Kamis, 29 Maret 2018

HANDRY TM SI TUKANG FOTO ITU
















TUKANG FOTO ITU, HANDRY TM
Oleh: Aming Aminoedhin

Ketika tahun 1982, ada acara Forum Penyair Indonesia, saya (ketika itu masih kuliah di Solo) diajak ikut mengantarkan Kriapur (almarhum) tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada saat waktunya, Kriapur akan tampil baca puisi, saya ikut membacakan salah satu puisinya di depan publik. 
Pada waktu itulah, saya bertemu dan kenal dengan Handry TM yang wartawan Suara Merdeka Semarang yang sedang meliput acara itu. Dari perbincangan selama acara berlangsung Forum Puisi Indonesia 1982 itu, saya sempat rasan-rasan dengannya atas undangan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) yang kurang selektif. Jika tak salah termasuk, mengapa kita (saya dan Handry TM) tak ikut terundang? Padahal sudah banyak puisi-puisi kita termuat di koran dan majalah?
Lantas, Handry TM bahkan rasan-rasan akan buat sendiri acara semacam di Semarang, dengan tajuk Temu Penyair Jateng. Ternyata yang digagas Handry TM, di Jakarta itu, benar-benar diselenggarakan oleh Keluarga Penulis Semarang pada tahun 1983. Tempatnya (nek gak salah) di Taman Raden Saleh, Tegalwareng, Semarang. Beberapa nama, sekedar menyebut nama yang ingat: Soekoso DM, Munawar Syamsudin, Djawahir Muhammad, Gunoto Saparie, Anggoro Suprapto, Timur Sinar Suprabana, Anies SB, Eko Tunas, Handry TM dll. Saya waktu itu, masih domisili Solo, karena kuliah di Sastra UNS maka ikut terundang oleh Handry TM. Ikutlah saya sebagai barisan Temu Penyair Jateng ’83 itu.
Barangkali ada yang menarik, pada tahun 1987, saya dan Handry TM, ternyata jadilah terundang oleh DKJ sebagai peserta Pertemuan Puisi Indonesia 1987. Betapa senangnya, saya dan Handry TM waktu itu, ternyata kita diakui oleh DKJ, dan diundang untuk kirim karya dan baca puisi di teater Arena - TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. Saya dari Surabaya, dan dia dari kota Semarang yang membesarkannya. Hal ini tersebab, lantaran apabila seseorang telah ikut tampil di TIM serasa telah dibaptis jadi penyair. Padahal, banyak penyair hebat dan ampuh tanpa harus datang dan tampil di TIM. Entahlah….kok seperti itu, rasanya!
Kembali bicara Pertemuan Puisi Indonesia 1987 yang digelar di TIM Jakarta. Saya bisa ketemuan rekan-rekan penyair dari berbagai daerah yang saya kenal lewat tulisan karyanya yang termuat di koran dan majalah. Sekedar menyebut nama: Isbedy Setiawan ZS, Wahyu Prasetya, Sony Farid Maulana, Micky Hidayat, Fakhrunas MA Jabbar, Odhys, Acep Zamzam Noor, S. Iwan Soekri Munaf, Dorothea RosaHerliany,  Pudwianto Arisanto, Yus AN, Eko Tunas, Bambang Widiatmoko, Remmy Novaris DM, Gus Tf. Dedet Setiadi,  Naim Emel Prahara, Arief Joko Wicaksono, dan banyak lagi.
Pembicara atau tukang bedah puisi-puisi Penyair Puisi 1987, seingat saya adalah Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri. Acara ini digelar pagi hingga sore. Malam harinya acara baca puisi. Mereka para penyair se-Indonesia itu akan bergaya bacakan puisi dengan caranya sendiri. Saya sebagai orang Surabaya, mengawali baca puisi dengan meneriakkan kata “Surabaya! Surabaya! Surabaya!” turun dari balkon, sambil menyebar kertas-kertas puisi saya itu; menuju panggung utama di tengah arena. Penonton tersentak, dan saya lantas bacakan puisi-puisi saya yang kebetulan bicara soal kota Surabaya.
Hal ini saya lakukan, karena hanya ingin menggoda penonton agar melihat saya baca puisi, meski mungkin masih ada saja yang tetap tak tergoda karena sedang pacaran. Melihat saya yang penyair dari kota buaya, tapi tidak berperilaku buaya.
Sedangkan orang yang sangat berjasa dalam tampilan baca sajak saya ini, adalah Handry TM, yang mengabadikan momen itu dengan apik dan menarik, dari tustel jelek ‘canon’ yang saya bawa dari Surabaya. Sungguh luar biasa, hasil fotonya bagus, dan momen Pertemuan Puisi Indonesia 1987 tergambar jelas ada di lata belakang belakang foto itu.
Sebenarnya, tukang foto itu adalah Handry TM dari Semarang. Wartawan Harian Suara Merdeka kala itu. Matur nuwun, Cak! (aa).


Desaku Canggu, 25 Maret 2018

MENULIS PUISI JUGA IBADAH


 

 

 

 

 

 

 

 

MENULIS PUISI ITU JUGA NGIBADAH[1]

Oleh: Aming Aminoedhin

            Bagi saya pribadi, menulis puisi itu juga ngibadah. Mengapa demikian?
            Sebab selama puisi yang ditulis, dan kemudian dibaca oleh pembacanya, lantas pembaca itu merasa ada kebenaran yang ditulis penyairnya; apa lagi bisa mengubah perilaku pembaca lebih baik, maka sang penyair dapat pahala. Dan jika pahala itu banyak jumlahnya, insya Allah penyair masuk surga! Amin YRA!
            Tapi menulis puisi bisa juga masuk neraka, jika puisi itu berisi soal yang tidak baik, bahkan mengarah ke persoalan ajakan membenci orang lain, apa lagi membenci Tuhan YME.
Sungguh, jangan menulis puisi semacam itu. Tulislah puisi berdasar intuisi kebeningan hati.
            Beberapa waktu yang lalu, mungkin sepuluh tahun yang lalu, saya termasuk yang diolok-olok secara guyonan oleh teman-teman di kompleks Balai Pemuda Surabaya, yang mengatakan bahwa penyair yang paling awal masuk neraka, adalah Aming.
            “Mengapa?” kata saya.
            “Karena kamulah penyair yang mengajak pembaca Berjamaah di Plaza,” tandasnya!
            Padahal puisi itu, secara ide penulisan adalah karena banyaknya orang-orang masuk ke plaza, hingga berjubel jumlahnya. Tepatnya, ketika Tunjungan Plaza Surabaya baru dibuka, sekitar tahun 1992. Sementara pada waktu itu harinya Jum’at, seakan mereka tidak lagi hirau akan masjid yang mengumandangkan adzan sholat Jum’at, ajakan untuk bersholat jamaah. Plaza, menurutku jadi semacam berhala baru. Sehingga banyak orang ikut berjamaah di dalamnya. Lewat peristiwa itu, maka lahirlah puisi itu, yang secara komplit, bunyinya:
     
BERJAMAAH DI PLAZA

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah

tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi,  belajar tari
dan baca puisi?


tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?

adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?

ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah

                                                        Surabaya, 1992

Setahun sebelumnya, 1991, saya juga menulis tentang kota Surabaya. Tentu beda lagi peristiwa yang saya coba angkat ke dalam bentuk puisi. Ketika itu, kemarau nan panas, air Kalimas susut, hitam, kotor, serta airnya berbuih sisa limbah industri. Seakan-akan Kalimas menangis, tapi orang-orang tak peduli. Sementara mobil-mobil juga menebar polusi, juga pabrik-pabrik menebar sesak udara kota. Orang-orang diam, anggota dewan diam, walikota diam. Dan saya hanya bisa teriak lewat puisi, Surabaya Musim Kemarau, entah didengar atau tidak, saya juga tidak peduli.

SURABAYA MUSIM KEMARAU

surabaya kini lagi musim angin
malam begitu dingin. karena sahabat setia
kemarau panjang ini adalah debu
yang diterbangkan angin polusi selalu
dengan cuaca begitu panas sekali
di siang hari

ke mana perginya awan dan hujan
aku tiada pernah mengerti?

daun-daun pepohonan sepanjang jalan kota
telah berapa lama jatuh
dahan dan ratingnya kering. matahari
dengan leluasa membakar bumi. sangar sekali

air kalimas susut. berwarna keruh
hitam dan menakutkan
ini musim kemarau panjang. tapi limbah industri
terus mengapungkan busa. putih-putih
di atas sepanjang alur kalimas berbuih
kalimas merintih!

akulah saksi itu., surabaya musim kemarau
segalanya seperti risau. bahkan suara-suara
mobil berlarian terdengar parau. kacau!

kota telah dibakar laju peradaban dunia
barangkali mengejar mimpi teknologi
bahkan mungkin ambisi demi ambisi
tanpa batas tepi. tanpa ada teraih di tangan
seorang pemimpi. ilusi!

surabaya musim kemarau
hijau daun pepohonan berganti warna
asap cerobong pabrik terus mengobrak-abrik
udara kota. sesak terasa di dada
sandiwara peradaban kota terus berlangsung
tanpa ujung tanpa juntrung
lantas ke mana rasa bimbang ini
harus ditimbang?

kepada dewan walikota. atau pada
pak walikota? kepada angin, atau pada
musim dingin?

surabaya musim kemarau
teriakanku semakin parau
hati pun kian semakin risau

                                                                Surabaya, 1991

            Dalam mengarungi perjalanan hidup di kota Surabaya, saya menangkap ada beberapa persoalan yang terasa berubah pada individu manusianya. Ada yang yang suka angkuh, menjilat, terbar maksiat, laku bejad, dan bahkan iklan-iklan yang terpampang di pinggir jalanan berkejapan semalaman hanyalah palsu belaka. Bahkan di luar sana (Jakarta) ada juga anggota Dewan yang mengajarkan tanpa aturan naik meja. Abad kian jumpalitan, rakyat kian kesrakat.
            Melihat ini semua, saya coba tuliskan puisi Surabaya Ajari Aku Tentang Benar.




SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta
            
Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

 

Surabaya ajari aku. Ajari aku

Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang,  jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!


                                                                             Surabaya, 21 November 2005

Sebagai penyair yang muslim, saya tak lepas bicara soal bulan puasa, dan kebetulan saat ini kita semua sedang berpuasa. Dalam bulan puasa ada yang namanya malam lailatul qodar. Di mana, jika seseorang mendapatkan lailatul qodar, maka pahalanya adalah seribu bulan. Lantas saya coba puisikan, yang saya sendiri bertanya di penghujung sajak, adakah?

MATEMATIKA LAILATUL QODAR

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu

aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010


Sebenarnya saya tak hanya menulis puisi, tapi juga geguritan (puisi berbahasa Jawa). Hal ini saya lakukan, karena saya dilahirkan Jawa, dan merasa tidak Jawa ketika tidak ikut menulis bahasa Jawa. Di samping itu, saya juga lama berkawan dan ikut jadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), sehingga merasa perlu ikut menulis sastra Jawa. Berikut ini contoh tulisan geguritan yang saya pernah saya tulis.

 

NDHUK ANAKKU WADON

                       * mira aulia alamanda

ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati

amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku
aja mbok tiru!

ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece

mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep madhep
lan manteb terus dhedhepe marang Gusti

Canggu, 2003

            Guritan ini lahir, ketika saya mempunyai anak terakhir yang kebetulan perempuan, ada perasaan was-was ketika melihat zaman telah kian jumpalitan semacam ini. Maka saya perlu memberi wejangan, atau semacam pitutur agar menjalani hidup tetap pada jalur kewajaran dan kebenaran. Tidak seperti yang tergambarkan dalam guritan, banyak perempuan seenaknya dalam berperilaku dalam kehidupannya. Jadilah anak perempuan yang selalu mendekat pada Tuhan, agar hidup penuh keindahan.
            Ada lagi yang menarik, ketika Dolly ditutup Bu Risma, apa yang tejadi? Berikut guritan yang saya tuliskan:

KONANG NDHUWUR BLUMBANG

kodhok ngorek tengah wengi
kaya ora ana enteke anggone muni
swarane kayadene ngelikake marang sapa bae
aja nganti lali manembah marang Gusti Allah
ananging konang kang mabur ana dhuwur blumbang
kayadene ngece, ora nggatekake
wayah peteng ndhedhet kaya ngene
                   malah kluyuran ing tengah wengi

konang iku mono, bengesan abang
                   gandane wangi kaya pocongan
mider ing dalan-dalan ora ana kesele

konang iku malah katon ngece-ece
marang sapa bae, ngajak dalanan salah
dalan kang ora prenah

kodhok ngorek ana tengah wengi iku
tak rungu-rungu kaya swara ngaji
utawa dzikir marang Gusti Ilahi Rabbi

konang mabur ndhuwur blumbang
dakpikir-pikir kok malah tansaya kenthir
tambah wengi tansaya ndadi

Gusti,  kula nyuwun pitedah
tetepa ati punika manembah
mboten kelu-maelu konang
                   kang  bengesan abang

                                             Surabaya, 7 Maret 2014

Barangkali hanya itulah yang bisa saya tulis, guna memicu diskusi pada sore ini. Satu hal yang saya sangat yakini bahwa menulis itu juga ngibadah dengan caranya sendiri. Artinya, bahwa jika seseorang menulis dengan baik, insya Allah akan juga mendapatkan kebaikan di belakang hari. Amin YRA!
Maka menulislah yang baik, jangan saling hujat seperti yang ada di media-sosial akhir-akhir ini. Bismillah.... mau menulis baik-baik, tanpa harus menyelipkan rasa benci.



Desaku Canggu, 12 Ramdhan 1438-H (7 Juni 2017)
Aming Aminoedhin






[1] Materi diskusi bersama mahasiswa Unair, di UK2JT Dharmawangsa 29 - Surabaya, 10 Juni 2017

Senin, 12 Maret 2018


LUDRUK GURITAN/PUISI
UPAYA SOSIALISASI SENI PERTUNJUKAN
DI MASYARAKAT
oleh: Aming Aminoedhin

     Bermain ludruk kata banyak orang, memang susah. Tapi seberapa susahnya bermain ludruk, kunci utamanya adalah perlu adanya latihan secara intensif. Kunci lain yang tak kalah pentingnya, adalah keberanian di atas panggung pentas, bermonolog atau berdialog dengan lawan mainnya. Selebihnya adalah improvisasi-improvisasi pada masing-masing pemain ludruk.
    Terkadang kita terlalu berteori dalam bermain ludruk, sementara itu, teori terkadang menjebak kita saat kita benar-benar bermain di panggung pentas. Bahkan terkadang kita jadi kebingungan akan berbuat apa di atas panggung, menjadi canggung, kaku, dan mungkin linglung. Hafalan jadi buyar, dan kemudian demam panggung, gak berbuat apa-apa. Mati langkah, mati gaya!
     Akan tetapi dalam bermain ludruk perlu juga mengetahui teorinya, termasuk di antaranya persiapan-persiapan sebelum pentas ludruk. Dalam makalah ini saya mengajak sisi lain dengan bercerita tentang, bagaimana saya bersama kawan-kawan PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) menggarap lakon ludruk sedehana yang diselipi dengan pembacaan puisi/guritan.

              Dalam seni pertunjukan ludruk yang biasa kita lihat, memang harus ada beksan atau tari-tarian travesti, remo, kidungan, lawak, dan kemudian cerita atau lakon yang dipentaskan.
              Bentuk seni pertunjukan ini, memang lebih dikenal/dimainkan, serta dicintai oleh mayarakat yang ada di seputaran wilayah Surabaya, Mojokerto, Jombang, Malang,  dan Sidoarjo. Namun pada perkembangannya, bisa meluas ke hampir semua wilayah di Jawa Timur. Misalnya: Pasuruan, Gresik, Probolinggo, Lamongan, Tuban, Bangkalan, Sampang, Nganjuk, dan Madiun.  Bahkan, sewaktu saya kecil (sekitaran 1970-an) di Ngawi ada juga pentas ludruk yang dimainkan oleh Ludruk Armed atau Arhanud (saya sudah lupa, persisnya).
              Dari peta persebaran pentas ludruk yang meluas di berbagai kota ini, tampaknya ludruk memang sangatlah digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Sungguh, sebuah seni pertunjukan tradisi yang cukup mengakar dan punya potensi untuk kembali dikembangkan lagi agar tetaplah lestari.
              Mengapa dikembangkan lagi?
              Sebab selama ini, ludruk merupakan corong/alat kampanye yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan-pesan Pemerintah. Sewaktu zaman Orde Baru, kampanye soal pertanian, keluarga berencana, atau kesehatan dll. bisa sangat cepat ditangkap masyarakat; melalui pentas ludruk. Di samping itu, sekarang ini ludruk juga sudah agak berkurang jumlahnya, berkurang kelompok/grup ludruk, serta berkurang pula adanya pentas-pentas ludruk.
              Bahkan kota Surabaya, yang merupakan ibu kota Jawa Timur, serta dekat dengan kantong-kantong kelompok/grup ludruk seperti Mojokerto, Jombang, dan Malang; jarang sekali ada pentas ludruk. Padahal banyak wisatawan yang ingin menonton pentas ludruk? Lalu ke mana harus menontonnya?
              Sementara itu, Grup Ludruk Karya Budaya Mojokerto, yang masih tetap eksis berpentas itu,  tapi pentasnya banyak di daerah-daerah pinggiran. Gresik, Jombang, Pasuruan, Lamongan, dan Mojokerto sendiri.
              Sedangkan wisatawan itu, datangnya di kota Surabaya. Sehingga teramat susah/malas jika harus melihat ludruk dengan jarak tempuh teramat jauh di daerah pinggiran tersebut.
              Upaya yang cukup bagus, ketika Meimura bersama Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara-nya, menghidupkan kembali ludruk anak-anak, atau pentas ludruk dengan lakon-lakon cerita kekinian. Misalnya: Caligula, Burung-Burung, dan Wartini Ledhek Pasar Turi.

Ludruk Puisi atau Guritan
              Di tengah gempuran teknologi informasi yang terasa melesat cepat ini, seni pertunjukan ludruk memang terasa ter/dipinggirkan. Belum lagi bersaingan seni-seni modern kian mewabah dengan berbagai jenis, bentuk dan aliran masing-masing yang terasa cepat dikenal dan digandrungi masyarakat, utamanya kaum muda.
              Dalam upaya kembali mengangkat dan mengenalkan kembali ludruk di kalangan kaum muda,  PPSJS mencoba buat acara ludruk puisi. Kedengarannya memang agak aneh, tapi itu yang coba kami gelar-pentaskan di berbagai kota, seperti: Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Solo.
              Beberapa waktu yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2015, ketika saya bersama komunitas PPSJS (Paguyuban  Pengarang Sastra Jawa Surabaya) mau pentas sastra Jawa, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta; muncullah ide garapan ludruk puisi ini.
              Bermula dari ide R. Giryadi bersama Widodo Basuki, ingin tampil baca gurit dengan format lain dari yang lain. Pokoknya harus tampil beda, dalam sajian pentasnya. Maka muncullah ide, baca gurit di antara potongan lakon ludruk yang digarap secara sederhana. Tidak lengkap memang, tapi ide garapannya yang penting penonton tertawa, sekaligus mau dengar isi guritan yang dibaca.
              Dari pentas Ludruk Guritan di Tembi Rumah Budaya – Yogya ini, ternyata audiens/penonton sangat menikmati sajian kami, komunitas PPSJS, menggelarpentaskan ludruk guritan. Penonton di Yogyakarta terbahak-bahak, menonton kami. Penonton terpuaskan gaya baca guritan di antara lakon ludruk sederhana yang dibuat. Sungguh, sebuah terobosan baca guritan, bersama lawakan; yang menurut saya cukup berhasil.
              Pada gelaran pentasnya, diawali dengan kidungannya R. Giryadi, lalu bercerita akan melakonkan sebuah cerita. Lantas muncullahWidodo, Aming, Djoko Prakosa, Harmono, ikut bergabung dalam memasuki lakon cerita dengan berdialog, yang dalam dialognya lebih berisi tentang guyonan parikena.
              Sementara itu, di antara cerita selalu diselipkan baca guritan agar tidak menjenuhkan penontonnya. Satu persatu antarpemain ludruk ini akan tampil baca guritan. Tampil membaca dengan serius, terkadang juga dibaca dengan guyonan. Sehingga pentas terasa begitu cair, dan menghibur audiens-nya.
              Beberapa guritan yang dibacakan acara ludruk guritan seperti di bawah ini:
             
              Widodo Basuki
              GRAHANA

              grahana rembulan warna dubang
              abang nyilemi sukmane padhang
              lang
              gumilang ana wewadi
              sawise wengi
              gumingsir


              grahana dadi tandha
              yen tanpa cahya
              manungsa dadi brahala 

              2015

aming aminoedhin
NDHUK ANAKKU WADON 
* mira aulia alamanda

ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati

amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku

ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece

mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep madhep
lan manteb terus dhedhepe marang Gusti

Canggu, 2003

R. Giryadi
MENDHUNG

siji kang dadi penjalukku marang sira
kang lelimengan ing mega. ireng kaya
areng. aja duka marang aku kang lagi
keraya-raya: nandhang branta

ning iku dudu brantane wong bebrayan
iki brantane wong kang sesidheman ing
tengahe mendhung kang lelimengan
ngedhang sumunare surya

mendhung kaya tembok gedhe kanthi
lumut lumut nyengkerem ati surem
surem kang andakwa urip dadi sak gurem
: dhuh gusti punapa kula taksih wonten wedal
Sowan kanthi ati adhem ayem.

mendhung lelimengan tansaya ireng
Ngebaki kamar kang nyenyet dening pokal
gawene kekarepan kang jejel riyel ora
winates pantes.

aku ora isa obah. obahku kepradhah.
kepradhah tanpa sesolah. sesolahe wong
kang golek dalan padhang. padhange
panyawang ing gemelare sajadah.

Surabaya, ing pinggire mendhung wanci sore rikala adan magrib, 2014.

              Sementara itu beberapa puisi-puisi yang pernah dibacakan pada acara ludruk puisi, antara lain:

aming aminoedhin
            MALAM SUNYI INI

malam terasa nglangut, hanya kelam berdiri
suara serangga itu juga tak runtut
bersuara begitu carut-marut
seperti indonesiaku kini
kian terasa tak pasti
ke mana arah suara rakyat akan dibawa
langkah kaki  bisa patah di tengah
jika gebalau tak sirna, risau itu kian kacau

malam sunyi ini, kian kudengar
            racau suara serangga kian risau kian kacau
sesangsai rakyat menunggu sirnanya gebalau
di jakarta tak kunjung usai

ah...indonesia tanah tumpahku
adakah masih akan menimbun duka rakyat
kian melarat kian kesrakat, dan
kian terasa pilu bagai sembilu

ah...indonesia tanah airku
adakah masih akan curahkan air mata rakyat
kian membanjiri berjuta desa-desa
bikin rakyat kian duka lara

malam sunyi ini, hanya bisa kutulis
berbaris puisi soal indonesiaku
kian terasa kritis, bikin hati miris

malam sunyi ini hanya bisa
kutulis indonesia, dalam baris-baris puisi
bukan umpatan bukan pula doa hajatan
bukan demo apa lagi bikin kacau
lantaran puisi ini hanya suara hati
dengar, sekali lagi dengarkan!

Desaku Canggu, 13/4/2015


R Giryadi
PULANG

Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Di kakiku cakrawala menghilang
Tak ada batas jarak pandang
Mataku terpejam penuh bayang-bayang
: tentang burung-burung bersarang pulang

Nyaliku laksana kesiur angin petang
Tubuhku merepih ditepian jaman
Berbisik pada rekah padang gersang
: inikah waktu kan menjelang?

Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Aku rindu reroncen  tetembangan
Tempat tubuh menimbang bimbang
Tempat tubuh merebah semba
hyang

Oktober panas yang mengeras, 2013



R Djoko Prakosa
NYADRAN

kami datang padamu..
bersamaan senja mendatangi kuburmu
berdoa dan mengenangmu
apa adanya.
kami mulai puasa besok berharap dapat taberi prihatin
seperti pesan akhirmu
le..hidup harus taberi prihatin
supaya tetap tajem, eling, lan waspada
prihatin,  perihing batin  
menjaga kepedihan batin menjadikan selalu terjaga
dalam hidup!
sepayah apapun hidup ini
semakmur apapun hidup kita
…..
kami mulai puasa besok
menegakkan rasa prihatin
kami siramkan air bunga ini
untuk mengenangmu apa adanya
menjalani pesan akhirmu
apa adanya.


 (Bata Ijo,  16 Juni 2104)


Widodo Basuki
SESAJI PUISI

kukirim sekumpulan puisi
sebagai sesaji
permohonan pada yang mbaureksa hidup
agar rejeki tak pernah redup
sesaji pada sangkan paraning dumadi
agar hidup penuh eksistensi

“le, wong sabar iku subur” kata embah
aku manggut-manggut
ya mbah, rejeki tak perlu berebut

kukirim sekumpulan puisi
untuk para pengadil
agar senantiasa 
madhep dhingkel maring Allah
urip mung saderma
sumarah
sumendhe
dhepe-dhepe

“le, dengan berserah
Gusti akan meneteskan berkah!”

Sukolegok, 2015

Dari beberapa guritan maupun puisi yang dibacakan dalam pentas ludruk guritan/puisi
tersebut, sebenarnya tidak bisa terlepas dari persoalan memasyrakatkan Pancasila.  Betapa tidak?
Sebab isi guritan/puisi yang dibacakan masih bicara soal bagaimana kita, sebagai manusia, seharusnya selalu ingat pada Tuhan. Selalu dhedhepe/mendekat kepada Tuhan-nya. Begitu pula, puisi-puisi yang dibacakan hampir sama dan senada.
Barangkali tidak hanya persoalan Tuhan saja yang diusung, tetapi juga manusia itu sendiri yang seharusnya berlaku baik kepada sesama, kepada alam, dan kepada siapa saja. Tidak berlaku seenaknya, dengan misalnya korupsi atau main hakim sendiri. Bisa juga guritan atau puisinya berisi kritik sosial, kritik kepada Pemerintsh, Pejabat, atau mungkin kritik terhadap aturan-aturan yang kurang membumi, alias pro kepada rakyat.

Penutup
            Pada akhirnya, bahwa PPSJS yang merupakan komunitas pengarang sastra Jawa di Surabaya ini, telah mencoba menumbuh-kembangkan, dalam arti memasyarakatkan sastra, sekaligus ludruk dalam bentuk yang sangat sederhana kepada masyarakat kaum muda, lewat pentas ludruk guritan/puisi tersebut. Hal ini, agar sastra dan ludruk agar kembali disenangi kaum muda, yang kini banyak berkiblat pada musik Barat dan Korea.
Ludruk guritan/puisi ini merupakan gerakan atau upaya sosialisasi seni pertunjukan
ludruk secara sangat sederhana kepada masyarakat kaum muda. Tentunya, tanpa melupakan pesan-pesan isi Pancasila kepada penontonnya. Dan apabila kaum muda tersebut mulai tertarik, kita ajak mereka bermain ludruk secara sebenarnya, seperti Ludruk Karya Budaya.
            Barangkali dalam tulisan pendek ini masih banyak kekurangannya, hal itu perlu untuk dimaafkan, dan mari kita diskusikan bersama! Selanjutnya mari seni budaya untuk terus ditumbuhkembangkan guna sosialisai mengkampanyekan amalan Pancasila. Mari!!!

Desaku Canggu, 5 Februari 2018
Aming Aminoedhin


BIODATA PENULIS
aming aminoedhin
nama aslinya: mohammad amir tohar              
lahir di ngawi, 22 desember 1957.                       
alumni fakultas sastra, universitas sebelas maret surakarta, jurusan bahasa dan sastra indonesia. aktif kegiatan teater, dan pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se jatim tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. pernah menjabat biro sastra – dewan kesenian surabaya. ketua hp-3-n (himpunan pengarang, penulis, dan penyair nusantara) jatim, koordinator fass forum apresiasi sastra surabaya), dan penggagas kegiatan malam sastra surabaya atau “malsasa” di dewan kesenian surabaya. punya predikat presiden penyair jatim’ dijuluki oleh profesor doktor suripan sadi hutomo, almarhum. ikut temu penyair jateng di semarang (1983), temu penyair indonesia di taman ismail marzuki jakarta (1987), pertemuan sastrawan nusantara (psn) XII di singapura. serta baca puisi di berbagai kota di jawa timur, dan terakhir baca puisi di tembi rumah budaya, yogyakarta.
karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain: Jawa Pos, Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post, dan banyak lagi. sedang majalah yang memuat puisinya antara lain: Zaman, Horison, dan Basis. kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain: Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa ‘92, ‘94, ‘96, 2000; Surabaya Kotaku, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak,  Gresla Mamoso, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, MOH, Malsasa, Malsalis, Malsabaru, dan terakhir Malsajaya, bertajuk “Mlesat Bareng Ukara” (22 April 2014). Kumpulan puisinya sendiri: Tanpa Mripat (kumpulan guritan), Mataku Mata Ikan, Surabaya Musim Kemarau, Kereta Puisi. Ia, sekarang masih aktif di ppsjs (paguyuban pengarang sastra jawa surabaya), ketua forum sastra bersama surabaya (fsbs). email: aming.syair@gmail.com
alamat rumah: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan jetis – mojoketo 61352