Sabtu, 13 Agustus 2022

AMBAL WARSA PPSJS #45

Rohmat Djoko Prakosa Jadi Ketua  

KABAR AMBAL WARSA  PPSJS #45 TAHUN 


Secara sederhana ambal warsa atau ulang tahun PPSJS ke-45 ini dihadiri dua belas orang yang terdiri dari: Aming Aminoedhin (Sekretaris PPSJS), Widodo Basuki (Humas -  PPSJS), Sri Trinil Setyowati  (Bendahara) dan Brojo Waskitho (Seni/Pertunjukan), Yulitin Sungkowati, (Organisasi)  Arief Sudrajat (Litbang), Nanik Wijayanti (Wakil Sekretaris),  Mashuri (Wakil Ketua), Sugeng K, Purwito (Pengurus PPSJS awal berdiri dulu), Rohmat Djoko Prakosa (Ketua - PPSJS), dan Suharmono K. (Penasehat PPSJS).

Ultah PPSJS dan sekaligus pemilihan pengurus baru PPSJS periode 2022 s.d. 2027, pada Ahad Pon 31 Juli 2022 di Rumah Ibu Yulitin Sungkowati, Sun-Safira Regency – Sidoarjo.

Pranatacara Aming Aminoedhin membuka acara dengan bismillah, lalu ada sambutan ketua PPSJS, Suharmono Kasijun yang antara mengatakan, bahwa “PPSJS itu adalah paguyuban pengarang sastra Jawa tertua di Jawa Timur. Bicara juga selintas tentang sejarah singkat PPSJS dari waktu ke waktu, dan beliau telah tiga kali periode pernah jadi ketua PPSJS ini. Untuk itu,  beliau berharap ada regenerasi baru berikutnya bagi yang muda-muda untuk tampil dan trampil mengurusi PPSJS ini.

Selanjutnya dalam rangka ulang tahun PPSJS ke-45 ini, Mashuri, didaulat memimpin doa agar PPSJS terus bisa berkiprah di kemudian hari. Serta para pengurus PPSJS tetap diberikan kesehatan, keselamatan, waras, akas, bregas, dan trengginas dalam mengurusi paguyuban ini. Diberi pula berkah rezeki yang melimpah agar PPSJS terus lestari. Sementara itu tumpeng sega kuning dan uba-rampenya sudah tersedia di depan Kyai Mashuri yang memimpin doa siang itu.

Beberapa orang yang ikut hadir dan bicara soal PPSJS, antara lain: Widodo Basuki, Sri Trinil Setyowati, Yulitin Sungkowati, Rohmat Djoko Prakosa, Aming Aminoedhin, dan Nanik Wijayanti. Secara global mereka semua siap tetap akan terus ikut membantu jalannya paguyuban ini,

Babak selanjutnya adalah dilangsungkan pemilihan Ketua PPSJS yang baru, dan mereka semua sepakat memilih Rohmat Djoko Prakosa jadi ketua baru periode 2022-2027. Sedangkan secara keseluruhan pengurus itu, adalah: Penasehat: Dr. Suharmono Kasijun, M.Pd. ; Ketua: Rohmat Djoko Prakosa Wakil Ketua: Mashuri;  Sekretaris: Aming Aminoedhin, Wakil Sekretaris: Nanik Wijayanti; Bendahara: Sri Trinil Setyowati; Humas/Publikasi: Widodo Basuki; Organisasi: Yulitin Sungkowati; IT/Medsos: Yofi Prayoga,  Bangkit Sanjaya, dan  Wahyu Panca; Litbang: Arief Sudradjat; Seni dan Pertunjukan: Brojo Waskitho.

Dalam sambutan awal terpilih sebagai Ketua PPSJS, Rohmat Djoko Prakosa, akan mencoba bekerjasama dengan antarlembaga-lembaga terkait, termasuk dibuat program PPSJS masuk sekolahan. Lantas berjanji akan ada program penerbitan buku sastra Jawa oleh PPSJS setiap tahunnya, termasuk tahun in 2022.  Akan juga dicoba membuat web ala PPSJS, karena dirasa perlu adanya sastra Jawa dikomunikasikan lewat media-sosial.

Lebih jauh, Rohmat Djoko Prakosa juga menyarankan kepengurusan kali ini memang harus dengan langgam paguyuban yang tidak harus tergesa-gesa. Agar harmonisasi bekerja dapat dilakukan dengan baik, dalam setiap langkahnya. Semoga!

Terakhir pemotongan tupeng sega kuning, oleh Ketua lawas Dr. Suharmono K yang diserahkan pada Rohmat Djoko Prakosa sebagai ketua baru. Rehat santai, dan makan-makan nasi kuning  ulang tahun PPSJS, serta ramah tamah.
        PPSJS masih terus melangkah, tetap berusaha kawan-kawan lain yang suka sastra Jawa ikut bergabung berbenah. Agar sastra Jawa tetap tumbuh-kembang di tanah leluhurnya sendiri. Jika mungkin malah tanah-tanah lain se-jagad ini. Mari bergabung bersama PPSJS, kawan! (amg)**

Selasa, 09 Agustus 2022

ENDANG KALIMASADA -TAK SEKADAR TEPUNG

 


Biografi Tepung

TAK SEKADAR ULANG TAHUN

 

Judul buku         : Biografi Tepung

     (Bunga Rampai Puisi)

Penulis                : Bagus Putu Parto, dkk.

Penerbit              : CV Delima Sidoarjo

Cetakan              : I, Oktober 2021

Tebal                  : xxii+116 halaman

ISBN                  : 978-623-96145-2-2

Peresensi            : Aming Aminoedhin

 

 

            Bukunya dikemas  hardcover warna dominan hitam yang mewah, bergambar wajah perempuan berkacamata itu, memang berisi 50 penulis sastra berbagai daerah di Indonesia. Buku dicetak dalam rangka ulang tahun ke-50-nya, Endang Kalimasada, pemilik Pabrik Roti Kalimasada Cookies di Blitar. Wajah berkacamata di cover buku itu wajahnya Endang Kalimasada yang sedang berulang tahun pada 17 Juli 2021 ini.

            Dalam mengantar buku di kolom salam, bertajuk Kado Istimewa, Bagus Putu Parto, sang suami menuliskan, ”Buku ini menjadi Kado Istimewa, ketika di tengah pandemi kami tidak bisa merayakan pesta Usia Emas Endang Kalimasada. Buku ini adalah kado yang cerdas dan berusia panjang.”

            Para penulis puisi yang ikut berbaris menuliskan kado puisi bagi Endang Kalimasada, antara lain: Agus Sighro Budiono, Alek Subairi, Aming Aminoedhin, Bambang Widyatmoko, Beni Setia, D. Zawawi Imron, Denting Kemuning, Djoko Saryono, Suharmono K,  Herry Lamongan, Heru Mugiarso, Jil Kalaran, Kusprihyanto Namma, M. Shoim Anwar, Suejo, Tengsoe Tjahjono, Sirikit Syah, Wina Bojonegoro, Syaf Anton, Tjahjono Widijanto, Wijang Wharek AM, Yusri Fajar, Widi Suharto, Hidayat Raharja, dan banyak lagi. Di samping Bagus Putu Parto, sang suami juga menuliskan puisinya Pengantin Senja. Sebagian lariknya berbunyi: Lima puluh tahun sudah usiamu//dan separo hidupmu bersamaku//Kita tak lagi bercinta di bwah lampu 5 watt, dan sekarang//Pohon rambutan yang kita tanam menjadi saksi//keabadian cinta//Asoy!

             Dalam buku ini juga termuat esai tulisan dari jurnalis yaitu Budi Palopo dan Tohir Patigeni, yang mengurai jelaskan perjalanan sosok Endang Kalimasada, di bagian akhir buku.

            Sedangkan pemberi ulasan buku adalah Dr.Sutejo, S.Sc, dosen yang berdomisili Ponorogo. Tulisannya antara lain mengatakan,”Lahirnya buku puisi ini, Biografi Tepung; Bunga Rampai Puisi sesungguhnya sebuah misi habituasi dalam nafas dan gerak kebudayaan pemilik Rumah Budaya Kalimasada: Kang Mas Bagus dan Mbak Endang. Sebuah tanda estetis sebagai upaya pribumisasi sastrawi dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Tak saja bagi orang lain, tetapi juga mimpi indah bagi anak cucu.”

            Pada bagian lain Dr. Sutejo lulusan Unesa ini, juga mengatakan bahwa,”Beragam ekspresi, pengucapan, dan pilihan diksi yang ditampilkan 50 penyair adalah serenada tembang rasa. Meskipun kadang terlihat sederhana dalam berpuisi, tetapi….dst.”

            Membaca keseluruhan puisi-puisi yang termuat, banyak ditemukan diksi: roti, tepung, kue, cookies, endang kalimasada, pohon rambutan, rumah budaya kalimasada, yang mana ini merupakan diksi yang tak jauh dari nama Endang Kalimasada yang sedang berulang tahun itu.

Semoga saja barokah dalam hidup dan kehidupan keluarganya, sebab adalah unik sekali jika ulang tahun berkado istimewa buku puisi. Hal ini, sejalan dengan gerakan literasi yang kini sedang masyarakat pembelajar Indonesia.

            Mari  kita perlu sambut gembira atas terbitan buku ini. Semoga bisa jadi buku referensi dan inspirasi orang lain, untuk juga membuat buku serupa pada saat ulang tahun. Buku Biografi Tepung ini, memang bukan sekadar ulang tahun. Selamat ultah, semoga berkah!

 

                Mojokerto, 10 Oktober2021

 

MUSAFIR ISFANHARI TOKOH MUSIK JATIM

 

MUSAFIR ISFANHARI

SANG TOKOH MUSIK JATIM

 

Siang yang panas di Surabaya, bukan berarti harus menunda untuk kembali silaturahmi. Jalanan sesak cenderung krodit, kami mengarah Banyuurip Lor tengah kota Surabaya itu, pada 25 Januari 2022 lalu.  Bersama seniman Widodo Basuki. Kami hanya ingin bertemu untuk tokoh musik nasional, Musafir Isfanhari, untuk sekadar tanya-tanya tentang musik.

Setelah bincang basa-basi tentang kabar kesehatan selama dua tahun tak bertemu, lantaran pandemi, kami lantas bertanya-tanya soal musik. Sebab beliaunya ini, adalah tokoh musik yang cukup senior di kota pahlawan Surabaya. Sebab kami berdua, sangatlah awam tentang seluk-beluk musik dengan segala variannya.  Waah…kayak virus saja, celetuk Widodo Basuki.

Berikut laporan Aming Aminoedhin dan Widodo Basuki diturunkan untuk terbitan Majalah Cak Durasim Edisi 13 – April 2022.




 





Berada di beranda rumahnya itu, pertanyaan pertama yang muncul soal musik adalah adanya nada diatonis dan pentatonis. Pak Is, demikian kami memanggil menjawab secara gamblang soal itu. Nada diatonis adalah sistem tangga nada yang dipakai di Barat yang terdiri dari tujuh nada utama: do-re-mi-fa-sol-la-si atau C-D-E-F-G-A-B. Sedangkan pentatonis yang biasa disebut sebagai tangga nada musik tradisi Jawa, ji-ro- lu-ma-nem. 

Keterangan foto: Aming Aminoedhin, Musafir Isfanhari, dan Widodo Basuki.

Mungkin para pelaku seni musik di Jawa Timur, hampir semuanya kenal nama Musafir Isfanhari, yang baru-baru ini menerbitkan buku Ngibadah Seni ini. Mengapa? Sebab Isfanhari, banyak berkiprah dalam penjurian seni musik. Baik siswa, mahasiswa, guru, ASN, dan Ibu-Ibu di tingkat Jawa Timur. Tidak hanya juri lomba nyanyi vokal tunggal, lebih khusus lomba paduan  suara. Tidak hanya di Jawa Timur, mungkin juga namanya dikenal di tingkat Nasional, sebab pernah juri Lomba Musik Seriosa Nasional, zaman TV-RI Orde Baru dulu. Usianya sudah 70 tahun lebih, tapi ngibadah seni tetap dilakukan dengan hati riang. Jadi guru seni musik di berbagai lembaga negeri maupun swasta, termasuk Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Bahkan pernah juga mengajar sebuah sekolah di pedalaman Banyuwangi, tepatnya di Kalisat sekian tahun yang lampau.

Lelaki senior, agar tidak disebut sebagai lelaki tua ini,  meski lebih 70 tahun usianya; tetap tampak energik dalam menjalani kehidupan seninya ini. Terbukti, beliau hampir di semua kota dan kabupaten di Jawa Timur, pernah beliau datangi sebagai narasumber/instruktur musik, serta jadi juri lomba musik. Baik di kota Banyuwangi hingga Ngawi, dan Bangkalan sampai Sumenep, pernah beliau jalani dengan riang hati. 

Musik Jawa Timur

           Di tanya soal musik Jawa Timur itu bagaimana, beliau menjawab, bahwa secara tokoh musik atau kelompok musik Jawa Timur, khususnya kota Surabaya cukup punya nama di kancah tingkat Nasional. Sebut saja, nama-nama: Mardjoeki, lagunya yang terkenal TST atau Tahu Sama Tahu, Markasan dengan OK Aneka Warna dengan lagu terjenalnya: Wajik Abang. Ada juga nama-nama: Gombloh, Bubi Chen,  Mudjiono, Ucok Harahap, Mus Mulyadi, Leo Kristi, Franky & Jane, Slamet Abdul Syukur, Lantas kelompok musiknya, ada: Aka Grup, The Gembels, De Hand, Lemon Trees, Konser Rakyat Leo Kristi, dan belakangan ada Dewa 19, Padi, dan banyak lagi.

            Kembali mengenang soal nama Mardjoeki, yang katanya Pak Is, adalah dirigen pertama RRI Surabaya (1950-an) itu, syair lagunya berbau kritik sosial. Sambil menyanyikannya, beliau melantunkan syairnya yang berbunyi: Saya baru mengerti/Omongan TST, tahu sama tahu //Sungguh luar biasa/Kalau dapat untung cepat jadi kaya//Tapi awas TST itu rakyat benci/Karena TST perbuatan tidak suci..dst (lagu berjudul TST- Mardjoeki). Begitu juga syai lagu kroncongnya Markasan, yang berbunyi: Dina Minggu kliweran montor jawatan/Wajik abang nempel ing kacane//Iku mau dines jawatan sing nduwe/ ..dst. (lagu Wajik Abang - Markasan).

            Sementara bicarakan soal lagu daerah Jawa Timur, lanjut lelaki yang pernah jadi juri Bintang Radio dan Televisi (BRTV) Nasional 1985 ini, dikatakan banyak lagu daerah kita yang sudah tidak terasa ‘ruh’ tradisionalnya. Ini karena pola melodinya, bentuk komposisinya, progresive chord-nya sudah persis sama  dengan komposisi musik Barat. Pengertian lagu daerah hanya tinggal pada syairnya saja. Terkadang ada terjadi kerancuan dalam pengertian lagu daerah berbahasa Jawa, yang mana ada beberapa judul lagu berbahasa Jawa di-klaim bukan milik Jawa Timur, tapi milik Jawa Tengah. Ini biasanya terjadi dalam lomba-lomba paduan atau vokal grup atau yang lainnya. Untuk itulah, saya tandasnya, selalu menyarankan agar pada technical-meeting harus dijelaskan secara rinci terlebih dulu. Atau dengan batasan yang sederhana, lagu daerah adalah lagu yang syairnya memakai bahasa daerah. Itu lebih gampang dan jelas; tandas pernah dapat penghargaan dari Presiden RI (2015) yang lalu.

Penghargaan soal musik jenis apa dan apa judulnya? Pertanyaan itu dijawab, bahwa beliau dapat penghargaan Presiden RI, karena sebagai komposer, penulis lagu, sekaligus pemain pada lagunya keroncongnya yang berjudul Keroncong KB. Diserahkan pada perayaan Hari Keluarga Nasional (Harganas) 2015 di Jakarta oleh Presiden Joko Widodo. Sungguh, sangat membanggakan sekali, dapat penghargaan dari Jokowi.


           Keterangan foto:  Slamet Abdul Syukur dan Leo Kristi.

           Ditanya soal genre musiknya Slamet Abdul Syukur dan Leo Kristi, beliau mengatakan bahwa aktivitas dan kreativitas genre musik Mas Slamet dan Leo Kristi memang merupakan beda, dan resiko terberatnya memang tidak bisa dikomersilkan. Artinya, beresiko tanpa dapat uang.  Dalam ini, seseorang memang perlu punya kegilaan mengolah musik yang inovatif dan kreatif. Seperti Mas Slamet AS dan Leo Kristi itu. Kota Surabaya memang gudangnya pemusik, ada juga yang unik dan aneh, serta mungkin nyleneh, seperti Mas Slamet dan Leo Kristi.

            Oleh sebab itu, saran Pak Isfanhari, Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) perlu mempra-karsai temu musik kubu klasik, populer, rakyat, dll. tersebut; sehingga akan melahirkan ide yang luar biasa bagi musik di Jawa Timur.

 Bermusik itu Beribadah Lewat Seni 

Nama Musafir Isfanhari adalah tokoh penting dalam kancah seni musik di JawaTimur dan nasional. Salah satu perhargaan atas dedikasinya di dunia musik, di tahun 2015, mendapat penghargaan Cipta Karya Kencana dari Presiden Joko Widodo. Ini merupakan penghargaan  yang diberikan kepada tenaga program yang telah menciptakan karya yang menonjol dalam pengembangan konsepsi, inovasi, dan sistem yang bermanfaat. Selain dikenal sebagai seorang composer lagu dan seorang arranger, Isfanhari juga seorang penulis. Sumbangan pemikiran tentang musik banyak ditulis di media surat kabar/majalah yang kemudian dikumpulkan dalam dua buku “Bulan Sepotong di Langit Biru” dan “Ngibadah Seni, Bermusik itu  beribadah Lewat Seni”.

Foto: Musafir Isfanhari

Dalam usia yang tak lagi muda, Pak Is, begitu panggilan akrab untuk pria kelahiran 22 Desember 1945 ini, tampak tetap energik dan tetap mengabdi pada seni musik. Musafir Isfanhari memang lahir dari keluarga  pemusik. Ibunya merupakan guru mengaji yang pinter menyanyi. Sehabis mengaji ibunya mengajari bernyanyi. Dari sinilah tumbuh kecintaan pada musik. Selain itu bakat musik Isfanhari sejak kecil juga ditempa oleh Pakde dan Pamannya, kemudian memutuskan melanjutkan ke  Akademi Musik di Jogjakarta tahun 1962,  memulai karir bermusik, dan banyak dikenal sampai sekarang.  Aransemen yang paling dikenal adalah  lagu Jasamu Guru. Bahkan orang banyak beranggapan bahwa, lagu itu Musafir Isfanhari penciptanya, dan itu telah dibantah bahwa dia hanya mengaransemen lagu tersebut.

 Menurut ceritanya dia lahir di “pengungsian”. Saat pertempuran 10 Nopember di Surabaya pecah, keluarganya terpaksa mengungsi ke luar Surabaya. Ibunya yang saat itu sedang mengandung juga ikut mengungsi sampai Kediri,  Kota Batu, dan Malang.

“Saat di pengungsian karena pertempuran Surabaya itulah saya lahir.” begitu  Musafir Isfanhari menuturkan kisahnya sambil tertawa. Setelah menempuh pendidikan musik kemudian menjadi guru musik di sekolah di Banyuwangi. Setelah sepuluh tahun mengajar di sekolah, kemudian bekerja di Taman Budaya Jawa Timur sampai pensiun.

Sebelumnya Isfanhari memang lebih dikenal dengan karya-karya bergenre keroncong walaupun sebenanya dia menekuni musik klasik. Lingkungan masyarakat tempat dia mengajar dulu menyukai jenis musik dangdut dan keroncong mempengaruhi penciptaan karyanya, salah satunya lagu tentang Keluarga Berencana (KB). Dari lagu yang isinya mendorong program Keluarga Berencana inilah  mengantarkan Isfanhari mendapat penghargaan dan bisa bersalaman dengan Presiden Joko Widodo. Ini merupakan sesuatu hal yang membanggakan.

Ditemui   di rumahnya  Jl. Banyu Urip Lor Surabaya, beberapa waktu lalu, Musafir Isfanhari berceritara banyak tentang pengalaman dan pemikirannya   terkait dengan perkembangan musik yang ada di JawaTimur.

Menurut Pak Isfanhari, di Jawa Timur  perkembangan antara musik tradisional dan non tradisional atau  disebut juga musik pentatonis dan diatonis bisa seiring berkembang dengan baik. Banyak musisi-musisi asal Jawa Timur juga banyak yang mewarnai di kancah nasional bahkan internasional. Tokoh-tokoh musik asal Jawa Timur seperti Mus Mulyadi, Mus Mujiono, Gombloh, Leo Kristi, sangat terkenal di-eranya. Begitu juga tokoh musik kontemporer  seperti Slamet Abdul Syukur. Dalam berkarya  perlu totalitas mengabdi pada musik dengan resiko tidak laku. Menurut Isfanhari  “Intinya perlu “orang gila” dalam musik.”

Dibayangkan ada lembaga yang bisa memprakarsai petemuan genre-genre musik di Jawa Timur. Baik orang-orang dadi genre klasik, pop, kontemporer, dan yang lainnya bila bersinergi akan melahirkan karya-karya yang luar biasa.

         Dalam buku Ngibadah Seni, pemikiran-pemikiran Musafir Isfanhari tentang musik begitu gamblang dicerna dengan bahasa yang mudah dipahami. Salah satunya tentang Paduan Suara dalam menyikapi situasi pandemi dan New Normal. Juga tulisan-tulisan diantaranya: Musik dan Nasionalisme, Musik Islami dalam Era Globalisansi, Soal Jiplak Menjiplak Lagu, Makna lagu  anak tempo dulu, juga mengulas tentang tokoh-tokoh musik Gesang dan komponis besar Indonesia, Mochtar Embut. Juga mengulas musik nasyid sebagai musik Islami terbaru serta masalah terkait dengan musikalisasi puisi.

          Di buku itu Musafir Isfanhari juga mempertanyakan tentang musik Jawa Timur itu sebenarnya yang mana? Ini terkait dengan lomba-lomba musik (paduan suara, vokal group) yang diadakan sampai tingkat Nasional. Biasanya disertakan dalam persyaratan lomba: harus menyanyikan lagu pilihan berupa lagu daerah (kadang-kadang juga ditambah dengan penjelasan kalimat lagu daerah setempat). Pertanyaannya, apa yang dimaksud lagu daerah itu?  Lagu Semanggi Suroboyo lagu daerah atau bukan? Lalu lagu  Padang Mbulan, Buto-Buto Galak, Prau Layar, bukan lagu Jawa Timur  tapi Jawa Tengah. Dibandingkan dengan Jawa Tengah, memang secara administratif, Jawa Timur mempunyai wilayah yang berbeda yaitu Madura dan  Banyuwangi, ada juga wilayah Mataraman yang sama dengan JawaTengah.

Yang menjadi masalah dan dikhawatirkan  dalam lomba di tingkat Nasional, karena peserta kalah bukan karena sajiannya indah atau tidak indah, bagus atau tidak bagus tetapi kalah karena “di-diskualifikasi”, dianggap menyalahi aturan/persyaratan lomba khususnya dalam kaitan pilihan lagu daerah. Jadi, lagu daerah itu seperti apa?

Dalam perjalanan usia yang sudah 77 tahun telah banyak yang dilakukan Isfanhari, tetap semangat  membuat aransemen lagu untuk paduan suara, pernah menjadi pengasuh acara Olah Musik TVRI Stasiun Surabaya, serta mengunjungi beberapa negara dalam rangka berkesenian. Sampai sekarang pun tak henti berkarya  masih menulis artikel dan esai  tentang musik di majalah seni. Juga menjadi juri musik serta narasumber untuk mahasiswa yang membuat skripsi dan tesis tentang musik.

“Melakukan ibadah adalah muamalah, berjuang bukan untuk kepentingan sendiri tapi untuk kepentingan orang lain tanpa memikirkan diri sendiri. Mereka telah melakukan kegiatan kemanusiaan yang luar biasa, di sinilah makna Ngibadah Seni: “Bermusik” adalah beribadah lewat seni.” begitu kutipan terkhir Isfanhari yang ditulis dalam bukunya Ngibadah Seni.

Buat Buku Sendiri   

 Bicara soal buku, Pak Is mengatakan bahwa baru-baru ini beliau menerbitkan buku tentang musik secara indie atau dibiayai sendiri. Judul bukunya:  Ngibadah Seni: Bermusik Itu Beribadah lewat Seni, cetakan pertamanya pada November 2020 lalu. Sebelum itu pernah terbitkan pula biografinya sendiri dengan judul Bulan Sepotong di Langit Biru. Sungguh orang tua yang tak mau berhenti berkreativitas. Luar Biasa!

Dalam buku Bermusik Itu Beribadah lewat Seni, serasa kita dapat penjelasan soal seni musik dari berbagai sudut pandang, dari soal musik: keroncong, langgam, Islami, musikalisasi puisi, nasyid, simphoni, lagu anak tempo dulu, dan tentunya bicara soal paduan suara. Di mana Isfanhari adalah pakar dalam hal ini. Lantas ada juga tulisan menarik, bicara soal lagu Indonesia Raya (IR), diulas secara rinci. Termasuk bicara soal lagu Indonesia Raya dituduh sebagai lagu jiplakan. Benarkah?

            Musafir Isfanhari yang kelahiran Surabaya 1945 ini, pada bagian hampir akhir bukunya, diterangkan soal paduan suara, yaitu memadukan beberapa jenis suara manusia (dewasa: sopran, alto, tenor, dan bas). Sedang bagi anak-anak: suara anak tinggi dan suara anak rendah). Sehingga menjadi paduan suara (bunyi) indah, merdu, dan serasi. Isfanhari merinci-jelaskan detail dalam bukunya tersebut.







           Tulisan akhir dalam bukunya, menulis contoh beberapa orang yang berkerja tanpa pamrih. Bekerja bukan untuk diri sendiri, tapi lebih diberikan untuk kepentingan orang lain. Lebih detailnya, kerja sosial yang tanpa harus minta imbalan gaji. Mereka bekerja dengan setulus hati demi kemanusiaan.  Sedangkan dalam dunia seni musik, ngibadah seni itu bermusik untuk menyenangkan orang lain. Jadi bermusik itu adalah beribadah lewat seni, katanya.

     Mungkin secara keseluruhan, tulisan dalam buku ini, memang menarik untuk dibaca bagi pelaku seni musik. Pembaca akan diberi pengetahuan berbagai seluk beluk tentang seni musik, lagu, dan paduan suara. Setidaknya pembaca akan bertambah ilmu tentang musik, termasuk makna lagu anak tempo dulu?

            Terlepas dari semuanya, yang agak mengganggu tampilan buku ini, karena di dalam bukunya banyak ilustrasi sketsa gambar biola yang ada di setiap halaman buku. Pertama, tulisannya jadi kurang mudah terbaca. Kedua, tampilan buku jadi kelihatan sesak oleh sketsa. Ketiga, sketsanya sama bergambar biola. Akan lebih baik, jika sketsa gambar biola diletakkan halaman tersendiri, sebagai ilustrasi. Misalnya pada halaman 35, 70, 90, dan 120. Akan lebih baik, jika tidak hanya biola saja, tapi bisa gitar, saksofon, atau sketsa drum. Jadi tidak hanya  satu sketsa gambar biola saja.








             Foto: Musafir Isfanhari .


Terlepas kelebihan dan kekurangan yang ada dalam buku ini, yang pasti diapresiasi penulisnya yang sudah sangat senior, dan tetap mau menuliskan ilmunya kepada pembaca. Hal lain yang perlu diapresiasi,  adalah buku berisi soal musik memang jarang ditulis orang. Selamat atas terbitnya buku musik ini, dan selamat membaca bagi penyuka musik. Saya membaca ada yang terasa beda dan enak dibaca!

Siang itu, Surabaya memang terlalu panas cuaca, mengakhiri perbincangan saling bersalaman, dan kami pulang melenggang dengan hati senang. Bisa temu dan berbincang dengan sang tokoh musik Jawa Timur itu.

 

                                                                        Sukolegok dan Canggu, 17/3/2022

Catatan:

Tulisan ini termuat di Majalah Seni Budaya Cak Durasim Edisi April -2022 

terbitan Taman Budaya Jawa Timur.

Senin, 08 Agustus 2022

SUPARTO BRATA BILANG SASTRA ITU BUKU

 

SASTRA PUISI TAK PERNAH MATI

TAK JUA TERTINGGAL DI ERA DIGITAL

Aming Aminoedhin

 

Sastra itu berupa buku, bukan yang termuat di majalah dan koran, kata Suparto Brata. Dan membuat kumpulan buku puisi bersama kawan penyair lain termasuk buku sastra. Hal ini juga sekaligus menjawab tulisan Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan majalah. Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan karyanya berupa puisi itu dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.*

  

Waktu Lalu

            Ketika tulisan sastra masih berjaya dimuat koran dan majalah sekitar tahun 1970 hingga 1990-an, sungguh pengarang berlomba menulis bisa termuat di koran dan majalah, teramat susah. Kenapa susah? Selain menulis masih dengan mesin ketik manual, mereka harus masukkan dulu ke amplop dikasih prangko, untuk dikirimkan ke kantor pos. Barangkali tidak begitu susah, jika rumahnya dekat kantor pos, namun tidak bagi pengarang yang tinggal di desa, dan jauh dari kan-tor pos itu. Teramat susah memang! Naskah sudah jadi, dan telah berperangko di amplopnya, tapi belum bisa dikirim, karena jauhnya jarak dari kantor pos. Baru sehari atau dua hari, bahkan seming-gu berikutnya, baru bisa kirim ke kota di kantor pos.

            Itu gambaran kirim naskah karya sastra zaman dulu. Sekarang tinggal ‘klik’ tanpa beran-jak dari rumah saja, terkadang masih malas membuat karya sastra. Bahkan lebih suka bergunjing di dunia maya, bicara tanpa makna. Tanpa menulis sastra lagi. Ah… waktu jadi sia-sia.

            Di era zaman internet ini memang hampir semuanya terasa mudah. Kirim surat dan nas-kah karya sastra tinggal ”klik” dari rumah lewat laptop sudah sampai redaksi yang dituju. Begitu mudah, dan sungguh pengarang dimanjakan teknologi internet ini. Tinggal bagaimana kita bisa berkarya menulis sastra berkualitas, menunggu adakah termuat di koran atau majalah atau tidak? Jika tidak, berati naskah karya sastra belum baik. Pengarang harus menulis lagi, dan nge-‘klik’ lagi ke redaksi. Gampang bukan?

 Lalu Waktu

            Lalu waktu tahun 1970 s.d. 1990-an,  di mana negara kita Indonesia tidak banyak punya majalah seni dan budaya, terkhusus majalah sastra; maka koran-koran dan majalah-majalah umum banyak yang memuat/menampung karya sastra. Jika mau menyebut majalah seni budaya yang cukup punya nama di era Orde Baru (Orba), seingat saya ada Budaya Jaya dan Basis. Sedangkan majalah sastra satu-satunya hanya Horison.

            Tulisan ini hanya akan mencoba menyoroti karya sastra puisi segara global, dengan este-tika dan dinamika penulisannya saja. Saya sadar tentu banyak lemahnya, tapi setidaknya bisa jadi sepenggal catatan sejarah sastra kita.

Seiring dengan terbatasnya majalah seni budaya dan sastra yang bisa memuat/menampung naskah karya sastra pengarang yang banyak jumlahnya itu, maka koran dan majalah umum banyak yang memuat karya sastra. Sekadar mencatat sesuai ingatan saja, bahwa koran-koran yang memuat cerpen dan puisi, antara lain: Kompas, Suara Karya, Surabaya Post, Sinar Harapan, Berita Buana, Swadesi, Suara Karya, Jawa Pos, Republika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, dan banyak lagi. Bahkan beberapa koran ada yang memuat cerita bersambung, seperti: Kompas, Sinar Harapan, Surabaya Post, Republika, Jawa Pos, dan entah koran apa lagi (lupa?). Seingat saya nama-nama pengarang Jatim, ada: Suparto Brata di Kompas dan Republika,  Hardjono WS di Sinar Harapan, Dukut Imam Widadodo, Hardjono WS, dan Tan Tjin Siong di Surabaya Post, dan entah siapa lagi (ini juga lupa).

            Sementara itu, majalah yang memuat cerpen dan puisi juga banyak jumlahnya, sebut saja majalah wanita: Kartini, Femina, Putri Indonesia, Gadis juga memuat karya sastra. Lalu majalah remaja semacam: Hai, Midi,  Putra Indonesia, Top, Anita Cemerlang, dan hingga majalah musik Aktuil dari Bandung juga memuat karya sastra. Bahkan lewat penjaga gawang sastranya Remy Sylado (23761) melahirkan trend genre puisi baru yang disebut sebagai ‘puisi mbeling.” Sungguh jagat sastra, pada saat itu sedang booming lahan untuk persemaiannya. Sekadar contoh, saya muatkan beberapa naskah puisi mbeling karya Remy Sylado itu.

 

Di Blok Apa?

 

Kalau

Chairil Anwar

binatang jalang

Di blok apa

tempatnya

di Ragunan?

 

Dua Daya

 

motivator

berbicara tentang

memberdayakan rakyat

 

koruptor

berbicara tentang

memperdayakan rakyat

 

 

Olahraga

 

olahraga

orang kota

mengangkat barbel

di fitness centre

 

olahraga

orang desa

memacul tanah

di sawah ladang

 

yang satu

mencari sehat

karena anjuran

yang lain

menemukan sehat

karena telanjur

 

1990

 

(Puisi disadur dan diunduh dari http://kepadapuisi.blogspot.com, 14 Juni 2021)

 

            Waktu terus bergulir, bahwa puisi mbeling, ternyata punya estetika tersendiri. Mungkin ada rasa guyonan, ada unsur kritikan, berontak, dan terasa nakal, puisi seperti main-main dengan kata. Tak salah jika disebutnya mbeling, yang berarti nakal. Namun ternyata, genre puisi ini, ke-mudian banyak yang ikut menulisnya. Diakui, dan termuat pada majalah dan koran di mana-ma-na. Bahkan Remy Sylado sendiri, buat kumpulan puisi mbeling. Laku jual, dan banyak yang beli, serta membacanya.

            Pada perkembangannya, sastra koran dan majalah juga mengalami kehilangan lahan subur guna pemuatannya. Koran dan majalah cetak banyak bertumbangan, kalah dengan internet. Kini redaksi koran dan majalah mulai banyak yang tak mau memuat lagi karya sastra. Tidak hanya untuk memuat iklan, tapi redaksinya, merasa karya sastra sudah banyak termuat di dunia internet. Kompas dan Republika,  koran nasional itupun menutup rubrik puisinya. Untung masih mau memuat cerpen pada terbitan Minggu-nya.

            Terlepas dari soal puisi mbeling, estetika sastra puisi memang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Kita awali dari zaman Chairil Anwar, yang membuat terobosan baru dengan

puisi-puisi bebasnya. Tak mau menganut gaya penulisan lama semacam: pantun, syair, dan sonet, guridam yang terlalu mengikat itu. Puisi Chairil  menganut aliran yang ekspresionisme, berdasar gambaran ekspresi/letupan jiwa yang meluap-luap dalam dirinya. Berikut ini puisi Chairil Anwar yang terkenal itu:

 

Aku

 

Kalau sampai waktuku

Ku mau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau

 

Tak perlu sedu sedan itu

 

Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang

 

Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang

 

Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri

 

Dan aku akan lebih tidak peduli

 

Aku mau hidup seribu tahun lagi

 

(Diambil dari Deru Tjampur Debu - Chairil Anwar,  PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun 1966, hal 7)

 

 

SENJA DI PELABUHAN KECIL

                        * buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut.

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai ke empat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946

(Diambil dari Deru Tjampur Debu - Chairil Anwar,  PT Pembangunan Jakarta, Cetakan ke-8 Tahun 1966, hal 39)

 

 

            Perjalanan waktu berikutnya ada penyair yang eksentrik bernama Sutardji Calzoum Bachri, estetika puisinya juga mendobrak dan memberontak dengan membebaskan makna pada kata. Dia bilang dalam kredo puisinya pada tahun 1973 di Bandung, yang menyatakan: Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata.  Dan kata pertama adalah mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra. Berikut dua puisi Sutardji:


DENYUT

 

akan kau kau kan kah hidupmu?

kau nanti kau akan kau mau kau mau

takkan sampai sebatas allah

 

siapa yang tikam burung yang waktu

waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku

 

kapan kau sayap diamnya batu

battuba battubi battubu

 

yang langit yang gapai yang sangsai

denyutku denyutku denyutku

 

 

1973

 

 (Amuk- Sutardji Calzoum Bachri, halaman 31)

 

P I L

 

memang pil seperti pil macam pil walau pil

hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil

meski pil tapi tak pil apalah pil

pil pil pil mengapa gigil?

aku demam pil bilang

obat jadi  barah

apakah pasien?

tempeleng!

 

1976

 

(Amuk- Sutardji Calzoum Bachri, halaman 39)

 (Diambil dari Amuk – Sutardji Calzoun Bachri, Yayasan Kesejahteraan Karyawan Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Januari 1977).

 

             Catatan di atas hanya sebagian penulisan dengan estetika yang berbeda alirannya, barang-kali masih banyak estetika puisi lain lagi. Seperti gaya estetika penulisan puisi sufisme, haiku, religi,  dan banyak lagi. Tapi yang jadi ingatan saya, malah persoalan pengadilan puisi yang diselenggarakan di Bandung September 1974 itu. Beberapa nama pengarang besar ikut menulis, antara lain: Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, HB Jassin, MS Hutagalung, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, yang kemudian dibukukan oleh Pamusuk Eneste, berjudul Pengadilan Puisi diterbitkan oleh PT Gunung Agung Jakarta, 1986.

            Heboh sastra puisi ini, bermula tulisan tuntutan Slamet Kirnanto berjudul ‘Saya Men-dakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-Akhir ini Tidak Sehat, Tidak Jelas dan Brengsek” (Buku Pengadilan Puisi, hal.12) yang mana di dalamnya ada tuntutan berbunyi: Para kritikus yang tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kehidupan puisi mutakhir, khususnya HB Jassin dan MS Hutagalung harus “dipensiunkan” dari peranan yang pernah mereka miliki. (Pengadilan Puisi hal. 27).

            Tak ayal lagi, HB Jassin dan MS Hutagalung, jadi agak berang dibuatnya. Meski Jassin tetap harus memertanyakan mereka yang terlibat dalam  acara ‘Pengadilan Puisi Bandung’ pada akhir tulisannya, “Sepuluh tahun lagi, siapakah yang masih bersuara di antara orang yang ber-kaok-kaok sekarang ini, dan apakah prestasi yang telah mereka berikan kepada kesusastraan Indo-nesia? (Buku Pengadilan Puisi, hal.41). Sementara tulisan MS Hutagalung menjawab hal ini, antara lain mengatakan, “Bahwa perkembangan puisi kita brengsek, dan ini adalah akibat kesalahan para kritikus, sebenarnya tidak benar. Sudut pandang Kirnanto-lah yang brengsek. Dan saya tidak sependapat pada pandangan Kirnanto, bahwa seakan-akan perkembangan sastra hanya ditentukan oleh beberapa orang kritikus.”

            Dari alinea yang saya tulis di atas, tampak jelas memberi gambaran kepada kita betapa hebohnya sastra Indonesia waktu itu. Sedang dalam acara “Pengadilan Puisi Bandung” ini, yang mana ada nama-nama pengarang terkenal seperti: Sanento Yuliman, Darmanto JT, Slamet Kirnanto, Taufiq Ismail, Saini KM, Handrawan Nadesul, Adri Darmadji, Yudhistira AN, Wing Kardjo, Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri, Sides Sudyarto DS; dengan terdakwa tunggal: Puisi Indonesia Mutakhir.

            Terlepas soal puisi koran dan majalah, serta heboh pengadilan puisi di Bandung, yang pasti kata Suparto Brata, dalam tulisannya berbahasa Jawa termuat di buku ‘Othak Athik Gathuk’ terbitan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Agustus 2018 lalu, mengatakan, “Wong pinter saindhenge donya iki mesthi maca buku lan nulis buku. Mulane, duweni kabudayan maca buku lan menulis buku kuwi, wujud lambarane lan sanggarane urip modheren.” (hal. 76-77).  Lalu ditambahkan penegasan dalam kalimat berbahasa Indonesia, “Berbudaya membaca buku berpotensi mengubah takdir menjadikan hidup lebih semarak dan bahagia,” tandas beliau.

            Pada lanjutan tulisannya, beliau katakan, “Saka pengalamanku kuwi bisa katitik yen anggonku tepung karo sastra kuwi ya saka macani buku-buku. Mula tumrapku Sastra Kuwi Buku, lan Sastra Jawa Kuwi Uga Buku. (hal. 79). Terjemahan bebasnya: Dari pengalamanku bisa saya lihat, bahwa saya kenal sastra dari membacai buku-buku. Maka bagi saya Sastra itu Buku, termasuk Sastra Jawa.”

Nah…. dari wejangan pengarang ampuh, Suparto Brata ini, sastra koran dan majalah, boleh-boleh saja. Tapi yang lebih utama adalah membuat buku sastra. Hal ini, sering beliau sampai-katakan ketika saya bertemu beliau di mana saja. Termasuk ketika temu di Kongres Kebudayaan Jawa di Lor-Inn, Surakarta beberapa tahun lalu.

            Berangkat dari sini maka, tak salah jika Chairil Anwar, WS Rendra, Remy Sylado, Sutardji Calzoun Bachri, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, dan banyak lagi nama penyair lain,  membuat kumpulan puinya masing-masing. Termasuk tidak salah ketika saya buat buku Malsasa (Malam Sastra Surabaya) dari tahun ke tahun sejak 1989 hingga 2017. Membukukan puisi-puisi penyair Surabaya dan Jawa Timur, tentang puisi bertema Surabaya. Bahkan pernah membukukan pula, puisi pelukis yang juga penyair pada waktu itu.

