Senin, 12 Maret 2018


LUDRUK GURITAN/PUISI
UPAYA SOSIALISASI SENI PERTUNJUKAN
DI MASYARAKAT
oleh: Aming Aminoedhin

     Bermain ludruk kata banyak orang, memang susah. Tapi seberapa susahnya bermain ludruk, kunci utamanya adalah perlu adanya latihan secara intensif. Kunci lain yang tak kalah pentingnya, adalah keberanian di atas panggung pentas, bermonolog atau berdialog dengan lawan mainnya. Selebihnya adalah improvisasi-improvisasi pada masing-masing pemain ludruk.
    Terkadang kita terlalu berteori dalam bermain ludruk, sementara itu, teori terkadang menjebak kita saat kita benar-benar bermain di panggung pentas. Bahkan terkadang kita jadi kebingungan akan berbuat apa di atas panggung, menjadi canggung, kaku, dan mungkin linglung. Hafalan jadi buyar, dan kemudian demam panggung, gak berbuat apa-apa. Mati langkah, mati gaya!
     Akan tetapi dalam bermain ludruk perlu juga mengetahui teorinya, termasuk di antaranya persiapan-persiapan sebelum pentas ludruk. Dalam makalah ini saya mengajak sisi lain dengan bercerita tentang, bagaimana saya bersama kawan-kawan PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya) menggarap lakon ludruk sedehana yang diselipi dengan pembacaan puisi/guritan.

              Dalam seni pertunjukan ludruk yang biasa kita lihat, memang harus ada beksan atau tari-tarian travesti, remo, kidungan, lawak, dan kemudian cerita atau lakon yang dipentaskan.
              Bentuk seni pertunjukan ini, memang lebih dikenal/dimainkan, serta dicintai oleh mayarakat yang ada di seputaran wilayah Surabaya, Mojokerto, Jombang, Malang,  dan Sidoarjo. Namun pada perkembangannya, bisa meluas ke hampir semua wilayah di Jawa Timur. Misalnya: Pasuruan, Gresik, Probolinggo, Lamongan, Tuban, Bangkalan, Sampang, Nganjuk, dan Madiun.  Bahkan, sewaktu saya kecil (sekitaran 1970-an) di Ngawi ada juga pentas ludruk yang dimainkan oleh Ludruk Armed atau Arhanud (saya sudah lupa, persisnya).
              Dari peta persebaran pentas ludruk yang meluas di berbagai kota ini, tampaknya ludruk memang sangatlah digemari oleh masyarakat Jawa Timur. Sungguh, sebuah seni pertunjukan tradisi yang cukup mengakar dan punya potensi untuk kembali dikembangkan lagi agar tetaplah lestari.
              Mengapa dikembangkan lagi?
              Sebab selama ini, ludruk merupakan corong/alat kampanye yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan-pesan Pemerintah. Sewaktu zaman Orde Baru, kampanye soal pertanian, keluarga berencana, atau kesehatan dll. bisa sangat cepat ditangkap masyarakat; melalui pentas ludruk. Di samping itu, sekarang ini ludruk juga sudah agak berkurang jumlahnya, berkurang kelompok/grup ludruk, serta berkurang pula adanya pentas-pentas ludruk.
              Bahkan kota Surabaya, yang merupakan ibu kota Jawa Timur, serta dekat dengan kantong-kantong kelompok/grup ludruk seperti Mojokerto, Jombang, dan Malang; jarang sekali ada pentas ludruk. Padahal banyak wisatawan yang ingin menonton pentas ludruk? Lalu ke mana harus menontonnya?
              Sementara itu, Grup Ludruk Karya Budaya Mojokerto, yang masih tetap eksis berpentas itu,  tapi pentasnya banyak di daerah-daerah pinggiran. Gresik, Jombang, Pasuruan, Lamongan, dan Mojokerto sendiri.
              Sedangkan wisatawan itu, datangnya di kota Surabaya. Sehingga teramat susah/malas jika harus melihat ludruk dengan jarak tempuh teramat jauh di daerah pinggiran tersebut.
              Upaya yang cukup bagus, ketika Meimura bersama Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara-nya, menghidupkan kembali ludruk anak-anak, atau pentas ludruk dengan lakon-lakon cerita kekinian. Misalnya: Caligula, Burung-Burung, dan Wartini Ledhek Pasar Turi.

