyak lagi. Djajus Pete bukan cuma pengarang cerkak, tapi juga penggurit atau menulis pula puisi berbahasa Jawa. Selamat jalan, Kang Djajus Pete. Semoga jembar lan padhang kuburane. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).***

 


PUISI-PUISI MINGGU INI: GURITAN DJAJUS PETE

     Melengkapi tulisan mengenang sang maestro cerkak Jawa, Djajus Pete, berikut ini saya sertakan beberapa guritan beliaunya. Diambil dari buku: “Lelakon Djajus Pete Ing Antarane Para Kanca” terbitan Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro, 2022.

 

Djajus Pete

R O K O K

 

Asep-asep putih

Mertamu njero dhadha

Ngukungake oleh-oleh

Ing dluwang-dluwang burem dakseleh

 

Asep-asep putih

Pawewehmu ngebaki ati

Balungan prosa lan puisi

 

Yen sliramu ora mertamu

Utegku njendhel, drijiku kaku

 

 

 

Potret diri, sketsanya sendiri karya Djajus Pete. (Foto: Istimewa).*

 

Djajus Pete

LELAKON

 

Ana randha ayu moblong

Nyangking koper, menyang Hongkong

Luru sandhang lan pangan

Kanggo anake loro ing padesan

Blitar, Jawa Timur

Bale somah bubar, atine ajur

O…lelakon

Ping pindho atine ketaton

Oleh pacar mung seneng kelon

 

Surabaya nyimpen sacuwil crita

Pacare nggantheng, duweke wong liya

Saya kelara-lara

Mangkat lunga, golek tamba

 

                                    Agustus, 2010

 

Djajus Pete

KUNJARAN

 

Tlatah iki

Kunjaran sepi

Kunjaran Gusti

Tan bisa disingkiri

 

 

Kunjaran ikisepi

Njerone bangsane maling-maling kuthuk

Kapan koruptor ngringkuk

Kunjaran iki sepi

Awit bebener lan keadilan

Onya

Bareng gebyare mutiara

 

Dharma Kandha, Juli 1971

 

 

Djajus Pete

TILINGNA

 

Apa sing dioyak nabrak-nabrak, nerak-nerak

Ngoyak butuh mripat peteng ora weruh

Montang-manting

Kebanting-banting

Meksa ora eling

Endi sangumu kanggo bali yen wis titiwanci

Apa lali, durung kakupadi

 

Telingna swara kanthinira

Jroning ati nyuwara rina lan wengi

Dumeling nuntun ajak eling

Iku dalane rahayu

Ora bakal kleru

 

Tobo-Bojonegoro, 2010

 

 

 

MAESTRO SASTRA SURABAYA

 

Mengenang Suparto Brata

MAESTRO SASTRA SURABAYA

Oleh: Aming Aminoedhin



Betapa tidak maestronya seorang Suparto Brata? Sebab selama  perjalanan hidupnya, beliau telah menulis banyak karya sastra berupa novel dan cerita pendek, baik berbahasa Indonesia maupun Jawa. Bahkan ratusan jumlahnya, dan bagi pembaca setia Harian Kompas pasti akan pernah membaca cerita seperti Kremil, yang termuat secara bersambung di harian ini, sekian tahun yang lalu. Saya sendiri, membaca cerita Kremil juga dipada cerita sambungnya Kompas itu. Sungguh banyak orang yang sangat kenal Suparto Brata, melalui cerita-cerita yang termuat di koran  itu.

Beliau pernah menggunakan nama samaran dalam menulis (utamanya berbahasa Jawa) seperti nama: Peni, Eling Jatmiko, dan M. Sholeh. Keturunan bangsawan dari Surakarta Hadiningrat, putra dari R. Suratman Bratatanaya dan RA. Jembawati. Suparto Brata merupakan anak ke-8 dari 8 bersaudara, namun hanya satu yang hidup, yaitu Raden Mas Soewondo.

Suparto Brata lahir di kota Surabaya, Sabtu Legi 27 Februari 1932; dan meninggal Jumat, 11 September 2015. Beliau menikah dengan Rara  Ariyati—lahir di Meurudu Aceh 27 Desember 1940—pada tanggal 22 Mei 1962 di Purworejo, Kedu (Jateng).  Dikaruniai empat orang anak, yakni Tatit Merapi Brata (1963), Teratai Ayuningtyas (1965), Neo Semeru Brata (1964), dan Tenno Singgalang Brata (1971). Keempat anak Suparto Brata, memberinya delapan orang cucu. Suparto Brata tinggal di Rungkut Asri III/12 Perum YKP RL-I C 17 Surabaya 60293.

Menurut pengakuan, ketika beliau masih hidup dikatakan bahwa  pendidikannya berawal dari pendidikan di Angka Loro Sragen (1938—1934), Sekolah Rakyat di Surabaya (1943—1945), Sekolah Rakjat VI Jalan Laut Probolinggo, lulus tahun 1946, SMPN II Jalan Kepanjen Surabaya, lulus tahun 1950, SMAK St. Louis Jalan Dr. Sutomo Surabaya, lulus tahun 1956.

 Maestro Sastra Surabaya

            Kota Surabaya, memang punya banyak pengarang yang cukup dikenal sampai ke tingkat Nasional, sekedar menyebut beberapa nama, seperti: Muhammad Ali, Basuki Rahmad, Suripan Sadi Hutomo (ketiganya almarhum), lantas Budi Darma, Akhudiat, Dukut Imam Widodo, M. Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Tengsoe Tjahjono, Suharmono K, R. Giryadi,  dan banyak lagi. Namun mereka tidak seperti Suparto Brata, yang menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Jawa, dan karya sastranya tetap punya kualitas dan kuantitas yang cukup diperhitungkan dalam dunia sastra. Baik di ranah sastra Indonesia dan Jawa.

            Tidaklah salah jika beliaunya diberi predikat sebagai Maestro sastra Surabaya. Gigih dan tekun dalam menulis dibuktikan dari lamanya ia berkecimpung dalam menulis. Menulis diawali  tahun 1951.  Beliau menulis apa saja dari: menulis berita, feature, artikel, dan sastra di banyak media massa, seperti: Majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Kisah, Seni, Buku Kita, Sastra, Aneka, Vista, Sarinah, Kartini, Putri Indonesia, Panjebar Semangat, Mekar Sari, Jaya Baya, Djoko Lodang, Jawa Anyar, dan Dharma Nyata, korannya antara lain: Surabaya Post, Harian Umum, Suara Rakjat, Pikiran Rakjat, Trompet Masyarakat, Jawa Pos, Sinar Harapan, Indonesia Raya, Kompas, Suara Karya, dan Republika.

            Hal tersebut dikarenakan beliau pernah  bekerja sebagai pegawai Kantor Telegrap PTT Surabaya tahun 1952—1960, yang pada waktu senggangnya bisa digunakan menulis. Beliau lantas bekerja pada Perusahaan Dagang Negara Djaja Bhakti Surabaya 1960-1967. Jadi wartawan frelance/lepas tahun  1968—1988 di berbagai media massa seperti Jaya Baya, Surabaya Post, Indonesia Raya, Sinar Harapan, Kompas, dan Suara Karya. Pada saat yang hampir bersamaan, yakni dari tahun 1971 hingga 1988, Suparto Brata bekerja sebagai PNS di Pemda II Kotamadia Surabaya, Bagian Humas. Memasuki masa pensiun PNS, beliau merasa lebih bebas merdeka untuk menulis karya sastra.

 Menulis Sastra Jawa

         Bicara soal sastra Jawa, maka Supatro Brata, memang sangatlah peduli. Tulisan sastra berbahasa Jawanya, banyak sekali – baik cerita cekak maupun novel atau roman --  berbahasa Jawa. Melalui karya-karyanya itu, beliau mendapatkan anugerah hadiah Rancage tahun 2000 atas jasanya mengembangkan sastra dan bahasa Jawa. Tahun  2001 untuk karyanya Trem (kumpulan cerkak),  dan 2005 untuk karyanya Donyane Wong Culika.

Begitu pula soal organisasi sastra Jawa, beliau tetap terus memberi semangat komunitas ini. Beliau pernah sebagai penasehat PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), yang diketuai Dr. Suharmono Kasijun (dosen Unesa). Bahkan ketika PPSJS akan menerbitkan kumpulan guritan beserta terjemahannya, bertajuk Gurit Bandha Donya, beliau minta karyanya ikut dalam kumpulan guritan tersebut. Anehnya, guritan beliau hanya ditulis dalam satu kata, yaitu ‘plung’.

Ketika bedah buku Gurit Bandha Donya, di Taman Budaya Jawa Timur (2014), beliau sempat hadir, dan ikut diskusi dengan pembedah bukunya, M. Shoim Anwar. Sedangkan ketika rombongan PPSJS tampil lagi membawa Gurit Bandha Donya dalam sajian ludruk-guritan di Tembi Rumah Budaya-Yogya, 31 Juli 2015 lalu, sang Maestro tidak kami ajak serta, karena kondisi sedang sakit.

Kini mbah Parto Brata, memang telah tiada. Tapi karya-karya sastranya akan tetap abadi untuk terus dibaca dan diteliti. Karya sastra yang kebanyakan bercerita dengan latar/setting tentang kota Solo dan kota Surabaya.

Selamat jalan maestro sastra Surabaya, doa kami semua mengiringi! Semoga semua amal ibadahnya diterima Allah SWT; dan diampuni segala salah dan khilafnya. Aamiin YRA. (Aming Aminoedhin).

 

                                                                                   

Minggu, 23 Juli 2023

PODCAST SASTRA JAWA , MENGAPA TIDAK?

 

BICARA SASTRA JAWA LEWAT PODCAST

DI BALAI BAHASA JATIM

Oleh: Aming Aminoedhin

 Di tengah gempuran budaya gobal yang menggila melanda negeri kita, maka budaya, bahasa dan sastra Jawa perlu terus dipertahankan keberadaannya. Apa lagi internet sudah gampang diakses di mana saja, sehingga mudah sekali merambah budaya-budaya luar yang kurang cocok dari luar negeri, gampang meracuni kaum muda negeri ini.

Sedangkan budaya, bahasa, dan sastra Jawa yang adiluhung milik kita juga akan gampang teracuni; bahkan mungkin terkikis habis karenannya. Oleh sebab itu melalui Balai Bahasa Jawa Timur  (BBJT) yang kini berkantor baru di Jalan Gebang Putih 10 Sukolilo – Surabaya, mencoba membendung adanya gerusan budaya luar yang akan mengikis budaya Jawa yang adiluhung tersebut.

Salah satu caranya dengan mengunggah dialog sastra Jawa yang digarap secara podcast yang nantinya akan diunggah di kanal youtube. Hal ini, kemarin (6/5/2023) telah dicoba mere-kam podcast tersebut dengan mendatangkan Aming Aminoedhin dan Harwi Mardiyanto sebagai narasumber dialog tersebut. Kebetulan mereka berdua sedang jadi narasumber pelatihan  mu-sikalisasi pelajar se-Jatim.

Meski masih sangat sederhana bentuk rekamannya, tapi ternyata hasil garapan podcast dialog sastra Jawa cukup lumayan bagus hasilnya Sedangkan komunitas itu ‘Forum Literasi Gebang Putih – Balai Bahasa Jawa Timur’ dengan tampilan perdana mengangkat pembicaraan soal sastra Jawa di Jawa Timur. Sebagai pemandu atau host-nya dipercayakan pada Sumi (alumni STKW), Amien Chusen Mulyanto (BBJT), Aming Aminoedhin (Penggurit), dan Harwi Mardiyanto (Guru SMKI/SMKN 12 Surabaya).

Dalam podcast tersebut tampak pembicaraan terasa cair-mengalir, yang mana baik: Sumi dan Amien cukup pinter menggiring dialog itu kepada para narasumbernya. Pembicaraan ditanyakan kepada Aming soal para penulis Jawa di Jawa Timur ini, siapa saja? Jawabannya menurutnya cukup banyak jumlah dan terkenal namanya, seperti: Suparto Brata,  Widodo Basuki, Suharmono K, Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Esmiet dll. Lantas Aming juga bicara pula komunitas sastra yang tetap ada, seperti: Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Basa Jawi Bojonegoro (PSJB), Sanggar Triwida (Tulungagung-Trenggalek), Sanggar Parikuning (Banyuwangi).

Sedangkan Harwi Mardiyanto, menjelaskan bahwa dirinya orang Yogya, tapi merasa banyak kenal pengarang sastra Jawa Jawa Timur. Mengapa demikian? Karena dia pernah mengasuh rubrik sastra Jawa di Majalah Mekasari Yogya, dan pengarang yang kirim ke rubriknya adalah Harwimuka (Blitar), Djajus Pete (Bojonegoro) dan banyak lagi. Ia juga bicara soal hebatnya Jatim yang mana majalah berbahasa Jawa tetap masih ada dan tetap terbit hingga kini di Jatim, yaitu Panjebar Semangat dan Jaya Baya.

Sementara pada bagian lain, Aming Aminoedhin yang Sekjen PPSJS berharap; Balai Bahasa Jawa Timur bisa menggandeng komunitas PPSJS, dan yang lain untuk bisa bekerja sama. Pada akhir dialog podcast ditodong Aming untuk membaca satu guritannya.

Melihat hasil rekaman dan mendengarkan pembicaraan dalam podcast perdana ini,  Ary Setyorini, S.Pd. Kasubbag Umum Tata Usaha – BBJT -  menyambut gembira atas rekaman garapan perdana ini. Bahkan Ari berjanji akan mengunggah di kanal web BBJT, dan akan memberi fasilitas  tempat rekaman yang lebih baik; agar hasilnya kian lebih baik.

Sungguh ini sebuah lompatan kegiatan yang cukup bagus bagi Balai Bahasa Jawa Timur, untuk bisa membentengi budaya luar yang akan menggerus budaya Jawa yang adiluhung tersebut, dalam bentuk podcast yang bisa diakses seluruh dunia. Sebab di belahan yang jauh sana ada negara Suriname, saudara kita yang masih banyak menggunakan bahasa Jawa. (Aming Aminoedhin)*

 

 

PUISI-PUISI MINGGU INI: GURITAN SASTRA JAWA

        Melengkapi ulasan sastra minggu ini, yang bicara soal sastra Jawa, saya muatkan naskah guritan dari beberapa penggurit Jawa Timur. Ini membuktikan bahwa penulis sastra Jawa di Jatim memang banyak jumlahnya, serta sastra Jawa tetap bertumbuhkembang. Sastra Jawa itu masih tetap ada! (aa).

Aming Aminoedhin

GEBANG PUTIH

 

Wingenane kuwi ing Gebang Putih melu

ngayahi mulang-wuruk ngenani musikalisasi

puisi, marang parasiswa seragaman

abu-abu putih. Gladhen rongdina muput, gawe

senenge ati kabeh sing padha teka. Ana uga

para dwija sing melu teka, dadi ora luput

olehe melu cancut-gumregud.

Melu gladhen kanthi sumringah, uga

katon melu bungah.

 

Grengsenge gladhen kaya-kaya wis

gawe lali marang dina, Setu-Minggu

tetep mlebu. Senenge ati gladhen maca puisi

kaya-kaya ora bisa dituku. Ing Gebang Putih

Surabaya, kaya-kaya ora gelem mulih.

 

Minggu ngarep sing bakale teka, ing

dinane Setu-Minggu kita kabeh tetep arep

ketemu. Nerusake gladhen kuwi kanthi sangu

bungahe ati. Mbaleni sing rumangsa kurang trep

kuwi, bisaa pas karo wiramaning puisi.

 

Mojokerto, 2/5/2023 (02.32)

 

 

Suharmono K.

SINKRETISME

 

suwara tahlil muji asma-Mu ing pucuk gunung iki

nalika dhalang kentrung sedhakep marikelu

binarung kumlebate jubah-jubah putih

ing antarane maesan-maesan

lan awu leluhur

ing kremasi amitunon

 

sendhang dhuwur, kebate swiwi garudha

ngelingake marang sejatine kita

nalika garudha wis mabur ngawiyat

nggawa kalimah sahadat kang kaukir ing paduraksa

lan nancepake maesan surya majapahit

ing pucuk meru nalikane surup surya

 

swara wirid gemrenggeng ing pucuk gunung iki

nalika amitunon lan masjid mantingan

wus manjing sedulur sinarawedi

antarane masjid lan candhi

 

                        Sendhangdhuwur, Lamongan 28 Juni 2002

                        Jaya Baya, Minggu II, September 2003

 

Widodo Basuki

JATINING GURIT

 

guritan tinulis penggurit minangka panjerit

saka ati suwung ati liwung kelangan dunung

guritan tinulis tharik-tharik

nggunanake basa lungit

minangka gesanging anggit

asile semedi  ing wayah sepi

minangka mantra suci

panggugah rasa jati

 

guritan dadi bantasing rasa pangrasa

ngusung swarane para sufi nalika ngumbara

dhewe emple ing tengah ara-ara

 

jatining gurit lololobah

wong urip kudu obah

gurite minangka mantra suci

panggugah rasa jati

 

Sukolegok, 2022

 

 Tengsoe Tjahjono

NJAIT GENDERA

 

gendera sing nglumbruk ing pojok lemari

lungset ora kakukup werna

pinggire dhedhel dhuwel dipangan umur tuwa

digaglak ngenget mawarsa-warsa

 

kabeh padha lali

kabeh padha nglalekake

getih abang mbranang dadi tumbal ngrebut kamardikan

kasaput pedhut korupsi dening pangreh negari

 

ibu sepuh iku, sing kakung sampyuh ing kreteg pinggir desa

nalika nyegat sakompi walanda kena brondong jajane muncrat ludira

delengen, kanthi mripat kemembeng waspa

astane gemeter njait gendera

 

ing batine langit tansah biru

gendera ginadhang miyak angkasa

 

24/03/2013-20:45



Aming Aminoedhin

NYENGKUYUNG BEBRAYAN

 

Ana jam dinding ana jam tangan, ana

sing rega murah, lan ana uga larang.

Kabeh kuwi laku pandome tetep

ngglindhing padha, ora arep ndhisiki

liyane. Dene ana sing ndhisiki, mesthi

sing duwe kanthi eklas ati, bakal

dipadhakake karo liyane.

 

Semono uga urip ana donya, ora oleh

mentheng-kelek karepe dhewe. Apa maneh,

donya enek virus wabah wektune suwe.

Kabeh kudu gelem gotong-royong

nyengkuyung ngusir wabah iku. Tetepa

neng omah, yen ora gelem nangani wong lara

ana rumah sakit. Tetepa ana omah

karo ndonga, aja malah jerit-jerit.

Korona-ne malah nylempit.

 

Kahanan donya mono kabeh lagi padha

sengsarane. Luwih becik weweh, kanggo

sing rumangsa dhuwite akeh. Aja medhit,

amarga mati ora nggawa bandha. Gelem

weweh sapadha-padha manungsa,

uripmu ora bakal sara. Malah-malah

oleh donga wong akeh, bakal tinemu

uripmu mulya. Percayaa!

 

Urip mono pancen kudune kaya jam, ora

ndhisiki kancane. Tetep lumaku

bebarengan. Guyub-rukun, gotong-royong,

nyengkuyung bebrayan.

 

Mojokerto, 30/03/2020