Rabu, 16 Oktober 2013

PENYAIR KITA BERAIRMATA



AIRMATA PENYAIR NEGERI INI
Oleh: Aming Aminoedhin

          Judul buku                    : Negeri Sembilan Matahari
                                                  Antologi Puisi Prosa Liris Kritik Sosial 50 Penyair
                                                  se-Indonesia
            Editor                           : Muhammad Ardiansyah
Kata Pengantar             : Moch Satrio Welang
Sampul buku                : Arif Bahtiar
            Penerbit                        : Kendi Aksara, Bantul, Yogyakarta
            Cetakan                       : I, 2013
            Tebal                            : vi+238 halaman
            ISBN                           : 978-602-99907-6-8

                       
            Bacalah buku bertajuk  Negeri Sembilan Matahari (NSM), yang memuat karya-karya penyair se-Indonesia ini, karena seakan kita  melihat carut-marut Indonesia yang kian hari kian memanas ini. Harga bawang putih melambung tinggi, pejabat kian banyak  ditangkapi lantaran korupsi, tkw, bencana lumpur panas, bahkan hingga persoalan rakyat yang kian kesrakat, dan kian mlarat tak terobati.
            Menurut Moch Satrio Welang, sebagai koordinator penerbitan antologi puisi ini, dalam kata pengantarnya mengatakan, “Di saat politik memanas, para politikus bermain drama, sulit dibedakan mana infotaiment, dan politik di Indonesia yang memiliki kemampuan bermain drama yang memukau. Mungkin para sastrawan terengah-engah di atas realitias bangsa ini, yang benar-benar mengalahkan surealisme dunia fiksi.” Lebih tandas Welang mengatakan, “Imajinasi dan khayalan sekarang menyeruak dari layar kaca dan hadir di tengah-tengah kita.”
            Buku ini memuat karya 50 penyair Indonesia, yang masing-masing penyair puisinya termuat 3 judul puisi. Mereka itu dari berbagai daerah, seperti: Palu (Sulawesi), Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Painan, Palembang (Sumatra), Samarinda (Kalimantan), Batu, Malang, Surabaya, Madiun, Mojokerto (Jatim), Solo, Sukoharjo, Purwokerto (Jateng), Cirebon, Purwakarta, Bandung, Bekasi (Jabar), Jakarta, Denpasar, Lombok, Mataram, dan bahkan ada 2 penyair asal Hongkong, Hana Yohana  dan Mega Vristian S (asal Malang).
  

            Dalam buku ini, termuat juga endorsement tulisan Ratna Sarumpaet, Gerson Poyk, Afrizal Malna, Oka Rusmini, Saut Situmorang, Sosiawan Leak, dan Joko Pinurbo. Endorsement Ratna Sarumpaet  mengatakan, “Karya-karya dalam buku ini berbicara lantang mengenai segala ketimpangan yang menjadi realitas sosial di masyarakat. Itulah tugas seniman. Mengingatkan semua pihak bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih jauh dari sejahtera, dan Negara bertanggung jawab mengejar ketertinggalan itu.”
            Secara ironis penyair Hasan Bisri (Jakarta), menyebutkan negara tak lagi mengejar ketertinggalan, tapi: Negeriku memang negeri kata-kata/Pemimpin-pemimpin di negeri ini memang mengira/Dengan kata-kata habis perkara (Negeri Kata-Kata, hal 111). Sedang penyair dari Hongkong, Mega Vristian Sambodo bertanya: ketika airmata darah duka perempuan-perempuan kembara/menghasilkan setoran uang ke negara/lalu laskarmu menggelar pesta/dari uang korupsi sebagian milik penghasil devisa/teladan mana lagi yang kan kau contohkan (Pertanyaan Untuk Presiden, hal. 159).
            Puisi-puisi lainnya banyak yang bicara atau mengkritisi politisi,  antara lain puisi berjudul: Setumpuk Telinga di Tong Sampah Samping Gedung Parlemen, Jangan Dimanfaatkan, Wakil Rakyat Pemimpin dan Pemimpi, Surabaya Ajari Aku Tentang Benar, Prosaika Republik Tanpa Harap, Wakil Rakyat, Suara Setan & Reformis Yang Terberak-Berak, dan banyak lagi. Bicara pendidikan ada puisi berjudul: Oemar Bakrie Masa Kini, Pendidikan Semu,  Arwah Galau, Apa Kabar Pendidikan Negeri Ini,  dan Dari Guru.
            Sementara itu, soal lumpur Lapindo yang beritanya menasional itu ditulis pada puisi: Masih Lapindo, Dari Lumpur Lahir Dajjal, Sebutir Telur Matang, dan Notasi Pulang Kampung. Dunia TKW, yang berjuluk pahlawan devisa negara ditulis dalam puisi bertajuk: Ruyati, Saat Keluar Negeri Bukan Kebanggaan, Berdarah, Pa, Pertanyaan Untuk Presiden, dan Wajah-wajah Dalam Bingkai Hitam.
            Membaca buku NSM seperti membaca Indonesia yang muram, atau bahkan membaca airmata penyair yang menangisi negerinya. Setidaknya, sebagai pembaca buku ini, akan tahu betapa penyelenggara negara ini, belum maksimal menanganinya. Ini berarti mereka gagal, dan tak sesuai janji mereka. Korupsi kian semakin merajalela!
            Buku bertajuk NSM ini adalah satu dari buku trilogi sastra kritik sosial yang telah terbit secara bersamaan, di tahun 2013 ini,  dengan dikomandani Moch Satrio Welang dari Denpasar, Bali. Dua buku lainnya, bertajuk Langit Terbakar Saat Anak-anak Itu Lapar (LTSAIL) antologi puisi, memuat 50 penyair lainnya. Sedangkan Semangkuk Nasi dan Sang Presiden (SNDSP) kumpulan cerpen, memuat 20 cerpenis Indonesia.
            Menarik untuk dicatat, bahwa dari 50 penyair yang menulis dalam antologi itu, penyair perempuannya, lagi-lagi hanya sekitar belasan orang yang ikut di dalamnya. Selebihnya, semua penyair adalah kaum lelaki. Namun dari catatan biodata penulis bisa dilihat bahwa para penulisnya berasal hampir dari wilayah Indonesia.
Mengakhiri resensi ini, barangkali menarik jika diikutkan apa yang dikatakan Joko Pinurbo, dalam endorsement-nya, “Antologi puisi ini menunjukkan betapa negeri yang kaya raya dan elok permai ini penuh dengan ironi. Di mana-mana kita menyaksikan kontras antara apa yang dicita-citakan dan dicitrakan dengan apa yang tampak dalam kenyataan. Penyebab utamanya adalah matinya hati bangsa. Dan bangsa yang mati hati tak bisa lagi mencintai dan membela anak-anaknya sendiri. Barangkali puisi adalah nyanyi sunyi untuk tetap menghidupkan hati.”
Maka bacalah buku Negeri Sembilan Matahari, dengan  matahati. Hal ini karena airmata penyair negeri ini, telah tertuang dalam baris-baris puisi. Agar hati kita tak dipenuhi rasa dengki, iri, dan bahkan mungkin tidak melakukan korupsi. Bacalah!***

                        Desaku Canggu, 21 Maret 2013






Tidak ada komentar: