Rabu, 18 Februari 2015

JEJAK TEATER JATIM

JEJAK dan LANGKAH  TEATER  JATIM
Oleh:  Aming Aminoedhin*

            Sejarah teater di Jawa Timur memang teramat panjangnya. Sejak sebelum merdeka, ada nama Dewi Dja, anak orang tak berpunya (baca: pengamen jalanan) kelahiran Pandaan – Pasuruan, yang kemudian  melambung tinggi namanya ketika bermain komidi stambul “Dar-danella” berawal dari Rogojampi - Banyuwangi. Dewi Dja, namanya terkenal lantaran telah menjelajah berbagai kota se-antero Indonesia, bersama suaminya Piedro yang bernama asli Willy Klimanov. Ia bermain drama tak hanya di Indonesia, tapi juga Singapura,  Malaysia, Shanghai, Peking, Hongkong,  bahkan kota-kota besar di daratan  Eropa dan Amerika. Itu hanya bermain drama bersama kelompoknya Dardanella.
Berikutnya ada juga nama besar, orang dari Rogojampi, Banyuwangi; bernama Akhudiat yang lebih banyak dipanggil kawan senimannya sebagai Diat. Baru-baru ini, di penghujung  2014, menerbitkan buku bertajuk “Antologi 5  Lakon Akhudiat” berisi naskah lakon berjudul: Grafito, Jaka Tarub, Rumah Tak Beratap, Bui, dan RE. Kelima naskahnya ini, pernah memenangkan sayembara penulisan naskah di Dewan Kesenian Jakarta.
Meski saya tak melupakan tokoh teater lain se-angkatan Diat seperti: Basuki Rachmad, Moekit Faqturozie, Anang Hanani, Farid Dimyati, Sam Abede Pareno, Bambang Sudjiono, Hazim Amir, Mh. Iskan, Max Arifin, dan banyak lagi; ikut berkiprah membesar teater Jawa Timur. Belakangan ada juga nama tokoh teater seperti: R. Giryadi, Darmanto Dengkek, Moehammad Sinwan, Kusprihyanto Namma, Antok Agusta, Anas Yusuf, Luhur Kayungga, Deddy Obenk, W. Haryanto, dan banyak lagi.
Barangkali nama Akhudiat memang seharusnya dicatat, sebab nama besarnya berawal dari ketokohannya yang mau menulis naskah lakon. Lebih lagi, ia membuat pembahruan dalam karya  naskah-naskah lakonnya. Tidak pelak lagi jika naskah-naskahnya memenang-kan sayembara penulisan naskah lakon.
Terkadang saya juga berpikir, jika tokoh teater tradisi Jawa Timur diwakili Dewi Dja, dan tokoh teater modern diwakili Akhudiat; keduanya kebetulan dari Banyuwangi – maka tak pelak lagi jika sejarah teater di Jawa Timur ditulis, maka tak harus meninggalkan nama mereka berdua dalam catatan sejarahnya.
Meretas Pentas Teater Jatim
            Penghujung tahun lalu, 2014, Teater Ideot Malang, pimpinan Moehammad Sinwan menggelarpentaskan Nakamitsu karya Seami di Malang, dalam rangka ulang tahunnya ke- 30, dan cukup mendapatkan respons pengunjung yang cukup signifikan. Sementara itu, di awal tahun 2015 ini, tepatnya 10 Januari 2015, komunitas Lidhie Art Forum Indonesia Mojokerto, pimpinan Bagus Mahayasa membuat acara Parade Teater, dengan menampilkan beberapa komunitas teater dari berbagai kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka itu: Taetar SMA Gedeg, Teater Samudra Ilahi – MAN Sooko (Mojokerto), Teater Eksis – SMA MU – Paciran Lamongan, dan Teater Wakamandini – Mahasiswa STKIP PGRI Ponorogo.