Ludruk Puisi atau Guritan
              Di tengah gempuran teknologi informasi yang terasa melesat cepat ini, seni pertunjukan ludruk memang terasa ter/dipinggirkan. Belum lagi bersaingan seni-seni modern kian mewabah dengan berbagai jenis, bentuk dan aliran masing-masing yang terasa cepat dikenal dan digandrungi masyarakat, utamanya kaum muda.
              Dalam upaya kembali mengangkat dan mengenalkan kembali ludruk di kalangan kaum muda,  PPSJS mencoba buat acara ludruk puisi. Kedengarannya memang agak aneh, tapi itu yang coba kami gelar-pentaskan di berbagai kota, seperti: Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Solo.
              Beberapa waktu yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2015, ketika saya bersama komunitas PPSJS (Paguyuban  Pengarang Sastra Jawa Surabaya) mau pentas sastra Jawa, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta; muncullah ide garapan ludruk puisi ini.
              Bermula dari ide R. Giryadi bersama Widodo Basuki, ingin tampil baca gurit dengan format lain dari yang lain. Pokoknya harus tampil beda, dalam sajian pentasnya. Maka muncullah ide, baca gurit di antara potongan lakon ludruk yang digarap secara sederhana. Tidak lengkap memang, tapi ide garapannya yang penting penonton tertawa, sekaligus mau dengar isi guritan yang dibaca.
              Dari pentas Ludruk Guritan di Tembi Rumah Budaya – Yogya ini, ternyata audiens/penonton sangat menikmati sajian kami, komunitas PPSJS, menggelarpentaskan ludruk guritan. Penonton di Yogyakarta terbahak-bahak, menonton kami. Penonton terpuaskan gaya baca guritan di antara lakon ludruk sederhana yang dibuat. Sungguh, sebuah terobosan baca guritan, bersama lawakan; yang menurut saya cukup berhasil.
              Pada gelaran pentasnya, diawali dengan kidungannya R. Giryadi, lalu bercerita akan melakonkan sebuah cerita. Lantas muncullahWidodo, Aming, Djoko Prakosa, Harmono, ikut bergabung dalam memasuki lakon cerita dengan berdialog, yang dalam dialognya lebih berisi tentang guyonan parikena.
              Sementara itu, di antara cerita selalu diselipkan baca guritan agar tidak menjenuhkan penontonnya. Satu persatu antarpemain ludruk ini akan tampil baca guritan. Tampil membaca dengan serius, terkadang juga dibaca dengan guyonan. Sehingga pentas terasa begitu cair, dan menghibur audiens-nya.
              Beberapa guritan yang dibacakan acara ludruk guritan seperti di bawah ini:
             
              Widodo Basuki
              GRAHANA

              grahana rembulan warna dubang
              abang nyilemi sukmane padhang
              lang
              gumilang ana wewadi
              sawise wengi
              gumingsir


              grahana dadi tandha
              yen tanpa cahya
              manungsa dadi brahala 

              2015

aming aminoedhin
NDHUK ANAKKU WADON 
* mira aulia alamanda

ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati

amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku

ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece

mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep madhep
lan manteb terus dhedhepe marang Gusti

Canggu, 2003

R. Giryadi
MENDHUNG

siji kang dadi penjalukku marang sira
kang lelimengan ing mega. ireng kaya
areng. aja duka marang aku kang lagi
keraya-raya: nandhang branta

ning iku dudu brantane wong bebrayan
iki brantane wong kang sesidheman ing
tengahe mendhung kang lelimengan
ngedhang sumunare surya

mendhung kaya tembok gedhe kanthi
lumut lumut nyengkerem ati surem
surem kang andakwa urip dadi sak gurem
: dhuh gusti punapa kula taksih wonten wedal
Sowan kanthi ati adhem ayem.

mendhung lelimengan tansaya ireng
Ngebaki kamar kang nyenyet dening pokal
gawene kekarepan kang jejel riyel ora
winates pantes.

aku ora isa obah. obahku kepradhah.
kepradhah tanpa sesolah. sesolahe wong
kang golek dalan padhang. padhange
panyawang ing gemelare sajadah.

