Minggu, 22 Agustus 2010

dua puisi untuk tadarus puisi 2010

Jawa Pos, Minggu, 22 Agustus 2010

Puisi-Puisi Aming Aminoedhin

aming aminoedhin
AKU MASIH MELIHAT

* catatan ramadhan 1431-h

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke masjid
selepas magrib jelang isya tiba
berharap bisa tarawih dengan berjamaah

aku masih melihat
orang-orang melangkah ke mal dan plasa
melepas duit jelang hari raya
agar lebaran tampak gagah lupa hati pongah

aku masih melihat
mal dan plasa berjuta orang
mengigau berjamaah, hamburkan uang
tanpa pernah dirasa atau merasa
ada berjuta orang di luar sana
atau mungkin di sekitar kita
teramat miskin papa

aku masih melihat
jurang menganga
begitu dalam tak terjangkau
dari matabatin orang-orang mengigau

aku masih melihat
berjuta orang meracau dan mengigau
di negeriku yang kacau

Canggu, 19 Agustus 2010


aming aminoedhin
MATEMATIKA LAILATUL QODAR

pakar matematika pernah berhitung
jika seribu bulan
adalah 83 tahun lebih umurnya
sedang usia manusia
tak lebihi angka sejumlah itu
maka bersujud dan beramallah
pada saat lailatul qodar
hingga impaslah segala dosamu
dibayar oleh sujud-amalan
di malam qodar itu

aku termangu (mungkin ragu)
lantas kita semua terjaga
apa benar begitu?

Canggu, 19/8/2010


aming aminoedhin
DENTANG SUARA


dentang suara benar itu tak selamanya enak didengar. hari-hari biasa kau bisa diburu langkahmu. hanya lantaran suara kebenaran yang kau kicaukan terasa sesakkan dada penguasa

dentang suara yang kaunyanyikan bukan lagu merdu bagi penguasa

langkahmu hari ini bisa terhenti. tapi berjuta politisi jalankan kembali langkahmu, yang kian mengarah suara benar tak enak didengar itu

dentang suaramu mendedah bagi penguasa berhati pongah (mungkin serakah) dalam hidup ini. mengalah bukan kalah, saudaraku

tapi kau semakin tak peduli. bahkan mungkin rakyat
juga kian ingin bukti kebenaran itu terungkap
dentang suaramu memang tak enak didengar
tapi benar yang kau tebar akan jadi bukti
nyanyian kau lantunkan adalah kebenaran
tak terbantahkan. tak terbantahkan!

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
PELUIT ITU JADI NYANYIAN

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya
dunia memang telah jungkirbalik

polisi menangkap maling, dan malingnya
berbalik tangkap polisi
peluit itu terus bernyanyi, bagai peluit keretaapi
setiap stasiun berbunyi. setiap pejabat korup
peluit berbunyi. suara peluitmu, jadi hantu
bagi setiap pejabat korup jadi takut
adakah pada dirinya akan juga bernyanyi?

peluit kau tiup ketika para penguasa butuh atap tertutup
telah memporakporandakan negeri ini
peluit yang kau tiup bagai nyanyian indah tak terbantah
telah membelalakkan mata rakyat tak percaya

ternyata masih ada juga manusia berhati mulia
semulia nyanyian peluitmu terus memburu
para koruptor itu

Desaku Canggu, 13/4/2010

aming aminoedhin
TELAH TAMAT
* sp

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
helatan kau tawarkan basi. tanpa makna arti
sebab segala acara, hanya bersandar pada takar harta
bukan getar jiwa. puisi adalah getar jiwa
bukan harga takar uang kau punya. bukan!
puisi berwarna dasar hati suci mewangi, sedang kau
coba tawarkan otak keledai berbungkus bangkai
busuk dan masai!

aku tak tahu ada juga ikut barisan itu
beriring-iringan bagai keledai nan bodoh
mengangkut berkarung kesalahan tak senonoh
tapi mereka tak paham, terus berjalan
ke mana arah dilangkahkan?

persetan amat. semua telah tamat
hari berlalu beku. tawar tanpa makna
gedung itu bisu. kau kian tambah bisu
hati kelu menimbun beribu-ribu, dan
barisan mereka hanya bilang setuju!

Sidoarjo, 8/6/2010

*) Aming Aminoedhin, staf Balai Bahasa Surabaya, penggagas Malam Sastra Surabaya (Malsasa). Penyair, tinggal di Mojokerto

**) termuat di Jawa Pos Minggu, 22 Agustus 2010.

Senin, 09 Agustus 2010

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?

MARKUS SASTRA JAWA, ADAKAH?
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)

artikel ini dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 8 Agustus 2010. Rubrik Horizon, di halaman 7.


Beberapa waktu yang lalu ada beberapa artikel yang menyoal tentang perhelatan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V terpublikasi. Mereka itu antara lain dari pikiran birokrat peduli sastra Jawa, yaitu Tirto Suwondo (kepala Balai Bahasa Yogyarkata). Dia menulis di koran Jawa Pos, menyoal tentang persiapan KBJ V yang dirasa belum terasa maksimal tersebut.
Ada juga ada Beni Setia, Aming Aminoedhin, Bonari Nabonenar, dan W. Haryanto, yang tulisannya termuat di koran Kompas, Radar Surabaya, Jawa Pos, Kompas dan Radar Surabaya. Hampir semua artikel mempertanyakan persiapan KBJ V yang akan diselenggarakan Pemprov Jawa Timur.
Pada ranah majalah berbahasa Jawa, juga ramai bermunculan tulisan gonjang-ganjing persiapan KBJ V. Tak urung penulis asal Tulungagung, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, ketua Sanggar Triwida, menulis tentang adanya markus Bahasa Jawa dalam jagad sastra Jawa. Narko menulis adanya markus tanpa menyebut nama seseorang. Artikel Sodrun berjudul, Mapag KBJ V, Markus Basa Jawa, Sumono Gugat, dimuat di PS, No. 18, 1 Mei 2010.
Dari tulisan itu, kemudian ditanggapi, Bonari Nabonenar, ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), dengan judul artikel ‘Bonari Nabonenar Markus-e Basa Jawa?’ dimuat di PS No. 20, 15 Mei 2010.
Artikel yang ditulis dalam bahasa Jawa tersebut, Bonari merasa seperti tertuduh sebagai markus, padahal secara eksplisit Sodrun tidak menuduh nama seseorang. Bahkan dalam tulisan itu pula, Bonari tidak lagi hanya bicara soal markus bahasa Jawa, tapi juga menyangkut masalah penghargaan sastra Rancange yang konon pada tahun ini, dia akan mendapatkan hadiah tersebut. Meskipun hadiah itupun, hanya pengalihan dari RM Yunani yang kebetulan meninggal dunia. Sehingga harus dialihkan kepada seseorang yang masih ada (baca: hidup), dan kemudian terpilihlah Bonari. Sebab penerima hadiah Rancage tidak mungkin diterimakan kepada orang telah meninggal dunia.
Bonari, sang calon penerima Hadiah Rancage tahun ini, saya pikir panitia pemilihan Hadiah Sastra Rancage tidaklah salah pilih. Sebab, betapa pun sang Bonari memang telah malang-melintang di ranah sastra Jawa berpuluh tahun. Bahkan mungkin telah sampai berdarah-darah! Menulis cerkak dan guritan, juga punya jam terbang cukup lama. Lantas menangani PPSJS telah bertahun lamanya. Meski sekarang ini, PPSJS mungkin kurang ada gaungnya, lantaran program Lomba Baca Guritan se-Jatim yang harusnya dua tahunan digelar tak juga digelar. Namun sang Bonari masih bersedia jadi ketuanya. Sebab selama ini, hampir semua orang di komunitas PPSJS ini, menolak jika dipilih jadi ketua.
Apabila Bonari, bersama Keliek Eswe sebagai sang penggagas Kongres Sastra Jawa (KSJ) Solo dan Semarang, yang dinilai banyak orang sebagai tandingan KBJ III dan IV pada tahun-tahun sebelumnya, itu pun bukanlah salah, apa lagi dosa. Namun malah merupakan sebuah kerja kreatif, kompetitif, dan sekaligus kritik bagi penyelenggara KBJ.
Membaca beberapa artikel yang ramai menyoal KBJ V Surabaya, yang antara lain: bicara soal sastrawan Jawa masuk sekolah, persiapan yang belum matang, belum terimplementasikan hasil KBJ terdahulu, dan ramainya sastra Jawa di majalah bahasa Jawa soal markus sastra Jawa; barangkali perlu direspons positif oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Betapa pun wacana tentang KBJ V Surabaya memang perlu dipersiapkan secara matang.
Menyosong Kongres Bahasa Jawa 2011, tugas utama kita memang agar semua manusia Jawa tetap ‘nguri-uri’ (melestarikan) bahasa Jawa. Toh yang punya gawe juga Pemda Jatim, DIY, dan Jateng. Menyongsong KBJ V selayaknyalah para Panitia Penyelenggara mempersiapkan kegiatan itu secara maksimal, dan tidak hanya seremonial belaka. Sebab biayanya, konon, milyaran rupiah!
Barangkali kita tak perlu mempersoalkan lagi adakah markus sastra Jawa di negeri ini, tapi bagaimana kita bisa nyengkuyung (bersama-sama) mempersiapkan dan melaksanakan KBJ V ini dengan nurani hati. Tidak syak wasangka kepada sesama. Dan bekerja dengan hati terbuka hati pun membunga! Hasilnya, pasti KBJ V akan sukses terselenggara! Mari!

Desaku Canggu, 7 Juni 2010

Jumat, 06 Agustus 2010

OBITUARI M. THALIB PRASODJO

Obituari M. Thalib Prasodjo
PELUKIS YANG PENYAIR JATIM*
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dan mantan Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS)

*)artikel ini termuat di Harian Kompas Jatim, Jumat, 6 Agustus 2010.

Ketika itu Kamis pagi (5/8/2010) lalu, saya ikut takziah mengantarkan M. Thalib Prasodjo (pelukis/sketser) ke pemakaman umum di Taman Praloyo, Jalan Lingkar Timur, Sidoarjo; saya sempat bertemu beberapa seniman dan pelukis. Di antaranya: Akhudiat, Sabrot D. Malioboro, Henry Nurcahyo, Wadjie MS, Cak Poeng, Dhargandhen, Surachman KS, dan Haryadjie BS.
Dari pertemuan tersebut, yang paling menarik dan berkesan atas ketokohan Mbah Thalib, adalah berbincang dengan Harryadjie BS. Sebab, ketika saya menanyakan tentang puisi-puisinya, dia menjawab, bahwa sekarang ia tak lagi bisa menulis puisi. Tapi ia lebih banyak menanam pohon di berbagai hutan di berbagai kota, antara Lumajang, Malang, dan Lamongan.
Hal itu hanya sebagai ilustrasi saja, betapa ingatan saya jadi meloncat 17 tahun yang lalu, tepatnya 1993, ketika saya (sebagai biro sastra DKS) membuat kumpulan sajak pelukis bertajuk “Jembatan Merah” yang diterbitkan oleh biro sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Harryadjie BS adalah salah satu penyair yang ikut bergabung dalam kumpulan tersebut. Kumpulan sajak pelukis yang sangat sederhana tersebut, memuat 40 judul puisi yang ditulis oleh para pelukis semua. Mereka itu: Abdul Kadir Zaelani (alm.) menulis 7 puisi, Rudi Isbandi ada 8 judul puisi, Harryadjie BS ada 7 judul puisi, Hardjono WS menulis 11 judul puisi, dan Wiwiek Hidayat (alm.) menulis 7 judul puisi.
Tidak hanya puisi yang termuat dalam kumpulan sajak “Jembatan Merah,” akan tetapi juga memuat sketsa-sketsanya M. Thalib Prasodjo. Selain sketsa bergambar jembatan merah yang dijadikan sampul kumpulan sajak, di dalamnya juga memuat sketsa-sketsa beliau yang melukiskan gambar Gereja Maranatha (hal. 1), Pasar Krempyeng (hal. 7), Jembatan Merah (hal. 15), Baca Puisi Malsasa ‘92 (hal. 22), dan gambar Gedung Balai Pemuda (hal. 32).
Fakta tersebut di atas membuktikan bahwa seorang M. Thalib Prasodjo memang benar-benar seorang sketser sejati. Meski pada waktu itu, saya hanya menda-patkan fotokopian-nya saja, akan tetapi beliau mau meminjamkan sketsanya guna me-lengkapi tampilan kumpulan sajak para pelukis Surabaya ini.
Tidak hanya itu, Mbah Thalib pernah pula bercerita tentang sosok Markeso (alm.), ludruk garingan yang kerap kali mampir di DKS itu. Kata beliau, Markeso tidak pernah minta uang, tapi selalu menggunakan sanepan (sindiran), dengan mengatakan begini, “Mbah bojoku gorung nempur hari ini!” (Mbah istri saya belum beli beras hari ini). Dengan mengatakan kalimat itu, Mbah Thalib tahu, bahwa Markeso tidak punya uang. Maka beliau pasti akan memberikan uang meski tidak banyak jumlahnya, tapi yang pasti bisa buat beli 2-3 kilogram beras.
Mbah Thalib, sungguh seniman yang tahu kesulitan seniman lainnya.





Jembatan Merah
Kembali bicara masalah kumpulan sajak pelukis, bertajuk “Jembatan Merah” (Biro Sastra DKS, 1993); bahwa untuk menghimpun sajak-sajak pelukis ini memanglah amat sulitnya. Seperti yang tercatat dalam pengantar saya dengan judul “Pelukis Baca Puisi” yang antara lain mengatakan, “Ide dan rencana ini sudah lama sekali, hanya naskah yang masuk pada Biro Sastra DKS teramat lambatnya. Dan sementara naskah-naskah yang masuk telah saya ketiki, sedang lainnya belum kirim sama sekali. Sehingga amatlah sulit terbit secepatnya. Payah memang, tapi tak harus patah dengan kendala yang menghadang.”
Menarik untuk dicatat pula, bahwa ketika kumpulan sajak ini digelarpentaskan di DKS, banyak yang bertanya, mengapa nama pelukis se-kaliber Amang Rahman, kok tidak ikut dalam kumpulan puisi ini? Padahal Amang juga banyak menulis puisi. Syukurlah saya telah menjawabnya dalam pengantar, yang antara lain saya katakan, “Seperti misalnya Amang Rahman, tidak masuk dalam antologi ini – karena sudah berkali-kali ditagih karyanya, tak pernah memberi. Sayang sekali!”
Dari perjalanan panjang sastra Indonesia, maka beberapa nama pelukis yang juga menulis sastra (utamanya: puisi) memang tidak banyak jumlahnya. Tapi masih ada tercatat ada beberapa nama. Meski tidak lengkap saya bisa mencoba menyebut di antaranya: Nasyah Djamin, Motinggo Bosje, Walujati, Trisno Sumardjo, Danarto, D. Zawawi Imron, Rudi Isbandi, Amang Rahman, Jeihan, Wiwiek Hidayat, Adul Kadir Zaelani, Hardjono WS, Harryadjie BS, Mh. Iskan, dan mungkin masih banyak lagi.

                Sedangkan para pelukis Jawa Timur, termasuk cukup banyak jumlahnya. Jika kita mau memilah dari semua nama di atas, maka pelukis Jawa Timurnya adalah: Trisno Sumardjo, Rudi Isbandi, Amang Rahman, D. Zawawi Imron, Mh. Iskan, Wiwiek Hidayat, Hardjono WS, Harryadjie BS , Abdul Kadir Zaelani, dan mungkin juga masih ada lagi, hanya tak tercatat di tulisan pendek ini.
Dari pelukis yang penyair di Jawa Timur yang tidak banyak jumlahnya tersebut, ternyata ada juga yang peduli, serta rela puisinya dibukukan dalam kumpulan puisi yang sangat sederhana tersebut. “Jembatan Merah” kumpulan sajak pelukis, yang diprakarsai biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) waktu itu, sungguh sebuah dokumentasi sastra yang agak berbeda dengan lainnya. Kumpulan sajak yang ditulis oleh pelukis, sekaligus lengkap dengan ilustrasi sketsanya. Meskipun sketsa itu hanya dibuat M. Thalib Prasodjo, tapi cukup memberikan warna berbeda dengan yang lainnya. Terima kasih Mbah Thalib yang telah banyak ikut berkiprah merealisasikan semua ini.
Mengakhiri tulisan ini, barangkali menarik yang ditulis oleh Rudi Isbandi dalam larik-larik puisi berjudul “Rumah Sakit Simpang” yang berbunyi seperti ini:
/Tak ada yang kekal memang. Tak ada
yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
(dari Jembatan Merah, halaman 14)
Selamat jalan Mbah Thalib, semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah dan mengampuni segala dosa. Amin!


Desaku Canggu, 5 Agustus 2010