Rabu, 29 Oktober 2008

bulan oktober bulan bahasa

BULAN OKTOBER BULAN BAHASA
oleh: aming aminoedhin

Seperti kita ketahui bersama, bahwa pada bulan Oktober adalah bulannya para pemuda. Karena pada 28 Okotber 1928 yang lalu, para pemuda kita telah bersumpah: bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, danmenjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sejalan dengan bulan Oktober merupakan bulan yang selalu mengingatkan kita untuk berbahasa satu, bahasa Indonesia, dan sekaligus mengajak untuk berbahasa Indonesia yang baik dan benar, maka bulan Oktober juga punya sebutan, sebagai “Bulan Oktober Bulan Bahasa.”

Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang dipergunakan oleh bangsa Indonesia, sebagai bahasa persatuan, bahasa Nasional, dan bahasa Negara.
Melalui bahasa Indonesia ini pulalah, kita (para suku bangsa yang begitu banyak di Indonesia), bisa saling berkomunikasi secara mudah. Bahkan melalui bahasa Indonesia ini pulalah, persatuan antarsuku bangsa di Indonesia bisa terjalin dengan indah. Bahasa Indonesia juga diajarkan ke semua siswa, di semua jenjang pendidikan di Indonesia, baik dari tingkat Sekolah Dasar, Menengah, hingga ke tingkat mahasiswa.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang merupakan lingua-franca (bahasa pergaulan) di zaman pejajahan (1920-1945-an) di daratan semenanjung Malaka, Sumatra, dan Jawa. Untuk kemudian, dalam UUD 1945 tahun 1945 ditetapkan sebagai bahasa Nasional, dan bahasa Negara.

Perkembangan Bahasa Indonesia
Sebagai warga negara Indonesia, tentulah kita semua akan menghargai dan menjunjung tinggi bahasa persatuan kita, Bahasa Indonesia. Karena bahasa ini, juga ditetapkan sebagai bahasa Nasional dan bahasa Negara.
Akan tetapi pada masa sekarang ini, di era reformasi, banyak warga negara Indonesia, sudah tidak begitu peduli dengan bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Di mana letak ketidakpeduliannya?
Secara gampang dan gamblang kita bisa menyebut, anak-anak muda sekarang lebih banyak berkata-kata (baca: bercakap-cakap) dengan bahasa ala Jakarta-an. Tanpa merasa bersalah, dan merasa lebih mentereng berbicara.
Pada sisi lain, apabila kita memasuki wilayah kota Surabaya, dari Selatan ke Utara, kita akan menemukan nama-nama gedung dan plaza yang tidak mencerminkan kota di Indonesia. Lihat saja sejak: CITO (City of Tomorrow), Jatim Expo, Royal Plaza, Dramo Trade Centre, Hyatt Hotel, Tunjungan Plaza, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Hotel, Citraland, dan seabreg nama-nama yang semuanya menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi ada nama-nama Kentucky Fried Chicken, Mc. Donald, Texas Fried Chicken, dan banyak lagi lainnya.
Padahal nama-nama itu terpampang dengan besar dan mencolok di depan mata kita, saat seseorang melewati jalan-jalan protokol itu.
Memasuki jalan-jalan protokol Surabaya, kita seakan tidak lagi masuk kota di Indonesia. Tapi, sepertinya kita berda di luar negeri, Singapore atau Kuala Lumpur.
Untuk melestarikan bahasa Indonesia dari kepunahan, maka karya sastra merupakan salah satu aspek yang bisa mempertahankan keabadian bahasa Indonesia. Karena sastra, ditulis dengan bahasa Indonesia.
Menyemarakkan acara tersebut, saya juga membacakan dua judul puisi "Surabaya Ajari Aku Tentang Benar" dan "Berjamaah di Plaza".
Bulan Oktober, konon disebut juga sebagai “Bulan Bahasa,” lantas bagaimana kita ikut memperingatinya? Menjaga dan melestarikannya, atau malah seperti orang-orang kaya yang membuat nama-nama gedung menjulang dengan bahasa Inggris itu? Terserah!
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimanakah kita (warga dan bangsa Indonesia, utamanya pihak Pemerintah) dalam menyikapi persoalan ini?
Sebuah tanya, yang barangkali kita bersama-sama berdiskusi! Mari!



Mojokerto, 28 Oktober 2008


Aming Aminoedhin
Penyair!


Catatan:
1. bahan ceramah dan disuksi memperingati "Hari Sumpah Pemuda" 28 Oktober 2008 di UNIPA Ngageldadi, Surabaya, kerjasama UNIPA dan PRO 2 FM 95,2 - Life Style & Entertainment.
2. Selain Aming Aminoedhin, ada dua pembicara lainnya dari dosen UNIPA, Pak Sunu dan Taufiq. Audiens yang hadir mahasiswa, guru, dan para dosen UNIPA Surabaya. Kegiatan ini kerja sama UNIPA dengan PRO 2 FM 95,2 RRI Surabaya, yang akan disiarkan tunda, pada Minggu, 2 November 2008 pukul 20.00.-21.00. WIB.

Rabu, 22 Oktober 2008

mengapa tak menulis puisi?

MENGAPA TAK MENULIS PUISI?
oleh: aming aminoedhin


Banyak rekan yang kebetulan ketemu saya bertanya, “Bagaimana caranya menulis puisi yang baik?” Pertanyaan yang dilontarkan itu, terkadang membuat saya agak gagu (mungkin) ragu, untuk menjawabnya dengan pasti. Di samping sastra sendiri, utamanya (puisi) merupakan karya sastra yang memuat ambiguitas yang tinggi. Artinya, bahwa puisi yang baik, adalah puisi yang mempunyai makna ganda. Sedikit kata, tapi banyak memuat makna-arti.
Mereka (rekan-rekan) itu, bertanya kepada saya, karena menganggap saya ini adalah penyair (baca pula: presidennya penyair Jatim), yang mana setiap kata bisa dijadikan puisi.
Barangkali itu benar, tapi bisa juga tidak! Sebab, tidak selamanya kata-kata bisa dijadikan puisi di tangan seorang penyair.
Saya sendiri, jika boleh dikatakan penyair (bahkan presidennya penyair) merasa kelabakan jika harus ditanya soal yang satu ini. Soalnya, menterjemah-kan atau katakanlah menerangjelaskannya memang kelewat susah! Susahnya, adalah bagaimana saya harus memulainya? Dari soal kata, membaca, atau bahasa? Soal tema, diksi, intuisi, atau dari soal makna ganda puisi.
Selama ini, saya paling banter akan mengatakan kepada mereka, menulislah apa saja tentang kehidupan ini. Soal cinta, angina, kota atau cuaca yang dingin. Lantas bisa bicara soal laut dan langit, atau matahari dan rembulan. Bisa juga bicara tentang siang yang panas atau malam yang malas. Tentang dedaunan, sungai, dan alam pegunungan nan indah nian. Menulis tentang lapar, para pengemis di pasar, atau menulis soal korupsi yang banyak melanda negeri ini.
Pokoknya, menjawab tanya rekan-rekan tersebut, saya tandaskan untuk cobalah menulis apa saja yang ada di sekitar kita. Ibu, anak, istri, dan anak. Bahkan jika mungkin menulis tentang babu kita, kakek dan nenek, atau tetangga kita.
Seorang penulis, kata WS Rendra, haruslah bisa mendalami elemen dasar kehidupan itu sendiri. Sedangkan Derek Walcott, penerima Hadiah Nobel Sastra 1992, mengatakan bahwa penulis puisi adalah adalah orang yang bergelut dengan lautan emosi.
Dari referensi di atas, maka relevanlah bila saya anjurkan rekan-rekan menulis apa saja yang ada di sekitar mereka sendiri. Soalnya emosi mereka pasti masuk ke dalam hasil karya tulisan puisinya.
Berangkat dari ini semua, maka menulis puisi yang baik, saat seseorang tersebut telah menulis apa saja yang terasa mendesak hati atau emosi penulisnya. Desakan hati (emosi) disebut pula sebagai bisikan hati, dan kemudian secara akademis dinyatakan sebagai intuisi ini,
Yang seharusnya ditulis dalam baris-baris puisi. Dalam menuliskan puisi, saya anjurkan untuk menggunakan bahasa secara minimal, atau sedikit kata, tapi punya banyak makna. Lebih jelas lagi, usahakanlah menulis puisi dengan menggunakan kata-kata ‘dasar’ dalam menuangkan-nya. Bukan menggunakan kata-kata yang sudah merupakan kata jadian, atau kata dasar yang telah mendapatkan imbuhan, baik awalan maupun akhiran.

Menulis Puisi Bersahaja Saja

Seorang William Wordsworth (penyair Inggris, hidup 1770-1850) merasa yakin akan martabat manusia, terutama manusia dari golongan bawah/rendahan. Karena itu, subjek-subjek dalam tulisan puisinya ia pilih tentang kehidupan rakyat jelata, dan bersahaja. Lantas ditulis, dan dinyatakan dalam bahasa yang bersahaja pula. Maka lewat karya puisinya yang bersahaja pulalah, William Wordsworth, menjadi salah tokoh penyair pada zamannya.
Jadi menulis puisi itu memang diperlukan kebersahajaan dan kejujuran, serta ketulusan hati oleh penulisnya. Tidak perlu menulis puisi dengan dipaksakan, apa lagi mengada-ada yang tidak ada. Ini akan menjadikan karya puisi yang ditulis akan terasa tawar dan miskin makna.
Pertanyaan lain yang muncul setelah itu adalah, “Apa hanya itu saja, seseorang bisa menulis puisi dengan baik?”
Jawabnya adalah, “Tidak!
Karena masih banyak perangkat lain yang diperlukan dalam menulis puisi yang baik. Antara lain soal diksi, kemerduan bunyi, kekayaan kosa kata, kekayaan batin dari penulisnya. Agar kaya semua itu, maka perlu pula banyak membaca, baik puisi maupun prosa. Lantas banyak menonton, baik teater, tari, atau pameran seni rupa. Lantas ada pula syarat lain, di antaranya: tipografi penulisan, pesan yang dikandung isi puisi, dan yang terpenting adalah keuniversalan objek yang ditulisnya.
Syarat lain menulis puisi yang baik, adalah puisinya mengandung nilai poly-interpretable (bermakna ganda). Puisinya juga harus gemerlapan bagai intan. Indah bahasannya, dan sekaligus bisa mendedah rasa setiap pembacanya. Puisi yang dibaca hari dan esok, bisa mempunyai kandungan arti yang berbeda.
Untuk itulah, menulislah puisi apa saja, dan sebebas-bebasnya sesuai intuisi yang ada dalam diri penulisnya. Menulislah dengan kebersahajaan tema dan bahasanya; tanpa melupakan pemilihan diksi yang baik, guna menjaga kemerduan bunyi puisi yang ditulisnya, serta masukkan pulan pesan moral atau apa saja bagi pembaca puisi.

Pengalaman Menulis Puisi

Dalam hal menulis puisi, berdasarkan pengalaman penulis, seorang penulis puisi haruslah memperhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Puisi mengandung unsur keindahan dan kemerduan bunyi, maka diperlukan pemilihan kata atau diksi yang baik dalam penulisannnya;
b. Sebuah puisi, sebaiknya menggunakan kata-kata dasar dalam penulisannya. Sebab puisi yang baik adalah puisi yang menggunakan sedikit kata, tapi punya banyak makna (multi-interpretable). Untuk itu kata-kata yang dipakai lebih konotatif, bermakna ganda.
c. Sebuah puisi pasti ada pesan (massage) di dalamnya, atau bisa dikatakan sebagai ‘tema puisi’ bisa pesan/tema cinta, moral, religi, kritik sosial, pesan pendidikan, dan banyak lagi. Tapi tidak harus secara jelas/ gamblang diterangkan dalam puisi, tapi sebaiknya disebunyikan/dititipkan pada rangkaian baris dan bait dalam sebuah puisi;
d. Dalam menulis puisi seseorang tidak harus mencari tema/pesan apa yang harus ditulis, karena tema/pesan itu sifatnya abstrak. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana seseorang mau menuliskan apa-apa yang ada dalam obsesi benaknya. Tulis aja, tanpa harus takut bertema apa nanti puisinya.
e. Usahakan menulis dengan tanpa ada rasa beban, mengalir cair saja seperti air dalam sungai. Jadi seseorang menulis puisi itu, tanpa harus memilih tema, tempat dan waktu, dalam menulis. Kapan saja, dan di mana saja bisa menulis puisi.
Nah…. ternyata menulis puisi itu gampang sekali. Lantas mengapa kita tidak
menulis puisi? Mari menulis puisi!


Sidoarjo, 22 Oktober 2008

Selasa, 21 Oktober 2008

Nyanyian Leo Kristi

TEPI SURABAYA
syair nyanyian leo kristi


betapa sepi.... seorang nenek.....
sendiri
di tepi.... lalu coba menyapa....
lewatnya hari, kota lama ini
terlewat tak berakar kaca-kaca miskin jiwa

tepi-tepimu Surabaya
di mana kita mulai semua ini
gema nyanyian pahlawan
kini jadi nyanyian wayang
tepi-tepimu oh.. Surabaya
gelap turun bagi jalan perempuan tua

nenek bukalah pintu yang kuketuk
tapi tidak dengan air matamu
hidup selalu berubah lewat pasang surut Kalimas
sinar lentera dalam kabut tipis
belum juga mati menjelang pagi
sinar lentera berkedip-kedip
tidak juga mati menjelang pagi

ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008



SURABAYA
syair nyanyian leo kristi

engkau keras dan sombong
engkau kasar dan angkuh
tatapan penuh nafsu
keringatku bercucuran di deretan rel-rel
keringatku bercucuran di deretan bordil
keringatku bercucuran di deretan palka
keringatku bercucuran di bordes trem-trem
kota!

ketika kau hadap matahari senja
keringatku sirna oleh desir anginmu
Surabaya …… Surabaya ……. Surabaya…….
aku cinta kau!

hey bangun dan berdiri
nyanyikan tidurmu matahari
Surabaya …….. oh.. Surabaya…… oh.. Surabaya……
Surabaya …….. oh.. Surabaya…… oh.. Surabaya……
hey bangun dan berdiri
nyanyikan tidurmu matahari ....


ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008


OH… SURABAYA
syair nyanyian leo Kristi

dengar tuter dan tuter
mesin-mesin berbunyi riuh-riuh
roda-roda berputar
dari pagi ke pagi
tiada pernah berhenti
tiada pernah berhenti

siapkan ransel, gitar dan tenda
ke luar kota pergi bersama
tinggalkan asap kotor
yang membubung tinggi ke udara
kotamu oh……Surabaya

Oh…. Surabaya……oh… Surabaya….. oh… Surabaya
aku dibesarkan riang
tempatku dibesarkan senang oh… Surabaya
tata…..ta…ta……Tata…..ta….ta…..Tata…. ta…ta….oh…..

kulihat surya di timur
burung-burung bernyanyi riang….riang…..
bangau terbang berarak
pucuk Randu merekah
awal musim panas tiba
awal musim panas tiba
Ka…ka….ka…..ka….ka…..ka…..ka ..…
Ka..ka...ka...ka..ka..ka..ka...
Ka..ka...ka...ka..ka..ka..ka...
Ka..ka...ka...ka..ka..ka..ka...
Oh…ye…..oh….ye……oh...ye....!!!
Oh..ye..oh..ye..oh...ye....!!!

ditulis kembali: aming aminoedhin
20 Oktober 2008



SURABAYA BERNYANYI
nyanyian leo Kristi

Lek....! bulannya tunggu lek!
di sisi bunga-bunga enceng
Lek....! bulannya tunggu lek!
di sisi bunga-bunga enceng
kampung kemesraan lek!

Burung-burung kecil selesaikan sarang
Di pucuk –pucuk tangkai ilalang
Aha..... haa.....
Duka... duka istri dalam semalam
Cet...cet... cowet hingga pagi datang

Ke mana mereka pergi
Kembangkan sayap-sayap kecil dan sendiri
Semangat dan rasa terus mengalir
Semangat dan rasa terus mengalir jauh.....

Jongkok... pasar ...tiga kartuku berjajar
Nyari aku pada dipilih
Dengan segala tipumu
Anak manusia yang semakin jauh

Tembok-tembok kepala
Tembok-tembok telinga
Tembok-tembok mata memandang
Malam.............

Lihat jalan layang
Lampu-lampu neon jalanan
Lampu-lampu bintang dan bulan
Lampu-lampu pesawat terbang
Malam........!!!!!

Lihat jalan layang
Tembok-tembok kepala
Tembok-tembok telinga
Tembok-tembok mata memandang
Malam.............

Lintas jalan layang
Di mana terbang lepas... derita....
Lintas jalan layang
Tote lete ......Tote lete..........da...da... litata....
Tote lete ......Tote lete.......da...da....litata.......

Semangat dan rasa
Terus mengalir
Terus mengalir jauh

O...ooo....oooo....oooo....oooo!!!
O....ooo....oooo....oooo....oooo!!!
Anak-anak senyum dan bernyanyi
Di bawah pandan dan duri
Tatap hidup dan mati
Di hari kampung kemesraan
Lintas jalan layang ke taman Walikota
Tatap hidup dan mati.... berani!
Surabayaku bernyanyi.....bernyanyi
Tatap hidup dan mati.... berani!
Surabayaku bernyanyi ..bernyanyi
O.....leya.........leyo!



ditulis kembali: aming aminoedhin
22 Oktober 2008



SOLUS AEGROTI SUPREMA LEX EST
"penderita atau pasien adalah yang utama"
syair nyanyian leo kristi

lilin putih di tepi taman biru
gedung putih luas... tenang..... damai....
serasa tak.... lagi ada.... kota dan perang
karena saatlah dekat..... jalan..... Tuhan
solus aegroti suprema lexest
dilorong pedestrian tunduk melangkah
lorong pedestrian basah airmata

serasa tak... lagi ada.... kota dan perang
karena saatlah dekat... jalan....Tuhan
solus aegroti suprema lexest
lorong pedestrian tunduk melangkah
lorong pedestrian basah airmata
solus aegroti suprema lexest

ditulis lagi: aming aminoedhin
24 oktober 2008



MEMORIAL SUDIRMAN
syair nyanyian leo kristi

di bawah sorot lampu taman
engkau masih saja di situ adiek
tak ada selimut engkau tertidur sayang
berbantal tangan

sedan-sedan lewat
tak ganggu nyenyak tidurmu
keroncong kecil di tanganmu
hati besar di senyummu
senyum pahit di sekelilingmu
senyum manis di hatimu
hu.......hu......hu......
hu........hu......hu.......
adiek nyanyikan aku satu lagu
kasih sayang

tegak bayang-bayang berpedang
bungkukkan badan membelai rambutmu
mengusap wajah lembut kumal
seraya berbisik, “tabahlah hatimu!”

anak sudirman tertidur di bawah telapak kakimu
anak sudirman tertidur di bawah telapak kakimu
o....betapa panjangnya hari....
hari ini dan hari esok kan tiba

adiek nyanyikan aku satu lagu
bara hati..........!! bara hati..........!!!
bara hati..........!! bara hati .........!!!


ditulis kembali: aming aminoedhin
24 oktober 2006

Jumat, 10 Oktober 2008

tadarus puisi di AREK TEVE

tadarus puisi penyair dan penggurit
di “AREK TEVE” SURABAYA


Penghujung bulan Ramadhan 1429-H lalu, saya rekaman tadarus baca puisi dan guritan bersama rekan-rekan penyair dan penggurit Surabaya, dan Jawa Timur. Mereka antara lain: M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, AF Tuasikal, R. Giryadi, Budi Palopo, Widodo Basuki, Suko Widodo (Dosen Unair), Priyo Budi Santoso (anggota DPR-RI), dan Imung Mulyanto (yang jadi juragane Arek Teve).

Ide Tadarus Puisi Bersama Istri
Ide tentang “Tadarus Puisi” ini, berawal saat saya bersama istri berbincang tentang acara “Para Kyai Baca Puisi” yang pernah saya gelar di Festival Seni Surabaya 2006 lalu. Kegiatan itu, banyak mendapat respons positif dari masyarakat. Penontonnya pun saat itu, meluber memenuhi Gedung Balai Pemuda Surabaya. Lantas, secara iseng saya punya ide buat acara “Tadarus Puisi” di televisi.
“Mengapa tidak?” tanya istri saya.
Lantas ide itu saya tulis dalam pesan singkat (sms) ke Imung Mulyanto, yang punya Arek Teve. Ternyata jawaban yang saya terima adalah masih didiskusikan dengan awaknya.
Nah... pada penghujung Ramadhan lalu, saya baru mendapat sms dari Sasetyo Wilutomo (awaknya Arek Teve), guna merealisasikan acara “Tadarus Puisi” itu dengan mengadakan rekaman.
Saya pun agak kelabakan, guna mengkontaks rekan-rekan penyair dan penggurit. Beberapa nama, antara lain: Akhudiat, Ida Nurul Chasanah, Adi Setyowadi, R. Giryadi, AF Tuasikal, M. Shoim Anwar, Budi Palopo, Widodo Basuki, dan kawan-kawan lain; ternyata tidak bisa ikut tampil rekaman. Mereka pada sudah pulang, alias mudik ke kampungnya. Diat, pas ngisi pengajian; Ida telah mudik ke Tuban, dan Adi pulang ke Semarang.

Tetap Rekaman dan Tetap Tayang
Meski hanya beberapa nama penyair dan penggurit, rekaman itu terap jadi dilaksanakan. Bersama rekan-rekan penyair dan penggurit.
Rekaman dimulai sejak lepas tarawih, hingga sahur hampir habis, alias imsak. Tepatnya, pukul 20.30. hingga 03.30 WIB. tanggal 27 September 2008 lalu. Tak hanya baca puisi dan gurit, tapi juga ada tampilan Kelompok Penyanyi Jalanan Surabaya, pimpinan Bokir Surogenggong itu.
Sedangkan dialog pembahasannya oleh: Prof. dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A. dari Unesa Surabaya.
Acara ini direkam di halaman depan kantornya AREK Teve, tepatnya Rich Palace, Jalan Mayjen Sungkono, Surabaya. Barangkali cukup menarik dalam acara rekaman ini, lantaran yang hadir di saat rekaman itu: ada Wawali Surabaya, Arief Affandi, dan ada juga Gus Ipul yang calon wakil gubernur Jatim itu.
Beberapa puisi, gurit dan lagu direkam yang kemudian ditayang-kan dalam acara bertajuk “Tadarus Puisi”, tanggal 2, 3, dan 4 Oktober 2008. lalu. Ada yang menarik, sebab acara bertajuk “Tadarus Puisi” yang seharusnya tayang sewaktu masih Ramadhan, harus tayang usai lebaran. Ini lantaran harus melalui perjalanan editan-editan dari para awaknya AREK Teve. (aming aminoedhin: amri.mira@gmail.com)

Selasa, 07 Oktober 2008

proses kreatif aming aminoedhin

proses keatif 
aming aminoedhin

Awal Menulis Puisi
Dalam hal menulis karya sastra, saya, selain lingkungan keluarga yang sangat mendukung, karena banyaknya yang suka membaca dan menulis, juga karena aktivitas di sekolah. Sewaktu di sekolah tingkat SMAN Ngawi (1974-1976), saya aktif ikut membuat majalah dinding. Selain aktif sebagai penulis majalah dinding, beberapa karyaku berupa puisi, saya kirimkan ke berbagai majalah di Jakarta.
Pada awalnya saya hanya coba-coba-coba mengirimkan puisi-puisi, tanpa punya mimpi-mimpi. Apa lagi mimpi jadi seorang penyair. Tidak! Saya tidak punya impian itu. Bahkan pada awalnya saya mimpi masuk fakultas pertanian, biar jadi insinyur pertanian. Hanya sayangnya, ketika naik ke kelas dua SMA, saya masuk jurusan SOS atau sosial. Pupuslah harapan saya untuk kuliah di fakultas pertanian.
Berangkat dari jurusan SOS, yang mana teman-teman se-angkatan saya (Puguh Kadaryono, Widodo, Pitoyo, IGA Oka Kusumahadi) sering mengakronimkan sebagai ‘sekolah orang santai’ itulah, yang kemudian menjadikan saya sekolah seenaknya, alias suka pulang pagi sebelum jam pelajaran diakhiri.
Dari awal coba-coba kirim puisi itulah, salah satu puisiku, termuat di Majalah TOP Jakarta, tahun 1975, dan ini merupakan karya puisi pertama dimuat di sebuah majalah. Pada waktu itu, masih kelas II SMA, dan masih menggunakan nama asli Moh Amir Tohar. Dari majalah tersebut, saya mendapatkan honorarium penulisan melalui wesel yang dikirimkan ke sekolah, SMAN Ngawi. Lantas honorarium yang sebesar Rp750,00 (Tujuh Ratus Lima Puluh Rupiah) itulah, yang kemudian untuk mentraktir teman-teman saya sekelas. Berangkat dari sinilah, saya dijuluki teman-teman sekelas, sebagai penyair. Puisi saya yang termuat tersebut berjudul:

BENDERA
merah
putih
biru
hilang paling bawah
Indonesiaku

Ngawi, 1975

Pada waktu puisi itu termuat, nama Aming belum saya gunakan, tapi masih menggunakan nama aslinya Moh. Amir Tohar. Ketika itu masih berada di kota kelahiran, Ngawi, aktif kegiatan remaja masjid dan teater. Dunia bermain teater pernah mengantarkan saya jadi juara, sebagai aktor terbaik Lomba Drama se-Jawa Timur 1983 di Surabaya, dari kelompok Teater Persada Ngawi, pimpinan Mh. Iskan. Melalui komunitas Teater Persada inilah yang kemudian memberikan banyak masukan inspirasi dalam berkarya sastra, utamanya menulis puisi dan bermain drama.
Selepas lulus SMAN Ngawi, saya melanjutkan ke Fakultas Sastra – Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sewaktu kuliah di Fakultas Sastra inilah, saya berkompetisi menulis karya sastra dengan Wieranta (sekarang: Dosen Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta), Junaidi HS (sekarang: Guru SMAN 2 Ngawi), Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur (almarhum), Moh. Imam Thobroni, Tito Setyo Budhi (sekarang: pengusaha di Sragen), Dedek Witranto, Bambang AeRTe, Anas Yusuf, Dedet Setiadi, dan Juhardi Basri. Tiga nama yang terakhir adalah generasi di bawah saya, sewaktu kuliah di Fakultas Sastra Sebelas Maret. Mereka bertiga teman berkompetitif antarmahasiswa dalam hal menulis di Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret di Surakarta.
Selain itu, ada juga nama-nama: Jil P. Kalaran, Akhudiat, Sirikit Syah, Tengsoe Tjahjono, Redi Panuju, Herry Lamongan, Surasono Rashar, Tan Tjin Siong, Zoya Herawati, Roesdi-Zaki, Pudwianto Arisanto, Shoim Anwar, Suhandayana, Tubagus Hidayathollah (almarhum), dan banyak lagi; yang merupakan teman-teman segenarasi dalam hal menulis karya sastra, ketika saya berada di Surabaya. Menulis sastra, khususnya puisi, seakan tanpa henti. Bahkan membuat pentas-pentas sastra, termasuk Malam Sastra Surabaya, baca puisi di DKS, IKIP Ketintang, dan Taman Budaya.

