Senin, 21 Desember 2015

PAMERAN LUKISAN NGGAGAS YOGYA DI BATU






TENTANG PAMERAN LUKISAN
KELOMPOK NGGAGAS YOGYA*
Oleh: Aming Aminoedhin**

Bicara soal seni rupa di Jawa Timur, barangkali punya riwayat panjang. Mungkin sepanjang kali Brantas yang melintas membelah provinsi ini. Kali Brantas berawal dari Bumiaji – Batu, mengalir ke arah Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Jombang, dan Mojokerto. Dari Mojokerto, terbelah dua sungai yaitu Kali Mas ke arah Surabaya, dan Kali Porong mengarah ke Porong.
                Sungguh! Perjalanan panjang sungai itu identik perjalanan panjangnya seni rupa Jawa Timur, dan bila mau mengingat nama-nama pelukis Jawa Timur yang cukup dikenal di dunia seni rupa kita; sekedar menyebut nama yang saya ingat: OH Soepono, S. Toyo, Daryono, Amang Rahman, Tedja Suminar, M. Roeslan, Liem Keng, Rudi Isbandi, Khrisna Mustadjab, Wiwiek Hidajat, Koempoel, Nurzulis Koto, M. Thalib Prasodjo, Cak Kandar, Asri Nugroho, Dwidjo Sukatmo, Ivan Hariyanto, Agus Koecink, dan banyak nama-nama lainnya. Ada juga nama pelukis nenek gaek yang cukup fenomenal asal Gresik, bernama Masmoendari yang terkenal dengan lukisan naifnya damar kurung. Namanya cukup melejit, setelah beliau pameran di berbagai hotel berbintang di Surabaya.
Lantas belakangan ada nama-nama pelukis lain yang cukup diperhitungkan di kancah Nasional; sebut saja mana: Kubu Sarawan (Batu), Joni Ramlan (Mojokerto), Supar Pakis (almarhum, Surabaya), Mas Dibyo (Tuban), dan beberapa nama lainnya.
Seni rupa Jawa Timur, memang cukup panjang jalannya. Beberapa pameran lukisan memang banyak dilakukan, baik di galeri-galeri, hotel, kantor bank, dan juga kantor-kantor pemerintahan. Se-dangkan bila bicara soal galeri senirupa di Surabaya tidak banyak jumlahnya, sebut saja: Galeri Seni Surabaya (DKS), Orasis Art Gallery, House of Sampurno, Gedung Merah Putih – Balai Pemuda Surabaya, dan baru saja dibuka Galeri Prabangkara di Taman Budaya Jawa Timur.




Barangkali terlalu sedikit galeri seni rupa di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia yang punya banyak pelukis-pelukis handal di kancah Nasional ini. Tidak heran, jika kemudian Kelompok Nggagas Yogya, memilih pameran di Galeri Raos – Kota Batu ini. Sebab kota Batu memang punya masyarakat yang cukup apresiasitif terhadap seni lukis. Atau ini memang seperti dikatakan Rudi Isbandi (Surabaya: 1985) bahwa ‘Seniman perlu memiliki kemandirian dalam memandang kehidupan, dan lingkungannya; agar karya-karyanya tidak sekedar objek hiasan untuk mempercantik ruangan, tetapi mampu menjadi subjek yang memperkaya jiwa manusia menjadi lebih arif.” Dan mereka bersembilan sepakat mandiri untuk berpameran di sini, di Galeri Raos - Batu ini.
Wallahu alam bisawab!

Pelukis yang Menulis

                Seperti telah saya tulis di muka, bahwa beberapa pelukis Jawa Timur, memang banyak yang melejit di kancah Nasional; tapi tidak banyak pelukis yang mau menulis. Padahal, di era globalisasi ini peran tulisan sangat penting bagi pelukis guna menginformasikan seberapa apik dan baiknya lukisan seseorang pelukis. Lukisan sendiri atau lukisan teman kelompoknya.
                Bila saja mau mencatatnya, barangkali angkanya tidak melebihi dari lima jari kita. Kita coba teliti, pelukis yang mau menulis di Jawa Timur angkatan tua itu, seingat saya  hanya Rudi Isbandi dengan buku yang bertajuk ‘Percakapan dengan Rudi Isbandi” (CV Fajar Harapan, Surabaya: 1985) dan satu lagi buku lupa judulnya. Belakangan ada Djoeli Djatipambudi (pelukis, kurator, dosen di Unesa), dan Agus Koecink (pelukis, dosen STKW). Dua pelukis muda ini intens menulis tentang seni rupa , baik koran maupun jurnal seni rupa.
       Bagi saya, menulis memang perlu dilakukan oleh pelukis, mengapa tidak? Selain bisa jadi kritikus seni rupa, juga bisa jadi menulis sejarah kepenulisannya sendiri. Setidaknya bisa mencatat sejarah seni rupa kelompoknya, dan/atau senirupa di kotanya; bahkan mungkin sejarah seni rupa Indonesia. Nah... sekarang pelukis ditantang untuk bisa menulis. Kapan? Sejak sekarang!

Memagut Mimpi-2

                Sejak awal saya punya asumsi, jika ada pameran lukisan ‘Memagut Mimpi-2’ berarti sebelumnya ada ‘Memagut Mimpi-1.’  Itu pasti! Nah.... dari pameran ‘Memagut Mimpi-2’ ini saya merasakan adanya ketidakpercayaan para pelukisnya akan pameran terdahulu ‘Memagut Mimpi-1’ itu; maka mengulangnya kembali dengan tajuk sama, hanya saja diberi label 2.  Benarkah? Tanyakan pada mereka bersembilan.
                Terlepas dari persoalan benar-tidaknya asumsi saya di atas, yang harus diapresiasi adalah kesembilan pelukis yang tergabung dalam ‘Kelompok Nggagas Yogya’ ini, mereka mau berpameran lukisannya di kota Batu. Memberikan suguhan pameran lukisan yang sangat berbeda dengan lukisan-lukisan yang mungkin digarap oleh para pelukis Jawa Timur. Lebih lagi, jika mereka bersembilan (M. Yusuf Arsyad, Rudatin Runtik, TJ Yoewono, Heri Suyanto, Teguh S, Rokhyat, Wahyu Teres, Kokom Komariah, dan Sanja Parwanto) adalah para pelukis (yang hampir semuanya) merupakan alumni perguruan tinggi seni di Yogya. Sungguh, sebuah apresiasi yang patut diacungi jempol bagi semua pelukisnya.

                Sebagai seniman barangkali kita memang tidak harus hanyut ikut heboh dengan berita-berita seperti: Setya Novanto dan Nikita Mirzani di Jakarta itu. Tapi bagaimanakah kita bisa merenung, dan kemudian berkarya membuat lukisan yang spektakuler sekaliber berita itu.
                Tentang pameran ini, pilihan mereka, seorang penyair, untuk membuka pameran lukisannya kali ini, tidaklah salah. Sebab penyair layaknya juga pelukis. Dua kreator ini memang sangat berdekatan. Kedekatannya, adalah sama-sama berkarya dengan kejujuran. Hanya saja, pelukis dengan kanvas, garis, dan warna; sedang penyair dengan kertas dan kata-kata. Kerja seni, apalagi lukisan dan puisi; memang butuh kejujuran hati. Sebab kejujuran bagi saya adalah mata uang yang berlaku di mana saja.
                Apalah arti lukisan bagus, tapi dari hasil garapan lukisan palsu/dipalsukan. Apalah arti puisi bagus, ketika tulisannya hasil dari plagiator penyair lain. Sungguh, haram hukumnya!


                Malam ini, sejarah seni rupa Jawa Timur mencatat, bahwa ada sembilan pelukis Yogya berpameran lukisan di Galeri Raos, Jalan PB Soedirman – Kota Batu. Mereka telah menorehkan cat pada kanvas, memberi warna, memberi sugesti agar kita para penikmatnya untuk mengapresiasi. Tentunya, ucapan terima kasih tak terhingga jumlahnya buat mereka bersembilan. Begitu juga kuratornya Ahmad Budi Santoso, yang telah memilah dan memilih yang terbaik guna dipamerkan!
Harapan yang harus dipompakan adalah bagaimana lukisan-lukisan mereka cukup memberi stimulan bagi penikmatnya. Harapan lain, bagaimana pula mereka pelukis (yang berpameran dan tidak pameran), sudi menulis seni rupa guna perkembangan seni rupa itu sendiri . Semoga pula para pelukis yang berpameran ini akan mengikuti pelukis-pelukis muda terdahulu, yang telah melambung seperti: Kubu Sarawan dan Joni Ramlan. Tentunya, tetap dengan kejujuran dalam berkarya! Semoga!
                Selamat berpameran “Memagut Mimpi-2.” Semoga pagutan impian yang dibawa dari Yogya itu, benar-benar tergapai di tangan mereka! Amin! Salam budaya!


                Desaku Canggu, 17 Desember 2015




* Untuk pembukaan pameran lukisan ‘Memagut Mimpi-2’ Kelompok Nggagas Yogya, Galeri Raos – Batu, 19 Desember 2015
** Presiden Penyair Jawa Timur

Catatan: Pameran lukisan ini dibuka oleh presiden penyair Jatim, Aming Aminoedhin. Di samping membaca tulisan di atas juga membaca puisi bertajuk 'Memang Benarlah Malang' dan "Catatan Pecundang-2" Seusai sambutan dua-tiga patah kata dan membuka pameran, Aming dapat tali asih berupa lukisan bergambar dirinya dari Kelompak Nggagas Yogya. Foto di atas Heri Suyanto menyampaikan lukisannya. Salam!

Kamis, 06 Agustus 2015

PPSJS TAMPIL DI TEMBI RUMAH BUDAYA - YOGYA


GEGURITAN CAMPUR LUDRUK
JADILAH TONTONAN PENUH TAWA
Oleh: Ons Untoro

Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.
Sebuah pertunjukan yang menarik ditampilkan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, Jumat malam 31 Juli 2015, yakni pembacaan geguritan yang dikemas dalam bentuk ludruk Jawa Timuran, yang dipentaskan oleh para penggurit dari Surabaya. Pertunjukan ini memadukan pembacaan geguritan dan ludruk.
Para penggurit dari Surabaya itu Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Giryadi dan Suharmono. Aming dan Widodo Basuki memukul gendang dan Giryadi memainkan wayang. Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.
“Kita memang sengaja mencoba tampil beda tanpa melepaskan khas surabayaan, meskipun geguritan ditulis dengan bahasa Jawa yang halus,” ujar Aming Aminoedhin.
Para pembaca geguritan dari Surabaya dalam gaya ludrukan ini memang kocak dan sadar akan panggung, sehingga dalam membaca bisa merespon gejala yang dirasakannya, seperti apa yang dilakukan Giryadi. Ketika dia sedang membaca geguritan ada seorang anak yang tiba-tiba menangis.
‘Kosik ta, aja nangis aku tak maca dhisik (Nanti dulu, jangan menangis aku membaca dulu),” kata Giryadi.
Tentu saja penonton tergelak, dan Giryadi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa, kembali melanjutkan membaca geguritan, yang terkumpul dalam antologi geguritan ‘Gurit Bandha Donya.’
Sambil memainkan wayang, Giryadi, Widodo Basuki dan Aming Aminoedhin, saling meledek. Melalui tokoh Gareng, Giryadi yang memainkan wayang itu bisa meledek siapa saja, sehingga suasana segar dan tawa tak bisa dihilangkan.
Pertunjukan sastra, dalam konteks ini membaca geguritan, memang perlu menghidupkan suasana, agar tidak kaku dan tegang sehingga membuat penonton cepat bosan. Tetapi ludrukan geguritan dari penggurit Surabaya ini membuat penonton tidak cepat bosan, dan seolah pertunjukan seperti cepat selesai.
Para penggurit dari Surabaya ini tergabung dalam satu komunitas yang mereka namakan PPSJS kependekan dari Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, yang sudah berumur 38 tahun. Satu umur yang termasuk tidak muda untuk sebuah komunitas sastra Jawa.
“Malam ini, tepat 31 Juli 2015 saat acara Sastra Bulan Purnama diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya, usia PPSJS genap berumur 38 tahun,” kata Suharmono, ketua PPSJS mengawali pengantar sebelum membaca geguritan karyanya.
Apa yang kita lakukan dengan ludruk geguritan ini, demikian Suharmono mengatakan, merupakan satu aktvitas yang kita sebut sebagai ngamen geguritan atau ngamen sastra. Kita sudah melakukan ngamen seperti ini di beberapa kota di Jawa dan malam ini kita ngamen di Tembi Rumah Budaya.
Sambil ludrukan dan memukul gendang, para penggurit saling bergantian membaca geguritan. Widodo Basuki, yang mengenakan pakaian serba hitam, membacakan geguritan karyanya sambil tidak melupakan banyolan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aming Aminoedhin dan penggurut lainnya.
Ludruk geguritan jelas merupakan terobosan dari pertunjukan sastra. Ons Untoro – Foto-foto: Barata


Senin, 06 Juli 2015

aming aminoedhin - surabaya ajari aku tentang benar

NASKAH-NASKAH TEATER DIAT

NASKAH LAKON DIAT ITU HINGAR-BINGAR DAN LIAR
Oleh: Aming Aminoedhin
*

            Suatu hari di akhir tahun lalu, Desember 2014,  Akhudiat, menelpon saya untuk mengambil buku baru bertajuk “Antologi 5 Lakon Akhudiat” di rumahnya, di bilangan tengah kota Surabaya. Lewat telepon selular itu pula saya jawab, akan mengambilnya jika saya (yang berumah di Mojokerto) kebetulan pas ke kota Surabaya. Buku itu, memuat lima naskah lakon yang kesemuanya pernah memenangkan sayembara penulisan naskah lakon oleh Dewan Kesenian Jakarta. Masing-masing:  Grafito (naskah lakon, 1972),  Jaka Tarub (naskah lakon, 1974),  Rumah Tak Beratap (naskah lakon, 1974), Bui (naskah lakon, 1975), RE (naskah lakon eksperimen,  1977).
            Ketika suatu hari saya bisa sampai rumahnya, Diat, sedang menata-nata bukunya yang seabreg jumlahnya itu. Ada yang berbahasa Jawa, Indonesia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Kebanyakan buku sastra, baik puisi, prosa, dan naskah drama. Memang, ia baru saja pindah rumah baru di Gayungan Grand Residence itu. Setelah duduk dan mengambilkan buku yang dijanjikan, lantas ia bercerita tentang lima naskah lakonnya tersebut. Katanya, mengapa ia menulis lakon dengan gaya yang berbe-da dengan yang lain, karena saya merasa, selama ini naskah lakon selalu berdasarkan pang-gung presinium. Panggungnya seperti sandiwara dan tonil, persisnya seperti Srimulat, katanya. Lebih jauh, Diat bercerita bahwa lima naskah lakonnya ini, juga telah mengantarkan seseorang jadi doktor sastra di Universitas Indonesia, Jakarta. Orangnya bernama, M. Yoesoef, yang dalam penelitiannya (Juli, 2013) menyimpulkan bahwa, “Secara umum karya-karya Akhudiat itu memperlihatkan sebuah kolase dari keragaman bahasa, masyarakat, dan permasalahan sosial, budaya, dan politik yang dihadapi masyarakat pada tahun 1970-an. Diat merefleksikan kehingar-bingaran itu melalui interaksi orang-orang yang dipotretnya menjadi tokoh-tokoh di dalam kelima karyanya. Kelima karya Akhudiat tersebut menunjukkan adanya model baru pada penulisan sastra drama di era tahun 1970-an, terutama melalui ajang sayembara.”
Berangkat dari hal lima naskahnya yang telah diteliti mahasiswa S-2 itu pulalah, yang kemudian mendorong untuk kembali mencetak kelima naskahnya tersebut jadi satu buku. Dan terbitlah buku itu pada Desember 2014, bertajuk “ Antologi 5 Naskah Lakon Akhudiat” diterbitkan Pagan Press, Lamongan. Ironis memang, nama tokoh sebesar Akhudiat, yang domisilinya Surabaya, bukunya diterbitkan oleh percetakan di Lamongan.

Naskah Diat, Liar, Nakal dan Aktual
Membaca naskah-naskah lakon Diat, terasa kita akan mendapatkan sesuatu yang liar. Mengapa liar? Seperti dikatakan M. Yoesoef, bahasa yang digunakannya bermacam varian: Jawa, Indonesia, Inggris, terkadang Perancis, dan Belanda. Hal ini, adalah wajar, sebab Diat pernah mengikuti  International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975. Wawasan dan pengalamannya luas, seluas Rogojampi dan New York. Dialog-dialog tokohnya bisa berbahasa Jawa, Inggris, dan Perancis. Bahkan  tokohnya,  bisa  orang kebanyakan semacam: ledek, tukang koran, pelacur, hansip, tukang becak, penjudi, wartawan, hingga sang juragan.


Jika bicara nakalnya, Diat sangat nakal dalam menulis naskah lakonnya dengan memasukkan unsur guyonan yang terkadang terasa cabul, tapi tak terasa apa-apa bagi penikmat/pembacanya. Sebab secara enak, dialognya para tokoh begitu mengalir dan cair. Seperti misalnya pada dialog lakon ‘Rumah Tak Beratap’ antara Andre (mahasiswa) dan Yu (ledek) berikut ini: YU: Dingin ya.. Mas? ANDRE: Mengangguk. YU: Mas nggak dingin? ANDRE: Hm-Heemm! YU: Mas dingin, aku kompornya! ANDRE: Hahhh? YU: Tapi bukan kompos gas, Mas. Elpiji. Saya sih L.X. (hal. 136).
Dalam naskah-naskah lakon Diat memang hampir semua menyuarakan masalah sosial yang ada di negeri ini. Terasa aktual pada zamannya, dan bahkan terkadang menyindir penikmat/pembacanya. Simak suara koor pada lakon ‘Grafito’ berikut ini: Kyai, kami memang punya rumah/Tetapi ayah ibu tak pernah sempat singgah/Cuma jongos babu yang ramah-tamah/Karena uang kami melimpah-ruah/Lalu ke mana harus pulang?/Selain begadang di jalan-jalan. (hal. 36).
Keaktualan lakon pada zamannya, juga terlihat pada lakon ‘Rumah Tak Beratap’ yang dalam dialog lakonnya bicarakan soal kode buntut. Di mana pada tahun itu (1974-an), sangatlah digemari masyarakat kebanyakan. Begitu pula, pada lakon ‘Jaka Tarub’ yang zaman itu sedang ramai baju long-dress dan tas ransel: tokohnya Jaka Tarub, berpakaian ala anak muda zaman itu, bawa tas cangklong ransel bagi pelancong. Sementara Nawang Wulan, berpakaian over-all bagian atas back-less.

Masih bicara naskah lakon Akhudiat. Saya dikenalkan naskah-naskah lakon Akhudiat, sewaktu masih kuliah (1978-an) di Fakultas Sastra – Sebelas Maret – Surakarta. Ketika itu, dosen mata kuliah teater modern, adalah Drs. Soediro Satoto, kini telah bergelar profesor doktor itu. Kata beliau, Akhudiat-lah yang pertama-tama membuat naskah lakon dengan mengusung lima adegan di satu panggung. Naskahnya adalah “RE.” Sungguh, suatu yang luar biasa hebat, tambah Soediro Satoto waktu itu. Ini, satu-satunya naskah lakon yang belum pernah ada di Indonesia, tiada tanding tiada banding, tandasnya meyakinkan! Imajinasinya melompat-lompat. Panggung diisi oleh lima tampilan adegan yang berdiri sendiri-sendiri. Hingar-bingar dan liar! Fantastis!

Diat dan Penggiat Teater Modern
Akhudiat, yang biasa dipanggil dengan Diat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, 5 Mei 1946.  Jadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, dan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Terakhir, naskah lakon terbarunya ‘Skolah Skandal’ dimainpentaskan ‘Sanggar Merah Putih’ Surabaya, November 2011. Menyedot penonton teater begitu banyak, lantaran lama Diat memang tak menggarap lakonnya.
Bagi penggiat teater modern Indonesia saat ini, adalah kurang lengkap, jika tak membaca buku naskah lakon ini. Ada naskah lakon yang hingar-bingar dan liar, serta luar biasa. Itu semua tulisannya Diat! Selamat membaca!

Desaku Canggu, 17/6/2015





* penyair, dan ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), tinggal di Mojokerto.

LENGGANG-LENGGOK BADAI LAUTKU - LEO KRISTI (Original Song)

Leo Kristi "KERETA LAJU" PSLI 2014

Leo Kristi "DI DERETAN REL REL" PSLI 2014

Leo Kristi "SALUS AEGROTI SUPREMA LEX" PSLI 2014

Jumat, 05 Juni 2015

HASIL LOMBA BACA DAN MUSIKALISASI PUISI - PSP - 2015

HASIL LOMBA BACA DAN MUSIKALISASI PUISI
PEKAN SENI PELAJAR (PSP) PROVINSI JAWA TIMUR
BANYUWANGI, 1-3 JUNI 2015

Tingkat Sekolah Dasar (SD)
Peserta Lomba Baca Puisi Putri:
Juara I:
1.       Kota Mojokerto
2.      Kabupaten Bangkalan
3.      Kota Surabaya
Harapan-1: Kabupaten Banyuwangi
Harapan-2: Kabupaten Lamongan
Harapan-3: Kabupaten Pamekasan

Peserta Lomba Baca Puisi Putra:
Juara I:
1.       Kabupaten Mojokerto
2.      Kabupaten Pasuruan
3.      Kabupaten Nganjuk
Harapan-1: Kota Probolinggo
Harapan-2: Kabupaten Banyuwangi
Harapan-3: Kabupaten Situbondo

Tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Peserta Lomba Baca Puisi Putri:
Juara I:
1.       Kota Batu
2.      Kota Malang
3.      Kabupaten Probolinggo
Harapan-1: Kabupaten Pasuruan
Harapan-2: Kabupaten Trenggalek
Harapan-3: Kabupaten Sampang

Peserta Lomba Baca Puisi Putra:
Juara I:
1.       Kota Madiun
2.      Kabupaten Pamekasan
3.      Kabupaten Situbondo
Harapan-1: Kabupaten Pasuruan
Harapan-2: Kabupaten Jombang
Harapan-3: Kota Surabaya


Tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK)
Lomba Musikalisasi Puisi
1.       Kabupaten Tuban
2.      Kabupaten Tulungagung
3.      Kabupaten Gresik
Harapan-1: Kabupaten Sumenep
Harapan-2: Kabupaten Pamekasan
Harapan-3: Kabupaten Trenggalek


Selamat buat para juara, semoga semakin giat berlatih dan berproses dalam seni baca dan musikalisasi puisi. Dan bagi yang belum juara, semoga kian semakin giat berlatih dan berproses dalam seni baca dan musikalisasi puisi.  Esok kan masih ada waktu, untuk tampil jadi juara! Salam sastra! (aming aminoedhin)

Minggu, 12 April 2015

NASKAH PUISI 'PEKAN SENI PELAJAR JATIM' 2015



NASKAH PUISI-PUISI  PEKAN  SENI  PELAJAR
PROVINSI  JAWA  TIMUR
KOTA BANYUWANGI
2015
___________________________________________________________

A.  PUISI-PUISI TINGKAT SEKOLAH DASAR (SD/MI)

(1-SD/MI)

Herry Lamongan
VAS BUNGA MEJA KAMARKU


Empat lima kuntum kembang
Pada vas bunga meja kamarku
Kuganti setiap kali layu
Kuganti dengan yang segar wangi

Semacam pencerahan aroma
Pencerahan pandang mata
Pencerahan pada jiwa
Maka tak pernah aku kesepian

Segar puspa
Pada vas bungaku
Selalu cerah
Tak habis-habis ia tersenyum
Menyapaku tanpa kata-kata
Mengawaniku belajar
Tanpa lelah

Lewat rongga jendela depan meja
Empat lima kuntum kembang
mandi cahaya.

2009

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  75)




(2 -SD/MI)

Aming Aminoedhin
KUPU-KUPU WARNA BIRU

kupu-kupu warna biru itu
masuk rumahku. rasa ingin menangkap
tak diperbolehkan ibu. sebab
jika kupu-kupu itu ditangkap
sayapnya bisa patah, padahal
kupu-kupu mau istirah

kupu-kupu warna biru itu
semakin menggodaku, terbang
hinggap di plafon, lalu terbang lagi
di lampion lampu ruang tamu

warna birunya, indah di mata
biru muda berpadu warna ungu
lalu bergaris tipis merah menyala
warna-warna kesukaanku

kupu-kupu warna biru itu
kini kubiarkan hinggap
di jendela kamarku, kutatap
lama-lama tanpa rasa jemu

selepas makan malam
kupu-kupu itu masih di situ
aku tak mau menangkap kupu-kupu biru
biarkan ia istirah, dan tidur
di jendela kamarku
menghias indah, jadi teman
belajarku malam ini

Mojokerto, 3/4/2013

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  5)


(3-SD/MI)

Tengsoe Tjahjono
SAJAK UNTUK PAMAN


Ketika paman datang
Betapa hatiku senang
Dengan gitar dia pun berdendang

Ini nyanyian tentang bunga
Sambil duduk berdua di taman penuh warna

Ini nyanyian tentang ikan
Sambil duduk berdua di pinggir kolam penuh kecipak

Ini nyanyian tentang burung
Sambil duduk berdua menatap ranting pohonan

Ini nyanyian tentang pelangi
Sambil memandang jendela sehabis reda hujan

Kini paman sudah pulang
Saatnya sekolah tiba
Sambil tetap kurindukan
Petikan gitarnya


Rungkut  Surabaya, 11 Mei 2013


(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  51)
 

(4-SD/MI)


R. Giryadi
SEKERANJANG BUAH

sekeranjang buah ini kau kirim padaku
warnanya merah jambu, kau petik dari pohon
yang rimbun sepanjang tahun

sekeranjang buah ini, adalah rindumu padaku
meski tak terucap olehmu, ranum buahnya
sesegar hatimu yang tak berhenti berdoa

bila kukenang wajahmu, ibu
kukecup penuh degup
kukunyah hati gundah

sekeranjang buah ini, ibu
doa-doamu yang kau petik
dari pohon
tubuhmu
sendiri

Surabaya, 2013


(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  139)


(5-SD/MI)

Tjahjono Widarmanto
DINI HARI YANG CERAH

siul burung bangunkan lelapku
di balik jendela kamarku
matahari tersenyum
daun diayun angin
sejuk membelai
begitu menyerap dalam kalbu
membelai putik-putik di taman
yang segera mekar jadi bunga menawan
rumput-rumput mengulum senyum
menyapa senandung pagi yang cerah

bergegas kubuka jendela
lantas menikmati segarnya
air pagi hari
segera melangkahkan kaki
menuntut ilmu merenda masa depan


2012

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  102)

 

(6-SD/MI)

Aming Aminoedhin
SUKA LATIHAN PRAMUKA

setiap Sabtu selepas pelajaran berakhir
aku selalu bersama kawanku latihan Pramuka
di halaman sekolah, berbaris dan menulis
atau belajar tali-temali dirikan tenda
secara bersama

terkadang diajak berjalan-jalan
menjelajah kampung sama Pembina, sambil
bernyanyi dendangkan lagu semangat
tanpa kenal rasa putus asa
bawa juga buku dan tongkat
untuk mencatat segala yang terlihat
sedang tongkat untuk meloncat
jika melewati parit-parit
yang menghambat

setiap Sabtu, aku suka latihan Pramuka
hingga aku suka bermimpi
Sabtu telah tiba, padahal
hari ini masih Senin pagi, dan aku
harus ikut upacara bendera
ikut kelompok paduan suara
menyanyikan Indonesia Raya


Desaku Canggu, 2/4/2013


(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  19)



B.  PUISI-PUISI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP/MTs.)

(1-SMP/MTs)

R Giryadi
SAJADAH
·        Kepada Ibuku


Ibu,
Petualangan ini sudah begitu jauh. Asam garam tak lenak kucecap,
meski lidah melepuh lepuh. Dalam laut ini, aku seperti ikan :
bertahan dalam keruh

Gelombang tak surut hantam para pelabuh yang melempar sauh
pada subuh ini. dan dermaga ini tetaplah angkuh dan kukuh.
Hanya doamu obat paling ampuh

Ibu,
Sungguh ini perjalanan yang teramat jauh. Sementara aku teringat
si malin yang membatu bersujud pada sabdamu
sabda yang pernah kau ucapkan padaku, tentang anak durhaka

Tetapi ini aku anakmu, Ibu. Bukan si Malin. Aku bukan batu yang
bersujud karena sabdamu. Aku bersujud pada sajadah ini sebelum
subuh, sebelum air matamu menetes dan cakrawala merona
merah

Ibu,
Pada sajadah ini, doamu jadi prasasti dan aku pasti kembali.


Sidoarjo, 2012

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  133)



(2-SMP/MTs)


Herry Lamongan
BENDERA DI ATAS MAKAM

Makam siapa menyapaku lewat bendera?
Topi baja di arah kepala
Merimbun di sisi utara

Ia seorang tentara
Gugur dalam perang gerilya
Melawan penjajah

Tak seperti biasa
Bukan tinggal di makam pahlawan
Tapi di pemakaman umum ia dikebumikan

Siapa namamu?
Papan kecil itu hanya sedikit menerangkan
Tentang saat gugurmu

Aneh sekali
Mengapa tidak tertulis namamu?

Lamongan,  2012


(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  79)

 
(3-SMP/MTs)


Aming Aminoedhin
DI ANTARA BEBINTANG


Bintang-bintang malam hari ini
gemerlapan bagai gemericik air sungai
terkena lampu kota berkilauan

Di antara bebintang bersinaran
kulihat ada lampu pesawat
berjalan lambat, berkerjap-kejap
melenggang indah menawan

Barangkali pilot pesawat itu lelah
hingga pesawat berjalan seperti lebah
atau mungkin mataku telah lelah
hingga tak melihat pesawat itu melesat
begitu cepat, tapi terlihat lambat
oleh mataku yang ngantuk
hingga kepalaku terantuk-antuk

Mungkin juga lantaran langit maha luas
seperti tanpa batas, hingga pesawat itu
jadi kecil dan lambat berjalan

Di antara bebintang, pesawat, dan langit
maha luas itu, aku merasakan betapa
Maha Besarnya Tuhan kita. Bebintang
yang berkejapan itu seperti tanda
setuju, atas pikiranku

Siwalanpanji, 3/4/2013


(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  24)




(4-SMP/MTs)

Tengsoe Tjahjono
MEMANDANG IKAN DI AKUARIUM

Memandang akuarium
Memandang ikan-ikan
Kapan mereka tidur
Matanya tak pernah terpejam

Andaikan aku tidak bisa tidur
Betapa capeknya
Tenagaku habis untuk berjaga
Badan pun lesu, pikiran jadi tak bermutu

Andaikan mata tak terpejam
Betapa sengsaranya aku
Tak bisa bermimpi
Terbang di antara awan-awan

Aku tak ingin jadi ikan
Sebab aku ingin bisa tidur
Setelah suntuk bekerja dan belajar
Demi masa depan

  Rungkut Surabaya, 11 Mei 2013

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  53)


(5-SMP/MTs)


Tjahjono Widarmanto
DI PINGGIR TELAGA SARANGAN

 dingin menusuk urat dan tulang
angin melambai-lambai
berdiri di telaga ini
seperti menatap lorong dunia
air yang memantulkan pesona bulan
terbitkan rasa damai yang nyaman
pesona telaga
seperti gadis yang manja
mengabarkan rindu

berdiri di pinggir telaga sarangan
menatap sepotong keindahan
yang tersebar di pelosok negeriku

ini baru pesona kecil
sedang Indonesia penuh
ribuan ragam pesona

2012

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  107)


 
(6-SMP/MTs)

R Giryadi
SEPASANG SEPATU

sepasang sepatu hadiah dari bapakku
teronggok di sudut kamar. aku teringat,
mengapa sepatu itu ada di sana
ada kisah yang tak pernah aku lupa meski
bapak tiada

sepasang sepatu meski terlihat tua
aku tetap menjaganya. ia hadiah bapak
ketika aku sudah mulai mengerti arti
dewasa

sepasang sepatu-kata bapak- seperti
kekasih yang tak lepas bergandengan
tangan, meski hatinya gundah gulana, ia
tetaplah bersama

bila ia pergi, pergilah bersama. bila ia
terluka terlukalah berdua: sepasang
sepatu adalah wajah kesetiaan

kini sepatuku suda tua. teronggok di sudut
kamar. aku menjaganya. menjaga pesan
bapak tentang arti kesetiaan

  Buat sepatuku yang sudah tua, 2013

(diambil dari buku “Selendang Untuk Bunda” kumpulan sajak anak, terbitan Sanggar Kalimas Surabaya, Cetakan I – Juni 2013: halaman  138)




C. PUISI-PUISI TINGKAT SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA/SMK/MA)
UNTUK DIGARAP-PENTASKAN MUSIKALISASI-PUISI

(1-SMA/SMK/MA)



R. Giryadi
DI BERANDA

di beranda
pada senja ini aku beristirah
menikmati rona jingga dan lembayung
melihat burung burung melintas
: entah di mana ia beristirah
pada rumah atau pada senja yang tak lagi ramah

di beranda
seperti roti yang keras dikunyah
atau seperti secangkir teh sepah
tanpa gula dan doa-doa
: hidup seperti lintasan pagi dan siang
berperang mengejar malam

di beranda
kita bisa melukis senja kapan saja
menciptakan malam, dan menduga pagi kan kembali
dengan sebatang rokok, kita sulut langit menggelap
sembari menunggu anak-anak menyanyikan
padang rembulan
di pelataran yang tinggal sepetak
tempat tubuh kita tergeletak
mendoai kubur sendiri

di beranda
kita hanya menunggu mati
meski waktu tak kan pasti

Sidoarjo, Oktober 2012
(diambil dari buku “Gresla Mamoso” kumpulan puisi, terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya, Cetakan I – April 2013: halaman  71)

(2-SMA/SMK/MA)

L. Machali
MARI BERBAGI LAGI

Jangan kau kunyah kue dari dapur ibu ini
Karena yang lezat ada dibalik kepulan putih
Yang menawarkan lapar orang-orang di sekitarmu
Dalam gemetar tubuh yang sesaat telah membiru

Kau yang terlampau bernafsu melumat selera
Hingga sungai-sungai mengalirkan pasir kelabu
Dari magma yang mendidih bersama ambisi itu
Telah lunas kubayar sampai batas perjanjianmu

Mari kita berbagi lagi, bayang-bayang berterbangan
Batu-batu hitam semakin ringan. Batu-batu di kepala
Di dada, di kandang, di villa, di masjid, dan gereja
Kita sudah sama semakin dekat rambu-rambu ungu, jingga

Rambu lagi-lagi bergerak dalam jumlah tak terbilang
Serupa air dan api dalam bejana waktu tak terhitung
Segalanya yang ada segera saja segalanya sirna
Demikian pula kenangan siang dan malam sebagai tanda

Inilah makna, setiap puisi datang selalu mengguncang
Darat dan laut, hutan dan kota, rumus dan sabda
Udara yang melesat jauh meninggalkan suara atau
Sabda tentang keheningan yang kau bilang kekosongan

Gresik, 2010

(diambil dari buku “Gresla Mamoso” kumpulan puisi, terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya, Cetakan I – April 2013: halaman 86-87)


(3-SMA/SMK/MA)


Aming Aminoedhin
PUISI MANUSIA PURBA

masih teringat manusia purba itu
sosoknya besar, perangai kasar
berjalan tegak, suara menggelegar
di tangannya menggenggam kapak batu

masih teringat manusia purba itu
sosoknya besar, perangai kasar
berjalan tegak, suara menggelegar
susuri lembah dan kali
dari Sangiran hingga Trinil

kulipat waktu
kulipat masa lalu
kubayangkan manusia purba
taklagi bawa kapak batu
di tangan menggenggam hp nokia terbaru
menelepon sang Adam, di belahan
dunia lain, yang berjuta-juta mil jauhnya
dari pinggir kali dekat Sangiran dan Trinil
suaranya lembut, tapi bernada terkejut
“ Hai Adam, aku
telah bisa buat puisi!”

Mojokerto, 4 Oktober 2012


(diambil dari buku “Puisi Indonesia ‘87” kumpulan puisi, terbitan Teras Budaya Jakarta, Cetakan I – November 2014: halaman 17)
 
(4-SMA/SMK/MA)


Tengsoe Tjahjono
SUARA JAUH

tak dalam hening, angin rambatkan kata-kata
dari tempat jauh, mungkin lembah, mungkin puncak bukit
irama nocturno mawar

tak dalam hening, pipit putih mengerjapkan mata
memilin awan jadi jendela, menemukan telaga
ketika dahaga

tak dalam hening, gerimis mengusung lirik untuk sonnet
bagi hari kemarin
yang debu

menyanyilah, katamu, tapi cuma siul
yang melenggang dari bibir
dalam nada perdu

tak dalam hening, notasi-notasi itu terus mengalir
jadilah sungai
untuk muara jauh

tak dalam hening, kusiapkan telinga
juga cakrawala
untuk pesanmu


21/06/09-10:07

(diambil dari buku “Gresla Mamoso” kumpulan puisi, terbitan Forum Sastra Bersama Surabaya, Cetakan I – April 2013: halaman 13)


(5-SMA/SMK/MA)

Ahmadun Yosi Herfanda
PERAHU NUH

ini bukan perahu kertas, karena bukan
perahu Sapardi. tapi ini perahu Nuh
yang dirangkai dari kayu-kayu takdir
dengan layar anyaman nasib
yang dinukilkan hujan dan badai

naiklah, bersama Yafith, Syam dan Ham*
untuk menggapai puncak tertinggi Agri*
sebab hujan akan membadai
dan banjir akan menjadi bah
yang tak mudah ditaklukkan
oleh keperkasaan tangan Kan'an*
dan kesombongan hati Bani Rasib*

ini bukan perahu kertas, tapi perahu Nuh
dibangun dari batang-batang pohon tua
dari hutan-hutan takdirnya. naik saja
sudah ada sepasang domba dan sapi
sudah ada sepasang gajah dan keledai
segala binatang diselamatkan berpasangan
untuk dapat melanjutkan kehidupan

jika kau belum menemukan pasangan
naik saja. jangan ragu. pasanganmu
telah menunggu di dalam perahu

Jakarta, September 2013

Catatan:
· Agri adalah nama gunung di wilayah Turki, tempat ditemukannya sisa-sisa perahu
  Nabi Nuh, yang juga dikenal sebagai bukit Arafat.
·Yafith, Syam, dan Ham, adalah anak-anak Nabi Nuh yang ikut naik ke perahu Nuh
  dan selamat.
·Kan'an adalah anak Nabi Nuh yang membangkang, tidak mau naik  perahu Nuh, dan
  tewas dalam banjir besar itu.

(diambil dari buku “Puisi Indonesia ‘87” kumpulan puisi, terbitan Teras Budaya Jakarta, Cetakan I – November 2014: halaman 6)


(6-SMA/SMK/MA)


Remmy Novaris DM
BERBICARA

untuk apa kau berbicara tentang daun
jika kau tak mendengar bisikan angin di situ
untuk apa kau berbicara tentang air
jika kau tak dapat membuatnya mengalir
untuk apa kau berbicara tentang api
jika hanya dapat membakar dirimu sendiri

untuk apa kau berbicara tentang puisi
jika kau tak pernah tahu maknanya
untuk apa kau berbicara yang tak kau tahu
jika kau ternyata hanya sekedar ingin tahu
untuk apa kau berbicara tentang kejujuran
jika kau ternyata selalu saja berdusta

untuk apa aku selalu berdiam
karena kau tak pernah tahu
apa sebenarnya sedang aku pikirkan
jika aku tak pernah berpikir tentang apa pun
dan kau bilang, kau tahu itu
maka aku pun beranjak meninggalkanmu

L A 2013


(diambil dari buku “Puisi Indonesia ‘87” kumpulan puisi, terbitan Teras Budaya Jakarta, Cetakan I – November 2014: halaman 204)


 

# Saat gerimis tak habis-habis
di Desaku Canggu,  27 Januari 2015