            Sungguh, ini sebuah perhelatan pentas teater yang agaknya mau meretaskan jejak di Jawa Timur ini. Awal pentas yang bagus! Setidaknya memberikan atmosfir pentas tak harus terbatas fasilitas Pemerintah belaka. Belajar, bekerja, adakan workshop, sarasehan teater; lantas pementasan teaternya.
            Jika mau menyimak pementasan teater Jatim, maka pada 16 hingga 18 Januari 2015, melalui media-sosial facebook, komunitas Teater Keong Management, melansir akan menggelarpentas tiga naskahnya berbarengan. Naskah lakon yang dipanggungkan adalah: Gak Ilok, Orang-Orang Tulusrejo, dan Bersiap Kecwa Bersedih Tanpa Kata-kata.
            Setelah kota Mojokerto dan Malang yang tetap pentaskan teater, adalah kota kecil Lamongan tak mau kalah hebatnya. Dimotori Sanggar Teater Roda – Unisda Lamongan, menggelar “Temu Karya Teater Jatim 13” bertajuk ‘ Kabar dari Timur’ berlangsung 25 hingga 29 Januari 2015. Kegiatan yang berpusat di Kampus Unisda  - Sukodadi – Lamongan ini,  berupa Parade Teater Kampus Jatim, dan Kompetisi Teater SMA Jatim. Mereka yang akan tampil antara lain: Teater Hitam Putih – UM - Malang , Teater Adab – UNP Kediri, El Izzah – Pasuruan, Teater Protes – STAIN Tulungagung, Teater Peta – Blitar, Teater Kaget – UIM Madura, Fataria – STAIN Pamekasan, Teater Q – UINSA Surabaya,  Teater Parkir – IKIP PGRI Bojonegoro, dan Sanggar Teater Roda – Unisda Lamongan. Bahkan konon, terdengar kabar juga, Teater Institut-nya Universitas Ronggolawe Tuban, yang dimotori Suharyadi, akan juga mengadakan kompetisi teater kampus, pada April 2015 nanti.
            Sungguh dari peta pentas teater di Jawa Timur tersebut, memang cukuplah meng-gembirakan, setidaknya bahwa nafas dan  gerak langkah teater Jawa Timur tetap terjaga keberadaannya. Sementara itu, kegiatan semacam pelatihan dan lomba-lomba teater yang diselenggarakan oleh Pemerintah melalui Bidang Pendidikan Pengembangan Kesenian Sekolah (Dikbangkes) atau Bidang PNFI – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jatim tetap berlangsung keberadaannya. Bahkan tahun ini, 2015, Pekan Seni Pelajar Jatim, yang didalamnya ada cabang lomba teater, akan berlangsung di kota Banyuwangi.
Sayang-Disayang Tak Lagi Ada
            Jika harus disayangkan, bahwa kegiatan yang dulu pernah ada, semacam Lomba Drama Lima Kota (Lodralika) yang diprakarsai Moekit Faqurrozie sudah tak ada lagi. Padahal dulu, lodralika ini cukup disegani dan cukup memberikan pembelajaran bagi kelompok-kelompok teater pemula di Jatim. Begitu pula Festival Cak Durasim dan Festival Seni Surabaya, kini telah tidak ada. Padahal dulu, dalam dua festival ini,  mesti ada pemen-tasan teater berbobot yang cukup memberikan apresiasi bagi penyuka teater Jawa Timur.
            Bicara teater di Jawa Timur, barangkali tidak perlu digelisahkan, bahkan tak perlu menyayangkan ketidakberadaannya lodralika, dan dua festival yang pernah ada. Terbutkti masih ada pentas teater. Yang perlu dikerjakan sekarang adalah mau berteater, seperti halnya komunitas: Lidhie Art Forum Indonesia, Sanggar Teater Roda, Teater Ideot, Teater Institut Ronggolawe, yang tetap mendenyutkan gerakan berteater di Jawa Timur ini. Mari berteater!

                                                                        Desaku Canggu, 12/1/2015



* penyair, ketua forum sastra bersama surabaya  (fsbs)– tinggal di mojokerto
Buku Puisi Indonesia 1987
di Rumah Budaya Tembi Yogya

Buku kumpulan puisi yang bertajuk ‘Buku Puisi Indnoesia ‘87’ berisi tulisan para penyair se-Indonesia, berjumlah 27 penyair se-Indoensia. Mereka itu antara lain: Acep Zamzam Noor, Ahmadun Yossi Herfanda, Aming Aminoedhin, Arie Joko Wicaksono, Mathori A. Elwa, Dedet Setiadi, Gunoto Saparie, Jamal D. Rahman, Remy Novaris DM, hingga Wahyu Prasetya. Buku setebal 276 halaman tersebut, memuat puisi-puisi mereka para penyair, yang dahulu (tahun 1987) diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk tampil di Taman Ismail Marzuki.” Dan kini bereuni di Tembi, Yogyakarta.





Para penyairdikenalkan audiens oleh Remmy. Dari kanan: Mathori, Aming, Dedet,  
Remmy, dan Arief Joko Wicaksono.

Dua puluh tujuh tahun kemudian, pada tahun 2014, mereka kembali mengumpulkan puisi-puisi mereka, untuk dikumpulkan dan dibacakan berbagai kota. Tampilan pertama, pembacaan puisinya kali ini, di Tembi Rumah Budaya, Yogyakarta; pada 5 Januari 2015. “Peluncuran dan baca puisi malam ini, adalah sebagai bukti bahwa puisi tak pernah mati, dan penyairnya tak pernah lelah menulis puisi. Di samping ajang silaturahmi, acara ini, juga membuktikan bahwa penyair tetap eksis menulis puisi. Meski tentunya, akan berbeda tema  dalam garap tulisannnya,” kata Umi Kulsum, sang panitia.
Malam itu, pendapa rumah budaya ‘Tembi’ sudah dipenuhi audiens yang hadir untuk menyaksikan  acara ‘Sastra Bulan Purnama’ awal tahun di Rumah Budaya Tembi Yogya-karta. Setelah Remmy Novaris DM, sebagai koordinator , memberikan sambutan serta mengenalkan beberapa penyair yang hadir malam itu. Dilanjutkan acara pembacaan puisi yang diawali oleh Remmy Novaris DM. (Jakarta) dengan membaca beberapa puisi. Lantas penyair dari Surabaya, Aming Aminoedhin, membacakan 3 judul puisi: Surabaya Ajari Aku Tentang Benar, Berjamaah di Plaza, dan Nyanyian Tanah Garam.


                      Aming Aminoedhin, baca puisi di Tembi Rumah Budaya,Yogya.

Gaya baca puisi Aming, cukup mendapatkan apresiasi para audiens yang hadir, terbukti mendapat applaus tepuk tangan yang hadir malam itu. Selanjutnya pembacaan dite-ruskan oleh para penyair lain yang hadir malam itu, yaitu Dedet Setiadi (Magelang), Arief  Joko Wicaksono (Jakarta), Mathori A. Elwa (Yogya), dan Gunoto Saparie (Semarang).

  

Para penyair Puisi Indonesia 1987, selepas baca puisi, berfoto bersama Pak Ons. 




Beberapa majalah dan koran lokal Yogya mencatat-beritakan peristiwa 
tampilan Penyair Puisi Indonesia 1987.

 Sungguh, acara sastra bulan purnama di Tembi Rumah Budaya Yogyakarta ini, merupakan acara silaturhami antarpenyair. Tampak hadir malam itu, penyair senior Yogayakarta, Iman Budhi Santosa, Bontot Sukandar (Tegal), Ardi Susanti (Tulungagung), S. Sus Hardjono (Sragen), dan beberapa yang lain.
          Menurut Ons Untoro, penanggung jawab acara sastra bulan purnama ‘Tembi Rumah Budaya’ dikatakan bahwa, “Kegiatan ini diharapkan bisa mampu menggairahkan dunia sastra di Indonesia, sekaligus memberikan support positif sastra Yogyakarta, sebagai kota budaya.”
            Malam itu, banyak pula penyair tamu yang ikut baca puisi, antara lain: Dhenok Kristianti, Nia Samsihono (Jakarta), Ardi Susanti (Tulungagung), Umi Azzurantika (Magelang) dan Sashmyta Wulandari (Yogya), serta ada juga beberapa penampilan musikalisasi puisi, termasuk  yang digarap oleh anak Tegal, pimpinan Bontot Sukandar.
            Jadwal yang berikutnya, “Diharapkan Buku Puisi Indonesia ’87 ini akan juga bisa dibacakan di berbagai kota, seperti: Jakarta, Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, dan kota-kota lain yang ada penyairnya berdomisili,” kata Remmy Novaris DM sebagai koordinatornya. 
            Sungguh, ini sebuah perheletan pentas baca puisi yang menyenangkan bagi penyairnya,bisa silaturahmi, dan ngopi bersama seniman lainnya di Yogya. (mat).***