Rabu, 30 Oktober 2013

BACA PUISI DI KPK JAKARTA

PENYAIR  JATIM  BACA PUISI
DI GEDUNG KPK JAKARTA

          Kegiatan road-show “Puisi Menolak Korupsi” yang merupakan kegiatan membaca puisi oleh para penyair Indonesia yang kesekian kalinya adalah pada Jum’at,  27 September 2013, di Gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Jalan HR Said Jakarta.
          Beberapa penyair dari berbagai daerah di Indonesia, ikut hadir dan tampil membacakan puisi-puisinya. Termasuk, penyiar asal Jawa Timur: Andreas Edi-son, Ardi Susanti, Bagus Putu Parto, dan Aming Aminoedhin ikut meramaikan baca puisi di Gedung KPK Jakarta tersebut.

          Dalam acara tersebut, bebepa tokoh petinggi KPK ikut juga hadir dan tampil membaca puisi, yaitu:  Zulkarnain, Abraham Samad dan Busro Muqodas.  Tampil pula, Taufiq Ismail, dan Bambang Widjanarko.
          Dengan backdrop besar bertuliskan Penyair Indonesia ‘Puisi Menolak Korupsi” yang terpampang di ruang dalam gedung KPK, acara diawali dengan pembacaan puisi oleh Diah Hadaning, dilanjutkan dengan sambutan ketua panitia penyelenggara, Bambang Widiatmoko.

          Sambutan awal disampaikan Ketua KPK, Abraham Samad, yang ikut mendukung gerakan ini. Serta menyambut dengan senang hati para penyair yang peduli atas gerakan menolak korupsi ini. Selanjutnya, Abraham Samad, juga sempat mebcakan salah satu puisi yang menolak korupsi.
          Ada juga tampilan musikalisasi puisi  dari Komunitas Sastra Kalimalang dan Sanggar Matahari, ikut meramaikan acara yang digelar oleh Klub Baca KPK dan Panitia Road-show Puisi Menolak Korupsi ini.
          Diskusi dan bedah buku kumpulan puisi “Puisi Menolak Korupsi” dihadirkan ulasan tiga tokoh: Eka Budianta, Busro Muqodas,  dan Taufiq Ismail sebagai pembedahnya. Diskusi ini dipandu oleh jubirnya KPK, Johan Budi.
Sungguh, sastra, bukanlah mantra untuk menolak korupsi. Tapi setidaknya, bisa jadi mengurangi atau bahkan mengingatkan kita, manusia, agar tidak ikut-ikut melakukan perilaku korupsi.


          Seperti kata Bambang Widiatmoko, pada sambutannya, yang antara lain mengatakan, “Akhirnya memang kenekaragaman puisi-puisi telah terangkum menjadi mozaik yang indah, dalam berbagai persepsi penyairnya itu, untuk menyadarkan kita akan begitu berbahayanya korupsi. Penyair hanya mampu menyuarakannya dalam bentuk kata-kata dalam puisi, dan semoga menjadi mantra anti korupsi.”
          Sedangkan ulasan Eka Budianta, antara lain berkata, “Kita diberi kesimpulan, bahwa para penyair sangat rendah hati, tidak punya pretensi mengubah keadaan, menyalahkan, menggugat, apa lagi mengutuk siapa pun yang kita dakwa koruptor.” Sementara itu, Sosiawan Leak, sang koordonator Gerakan Puisi Menolak Korupsi, menyatakan, “Seperti tubuh, korupsi memiliki organ yang lengkap dengan berbagai fungsi.”





          Taufiq Ismail, penyair ini, pada ujung ulasannya, berharap semoga KPK bekerja dengan baik, dan para petingginya tetap sehat wal-afiat; sehingga bisa terus bekerja dengan baik untuk terus berjuang memberantas korupsi di negeri ini.

          Penyair Indonesia membaca puisi menolak korupsi di KPK hari itu, berlangsung pukul 14.00 WIB hingga 18.00. WIB. Sementara itu, saya, bersama Bagus Putu Parto, Endang Kalimasada, dan AndreasEdison, langsung pulang dari Gedung KPK ke Blitar malam itu juga. (mat)***

Rabu, 16 Oktober 2013

PENYAIR KITA BERAIRMATA



AIRMATA PENYAIR NEGERI INI
Oleh: Aming Aminoedhin

          Judul buku                    : Negeri Sembilan Matahari
                                                  Antologi Puisi Prosa Liris Kritik Sosial 50 Penyair
                                                  se-Indonesia
            Editor                           : Muhammad Ardiansyah
Kata Pengantar             : Moch Satrio Welang
Sampul buku                : Arif Bahtiar
            Penerbit                        : Kendi Aksara, Bantul, Yogyakarta
            Cetakan                       : I, 2013
            Tebal                            : vi+238 halaman
            ISBN                           : 978-602-99907-6-8

                       
            Bacalah buku bertajuk  Negeri Sembilan Matahari (NSM), yang memuat karya-karya penyair se-Indonesia ini, karena seakan kita  melihat carut-marut Indonesia yang kian hari kian memanas ini. Harga bawang putih melambung tinggi, pejabat kian banyak  ditangkapi lantaran korupsi, tkw, bencana lumpur panas, bahkan hingga persoalan rakyat yang kian kesrakat, dan kian mlarat tak terobati.
            Menurut Moch Satrio Welang, sebagai koordinator penerbitan antologi puisi ini, dalam kata pengantarnya mengatakan, “Di saat politik memanas, para politikus bermain drama, sulit dibedakan mana infotaiment, dan politik di Indonesia yang memiliki kemampuan bermain drama yang memukau. Mungkin para sastrawan terengah-engah di atas realitias bangsa ini, yang benar-benar mengalahkan surealisme dunia fiksi.” Lebih tandas Welang mengatakan, “Imajinasi dan khayalan sekarang menyeruak dari layar kaca dan hadir di tengah-tengah kita.”
            Buku ini memuat karya 50 penyair Indonesia, yang masing-masing penyair puisinya termuat 3 judul puisi. Mereka itu dari berbagai daerah, seperti: Palu (Sulawesi), Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Painan, Palembang (Sumatra), Samarinda (Kalimantan), Batu, Malang, Surabaya, Madiun, Mojokerto (Jatim), Solo, Sukoharjo, Purwokerto (Jateng), Cirebon, Purwakarta, Bandung, Bekasi (Jabar), Jakarta, Denpasar, Lombok, Mataram, dan bahkan ada 2 penyair asal Hongkong, Hana Yohana  dan Mega Vristian S (asal Malang).
  

            Dalam buku ini, termuat juga endorsement tulisan Ratna Sarumpaet, Gerson Poyk, Afrizal Malna, Oka Rusmini, Saut Situmorang, Sosiawan Leak, dan Joko Pinurbo. Endorsement Ratna Sarumpaet  mengatakan, “Karya-karya dalam buku ini berbicara lantang mengenai segala ketimpangan yang menjadi realitas sosial di masyarakat. Itulah tugas seniman. Mengingatkan semua pihak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih jauh dari sejahtera, dan Negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan itu.”
            Secara ironis penyair Hasan Bisri (Jakarta), menyebutkan negara tak lagi mengejar ketertinggalan, tapi: Negeriku memang negeri kata-kata/Pemimpin-pemimpin di negeri ini memang mengira/Dengan kata-kata habis perkara (Negeri Kata-Kata, hal 111). Sedang penyair dari Hongkong, Mega Vristian Sambodo bertanya: ketika airmata darah duka perempuan-perempuan kembara/menghasilkan setoran uang ke negara/lalu laskarmu menggelar pesta/dari uang korupsi sebagian milik penghasil devisa/teladan mana lagi yang kan kau contohkan (Pertanyaan Untuk Presiden, hal. 159).
            Puisi-puisi lainnya banyak yang bicara atau mengkritisi politisi,  antara lain puisi berjudul: Setumpuk Telinga di Tong Sampah Samping Gedung Parlemen, Jangan Dimanfaatkan, Wakil Rakyat Pemimpin dan Pemimpi, Surabaya Ajari Aku Tentang Benar, Prosaika Republik Tanpa Harap, Wakil Rakyat, Suara Setan & Reformis Yang Terberak-Berak, dan banyak lagi. Bicara pendidikan ada puisi berjudul: Oemar Bakrie Masa Kini, Pendidikan Semu,  Arwah Galau, Apa Kabar Pendidikan Negeri Ini,  dan Dari Guru.
            Sementara itu, soal lumpur Lapindo yang beritanya menasional itu ditulis pada puisi: Masih Lapindo, Dari Lumpur Lahir Dajjal, Sebutir Telur Matang, dan Notasi Pulang Kampung. Dunia TKW, yang berjuluk pahlawan devisa negara ditulis dalam puisi bertajuk: Ruyati, Saat Keluar Negeri Bukan Kebanggaan, Berdarah, Pa, Pertanyaan Untuk Presiden, dan Wajah-wajah Dalam Bingkai Hitam.
            Membaca buku NSM seperti membaca Indonesia yang muram, atau bahkan membaca airmata penyair yang menangisi negerinya. Setidaknya, sebagai pembaca buku ini, akan tahu betapa penyelenggara negara ini, belum maksimal menanganinya. Ini berarti mereka gagal, dan tak sesuai janji mereka. Korupsi kian semakin merajalela!
            Buku bertajuk NSM ini adalah satu dari buku trilogi sastra kritik sosial yang telah terbit secara bersamaan, di tahun 2013 ini,  dengan dikomandani Moch Satrio Welang dari Denpasar, Bali. Dua buku lainnya, bertajuk Langit Terbakar Saat Anak-anak Itu Lapar (LTSAIL) antologi puisi, memuat 50 penyair lainnya. Sedangkan Semangkuk Nasi dan Sang Presiden (SNDSP) kumpulan cerpen, memuat 20 cerpenis Indonesia.
            Menarik untuk dicatat, bahwa dari 50 penyair yang menulis dalam antologi itu, penyair perempuannya, lagi-lagi hanya sekitar belasan orang yang ikut di dalamnya. Selebihnya, semua penyair adalah kaum lelaki. Namun dari catatan biodata penulis bisa dilihat bahwa para penulisnya berasal hampir dari wilayah Indonesia.
Mengakhiri resensi ini, barangkali menarik jika diikutkan apa yang dikatakan Joko Pinurbo, dalam endorsement-nya, “Antologi puisi ini menunjukkan betapa negeri yang kaya raya dan elok permai ini penuh dengan ironi. Di mana-mana kita menyaksikan kontras antara apa yang dicita-citakan dan dicitrakan dengan apa yang tampak dalam kenyataan. Penyebab utamanya adalah matinya hati bangsa. Dan bangsa yang mati hati tak bisa lagi mencintai dan membela anak-anaknya sendiri. Barangkali puisi adalah nyanyi sunyi untuk tetap menghidupkan hati.”
Maka bacalah buku Negeri Sembilan Matahari, dengan  matahati. Hal ini karena airmata penyair negeri ini, telah tertuang dalam baris-baris puisi. Agar hati kita tak dipenuhi rasa dengki, iri, dan bahkan mungkin tidak melakukan korupsi. Bacalah!***

                        Desaku Canggu, 21 Maret 2013






APA ITU PUISI?



APA ITU PUISI, PUISI ITU APA?
oleh: aming aminoedhin

catatan: berita yang lupa diunggah ke blogger

            Malam itu, halaman Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) yang terletak di Jalan Gentengkali 85 Surabaya, dipenuhi parkiran sepeda motor dan mobil. Tidak seperti biasanya, yang hanya beberapa motor dan mobil terparkir di halaman itu.
            Ada apa?
            Di depan Gedung Cak Durasim ada backdrop besar bertuliskan, “What's Poetry?” yang disinari lampu terang, sehingga jelas tebaca, ketika seseorang memasuki pintu gerbang TBJT tersebut.
            Banyak orang (baca: pengunjung) yang berfoto dengan latar belakang tulisan itu.  Apakah mereka itu hanya untuk kenang-kenangan, bahwa ia telah ikut nonton acara itu, atau hanya sekedar 'narsis' doang? Saya tak tahu? Tapi yang pasti, banyak orang berfoto di situ!
            Yang pasti,  ada acara pembaca puisi oleh penyair-penyair dunia. Mereka itu berasal dari Jerman, Amerika Serikat, Zimbabwe, Belanda, Swedia, Denmark, Islandia, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Macedonia, sedangkan penyair Indonesia antara lain berasal dari Bali, Bogor, Madura, Bekasi, Surabaya, Yogyakarta, Bekasi, dan Rembang.
             Acara ini digelar dan digagas oleh Forum Penyair Internasional Indonesia (FPII) 2012 , dimotori oleh Henky Kurniadi, seniman Surabaya.
            Adapun selain di kota Surabaya sebagai puncak acara, tanggal 10, 11, dan 12 April 2012, pembacaan ini telah dilangsungkan pentasnya secara maraton di tiga kota lainnya, yaitu:  kompleks Candi Borobudur, Kabupaten Magelang (1-3 April 2012), Pekalongan (4-6 April), dan kota Malang (7-9 April) lalu.

Acara FPII di Surabaya

            Hari pertama di kota Surabaya, para penyair internasional tersebut, diterima oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, 10 April 2012. Acaranya, antara lain menuliskan kesan tentang kota Pahlawan di kanvas yang disediakan Panitia. Sementara  itu, Risma, mengawali tulisan dengan menorehkan kalimat, ”Selamat pagi puisi dunia di Surabaya.” Selanjutnya, dalam sambutan, malah para penyair tersebut, diajak Risma melihat dan berkunjung di taman-taman kota, dan tolong diceritakan ke rekan-rekan penyair di negaranya masing-masing," kata dia. Saat itu ada juga tampilan Sawong Jabo yang meramaikan acara, dengan bernyanyi bersama gitarnya.
            Hari kedua, 11 April 2012  itulah, saya ikut hadir dan melihat dari dekat para penyair internasional itu berulah. Maksudnya berulah baca puisi dengan berbagai gayanya. Siangnya para penyair diajak diskusi budaya dan baca puisi, di UK Petra Surabaya.
            Malam itu, sebelum acara pembacaan puisi, seperti biasa ada seremonial beberapa sambutan, Dinas Pariwisata  Kota Surabaya dan Kepala Taman Budaya Jatim, dan anehnya lagi ada acara potong tumpeng segala?
            Apa itu puisi? Puisi itu apa? Kok ada potong tumpengnya segala? Sebuah tanya yang belum terjawab hingga kini (saat tulisan ini dibuat).     
            Mengawali acara pembacaan malam itu, tampil penyair  Fikar W Eda (Indonesia) dengan membaca puisi tentang Aceh terkena gempa. Lantas penyair Jerman, Ulrike Draesnes, membaca puisi bersama penari  lelaki dari Afrika Selatan. Urutan berikutnya, yang tampil adalah: Courtney Sina Meredith (Selandia Baru), Arne Rautenberg (Jerman), Gerdur Kristny (Islandia), John Warromi (Indonesia), Adam Wiedewitsch (Amerika Serikat), Sarah Holland-Batt (Australia), Akhudiat (Indonesia), Martin Glaz Serup (Denmark), Mbali Bloom (Afrika Selatan), Aslan Abidin (Indonesia).
            Pembacaan puisi para penyair yang berbahasa Inggris dan Jerman, lantas diterjemahkan oleh Dorothea Rosa Herliany, atau terkadang oleh Akhudiat.
            Tampilan mereka dalam acara itu, saya pikir biasa-biasa saja, tidak ada yang terasa agak mendedah rasa penontonnya. Artinya, tidak ada sesuatu yang baru yang barangkali bisa dibawa pulang penonton. Bahkan, saya melihat banyak kawan penonton malah ke luar gedung, karena merasa jenuh tidak ada tampilan  baru, alias monoton saja. “Ya.... rokokan dulu di luar Cak, soalnya tak menarik,” kata salah satu penonton.
            Malam itu penyair berpredikat 'celurit emas' asal Madura, D. Zawawi Imron tampil baca puisi dengan duduk di kursi. Sehingga kurang memberi greget pembacaan yang biasa ia lakukan dengan bagus.
            Secara keseluruhan tampilan malam itu memang tidak begitu menarik, tapi yang menarik adalah publikasinya yang hebat. Sehingga banyak khalayak ikut hadir menonton. Bahkan tampak hadir pula, sastrawan besar kota Surabaya, Budi Darma, yang ikut menonton acara.
            Malam itu  diramaikan tampilnya penyanyi Sawung Jabo dan kelompoknya. Sehingga acara menjadi agak punya greget.
            Untung, ada Sawung Jabo, sehingga penonton tetap bertahan  hingga akhir acara. Di Surabaya ini, para penyair, sebelum meninggalkan kota Surabaya, rombongan dijadwalkan menikmati pemandangan Jembatan Suramadu dari laut Selat Madura, dengan menumpang Artama Harbour Cruise milik PT Pelindo III.   
            Sekali lagi,  apa itu puisi? Puisi itu apa? Yang kita ingat, puisi memang tidak bisa mengubah negara ini jadi loh jinawi. Apalagi pemerintahannya masih  banyak yang suka korupsi.
            Mungkin demikian?
            Setuju? Ah... Anda boleh juga tidak bersetuju!**

Desaku Canggu, 19 April 2012

Jumat, 11 Oktober 2013

BSMB ULTAH 22 TAHUN



REFLEKSI 22 TAHUN BSMB
di Rumah Budaya Bagus Putu Parto Blitar


 Selasa malam, 1 Oktober 2013, tepatnya hari Kesaktian Pancasila, komunitas Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB) menggelar acara bertajuk “Refleksi 22 Tahun BSMB” di Rumah Budaya – Bagus Putu Parto – Desa Gecamatan Kanigoro - Kabupaten Blitar.

Bagus Putu Parto membuka acara (foto: aa)

Setelah acara dibuka oleh Bagus Putu Parto sebagai salah satu penggagasnya, kemudian tampillah komunitas macapatan Abdiningsun, bahkan menembangkan beberapa macapat gagrag anyar yang berisi protes sosial atas kehidupan sekarang ini. Lik Hir, yang merupakan tokoh dalam komunitas ini, di penghujung sajian macapat komunitasnya, mengajak para hadirin untuk menyanyikan lagu Garuda Pancasila secara bersama-sama. Maka larutlah hadirin untuk berdiri, dan ikut menyanyikan lagu tersebut.
Endang Kalimasada dan Andreas, baca puisi (foto: aa)





Didiet Hape, dari Surabaya (foto: aming amd)

Abdiningsun adalah komunitas para orang tua (kebanyakan pensiunan) yang tetap melestarikan sastra Jawa, dengan mengadakan pentas sastra macapatan di berbagai kegiatan kesenian di kota Blitar.
Tampilan berikutnya, Endang Kalimasada bersama Andreas Edison, membacakan salah satu puisi. Andreas menembangkan, Endang baca puisi. Sebuah perpaduan sajian yang cukup unik dan menarik. Selain itu, ada juga penyair BSMB, Jontor Siswanto, bersama rekannya membacakan puisi.
 Sementara itu, penyair tamu yang hadir, dan ikut tampil baca puisi, antara lain: Didiet Hape, Nita Tjindarbumi, Ardi Susanti, R. Giryadi, dan Aming Aminoedhin. Tampil pula penggurit kondang, sekaligus wartawan majalah Jaya Baya, Widodo Basuki, asal Surabaya.
Ada juga acara melukis garis menandai 22 tahunnya Barisan Seniman Muda Blitar, Endang dan Bagus ikut menggoreskan lukisan di kanvas. Begitu pula tokoh-tokoh yang hadir malam itu, ikut menggoreskan warna di kanvas yang tersedia. Lengkap sudah acara dengan berbagai tampilan dan lukisan.




Bagus dan Endang Kalimasada, ikut menggoreskan warna (foto: aa)


Liek R. Giryadi, tak hanya baca puisi,  ikut  juga nyanyi! (foto: aa)
Dalam orasi awal acara, Bagus Putu Parto, mengatakan bahwa BSMB telah berusia 22 tahun. Mereka para anggotanya sudah banyak yang cukup kaya, tapi seharusnya kita tetap memerjuangkan rakyat yang miskin. Setidaknya, melalui pentas-pentas seni, kita haruslah suarakan tentang perlunya kebersamaan dalam membangun negara kita. Agar Indonesia bisa mempunyai masyarakat yang merasaakan adil dan makmur. Bahkan, mari kita kembali gelorakan semangat Bung Karno, tandas Bagus.


  Widodo Basuki baca guritan. (foto: aa).



Ardi, Nita, Endang, dan Bu Dokter, nyanyi bersama. (foto: aa)


Selepas orasi dan baca puisi, acara dilanjutkan tampilan band dengan pemusiknya, yang hampir sama dengan komunitas Abdiningsun, didominasi orang tua. Mereka menyanyikan beberapa lagu Koes Plus, dan lagu lawas lainnya. Tampil juga penyanyi tamu: R. Giryadi dan Nita Tjindarbumi.  Lantas para perempuan nyanyi bersama dengan riang gembira. Malam kian riang, kian senang!
Pentas diakhiri hingga tengah malam, dan dilanjutkan dengan dialog sastra hingga menjelang parak pagi.  Sungguh acara kangen-kangenan tercipta. (mira aulia)**

Kamis, 26 September 2013

TEMU PENYAIR ANTARKOTA DI BLITAR



SASTRAWAN ANTARKOTA TEMU
DI RUMAH BUDAYA BPP – BLITAR

            September pertengahan tahun ini, tepatnya 14 September 2013, telah diseleng-garakan temu sastrawan antarkota se Jatim, di Rumah Budaya Bagus Putu Parto, Gogodesa, Kanigoro, Blitar. Sejumlah nama sastrawan yang hadir ketika itu: Arim Kamandaka (Ponorogo), Tjahjono Widarmanto (Ngawi), Akhudiat, Wina Bojonegoro, dan Gita Pratama (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto), Rakhmat Giryadi (Sidoarjo), Bagus Putu Parto (Blitar), dan sejumlah penulis aktif dari Tulungagung dan Kediri.
            Perhelatan temu sastrawan antarkota ini, difokuskan pada acara launching buku kumpulan cerpen ‘Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo’ karya Bagus Putu Parto, yang diterbitkan SatuKata Publisher, dengan rancangan sampul depan digarap R. Giryadi.
Selain launching buku tersebut, juga dilaunching buku kumpulan puisi ‘Gresla Mamoso’ditulis oleh lima penyair: Tengsoe Tjahjono, Herry Lamongan, Lennon Machali, R. Giryadi, dan Aming Aminoedhin.
Akhudiat, ikut baca puisi yang terdapat di Gresla Mamoso. (foto: lu)*

            Acara dibuka dengan tampilan komunitas macapatan Adiningsun (Blitar), yang terdiri dari para orang-orang tua yang tetap nguri-uri sastra Jawa, melalui macapatan.
            Hadir juga pada acara itu, Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dengan memberikan sambutan dan apresiasi tentang kegiatan ini. Selain acara pembacaan salah satu cerpen Bagus PP, yang diawali oleh Herry Langit,  juga ada kata selamat datang oleh tuan rumah, Endang Kalimasada.

Prof. Dr. Setya Yuwono Sudikan, dekan FBS Unesa (foto: lu)*

            Dalam ucapan selamat datangnya kepada para sastrawan yang hadir, Endang Kalimasada, juga merasa senang dan bangga bisa kembali tampil dalam perhelatan sastra yang kini jarang diikutinya. Hal ini, akan menambah kegairahan suami saya, Bagus Putu Parto, untuk kembali menulis sastra kembali. Yang pasti disyukuri, bahwa pertemuan malam ini, sangatlah indah sekali. Membaca  dan berbincang panjang tentang sastra, tanpa habis-habisnya. Boleh sampai pagi, jika mata masih saja kuat terjaga. Kopi, roti, dan rokok pasti ada! Selamat bersastra-sastra!










 Endang Kalimasada, mengucapkan terima kasih kepada sastrawan yang hadir. (foto: lu)*











Bagus dan Endang, duet baca cerpennnya. (foto: lu)**

            Selepas acara potong tumpeng selamatan cerpen Kartomarmo, duet Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada, tampil membacakan salah satu cerpennya yang ada di kumpulan tersebut. Mereka berdua masih tetap seperti dulu, membaca sastra dengan enak dan santai dalam pembacaannya. Acara berikutnya dilanjutkan dengan pembacaan sastra, secara bergiliran: Arim Kamandaka baca puisi, Wina dan Gita, baca cerpen, Akhudiat, R. Giryadi dan Aming baca puisi. Tjahjono Widarmanto, malah mengapresiasi acara ini, seperti halnya Setya Yuwono.

Duet Wina dan Gita, ikut baca cerpennya. (foto: lu) **

            Malam itu acara ditutup dengan tampilan kembali, dari kelompok macapatan, Adiningsun. 
Setelah acara ditutup, dilanjut dengan omong-omong sastra di halaman rumah belakang Bagus Putu Parto yang luas itu, hingga hampir parak pagi. Bincang sastra, memang tak ada habisnya, kata Aming Aminoedhin. Ketemu sastrawan antarkota memang sangatlah menyenangkan, apa lagi kopi selalu menemani hingga parak pagi itu. Duh... nikmatnya! (liezty uran)**