Kamis, 29 Maret 2018

MENULIS PUISI JUGA IBADAH


 

 

 

 

 

 

 

 

MENULIS PUISI ITU JUGA NGIBADAH[1]

Oleh: Aming Aminoedhin

            Bagi saya pribadi, menulis puisi itu juga ngibadah. Mengapa demikian?
            Sebab selama puisi yang ditulis, dan kemudian dibaca oleh pembacanya, lantas pembaca itu merasa ada kebenaran yang ditulis penyairnya; apa lagi bisa mengubah perilaku pembaca lebih baik, maka sang penyair dapat pahala. Dan jika pahala itu banyak jumlahnya, insya Allah penyair masuk surga! Amin YRA!
            Tapi menulis puisi bisa juga masuk neraka, jika puisi itu berisi soal yang tidak baik, bahkan mengarah ke persoalan ajakan membenci orang lain, apa lagi membenci Tuhan YME.
Sungguh, jangan menulis puisi semacam itu. Tulislah puisi berdasar intuisi kebeningan hati.
            Beberapa waktu yang lalu, mungkin sepuluh tahun yang lalu, saya termasuk yang diolok-olok secara guyonan oleh teman-teman di kompleks Balai Pemuda Surabaya, yang mengatakan bahwa penyair yang paling awal masuk neraka, adalah Aming.
            “Mengapa?” kata saya.
            “Karena kamulah penyair yang mengajak pembaca Berjamaah di Plaza,” tandasnya!
            Padahal puisi itu, secara ide penulisan adalah karena banyaknya orang-orang masuk ke plaza, hingga berjubel jumlahnya. Tepatnya, ketika Tunjungan Plaza Surabaya baru dibuka, sekitar tahun 1992. Sementara pada waktu itu harinya Jum’at, seakan mereka tidak lagi hirau akan masjid yang mengumandangkan adzan sholat Jum’at, ajakan untuk bersholat jamaah. Plaza, menurutku jadi semacam berhala baru. Sehingga banyak orang ikut berjamaah di dalamnya. Lewat peristiwa itu, maka lahirlah puisi itu, yang secara komplit, bunyinya:
     
BERJAMAAH DI PLAZA

kata seorang kyai, belajar ngaji
adalah amalan yang patut dipuji
dan sholat berjamaah
dapat pahala berkah
berlipat-lipat jumlah

tapi kenapa banyak orang
belajar nyanyi,  belajar tari
dan baca puisi?


tapi kenapa banyak orang berjamaah
hanya di plaza-plaza
hamburkan uang berjuta-juta?

adakah ini dapat dipuji, dan
adakah plaza menyimpan pahala
berlipat ganda?

ah… barangkali saja, plaza-plaza
telah jadi berhala baru
yang dipoles gincu
begitu indah
dan banyak orang ikut berjamaah

                                                        Surabaya, 1992

Setahun sebelumnya, 1991, saya juga menulis tentang kota Surabaya. Tentu beda lagi peristiwa yang saya coba angkat ke dalam bentuk puisi. Ketika itu, kemarau nan panas, air Kalimas susut, hitam, kotor, serta airnya berbuih sisa limbah industri. Seakan-akan Kalimas menangis, tapi orang-orang tak peduli. Sementara mobil-mobil juga menebar polusi, juga pabrik-pabrik menebar sesak udara kota. Orang-orang diam, anggota dewan diam, walikota diam. Dan saya hanya bisa teriak lewat puisi, Surabaya Musim Kemarau, entah didengar atau tidak, saya juga tidak peduli.

SURABAYA MUSIM KEMARAU

surabaya kini lagi musim angin
malam begitu dingin. karena sahabat setia
kemarau panjang ini adalah debu
yang diterbangkan angin polusi selalu
dengan cuaca begitu panas sekali
di siang hari

ke mana perginya awan dan hujan
aku tiada pernah mengerti?

daun-daun pepohonan sepanjang jalan kota
telah berapa lama jatuh
dahan dan ratingnya kering. matahari
dengan leluasa membakar bumi. sangar sekali

air kalimas susut. berwarna keruh
hitam dan menakutkan
ini musim kemarau panjang. tapi limbah industri
terus mengapungkan busa. putih-putih
di atas sepanjang alur kalimas berbuih
kalimas merintih!

akulah saksi itu., surabaya musim kemarau
segalanya seperti risau. bahkan suara-suara
mobil berlarian terdengar parau. kacau!

kota telah dibakar laju peradaban dunia
barangkali mengejar mimpi teknologi
bahkan mungkin ambisi demi ambisi
tanpa batas tepi. tanpa ada teraih di tangan
seorang pemimpi. ilusi!

surabaya musim kemarau
hijau daun pepohonan berganti warna
asap cerobong pabrik terus mengobrak-abrik
udara kota. sesak terasa di dada
sandiwara peradaban kota terus berlangsung
tanpa ujung tanpa juntrung
lantas ke mana rasa bimbang ini
harus ditimbang?

kepada dewan walikota. atau pada
pak walikota? kepada angin, atau pada
musim dingin?

surabaya musim kemarau
teriakanku semakin parau
hati pun kian semakin risau

                                                                Surabaya, 1991

            Dalam mengarungi perjalanan hidup di kota Surabaya, saya menangkap ada beberapa persoalan yang terasa berubah pada individu manusianya. Ada yang yang suka angkuh, menjilat, terbar maksiat, laku bejad, dan bahkan iklan-iklan yang terpampang di pinggir jalanan berkejapan semalaman hanyalah palsu belaka. Bahkan di luar sana (Jakarta) ada juga anggota Dewan yang mengajarkan tanpa aturan naik meja. Abad kian jumpalitan, rakyat kian kesrakat.
            Melihat ini semua, saya coba tuliskan puisi Surabaya Ajari Aku Tentang Benar.




SURABAYA AJARI AKU TENTANG BENAR

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
Tanpa harus pandai menjilat apa lagi berlaku bejat
Menebar maksiat dengan topeng-topeng lampu gemerlap
Ajari aku tidak angkuh
Apa lagi memaksa kehendak bersikukuh
Hanya lantaran sebentuk kursi yang kian lama kian rapuh

Surabaya, ajari aku bicara apa adanya
jangan ajari aku gampang lupa gampang berdusta
jangan pula ajari aku dan warga kota, naik meja
seperti orang-orang dewan di Jakarta
            
Surabaya, ajari aku jadi wakil rakyat
lebih banyak menimang dan menimbang hati nurani
membuat kata putus benar-benar manusiawi
menjalankan program dengan kendaraan nurani hati

 

Surabaya ajari aku. Ajari aku

Ajari aku jadi wakil rakyat dan pejabat
tanpa harus berebut, apa lagi saling sikut
yang berujung rakyat kian melarat kian kesrakat
menatap hidup kian jumpalitan di ujung abad
tanpa ada ujung. tanpa ada juntrung

Surabaya memang boleh berdandan
bila malam lampu-lampu iklan warna-warni
siang,  jalanan tertib kendaraan berpolusi
senja meremang, mentarinya seindah pagi
di antara gedung tua dan Tugu Pahlawan kita

Surabaya ajari aku. Ajari aku bicara apa adanya
sebab suara rakyat adalah suara Tuhan
kau harus kian sadar bahwa berkata harus benar
dan suara rakyat adalah suara kebenaran
tak terbantahkan. Tak terbantahkan!

Surabaya ajari aku tentang benar. Tentang benar!


                                                                             Surabaya, 21 November 2005

Sebagai penyair yang muslim, saya tak lepas bicara soal bulan puasa, dan kebetulan saat ini kita semua sedang berpuasa. Dalam bulan puasa ada yang namanya malam lailatul qodar. Di mana, jika seseorang mendapatkan lailatul qodar, maka pahalanya adalah seribu bulan. Lantas saya coba puisikan, yang saya sendiri bertanya di penghujung sajak, adakah?

MATEMATIKA LAILATUL QODAR

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu

aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010


Sebenarnya saya tak hanya menulis puisi, tapi juga geguritan (puisi berbahasa Jawa). Hal ini saya lakukan, karena saya dilahirkan Jawa, dan merasa tidak Jawa ketika tidak ikut menulis bahasa Jawa. Di samping itu, saya juga lama berkawan dan ikut jadi pengurus Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), sehingga merasa perlu ikut menulis sastra Jawa. Berikut ini contoh tulisan geguritan yang saya pernah saya tulis.

 

NDHUK ANAKKU WADON

                       * mira aulia alamanda

ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
dadi wong wadon iku kudu
suci uni, suci rupi, lan suci ati

amarga donya wis menehi tandha
akeh wong wadon lambene bengak-bengok
akeh wong wadon matane plerak-plerok
akeh wong wadon aten-atene bosok
lungguh methothok mlaku ora ndedelok
kabeh iku aja mbok tiru, anakku
aja mbok tiru!

ndhuk, anakku wadon, delengen ing tawang
mbulan ora werna abang mbranang
lintang-lintang ora gelem gumebyar
lan srengenge kaya ngece-ece

mula iku omonga sing apik
dandana sing resik
mlakuwa sing becik
ing ngalam donya
ndhuk, anakku wadon sing ayu dhewe
goleka dalan swarga liwat tetep madhep
lan manteb terus dhedhepe marang Gusti

Canggu, 2003

            Guritan ini lahir, ketika saya mempunyai anak terakhir yang kebetulan perempuan, ada perasaan was-was ketika melihat zaman telah kian jumpalitan semacam ini. Maka saya perlu memberi wejangan, atau semacam pitutur agar menjalani hidup tetap pada jalur kewajaran dan kebenaran. Tidak seperti yang tergambarkan dalam guritan, banyak perempuan seenaknya dalam berperilaku dalam kehidupannya. Jadilah anak perempuan yang selalu mendekat pada Tuhan, agar hidup penuh keindahan.
            Ada lagi yang menarik, ketika Dolly ditutup Bu Risma, apa yang tejadi? Berikut guritan yang saya tuliskan:

KONANG NDHUWUR BLUMBANG

kodhok ngorek tengah wengi
kaya ora ana enteke anggone muni
swarane kayadene ngelikake marang sapa bae
aja nganti lali manembah marang Gusti Allah
ananging konang kang mabur ana dhuwur blumbang
kayadene ngece, ora nggatekake
wayah peteng ndhedhet kaya ngene
                   malah kluyuran ing tengah wengi

konang iku mono, bengesan abang
                   gandane wangi kaya pocongan
mider ing dalan-dalan ora ana kesele

konang iku malah katon ngece-ece
marang sapa bae, ngajak dalanan salah
dalan kang ora prenah

kodhok ngorek ana tengah wengi iku
tak rungu-rungu kaya swara ngaji
utawa dzikir marang Gusti Ilahi Rabbi

konang mabur ndhuwur blumbang
dakpikir-pikir kok malah tansaya kenthir
tambah wengi tansaya ndadi

Gusti,  kula nyuwun pitedah
tetepa ati punika manembah
mboten kelu-maelu konang
                   kang  bengesan abang

                                             Surabaya, 7 Maret 2014

Barangkali hanya itulah yang bisa saya tulis, guna memicu diskusi pada sore ini. Satu hal yang saya sangat yakini bahwa menulis itu juga ngibadah dengan caranya sendiri. Artinya, bahwa jika seseorang menulis dengan baik, insya Allah akan juga mendapatkan kebaikan di belakang hari. Amin YRA!
Maka menulislah yang baik, jangan saling hujat seperti yang ada di media-sosial akhir-akhir ini. Bismillah.... mau menulis baik-baik, tanpa harus menyelipkan rasa benci.



Desaku Canggu, 12 Ramdhan 1438-H (7 Juni 2017)
Aming Aminoedhin






[1] Materi diskusi bersama mahasiswa Unair, di UK2JT Dharmawangsa 29 - Surabaya, 10 Juni 2017

Tidak ada komentar: