Kamis, 31 Januari 2013

JUARA LOMBA CERKAK YAYASAN KARMEL MALANG


JUARA LOMBA CERKAK
YAYASAN KARMEL  MALANG ITU
PEREMPUAN, SEORANG DOKTER HEWAN

                Dalam rangka memeringati ulang tahun ke-87, Yayasan Karmel Keuskupan Malang, menyelenggarakan Lomba Menulis Cerita Cekak (Cerkak) dan Geguritan. Kegiatan yang bekerja sama dengan Majalah ‘Jaya Baya’ Surabaya ini, diikuti oleh sekitar  115 naskah guritan, dan 47 naskah cerkak yang  masuk kepada panitia lomba.
            Peserta yang mengikuti lomba ini, berasal dari berbagai daerah yaitu  dari wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka itu, sebagian besar dari Jawa Timur yang berada di  wilayah Mataraman, seperti: Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Blitar, Madiun, Ponorogo, dan Ngawi. Meski ada juga yang berasal dari wilayah pesisiran seperti Bojonegoro, dan kota Malang.  Sedangkan dari Jawa Tengah, tercatat berasal dari: Wonogiri, Magelang, dan Yogyakarta.
            Menurut keterangan Albertus Hari Prasetya, koordinator lomba dikatakan bahwa, setelah melalui penjurian yang berdasarkan aspek orisinalitas, bahan, bentuk ekspresi, dan kekuatan tema dalam penulisannya, maka dipilih  masing-masing kategori  sebanyak 6 juara lomba. Hari Prasetya menjelaskan 6 juara cerkak, dan 6 juara geguritan, tersebut adalah:
           
             Naskah cerita cekak dengan judul ‘Tembok Sing Durung Dicet’ karya drh. Cahyarini Budiarti (Madiun); sebagai juara pertama. Juara II dan III, diraih ‘Simbok’ karya Hamid Nuri (Yogyakarta), dan ‘Aspal’ karya Alfonsus Aris Purnomo (Wonogiri). Sedangkan juara harapan I, II, dan III cerita cekak, diraih: ‘Ratri’ - Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo), ’ Tamperan Dadi Seksi’ – JFX Hoery (Bojonegoro), dan ‘Kepala Sekolah’ – Parno (Wonogiri).
            Sementara itu naskah geguritan yang berhasil memenangkan juara adalah:
‘Bapak Mlesat Ing Awiyat’ karya Harwimuka (Blitar), juara II dan III, yaitu ‘Yagene Kekudhung Warana’- Cindelaras (Tulungagung), ‘Anakmu Lanang Mung Wayang’ – Sumono Sandy Asmoro (Ponorogo). Juara harapan I, II dan III; masing-masing diraih ‘Garengpung’ – M. Krisnu Setio D (Malang), “Dluwang Sak Suwek’  - Triman Laksana (Magelang), dan ‘Suhing Leluhur’ – JFX Hoery (Bojonegoro).

            Pembagian hadiah dilaksanakan pada puncak acara HUT Yayasan Karmel Malang, 27 Januari 2013, yang diserahkan oleh Rama B. Hudiyono PR di kantor pusatnya, Yayasan Karmel Keuskupan Malang, Jalan Songgoriti 28 Malang.
            Menurut panitia lomba, naskah-naskah pemenang lomba akan dibukukan oleh Yayasan Karmel Malang.
Menurut keterangan salah satu    dewan juri yang juga redaktur Majalah Jaya Baya, Widodo Basuki, bahwa para pemenang lomba kebanyakan adalah para penulis yang pernah mengirimkan karya di majalahnya. Sedangkan menurut ketua dewan juri, karya cerkak mereka,  lebih   banyak yang diperanguhi cerita-cerita dalam sinetron. Demikian kata, Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd. menambahkan. Lebih lanjut Tengsoe menandaskan, bahwa mereka kurang bagus dalam membuat ending, mengakhiri dalam cerita- ceritanya. (aa).







Rabu, 30 Januari 2013

SEHARI BERSASTRA BERSAMA GURU NGANJUK


SEHARI BERSASTRA
MGMP–BI SMP SE-KABUPATEN NGANJUK 2013

            Pagi itu udara begitu cerahnya di kota Nganjuk, padahal malamnya hujan turun begitu lebatnya. Hawa terasa sejuk, apa lagi melewati persawahan nan hijau indah dipandang mata. Hati terasa tenang, mungkin juga terasa  tentram.
Hari itu, Selasa, 29 Januari 2013, bertempat di pendapa Dr. Soetomo, Ngepeh, Loceret, Nganjuk. Para guru sedang berkumpul di situ. Siapa mereka itu? Mereka adalah forum MGMP Bahasa Indonesia – SMP se-Kabupaten Nganjuk. 

Angin semilir terasa segar menyapa. Ada yang bawa gitar, ada berbincang soal pelajaran, dan ada juga menyayangkan tempat bersejarah yang kurang terawat itu. Ada pula yang bicara perjalanan panjang forumnya yang hampir berakhir untuk periode setahun berjalan lalu. Bahkan ada juga yang bicarakan apa yang terbaik untuk langkah ke depan? Melanjutkan sua-temu, yang lebih kontinyu, atau buat acara sastra yang lebih meninggalkan jejak hitam-putihnya. Membuat buku kumpulan puisi atau cerpen sendiri.
Ada apa mereka itu? Ternyata mereka sedang mengadakan sua-temu seperti biasa mereka lakukan, hanya saja kini bertajuk “Sehari Bersastra bersama Aming Aminoedhin.”
Lantas ada pertanyaan muncul, kenapa harus di pendapa itu, MD Yahya dan Khoirul, panitia acara, menjawab hampir secara bersamaan, “Hal ini agar para guru juga mau datang ke tempat kelahiran pahlawan bangsa ini. Sekaligus mengingat dan menghargai akan kebesaran sang pahlawan, Dr. Soetomo. Selanjutnya, suatu hari mereka akan mengajak para siswa datang ke pendapa ini.” 
Pagi itu diawali dengan laporan sang ketua panitia, lantas ada tampilan lima komunitas guru tampil satu-satu bersama komunitasnya, membacakan puisi. Ada juga tampilan komunitas ‘Musikalisasi Puisi Para Guru Nganjuk” yang pernah menang di tingkat provinsi, ikut unjuk kebolehan bermusikalisasi puisi. Baru kemudian tampilah Aming Aminoedhin, presentasi bagaimana menilai lomba baca puisi, menulis dan baca puisi.
Ceramah di depan para guru dengan gaya lesehan semacam ini, akan terasa cair, dan tanpa jarak. Artinya, komunikasi guna pelatihan baca tulis puisi, akan lebih mudah dicerna dan ditangkap makna ilmunya. Barangkali, penceramah lain, bisa terasa kikuk atau tidak nyaman guna presentasi, tapi bagi saya malah terasa enjoy, atau terasa nikmat dan menyenangkan. Lebih lagi di ruang terbuka, angin akan membisiki kita dalam menulis puisi.
Demikian kata Aming, mengawali ceramahnya pagi nan cerah waktu itu.
Lebih lanjut, Aming menjelaskan tentang bagaimanakah seseorang bisa jadi juri, dan bagaimanakah penilaiannya. Menurutnya, dalam menilai segala jenis tampilan kesenian, baik itu: puisi, seni rupa, tari, teater, dan yang lain; sebenarnya tidaklah tepat jika menggunakan parameternya dengan angka. Sebab hasil karya seni, padanannya bukanlah bagus, apik, sesuai dengan komposisi, interpretasinya bagus, dan lain sebagainya.            Adapun mengapa mereka para juri menilai dengan angka? Hal ini digunakan untuk memu-dahkan dalam penjuriannya, lantaran acaranya adalah dalam rangka ‘lomba’ bidang seni. Lebih lagi, jika dalam rangka ‘lomba’ tersebut bagi para siswa, dalam konteksnya dunia ‘pendidikan.’ Dalam perjalanannya, setiap dewan juri mempunyai subjektivitas masing-masing, dan oleh karena subjektivitas individu juri, maka dalam setiap penjurian ‘lomba seni’ selalu dipasang 3 (tiga) orang juri. Sebab, dari ketiga subjektivitas penilaian juri tersebut, jika harus digabungkan, maka nilainya akan menghasilkankan nilai objektif.
Barangkali tidak hanya itu saja, prasyarat seseorang dijadikan juri. Mereka yang terpilih jadi juri, seharusnya mempunyai kemampuan, keahlian di bidang penjuriannya. Jika lomba puisi, maka bisa diambilkan penyair. Jika lomba cerpen, bisa diambilkan cerpenis. Jika lomba nyanyi, bisa diambilkan pemusik yang mumpuni. Jika teater, bisa diambilkan teatrawan, dst.dst. Di samping itu, seorang juri haruslah jujur hati dalam penilaiannya, tidak berpihak, teguh dalam pendirian, dan tidak goyah jika ada peserta yang mencoba menyuapnya. Selain menerangjelaskan bagaimana penilaian dalam lomba baca puisi, juga memberi contoh bagaimana membaca dan menulis puisi.

Sehabis Aming Aminoedhin presentasi, kemudian para guru ditugasi membaca dan menulis puisi. Ada yang malu-malu dalam membacanya, ada juga yang sangat percaya diri. Sedangkan dalam penulisan puisinya, rata-rata mereka sudah cukup bagus dalam tulisannya. Hanya saja, mereka kurang percaya diri, untuk mau mengirimkan ke media-massa. Sehingga nama-nama guru yang penulis sastra di kota Nganjuk tak terdengar.
Harapannya, setelah mengadakan ‘Sehari Bersastra’ mereka (para guru Nganjuk) tak lagi ragu-ragu mengirimkan karyanya di media-massa. Nama mereka harus mencuat, dan bahkan harus naik-daun. Bahkan mungkin melebihi para penulis yang ada sekarang ini.
Matahari mulai bergeser ke barat, cuaca masih sejuk, sesejuk hati para guru yang tetap gumuyu selepas pelatihan itu.
Mengakhiri acara, mereka berfoto bersama dengan sang penyair Aming Aminoedhin, lantas pulang dengan membawa segerobag impian untuk tetap menulis, membaca, dan mengajarkan puisi pada anak-anak didiknya. Semoga! (aulia alamanda)




Jumat, 25 Januari 2013

ADAKAH SUMPAH PAHLAWAN?



esaiku tentang pahlawan:
SUMPAH TUGU PAHLAWAN*)
oleh: aming aminoedhin

            Tahukah kau kawan, bahwa Tugu Pahlawan yang berdiri tegak menjulang di tengah kota Surabaya itu punya makna arti tersembunyi? Demikian tanya seseorang kawan dari Ngawi, guna menikmati dan melihat dari dekat tugu  pahlawan itu, pada saat tiba senja ketika ia berkunjung di Surabaya.
            Terpaksalah saya jadi semacam orang pintar, dan menjawab pertanyaannya, dengan menjelaskan, bahwa  angka 17 diwakili oleh alur badan tugu yang tegak  berjumlah 17, ini sekaligus memberi makna tanggal kemerdekaan kita. Sedang angka 8 sebagai makna bulan Agustus, diwakili oleh segi delapan pada dasar tugu; dan angka 45 sebagai tahun kemerdekaan RI diwakili oleh tingginya tugu Pahlawan itu.
            Padahal secara historis, sebenarnya pendirian tugu Pahlawan, adalah untuk mengabadikan sejarah pertempuran 10 November 1945, yang sangat heroik tersebut. Secara historis pula, bahwa pendiriannya adalah ide dari presiden pertama, Ir. Soekarno, yang meletakkan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1951. Saat itu bertepatan dengan peringatan keenam pertempuran Surabaya, yang mana koran ‘Times’ terbit di London, 13 dan 14 November 1945 lalu, menulis bahwa, “Perlawanan  Indonesia di Surabaya dilaporkan semakin gigih. Diberitakan pula bahwa pada Minggu malam, wanita-wanita Indonesia ke luar dan menyelamatkan jenazah-jenazah kaum prianya.”
            Terlepas dari semua itu, arek-arek Suroboyo, saat itu, memanglah pantang menyerah ketika mempertahankan bumi tercintanya. Bahkan mereka bersumpah tak sejengkal pun tanah akan diberikan penjajah. Sumpah itu pula yang membikin seorang tentara sekutu, Brigadir Jenderal AWS Mallaby tewas di tangan arek-arek Suroboyo.
            Sejarah perjuangan arek-arek Suroboyo inilah yang merupakan catatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang tiada tanding, tiada banding. Sebab hampir semua rakyat dari berbagai suku: Jawa, Madura, Bugis, Ambon dan suku yang lain ikut cancut tali-wanda, atau menyingsingkan lengan baju untuk maju melawan Belanda. Dari tukang becak, tukang sayur, kuli pelabuhan, pegawai pemerintah, dan yang lain ikut serta turun ke jalan; baik laki-laki maupun perempuan. Sungguh luar biasa!
            Api sejarah inilah yang kemudian dicatat sebagai “Hari Pahlawan” yang kemudian diperingati setiap tahunnya. Kegigihan para pahlawan tanpa pamrih inilah yang seharusnya kita teladani, dan bukan malah kita khianati dengan melakukan  korupsi.
            Persoalan yang kini muncul sekarang adalah masih segigih itukah pemuda Surabaya dalam menyikapi komunitas dan negaranya Indonesia ini. Masihkah bisa berkata yang benar adalah benar, yang salah adalah salah?
            Sebuah tanya yang barangkali pemuda Surabaya sendiri yang akan menjawabnya.
            Adakah pemuda dan para siswa, bahkan mahasiswa, masih menganut tawuran antarkelompok, atau tawuran antarsekolah yang sering terjadi akhir-akhir ini. Sebuah perbuatan yang tidak terpuji, dan sering kita lihat di televisi. Lantas, adakah pemuda yang berpredikat “boneks” dengan tingkah lakunya yang beringas melempari orang lain di setiap stasiun, akan masih dipertahankan. Atau membuat “boneks” dengan paradigma baru, yang santun dan menyenangkan, ketika ‘Persebaya’ harus mengalami kekalahan dalam laganya. Ini adalah pilihan yang mulia.
            Barangkali pilihan kedua, yang lebih baik untuk dilakukan. Kenapa tidak?
            Kini para pemuda Surabaya haruslah instropeksi diri, kegagahan dan kegigihan para pemuda pejuang 10 November 1945 lalu, bisa menginspirasi jadi tolok ukur melangkahkan kaki pada saat ini. Berjuang tanpa pamrih, bekerja dengan rasa ikhlas tanpa pretensi apa-apa.
            Mereka para pemuda, siswa, dan mahasiswa, seharusnya tidak lagi menganut tawuran antarsesama, apa lagi berbuat sesuatu yang tidak terpuji melempari apa saja yang membuatnya beringas tak terkendali. Lebih lagi, baru sebulan lalu, kita telah peringati: Hari Sumpah Pemuda, yang sumpahnya berbunyi: kami putra putri Indonesia bersum-pah, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan men-junjung tinggi bahasa persatuan,  bahasa Indonesia.
            Menyikapi perkembangan Indonesia akhir-akhir ini, di mana banyak terjadi tawuran antarpelajar dan mahasiswa, banyaknya para pejabat korupsi, dan bahkan para anggota dewan minta upeti; maka seharusnya kita kembali untuk menggenggam api sejarah para pahlawan yang telah berjuang pada peristiwa 10 November 1945 di Surabaya tadi. Berjuang tanpa pamrih, bekerja tanpa pretensi apa-apa.
            Barangkali pula, akan lebih baik kita 'Bersumpah Tugu Pahlawan,' kata kawan saya dari Ngawi tadi, yang menurut dia isinya berbunyi: tidak akan tawuran, tidak akan korupsi, dan tidak minta-minta upeti lagi.
            Hal ini mengingatkan saya puisi Toto Sudarto Bachtiar, yang bait pertamanya berbunyi: //Sepuluh tahun yang lalu di terbaring/Tetapi bukan tidur, sayang/Sebuah lubang peluru bundar di dadanya/Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang//.
            Dari potongan puisi itu, menurut saya, kita sekarang memang sedang perang melawan keangkuhan, perang melawan ego kita sendiri, perang melawan korupsi, dan perang melawan kesewenang-wenangan. Kita sedang perang!
            Senja jadi petang, dan gelap malam telah tiba, Tugu Pahlawan, masih tegak terkena percikan sinar lampu-lampu di bawahnya. Tegak gagahnya, seperti berkata, lanjutkan sumpah pahlawanmu!
            Saya dan teman dari Ngawi meninggalkan tugu yang punya sejuta api sejarah itu, sambil merenungkan guna mengajak pemuda, mahasiswa, dan siswa bersumpah tugu pahlawan! Tawuran, korupsi, dan minta upeti harus kita lawan!***

                                                            Desaku Canggu, 10 November 2012
           


 *) artikelku yang tak sempat termuat di koran dan majalah.







SD MUHAMMADIYAH 1 NGAWI, JUARA


SD MUHAMMADIYAH 1 NGAWI
Juara Robot Internasional di Kuala Lumpur
            Beberapa bulan lalu, tepatnya 24 s.d. 26 Februari 2012, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) PDM Ngawi, menyelenggarakan Olimpiade Pelajar Muhammadiyah se-Kabupaten Ngawi. Baik itu tingkat SD/MI, SMP, dan SMA. Dari 16 cabang dipertandingkan, di antaranya adalah robotika. Untuk jenis olimpiade lomba robotika ini, diraih oleh anak-anak siswa SD Muhammadiyah 1 Ngawi, dengan mendapatkan juara I dan II. Siswanya adalah: Erizala Zaninda DU dan Faizal Ahmad Dena, serta AXL Raihan Prasetyo dan Diwanda Fauzan Najib.
            Sementara itu, SD Muhammadiyah 1 Ngawi, tidak hanya menang di kandangnya sendiri. Baru-baru ini, mereka mengikuti Kompetisi Robot International Islamic School Robot Olympiad (IISRO) 2012, 24 sampai 27 Mei di National Science Centre, Kuala Lumpur, Malaysia. Kelompok mereka memenangkan juara I kompetisi tersebut. Mereka itu, terdiri siswa bernama: Arell Firman Saputra, Erizal Zaininda Denta Utama, dan Wahida Amelia Usmaydia. Mereka bertiga menggondol gold medal  (juara I) untuk jenis lomba robot sumo.
            Pendiri Grup Robot Indonesia, Adiatmo Rahardi mengatakan, “Sebenarnya kami juga mengundang peserta dari negara lain seperti Mesir, Brunei Darussalam ataupun Turki. Namun karena keterbatasan waktu, mereka tidak bisa mengirimkan perwakilan-nya. Semoga dalam penyelenggaraan berikutnya mereka bisa ikut,” harapnya.
            Masih dari SD Muhammadiyah 1 Ngawi, kelompok lainnya, masih di ajang IISRO 2012 Malaysia, adalah siswa: Erizal Zaininda KDenta Utama dan Wahida Amelia Usmaydia; juga meraih medali silver medal (juara II) pada lomba robot jenis: robot run primary.
            Sungguh ini merupakan hal yang sangat membanggakan bagi sekolah kami, kata Salimoel Amien, mantan Kepala Sekolah di SD Muhammadiyah 1 Ngawi. Hal ini,  sekaligus akan memacu kreativitas bagi siswa-siswa yang lain untuk selalu berlajar dan belajar, serta tanpa melupakan untuk selalu berdoa. Amin. * (mat)