Selasa, 13 Juli 2010

LABEL BAHASA INDONESIA

LABEL BAHASA INDONESIA*)
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), mantan pengurus DKS

*) artikel ini termuat di koran Radar Surabaya Minggu, rubrik Horizon, 4 Juli 2010, hal. 7


Saya tergelitik membaca Radar Surabaya (21/5/2010) memuat berita berjudul Wajib Label Bahasa Indonesia Mulai 1 Juli yang dalam inti berita mengatakan bahwa, “Jika tidak ditaati akan diberikan sanksi mulai dari pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), denda Rp 2 milyar, atau hukuman kurungan maksimal 5 tahun.”
Sungguh sebuah upaya sangat melegakan bagi kalangan yang sangat peduli dengan keberlangsungan Bahasa Indonesia, antara lain: Pusat Bahasa, Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia, serta para guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Di mana mereka tak pernah lelah untuk terus menumbuhkembangkan Bahasa dan Sastra Indonesia. Begitu pula para guru, yang mengajarkan berbahasa Indonesia yang baik dan benar kepada para siswanya. Lebih melegakan lagi, bagi masyarakat pengguna Bahasa Indonesia, sebab mereka tidak akan susah untuk mengetahui cara pemakaian atau penggunaan barang-barang luar negeri yang telah dibelinya itu.
Kasus yang terjadi, beberapa produk luar negeri (obat maupun barang lain) yang masuk ke Indonesia memang hampir semuanya masih berbahasa dengan menggunakan bahasa produsen. Produk China masih berbahasa China, produk Jepang masih berbahasa Jepang, produk Taiwan masih berbahasa Taiwan dst.dst. Lihat saja, ketika kita beli obat atau mainan anak dari China, maka bahasa petunjuknya masih menggunakan bahasa China. Begitu pula, barang-barang elektronik produk Jepang, masih menggunakan bahasa Jepang atau bahasa Inggris. Ini cukup menyusahkan bagi orang yang tidak mengetahui bahasa Inggris, apa lagi Jepang. Mereka, para konsumen pembelinya akan bisa salah artikan penggunaan barang yang dibelinya.
Melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 62/M-DAG/Per-12/2009 tentang kewajiban pencantuman label barang Berbahasa Indonesia inilah, barangkali kita ma-syarakat akan menyambut gembira atas peraturan ini. Setidaknya bagi masyarakat konsu-men barang-barang luar negeri, tidak lagi dibingungkan atas petunjuk penggunaan dan pemakaiannya, barang-barang yang telah dibelinya.
Peraturan MENDAG Nomor 62/2009 ini, barangkali perlu kita sambut gembira, karena melalui peraturan ini pula, setidaknya Pemerintah RI melalui Permendag telah ikut pula menjaga, menumbuhkembangkan, serta melestarikan Bahasa Indonesia. Ini sekaligus bagi orang luar negeri yang akan masuk Indonesia (meski hanya barangnya) itu, mau belajar dan menggunakan bahasa Indonesia.
Permendag Nomor 62/2009 ini harus dilaksanakan dengan tegas, mulai 1 Juli 2010 nanti, bagi yang melanggar benar-benar diberi sanksi. Jangan sampai Permendag ini hanyalah diberlakukan secara hangat-hangat tai ayam, alias tidak berani menindak karena backingnya jenderal, menteri atau ketua partai tertentu. Tidak! Tidak boleh begitu. Siapa pun pelakunya, harus diberi sanksi dan tindakan tegas. Kita harus belajar berdemokrasi dari hal ini. Berani berkata benar, dan menindak dengan benar pula!
Demi kepentingan itulah, perlu adanya pengawasan yang ketat dalam pelaksana-annya. Setidaknya, pada 1 Juli 2010, pihak Kementerian Perdagangan RI perlu menerjun-kan tim pengawas ke beberapa barang-barang produk luar negeri yang dijajakan di pasar-pasar tradisional maupun supermarket, plaza, serta mall-mall. Bahkan jika mungkin, masyarakat juga ikut terlibat mengawasi adanya barang-barang luar negeri yang masih berlabel dengan menggunakan bahasa produsennya.
Untuk itu, perlu kiranya Kementerian Perdagangan, membuka web atau portal pengaduan di jagad maya bagi masyarakat yang ikut peduli akan hal ini. Setidaknya, melalui portal itu masyarakat bisa melaporkan temuan-temuannya, jika memang pada bulan Juli 2010 nanti masih banyak barang-brang luar negeri berlabel non-bahasa Indonesia.

Sejalan Permendag Nomor 62/2009 ini seharusnya memang ditindaklanjuti oleh Kementerian Dalam Negeri, dengan peraturan baru yang melarang perusahaan yang mencantumkan nama perusahaannya yang tidak mencerminkan bahasa Indonesia. Lihat saja di kota Surabaya, yang banyak sekali memasang baner-baner perusahaan dengan skala besar-besar, terpampang di jalanan tengah kota, yang mana tidak mencerminkan bahasa Indonesia, tapi lebih menggunakan bahasa Inggris. Sebut saja, City of Tomorrow), Hypertmart, Royal Plaza, Giant Hypermarket, Carrefour, Dramo Trade Centre, Mercure Hotel, Mc. Donald, Kentucky Fried Chicken, Tunjungan Plaza, The Empire Palace Hotel, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Palace Hotel, dan mungkin masih banyak lagi.
Apabila Mendagri juga membuat Permendagri yang juga melarang penggunaan nama perusahaaan berbahasa Inggris, barangkali kita tidak akan merasa asing di kotanya sendiri. Artinya, memasuki kota Surabaya, seperti memasuki kota di luar negeri. Atau setidaknya, jika nama-nama itu sudah terlanjur terkenal; minimal tidak memasang banernya dengan ukuran yang besar, dan mencolok mata kita.
Ini hanyalah semacam usulan saja. Agar masyarakat Indonesia kian mencintai bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Sedangkan kebijakan, kembali kepada pengambil keputusan, yaitu Menteri Dalam Negeri RI sendiri.
Yang patut disyukuri bahwa Permendag Nomor 62/2009 itu, minimal telah ikut menjaga, menumbuhkembangkan, dan melestarikan Bahasa Indonesia. Bravo buat Menteri Pedagangan RI! Menteri apa lagi yang menyusul?


Desaku Canggu, 9 Juni 2010