 Lalu Era Digital dan Virtual

         Lalu di era masa pandemi ini, maka sektor kesenian juga mengalami dampaknya yang sangat menyedihkan. Beberapa pertunjukan pentas tradisi, semacam: wayang kulit, ludruk, ketoprak tak bisa tampil. Begitu juga pentas seni modern, seperti: musik, tari, nyanyi, teater, film atau bioskop tak bisa lagi tampil di gedung pertunjukan. Begitu juga baca sastra, terkhusus puisi alami hal yang sama. Namun banyak juga yang masih punya terobosan dengan tampilan secara virtual, dan bahkan banyak penyair yang mengajak kawan-kawan penyair lain untuk terus berkarya, serta menerbitkan buku puisi.

Sekadar mengamati melalui facebook saja, kita dapat melihat beberapa lembaga dan komunitas sastra adakan kegiatan acara virtual. Sebut saja: Univeritas Negeri Malang (UM), Uni-versitas Negeri Surabaya (Unesa), Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas Indonesia (UI – Jakarta) adakan bedah buku sastra via virtual. HISKI Bali bicara Sastra dan Pancasila, dan mungkin masih banyak lagi. Lantas Tembi Rumah Budaya Yogya, lewat acara Sastra Bulan Purnama, berkali-kali tampilkan Poetry Reading From Home, hingga sampai ke-17 kalinya pada bulan Juni 2021 ini. Lalu Bengkel Muda Surabaya (BMS) menggelar acara baca puisi vitual dalam rangka Ulang Tahun Kota Surabaya bertajuk “Surabaya 728” peringati hari jadi Kota Surabaya ke-728. Materi tampilan baca puisinya para penyair, seperti: Akhudiat, Aming Aminoedhin, Anang Hanani, dan banyak lagi.

Di sisi lain berbagai kegiatan lomba baca puisi dan pantun, juga diselenggarakan secara virtual: Lomba baca puisi Pekan Seni Pelajar Surabaya, Lomba Tulis Baca Puisi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Lomba Baca Puisi dan Pantun ala Dharwa Wanita Persatuan – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Timur, Lomba  Tulis Pantun – Universitas Katolik  Widya Mandala Surabaya – Kampus Kota Madiun, dan banyak lagi.

Sementara itu, untuk penerbitan buku sastra, utamanya puisi yang ajakannya melalui digital (facebook), banyak sekali jumlahnya. Jika mau mengamati secara rinci, mungkin tak bisa saya lakukan dengan teliti dan jeli. Tapi sekadar mencatat yang aktif terus bergerak cukup banyak. Sebut saja komunitas laskar PMK (Puisi Menolak Puisi) telah menerbitkan berkali-kali puisi soal tema korupsi ini. Komunitas yag dikomandani, Sosiawan Leak, terakhir menerbitkan PMK Ke-8 dengan tema ‘Korupsi dan Korona” dengan peserta penyair se-Indonesia. Dapur Sastra Jakarta, yang didengkoti Remmy Novaris DM berkali-kali terbitakan buku puisi bersama komunitasnya. Bahkan pernah pula terbitkan puisi reuni “Penyair Indonesia Angkatan 1987 versi DKJ – TIM Jakarta,” kemudian dibacakan di Lampung dan Tembi Yogya.

Lalu melalui Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), Aming Aminoedhin, pernah me-nerbitkan Lukisan Puisi – Malsasa Sebelas, bersama sebelas penyair Jawa Timur. Sedang pada Paguyuban Pengarang Sastra Surabaya, dengan ketua Suharmono Kasijun, menerbitkan:  Sandhal Jepit Taline Abang, Mlesat Bareng Ukara, Gurit Bandha Donya, dan Othak-Athik Gathuk. Lantas da juga Komunitas Lingkar Studi Sastra Setrawulan (LISSTRA) dan Era Buku Mojokerto yang dikomandoi Anjrah Lelono Broto, sudah berkali-kali buat buku puisi dengan berbagai tema, baik puisi maupun guritan. Ada yang berjudul : Narasi Bait Waktu, Maafkan Kata-kata,  dan Japa Lampah.  Pernah juga menerbitkan buku cerpen dan opini bertema ‘Bijak dan Cerdas Berliterasi.”

Komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP)  - Tembi Rumah Budaya Yogya, dengan jen-dralnya Ons Untoro, juga menerbitkan buku puisi seri, antara lain: Penyair dan Rembulan,  Ke-pada Hujan di Bulan Purnama, Kepak sayap Waktu, dan Mata Air Hujan di Bulan Purnama, dan banyak lagi. Sedangkan komunitasnya Tengsoe Tjahjono, bernama Pentigraf (Cerpen Tiga Paragraf), tak juga berhenti terus menerbitkan buku pentigraf-nya. Di samping masih punya Teras Puisi Indonesia, menerbitkan Putiba (Puisi Tuga Bait), yaitu Puisi Corona dan Putiba Untuk Umbu.

Barangkali ini hanya catatan sebagian kecil sastra puisi yang tetap eksis di era digital, dan tampilan baca puisinya lebih banyak dilakukan di dunia virtual. Namun yang pasti harus diakui, bahwa sastra puisi masih tetap ada. Bahkan banyak buku-buku puisi berbagai tema diterbitkan penyairnya. Jangkauannya lebih luas pula, karena bisa dilihat di berbagai tempat melalui internet, bukunya diisi karya penyair dari berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Hal ini juga sekaligus menjawab tulisan Suparto Brata yang mengatakan bahwa sastra itu buku, bukan koran dan majalah. Sedangkan kawan-kawan penyair telah mau membukukan kar-yanya berupa puisi itu dalam buku. Sastra itu buku, dan kumpulan puisi itu adalah sastra.

Sungguh sastra puisi tak pernah mati, dan tak jua mau tertinggal di era digital ini.***

 

Mojokerto, Desaku Canggu - 19 Juli 2021