Prinsip Menulis SastraBagi saya menulis sastra, khususnya puisi, seperti halnya menuliskan ‘wejangan’ atau ‘pitutur’ bagi pembacanya. Artinya, bahwa saya menulis puisi bermaksud menyalurkan pikiran-pikiran/ide-ide kreatif saya tentang bagaimanakah seseorang tersebut bisa berbuat baik, setelah membaca puisi itu. Tidak hanya wejangan dan pitutur atau petuah saja, tapi juga terkadang berisi kritik, agar manusia tergelitik dengan kesalahan yang ada dalam dirinya selama ini.
Menulis sastra puisi, bagi saya juga merupakan ibadah. Karena banyak puisi saya yang bicara soal tentang kebenaran nyata yang ada di dunia ini. Baik itu kebenaran yang berdasarkan Qur’ani atau pun hukum/norma sosial kemasyarakatan yang ada selama ini. Coba kita baca saja puisi-puisi berikut ini:


aming aminoedhin
BERJAMAAH DI PLAZA

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah

tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi, belajar tari
dan baca puisi?

tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?

adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?

ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah

Surabaya, 1992
aming aminoedhin
SURABAYA I
*

pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat

plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh pengunjung

lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya

Surabaya, 1986

aming aminoedhin
LARUT MALAM SURABAYA
*

mobil-mobil yang lintas jalan layang
seakan terbang tanpa sayap
lampu-lampu jalan layang
berjejer diam menyimpan penyap

bunga-bunga taman mayangkara
tidaklah terhitung lengkap
rumput-rumputnya hijau meluas
tanpa ada tersisa sampah-sampah membekas
dan pohonan hias menyejuk mata
di antaranya terselip cahaya
lampu-lampu merkuri menebar asri

lampu-lampu kota warna-warni
lampu-lampu mobil tak mau mati
kota tiada mau diam, meski jam
telah sampai larut malam

kota ini adalah buaya, yang
menelan segala perangkat teknologi
teknologi abad ini, tanpa
terseleksi (diseleksi?)

1989

aming aminoedhin
EMBONG MALANG
*

menelusuri jalan embong malang sianghari
terasa jalanan mengambang kebak polusi
kendaraan mengali satu arah
keringatku mencair begitu gerah

memandang selatan jalan embong malang
terasa diriku hilang ditelan gedung menjulang
engkaukah yang telah mengubah
wajah kota begitu gagah
atau mungkin menyulap kota tampak begitu gagah

sementara di beberapa tempat
banyak orang mengumpat
soal pendapatan upah buruh taklagi diterima utuh
soal rumah leluhur menuimpan arsitektur lama
dengan pongah digusur-gusur, kota lama
seperti telah dikubur

embong malang jalan satu arah
tak memberi satu arah, bagi
arti kehidupan tanpa jurang pemisah
antara yang mewah dan lainnya berdarah
atau mungkin bernanah?

Surabaya, 1996

Kota Surabaya, merupakan kota ketiga saya dalam berkiprah menulis karya sastra. Sebab kota pertama dalam mengawali menulis puisi adalah Ngawi; yang merupakan kota kelahiran. Kota kedua adalah Surakarta, ketika saya menimba ilmu sastra di sana. Lantas di kota Surabaya, saya tidak hanya berkiprah dalam dunia tulis-menulis saja, tapi juga pernah menjadi Pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), Koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) di PPIA Surabaya (1986-1990-an), Koordinator Himpunan Penulis Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur (1987-1990-an), dan Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) (Forum Sastra Bersama Surabaya).
Ketika berada di kota budaya, Surakarta atau Solo itu, banyak puisi saya termuat di majalah “Zaman” dan “Horison”, yang di antaranya adalah:

aming aminoedhin
SURAT DARI BLORA
*

Rumah di atas bukit
bukit bukit berenang atas danau
jembatan kayu gantung menyeberang
dedaun merimbun, jalanan
membelah pohon-pohon
sebelas kilo utara kota
menapak tiga kilo langkah kaki
rumah di atas bukit

Sepi menggasing tanpa tv tanpa polusi
fajar menyingsing ceria mentari
langit jingga berselendang senja
kaki pertama perempuan mandi danau
alam menyapa rembang petang

duka yang kemarin ada
kau tangkap sebentuk sepi
peronda tak kunjung bersuara
kokok ayam tak juga-juga tiba
malam pun enggan menggeliat

hari-hari berlanjut kecut
duka, sepi dan malam kaucampakkan

Sore puluhan putih burung mengepak sayap senja itik berbaris riang pulang kandang
malam perahu di danau, ikan dalam bubu mati udang-udang danau kaucari

Bulan berenang di danau, sendiri
kaudayung perahu arah bulan
bulan pecah, kembali tergantung di awan

sepi mengangkat muka
engkau menatap akrab

sawah meninggi, kali di bawah kaki sawah
air kali tanpa kincir air
sawah kehausan, bak
bulan tanpa malam
siang tanpa mentari

saat waktu lusa kau terlena malam
hari ini bulan masih tersisa, jangan tunda perempuan selalu dihadang waktu
kunci yang kaubawa
kan berkarat nanti

air bagi sawah
malam bagi bulan
mentari bagi siang
adalah kunci-kunci manusiawi

Solo, 1981

Hidup di kota Surabaya inilah yang kemudian saya banyak menulis tentang kota Surabaya, dari persoalan kritik, sosial, dan bahkan kegelisahannya menatap kota metropolitan kedua Indonesia ini. Puisi-puisi saya banyak yang memotret keberadaan kota Surabaya tersebut.
Coba kita simak puisi berikut ini:


SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENARaming aminoedhin

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta

Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

Surabaya ajari aku. Ajari aku
Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
Bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
Siang, jalanan tertib kendaraan berpolusi
Senja meremang, mentarinya seindah pagi
Di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
Sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
Kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
Dan suara rakyat adalah suara kebenaran
Tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!

Surabaya, 21 November 2005


Saya juga merupakan penggagas adanya Malam Sastra Surabaya atau lebih dikenal dengan singkatan Malsasa, sejak tahun 1989-an hingga terakhir menggelar pada tahun 2007. Penggagas pula acara baca puisi peduli “Perang Irak” di Taman Budaya Jawa Timur, pentas seni kemanusiaan “Duka Aceh Duka Bersama” di Taman Budaya Jawa Timur. Terakhir, saya punya ide “baca puisi masuk teve”, lantas bulannya pas bulan Ramadhan, maka ide saya gelontorkan ke Imung Mulyanto yang kini jadi juragannya “Arek Teve – Surabaya Raya”. Ide itu ditangkap, lantas saya disuruh koordinir rekan-rekan penyair. Ternyata bisa! Rekaman dari habis tarawih hingga hampir imsak, jadilah rekaman itu dalam tiga episode, bertajuk “Tadarus Puisi”. Tidak hanya penyair dan penggurit yang tampil, ada juga KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan) Surabaya, pimpinan Bokir Surogenggong.
Sebagai penulis puisi, saya pernah ikut temu penyair jateng di Semarang (1983), temu penyair indonesia di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1987), dan ikut memberikan pelatihan menulis dan baca puisi di berbagai kota di Jawa Tmur, antara lain: Batu, Lamongan, Madiun, Mojokerto, Lumajang, Banyuwangi, Tulungagung, Blitar, Probolinggo, dan banyak lagi kota.
Karya puisi saya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain: Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post dan banyak lagi. Sedang majalah yang memuat puisinya antara lain: Gadis, Putera dan Puteri Indonesia, Pusara, Bende, Media, Zaman, Majalah Sastra Horison, dan Majalah Kebudayaan Basis.
Kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain, di antaranya: Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa ‘92, ‘94, ‘96, 2000, 2005, 2007; Surabaya Kotaku, Burung-Burung, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, dan banyak lagi. Kumpulan puisinya sendiri: Berjamaah di Plaza, Mataku Mata Ikan, Embong Malang, Kereta Puisi, dan Sketsa Malam. Kumpulan geguritan Tanpa Mripat, dan kumpulan sajak anak-anak ‘Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu’, " "Memutih Putih Begitu Jernih" (2008),
Sekarang aktif di PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), ikut jadi motivator ARS (Alam Ruang Sastra) Komunitas Sastra Sidoarjo, dan kini masih bekerja di Balai Bahasa Surabaya di Sidoarjo.

Buku kumpulan puisi garapan Aming Aminoedhin:
Semangat Tanjung Perak, (editor, 1992).
Surabaya Kotaku (editor, Dewan Kesenian Surabaya, 1990).
Malsasa ’91 (editor, Dewan Kesenian Surabaya & Sufo, 1991)
Malsasa ’92 (editor, Penerbit Sintarlistra, 1992)
Malsasa ’94 (editor, Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya, 1994)
Bunga Rampai Bunga Pinggiran (editor, antologi puisi, 1995)
Malsasa ’96 (editor, Dewan Kesenian Surabaya, 1996)
Malsasa 2000 (editor, Balai Bahasa Surabaya, 2000).
Berjamaah di Plaza (kumpulan puisi, Mandiri Press Mojokerto, 2000).
Omonga Apa Wae (editor kumpulan puisi, Taman Budaya Jawa Timur, 2000)
Tanah Persada (editor, Teater Persada Ngawi, 1983)
Tanah Kapur (editor, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1990)
Tanah Rengkah (editor, Komunitas Teater Persada Ngawi, 1997)
Mataku Mata Ikan (kumpulan puisi, DKJT, 2004).
Embong Malang ( kumpulan puisi, proses cetakan, 2005)
Sketsa Malam (kumpulan puisi, dalam proses, 2000)
Kereta Puisi (kumpulan puisi, Dewan Kesenian Surabaya, 1990)
Wajah Bertiga (editor, Sintarlistra Surabaya, 1987).
Burung-Burung (editor, Sintarlistra Surabaya, 1990)
Tanpa Mripat, kumpulan guritan (FSBS, 2005)
Malsasa 2005 (editor, kumpulan puisi bersama FSBS, 2005)
Surabaya 714, Malsasa 2007 (editor, kumpulan puisi bersama FSBS, 2007)
Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu, kumpulan sajak anak-anak (FSBS. 2008)

MEmutih Putih Begitu Jernih, kumpulan sajak - dalam proses cetakan(FSBS, 2008)
Trilogi Tanah, dalam tahap proses cetak (2008)
Memutih Putih Begitu Jernih, dalam tahap proses cetak (2008)

Latar Belakang Keluarga
Aming Aminoedhin, adalah nama samaran dari nama asli Mohammad Amir Tohar. Lahir di Ngawi, 22 Desember 1957. Ayah saya seorang guru agama Islam di sebuah SMPN, ibu pun juga seorang guru SDN Ronggowarsito 2 Ngawi. Ayah bernama A.H. Aminoedhin (lahir tahun 1918), sementara ibu bernama Soeparijem (lahir tahun 1925).
Saya adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Dari kedelapan saudara ini, kakaknya nomor dua, bernama M. Har Harijadi, juga seorang penulis, baik cerpen, puisi, cerita anak, dan esai (wafat: 27 September 2007). Begitu pula kakak saya nomor empat, bernama Yulia Amirulfata (samaran: Lia Aminoedhin), juga seorang penulis puisi (tidak diteruskan karena sudah disibukkan jadi guru SMP Muhammadiyah di Yogya dan bersuami). Sedangkan dua adik perempuan, Ummi Hanifah Hariyani (samaran: Yani Aminoedhin) dan Ummi Mukharomah Hariyanti (guru SMAN 2 Ngawi), sebenarnya juga menulis; hanya saja tidak diteruskan bakat menulisnya, karena sibuk pekerjaan dan rumah tangga. Secara keseluruhan saudara saya: Ummi Haniek,B.A. (guru SMPN 5 Ngawi), M.Harijadi(almarhum), M. Anies Harijono (TU SMK Muhammadiyah Ngawi), Yulia Amirulfata (Guru SMP Muhammadiyah, Stan, Sleman, Yogyakarta), M. Amir Tohar (alias Aming Aminoedhin), Ummi Hanifah Hariyani (Bu Kadus Krapyak - Yogyakarta), Ummi Mukharomah Hariyanti (Guru SMAN 2 Ngawi), dan M. Yusuf Arsyad (usaha travel di Yogya).
Bakat menulis saya berangkat dari lingkungan keluarga yang banyak menulis, seperti kakak-kakak dan adik-adik. Termasuk pula di antaranya, paman saya seorang sastrawan yang merupakan salah satu tokoh Angkatan ’66 versi HB Jassin, bernama M. Alwan Tafsiri. Begitu pula tetangganya ada juga seorang penulis naskah drama dan puisi, Mh. Iskan.
Istri saya bernama Sulistyani Uran. Mantan seorang perawat RS Darmo Surabaya, kelahiran Kediri, 27 September 1963. Bersama istri, saya mempunyai 4 anak, yaitu Ade Malsasa Akbar (Surabaya, 02-12-1992, laki-laki), Tegar Kartika Akbar (Surabaya, 10-07-1994, laki-laki), Amri Perkasa Akbar (Mojokerto, 30-08-2000, laki-laki), Mira Aulia Alamanda (Mojokerto, 02-04-2003, perempuan).

Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan yang pernah saya tempuh adalah: TK Muhammadiyah Ngawi (1968-1969), SDN Ronggowarsito 2 Ngawi (lulus 1970), SMPN 1 Ngawi (lulus 1973), SMAN Ngawi, Jurusan Sosial (lulus 1976).
Selepas pendidikan SD dan SMA, melanjutkan ke Fakultas Sastra, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Surakarta (masuk kuliah tahun 1977). Lulus sarjana muda dengan gelar B.A. pada tahun 1982. Sebelum sarjana muda diraih, ia sempat kuliah D-III satu tahun, pada pada jurusan yang sama, fakultas keguruan di universitas yang sama, dengan mendapatkan ijazah Diploma dan Akta III, pada tahun 1981. Setelah itu melanjutkan kembali tingkat dotoralnya di fakultas sastra jurusan yang sama, dengan meraih sarjana sastra, jurusan bahasa dan sastra Indonesia dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada tahun 1987.

Latar Belakang Pekerjaan
Selepas kuliah dengan mendapat gelar sarjana muda, Aming Aminoedhin pulang ke kampung halamannya di Ngawi. Selama setahun saya sempat mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP PGRI 1 Ngawi.
Sewaktu masih kuliah pernah bekerja sebagai wartawan lepas di berbagai koran di Semarang, Surabaya, dan Jakarta. Pernah juga staf redaksi koran kampus ‘Sebelas Maret’ di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Menjadi PNS di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur sejak tahun 1984. Bekerja di Sub Bagian Penerangan, Bagian Tata Usaha, pada bidang penerbitan majalah bulanan “Media” sebagai pemimpin redaksi. Pernah juga ikut membidani dan mengelola keredaksionalan “Tabloid Bekal” koran pelajar Jawa Timur, yang diprakarsai Harian Surabaya Post dan Kanwil Depdikbud Jawa Timur. Ikut pula menjadi Redaksi Majalah Kebudayaan Kalimas di Surabaya, lantas termasuk ikut dalam Staf Redaksi Buletin DKS (Dewan Kesenian Surabaya), serta Majalah Memorida Kanwil Depdikbud Jawa Timur.
Dalam bidang seni dan budaya, saya, pernah jadi koordinator Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS), Himpunan Penulis, Pengarang dan Penyair Nusantara (HP3N) Jawa Timur, dan Forum Apresiasi Sastra Mojokerto (Forasamo). Menjadi pengurus Dewan Kesenian Surabaya, Biro Sastra (1990-an), Sekretaris Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto (2004- sekarang). Periode tahun 1995- sekarang masih jadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Dalam PPSJS, ia membidani terbitnya “Teplok-Dluwangwarta PPSJS” sebagai pemimpin redaksi. Saya juga pernah dikirim dalam Pertemuan Sastrawan Nusantara XII di Singapura, mewakili Jawa Timur (2003).
Jabatan yang masih diemban sampai sekarang Ketua FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) yang telah dua kali penyelenggara pentas Malam Sastra Surabaya (2005-2007).
Sejak tahun 2000, saya, mutasi pekerjaan dari Kanwil Depdikbud Jawa Timur ke Balai Bahasa Surabaya, sebagai kandidat peneliti bahasa dan sastra Indonesia dan Jawa. Karena saya menganggap lebih cocok pada bidang penulisan dan penelitian, sesuai dengan ijazah sarjana sastra saya. Pada waktu itu, 2005, ia telah mengajukan jabatan fungsional sebagai peneliti ke Pusat Bahasa di Jakarta. Tapi hingga sekarang tak pernah turun jabatan fungsional sebagai peneliti. (Konon, umurnya terlalu tua jadi peneliti, ya,,, mau apa? Ya sudah, jadi penyair saja).
Ini hanya sebagian proses kreatif yang bisa saya tulis dengan tergesa-gesa, semoga besok-besok bisa mengedit lebih baik lagi. Salam budaya! (aming aminoedhin)

Desaku Canggu, 7 Oktober 2008


* termuat di Majalah Basis Yogyakarta, Agustus 1989* termuat di Majalah Basis Yogyakarta, Agustus 1989* termuat di Koran Memorandum – Surabaya, 30 Juni 1996* dimuat di majalah Zaman Jakarta, 27 Desember 1981