Surabaya, ing pinggire mendhung wanci sore rikala adan magrib, 2014.

              Sementara itu beberapa puisi-puisi yang pernah dibacakan pada acara ludruk puisi, antara lain:

aming aminoedhin
            MALAM SUNYI INI

malam terasa nglangut, hanya kelam berdiri
suara serangga itu juga tak runtut
bersuara begitu carut-marut
seperti indonesiaku kini
kian terasa tak pasti
ke mana arah suara rakyat akan dibawa
langkah kaki  bisa patah di tengah
jika gebalau tak sirna, risau itu kian kacau

malam sunyi ini, kian kudengar
            racau suara serangga kian risau kian kacau
sesangsai rakyat menunggu sirnanya gebalau
di jakarta tak kunjung usai

ah...indonesia tanah tumpahku
adakah masih akan menimbun duka rakyat
kian melarat kian kesrakat, dan
kian terasa pilu bagai sembilu

ah...indonesia tanah airku
adakah masih akan curahkan air mata rakyat
kian membanjiri berjuta desa-desa
bikin rakyat kian duka lara

malam sunyi ini, hanya bisa kutulis
berbaris puisi soal indonesiaku
kian terasa kritis, bikin hati miris

malam sunyi ini hanya bisa
kutulis indonesia, dalam baris-baris puisi
bukan umpatan bukan pula doa hajatan
bukan demo apa lagi bikin kacau
lantaran puisi ini hanya suara hati
dengar, sekali lagi dengarkan!

Desaku Canggu, 13/4/2015


R Giryadi
PULANG

Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Di kakiku cakrawala menghilang
Tak ada batas jarak pandang
Mataku terpejam penuh bayang-bayang
: tentang burung-burung bersarang pulang

Nyaliku laksana kesiur angin petang
Tubuhku merepih ditepian jaman
Berbisik pada rekah padang gersang
: inikah waktu kan menjelang?

Wahai ilalang, beri aku jalan pulang
Aku rindu reroncen  tetembangan
Tempat tubuh menimbang bimbang
Tempat tubuh merebah semba
hyang

Oktober panas yang mengeras, 2013



R Djoko Prakosa
NYADRAN

kami datang padamu..
bersamaan senja mendatangi kuburmu
berdoa dan mengenangmu
apa adanya.
kami mulai puasa besok berharap dapat taberi prihatin
seperti pesan akhirmu
le..hidup harus taberi prihatin
supaya tetap tajem, eling, lan waspada
prihatin,  perihing batin  
menjaga kepedihan batin menjadikan selalu terjaga
dalam hidup!
sepayah apapun hidup ini
semakmur apapun hidup kita
…..
kami mulai puasa besok
menegakkan rasa prihatin
kami siramkan air bunga ini
untuk mengenangmu apa adanya
menjalani pesan akhirmu
apa adanya.


 (Bata Ijo,  16 Juni 2104)


Widodo Basuki
SESAJI PUISI

kukirim sekumpulan puisi
sebagai sesaji
permohonan pada yang mbaureksa hidup
agar rejeki tak pernah redup
sesaji pada sangkan paraning dumadi
agar hidup penuh eksistensi

“le, wong sabar iku subur” kata embah
aku manggut-manggut
ya mbah, rejeki tak perlu berebut

kukirim sekumpulan puisi
untuk para pengadil
agar senantiasa 
madhep dhingkel maring Allah
urip mung saderma
sumarah
sumendhe
dhepe-dhepe

“le, dengan berserah
Gusti akan meneteskan berkah!”

Sukolegok, 2015

Dari beberapa guritan maupun puisi yang dibacakan dalam pentas ludruk guritan/puisi
tersebut, sebenarnya tidak bisa terlepas dari persoalan memasyrakatkan Pancasila.  Betapa tidak?
Sebab isi guritan/puisi yang dibacakan masih bicara soal bagaimana kita, sebagai manusia, seharusnya selalu ingat pada Tuhan. Selalu dhedhepe/mendekat kepada Tuhan-nya. Begitu pula, puisi-puisi yang dibacakan hampir sama dan senada.
Barangkali tidak hanya persoalan Tuhan saja yang diusung, tetapi juga manusia itu sendiri yang seharusnya berlaku baik kepada sesama, kepada alam, dan kepada siapa saja. Tidak berlaku seenaknya, dengan misalnya korupsi atau main hakim sendiri. Bisa juga guritan atau puisinya berisi kritik sosial, kritik kepada Pemerintsh, Pejabat, atau mungkin kritik terhadap aturan-aturan yang kurang membumi, alias pro kepada rakyat.

Penutup
            Pada akhirnya, bahwa PPSJS yang merupakan komunitas pengarang sastra Jawa di Surabaya ini, telah mencoba menumbuh-kembangkan, dalam arti memasyarakatkan sastra, sekaligus ludruk dalam bentuk yang sangat sederhana kepada masyarakat kaum muda, lewat pentas ludruk guritan/puisi tersebut. Hal ini, agar sastra dan ludruk agar kembali disenangi kaum muda, yang kini banyak berkiblat pada musik Barat dan Korea.
Ludruk guritan/puisi ini merupakan gerakan atau upaya sosialisasi seni pertunjukan
ludruk secara sangat sederhana kepada masyarakat kaum muda. Tentunya, tanpa melupakan pesan-pesan isi Pancasila kepada penontonnya. Dan apabila kaum muda tersebut mulai tertarik, kita ajak mereka bermain ludruk secara sebenarnya, seperti Ludruk Karya Budaya.
            Barangkali dalam tulisan pendek ini masih banyak kekurangannya, hal itu perlu untuk dimaafkan, dan mari kita diskusikan bersama! Selanjutnya mari seni budaya untuk terus ditumbuhkembangkan guna sosialisai mengkampanyekan amalan Pancasila. Mari!!!

Desaku Canggu, 5 Februari 2018
Aming Aminoedhin


BIODATA PENULIS
aming aminoedhin
nama aslinya: mohammad amir tohar              
lahir di ngawi, 22 desember 1957.                       
alumni fakultas sastra, universitas sebelas maret surakarta, jurusan bahasa dan sastra indonesia. aktif kegiatan teater, dan pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se jatim tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. pernah menjabat biro sastra – dewan kesenian surabaya. ketua hp-3-n (himpunan pengarang, penulis, dan penyair nusantara) jatim, koordinator fass forum apresiasi sastra surabaya), dan penggagas kegiatan malam sastra surabaya atau “malsasa” di dewan kesenian surabaya. punya predikat presiden penyair jatim’ dijuluki oleh profesor doktor suripan sadi hutomo, almarhum. ikut temu penyair jateng di semarang (1983), temu penyair indonesia di taman ismail marzuki jakarta (1987), pertemuan sastrawan nusantara (psn) XII di singapura. serta baca puisi di berbagai kota di jawa timur, dan terakhir baca puisi di tembi rumah budaya, yogyakarta.
karya puisinya banyak dimuat di koran dan majalah lokal dan ibu kota, antara lain: Jawa Pos, Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Singgalang, Sriwijaya Post, Banjarmasin Post, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Bali Post, dan banyak lagi. sedang majalah yang memuat puisinya antara lain: Zaman, Horison, dan Basis. kumpulan puisinya bersama rekan penyair lain: Husst, Nyenyet, Wajah Bertiga, Reportase Sunyi, Pagelaran, Malsasa ‘92, ‘94, ‘96, 2000; Surabaya Kotaku, Memo Putih, Tanah Kapur, Tanah Rengkah, Semangat Tanjung Perak,  Gresla Mamoso, Kabar Saka Bendul Mrisi, Drona Gugat, MOH, Malsasa, Malsalis, Malsabaru, dan terakhir Malsajaya, bertajuk “Mlesat Bareng Ukara” (22 April 2014). Kumpulan puisinya sendiri: Tanpa Mripat (kumpulan guritan), Mataku Mata Ikan, Surabaya Musim Kemarau, Kereta Puisi. Ia, sekarang masih aktif di ppsjs (paguyuban pengarang sastra jawa surabaya), ketua forum sastra bersama surabaya (fsbs). email: aming.syair@gmail.com
alamat rumah: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan jetis – mojoketo 61352
           












Tidak ada komentar: