Rabu, 08 Oktober 2014

FESTIVAL DONGENG GURU PAUD/TK JATIM 2014


FESTIVAL DONGENG BUDI PEKERTI
GURU PAUD DAN TK SE –JATIM 2014

            Mengajar dan mendidik budi pekerti kepada para siswa memang tidak mudah, apa lagi zamannya sudah demikian pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan perkembangan dunia teknologi informasi, sungguh sangatlah pesatnya. Sehingga cukup mengkhawatirkan bagi siswa-siswa. Barangkali tidak salah, jika peljaran budi pekerti haruslah diajarkan sejak usia dini.
Salah satu upaya memberikan pendidikan budi pekerti kepada para siswa usia dini, adalah kegiatan mendongeng yang bermuatan pendidikan karakter budi pekerti.  Di samping ada pula musikalisasi guritan Jawa, frgamen budi pekerti, dan banyak lagi. Oleh sebab itu,  Bidang PNFI dan Nilai Budaya, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur mengadakan Festival Mendongeng Bagi Guru Paud dan Taman Kanak-kanak se-Jawa Timur.
            Festival mendongeng ini digelarpentaskan di Aula Lantai II dan III, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Jalan Jagir Sidoresmo, Surabaya; pada tanggal 30 September 2014. Dalam festival ini, tidak hanya soal penyajian para guru mendongeng di atas panggung, akan tetapi juga dituntut bisa menulis naskah dongengnya.
             Dewan juri yang terdiri: FY Darmono Saputro, M.Sn, Aming Aminoedhin, dan Widodo Basuki, S.Sn. memutuskan juara 10 penulisan  naskah donngeng terbaik non-rangking, dari para guru PUD yaitu: Pesona Rara Kuning oleh Dwi Afiana (Paud Rejoso, Nganjuk), Pisang Kembar Membawa Sadar oleh Istirukah (Paud Anggrek Mantub, Lamongan), SMS Seorang Resi oleh Nurul Setiani (Paud KiddoZ, Kab. Mojokerto), Lebah Si Kaki Emas oleh Iyunnah Dhoh (Paud PGRI, Tuban), Tolong Aku Jek..... oleh Nunik Suryantini (Paud Joy, Kota Madiun), Singkong Slenthem oleh Ratna Mandrayanti (Paud Darul Falah, Trenggalek), Musang Celaka karena Rakus oleh Ivonne Carolyn Silviana (Paud TNH, Kota Majokerto), Kelinci dan Tikus Bersahabat oleh Suliyani (Paud Mutiara Bunda, Pejaten, Bondowoso),  Oh Si O oleh Siti Khotijah (Paud, Jember), dan Monyet Sang Pesulap oleh Ninik Hamidah (Paud Tazkiyah, Kota Malang).


            Sedangkan terpilih sepuluh penyaji dongeng terbaik para guru Paud adalah: Pisang Kembar Membawa Sadar didongengkan  Istirukah (Paud Anggrek Mantub, Lamongan), Penyesalan Cici didongengkan oleh Rita Cholifatul (Paud Mutiara Hari, Sidoarjo), Ulil Si Ulat Bulu Yang Gemuk oleh Elisa Novie Azizah (Paud Sri Asih, Ngawi),  Mimpi Yang Penuh Arti oleh Susana Rahayuningsih (Paud PKK, Taroka, Kabupaten Kediri), Tolong Aku Jek..... oleh Nunik Suryantini (Paud Joy, Kota Madiun) Si Pino Kura-Kura Yang Cerdik oleh Luluk Puji Pertiwi (Paud Aisyiah, Sambit Ponorogo),  Lala Si Bungsu oleh Rr. Desi Triana (Paud Ar-Rasyid, Pamekasan), Aku Suka Mandi oleh Fatimatul Habibah (Paud Darul Ulum, Karangpandan, Kab. Pasuruan), Kura-Kura Mencari Sahabat oleh Agus Setiyono (Paud Negeri Bahari, Surabaya), dan  Monyet Sang Pesulap oleh Ninik Hamidah (Paud Tazkiyah, Kota Malang).

             Secara keseluruhan mereka para guru Paud dan TK se-Jawa Timur, telah tampil secara all-out atau totalitas yang tinggi. Hanya saja, terkadang mereka terlalu semangat, sehingga vokalnya jadi tak terkontrol, dan hasilnya teriak-teriak tanpa muatan rasa. Sementara  yang lain malah lebih menempatkan kekuatan vokal dan ekspresi dalam mendongeng, ada juga yang menekankan kekuatan propety yang dibawanya.
         
 


 Sungguh, festival dongeng guru Paud dan TK  tahun 2014 kali ini, cukup melegakan panitia festival, Bidang PNFI dan Nilai Budaya, karena semua Kabupatem dan Kota se- Jatim mengirimkan peserta. Meski secara kualitas berceritan dan menulisnya, masih terasa kalah dengan tahun sebelumnya, 2013. (m. amir tohar).


Rabu, 23 Juli 2014

PPSJS BACA GURIT DI SURABAYA DAN SOLO



PPSJS BACA GURIT DI SURABAYA
DAN TAMAN BUDAYA SOLO
Oleh:  M. Amir Tohar


Beberapa waktu lalu, Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) telah menerbitkan kumpulan guritan gagrag anyar bertajuk “Mlesat Bareng Ukara” yang ditulis oleh para penggurit komunitas PPSJS, dan beberapa penggurit lain di luar kota Surabaya.
 

Kumpulan guritan ini, kemudian di pentas-gelarbacakan di Dewan Kesenian Surabaya, 22 April 2014 lalu. Pentas yang melibatkan banya banyak penggurit sastra Jawa di Jawa Timur tersebut, cukup sukses digelar di Surabaya. Beberapa nama besar yang hadir: Suparto Brata, Akhudiat, dan sebagian besar penggurit yang ada dalam kumpulan itu hadi dan tampil. Mereka itu: R. Giryadi, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan,  Pringgo HR, Puspo Endah, Teguh dan Yayuk YY Iswatin, Indrie Soewari, Widodo Basuki, Ardi Susanti, Gampang Prawoto, Deny Tri Aryanti,  Nono Warnono,  R. Djoko Prakosa,Trinil, dan banyak lagi. Sedangkan tampil maestro panembrama Ki Subroto SMKI.

Tampilan gelaran baca gurit yang sukses oleh komunitas PPSJS di Dewan Kesenian Surabaya tersebut, menjadikan pengurus PPSJS berniat menggelarbaca-kan kembali di Taman Budaya Solo. Lantas jadwal direncanakan, 11 Juni 2014 di Joglo Wisma Seni, Taman Budaya Jawa Tengah di Solo.

Pentas di Solo
          Seperti yang telah direncanakan, acara pentas sastra Jawa di Solo, benar-benar berlangsung, tepatnya Rabu, 11 Juni 2014 di Joglo, Wisma Seni, Taman Budaya Solo.
          Bedah buku ‘Mlesat Bareng Ukara’ di Taman Budaya Solo, diulas oleh Drs. Wieranta, S.U. (Dosen Fakultas Sastra UNS Sebelas Maret Surakarta) yang pada kesempatan  itu, mengatakan bahwa, “Komunitas Sastra Jawa PPSJS dari Jawa Timur ini memang  ampuh. Sebab, orang lain sudah tidak peduli akan sastra Jawa, mereka malah menggeluti dan mencetak karya-karya mereka untuk dipentasbaca-kan di  Solo ini.”
   

          Karya-karya memang tidak semuanya bisa ditangkap dengan gampang, oleh pembacanya. Karena idiom dan diksinya yang dipakai dengan kosa kata bahasa Jawa Timuran, sehingga tidak mudah menangkap makna isinya. Namun ada juga yang bisa ditangkap makna isinya, yang ditulis dengan bahasa Jawa standar, seperti tulisan Widodo Basuki dan Aming Aminoedhin. Tapi setidaknya karya-karya mereka menggelitik kita, bahwa sastra Jawa tetap hidup dan berkembang; tambah Wieranta.
  


          Sebelum acara bedah buku ‘Mlesat Bareng Ukara’  malam itu, para peng-guritnya juga tampil membacakan guritan masing-masing. Mereka itu: Ardi Susanti, Widodo Basuki, Indri Soewari, Puspo Endah, R. Djoko Prakosa, Aming Aminoe-dhin, Deny Tri Aryanti, Tjahjono Widarmanto, Suharmoko K, JFX Hoery, dan Suparto Brata.
          Malam yang dipenuhi sastrawan dan penggemar sastra di Solo tersebut, Aming Aminoedhin baca salah satu guritnya berjudul:

aming aminoedhin
WENGI PETENG NDHEDET


Wengi peteng ndhedet. Jam kaya ora mlaku
abot, kayadene karaten. Apa amarga batereine entek?
Apa amarga atiku sing karaten, weruh akeh wong
korupsi ora mekakat jumlahe. Meneng wae.
Kebangeten, anggone ora eling karo wong cilik
golek dhuwit njungkir njempalik
sirah dadi sikil, sikil dadi sirah
urip durung wae prenah-prenah

Donya apa ya wis melu sekarat
tata krama, tata susila, lan kabeh paugeran
diterak tan kaya ngapa. Nora weruh
dalan bener, apa maneh angger-angger
sekolah mung kaya dalan mlayu
nguber bandha tan kira-kira
pokoke kabeh kecekel, mesthi
dalan lakune ora pener

Wengi peteng ndhedet. Jam kaya ora mlaku
ana langit lelintang kelap-kelip mendrip-mendrip
ana rembulan katon regemeng-regemeng
wengi tambah sepi ana ing ati

Mendripe lelintang, lan regemenge rembulan
kaya-kaya nggawa pitakonku, apa bener
donya wis nyedhaki kiyamat? Ana manungsa
wis ora duwe isin, maling dhuwite rakyat
gawe tambahing rakyat tansaya kesrakat?

           
                                    Desaku Canggu, 17/1/2012

 Sedangkan Widodo Basuki membacakan guritnya berjudul:
 
 


Widodo Basuki
MLESAT BARENG  UKARA

ukara iki lumesat
      menyang langit!
              nepusi laladan-laladan sing tan kinira
tan kajangka sadurunge
jalaran ukara ngungkuli nalar

ora tak bayangake dinane
             kaya dina iki!
             seje karo dina-dina
liyane, beda karo wengi-wengi
liyane, wektu-wektu uga
             ora padha!

wis dak rajut
gelang karet kang njepretake
panah sasada lanang
dak tembus impene bocah cilik
kang mbuntoni dalan

lan aku weruh srengenge !
kaya ing wengi jaman cilikan kae
wujude mung pindha samrica kabubut
ning  wus mancorong anelahi
kuwawa madhangi jembare jagad

2012

          Acara ini cukup banyak dihadiri audiens sastra Solo, karena dibarengkan dengan acara bedah buku kumulan cerpen “Botol-Botol Berisi Senja” dari komunitas sastra Solo. Tampak hadir pula beberapa nama sastrawan dan dosen: Christ Wardhana (Dosen UNS), Dhanu Priyo P. (Peneliti Balai Bahasa Yogya), Ardus M Sawega (Wartawan Kompas), Kusprihyanto Namma (Penyair Ngawi), Tito Setyo Budhi (Penyair Sragen), dan banyak lagi.
 


          Betapa pun PPSJS telah melangkah menumbuhkembangkan sastra Jawa di dua kota besar (Surabaya dan Solo), dengan menggelarbacakan sastra Jawa bernama geguritan. Harapannya, tidak hanya sastra, tapi juga budaya Jawa bisa tumbuh kembang di tanah Jawa. Semoga!** (sang presiden penyair jatim)

MALSALIS BERSAMA WIDODO BASUKI

MALSALIS DAN KALIMAS
DI TENGAH PAMERAN LUKISAN
WIDODO BASUKI
Oleh: m. amir tohar


Malam Sastra Jurnalis atau Malsalis digelarbacakan bersama peluncuran majalah sastra ‘Kalimas’ yang terbit dari Surabaya, di tengah acara pameran lukisan Widodo Basuki, 22 Februari 2014 di Dewan Kesenian Surabaya. Malsalis membukukan puisi-puisi karya para jurnalis, berjudul ‘Puisi Ini Kutulis Pakai Komputer’ memuat tulisan puisi 13 jurnalis. Mereka itu antara lain: Moh Anis, Sirikit Syah, Toto Sonata, Amang Mawardi, Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, JFX Hoery, dan banyak lagi.
Dalam catatan bukunya, Aming Aminoedhin, sebagai editor antara lain mengatakan, “Tidak banyak jurnalis mau menulis karya sastra, karena memang membutuhkan pengendapan dalam setiap tulisannya. Jika mereka mau menulis, memang terasa jurnalis itu  punya rasa empati berlebih dibandingkan lainnya. Lebih lagi, mereka mau bersepakat buat antologi puisi semacam ini. Meski harus membiayai sendiri dari koceknya yang tidak banyak sekali, dibanding para tukang korupsi. Sungguh, ini hanya upaya dari beberapa jurnalis, dan mantan jurnalis, yang punya mimpi baca sastra bersama. Hanya beberapa, karena yang lain mungkin kurang tertarik atau bahkan merasa hanya akan sia-sia. Sebab, mereka merasa akan ketinggalan berita. Ah.... entahlah!”


Selain acara malam sastra jurnalis, yang mana para jurnalis seperti Toto Sonata, R. Giryadi, Leres BS, Amang Mawardi, Widodo Basuki, Aming, dan JFX Hoery baca puisi; malam itu juga digelar peluncuran majalah sastra “Kalimas” yang dulu pemimpin redaksinya Tengsoe Tjahjono. Menurut Tengsoe, majalah ini sebenarnya terbitnya sudah lama, tapi karena krisis dan pengelolanya banyak yang telah berpencaran alamat; maka mengalami stagnasi. Kini, tahun 2014, majalah ‘Kalimas’ kembali hadir terbit dengan format dan isi yang lebih baik.
Armada keredaksiannya juga ditangani anak-anak muda, dengan dikomandoi oleh R. Giryadi, tambah Tensoe Tjahjono, pada sambutannya. Lebih jauh Tengsoe juga mengatakan bahwa penanganannya masih banyak dipegang dari teman-teman muda Unesa, yang dulu bernama IKIP Surabaya. Mereka itu antara lain: Much Khoiri, A. Muttaqin, Aleks Subairi, dan banyak lagi.
            Selain sambutan, sebagai pemimpin redaksi Kalimas, Tengsoe, juga berpamitan akan pergi ke Korea, guna melaksanakan tugas negara yaitu mengajar bahasa dan sastra Indonesia,  di Hankuk University, Seoul, Korsel.
Acara malam itu, sungguh meriah dan penuh gairah guna menumbuhkembangkan sastra Jawa Timur ini. Tampak hadir tokoh-tokoh sastra: Setya Yuwono Sudikan, Suharmono Kasijun, M. Shoim Anwar, Bagus Putu Parto, Suparto Brata, Akhudiat, dan banyak lagi.


Catatan Perjalanan Penggurit
Pameran berupa lukisan, drawing, dan sketsa karya  Widodo Basuki, berlangsung di Galeri Surabaya, Dewan Kesenian Surabaya, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya, dari tanggal 21 hingga 28 Februari 2014. Pameran yang dibuka dengan acara macapatan dan baca guritan itu, sangalah meriah.











Tampil maestro macapatan FY Darmono Saputro dan Subroto, sedang penggurit tampil Aming Aminoedhin dan R. Giryadi. Ketua DKS, Sabrot D. Malioboro, dalam sambutannya antara lain mengatakan, “Tanpa terasa seorang Widodo Basuki adalah manusia paripurna. Bisa menulis sastra, dan melukis seni rupa. Utuh, lengkap, tentu tak terabaikan juga kesantunan, dan kesederhanaan dalam hidupnya.”
Dalam pembukaan pameran pada saat itu, dihadiri banyak teman kolega sang penggurit yang pelukis, antara lain: Nuzurlis Koto, yang dalam kesempatan ikut memberikan kesaksian perjalanan seni rupa Widodo Basuki. 

Widodo Basuki, lahir ing Trenggalek 18 Juli 1967, alumni Jurusan Seni Rupa (STKW dan IKIP PGRI Adhibuana Surabaya), sejak 1993 bekerja  menjadi wartawan, sekarang ditugasi sebagai Redaktur Pelaksana di Majalah Berbahasa Jawa “Jaya Baya”. Dia  lebih dikenal sebagai “penggurit” di sastra Jawa  daripada pelukis yang  juga  masih ditekuni.
Sering diundang sebagai pembicara. Di bidang sastra karya-karyanya selain berupa guritan, crita cekak, crita wayang, crita rakyat, crita sambung,  cerpen, cerita anak-anak, juga beberapa esai  tersebar di media berbahasa Jawa dan Indonesia. Beberapa karyanya pernah mendapat penghargaan di antaranya:  “Njaga Banyune Sendhang”, Juara I Naskah Dongeng Tingkat Nasional (Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta – Lembaga Kajian Budaya Surakarta)  tahun 2002, karya guritannya “Guritan Pari Sawuli” pernah Juara I naskah geguritan  tingkat Jawa Timur tahun 2001, dan buku kumpulan guritan “ Layang Saka Paran” mendapat hadiah Sastra Rancage tahun 2000. Tahun 2004 mendapat penghargaan Seniman Berprestasi dari Gubernur Jawa Timur. Cerpennya “Sang Panji Parmi(n)” mendapat  Juara  II Lomba Cerpen Bernafaskan Panji, kerjasama Dewan Kesenian Jawa Timur – Dewan Kesenian Jombang, tahun 2010. Pernah diundang membaca guritan  “Layang Saka Tlatah Wetan” dalam Apresiasi Sastra Jawa –Sunda tahun 1999 di TIM  Jakarta.
Tulisan jurnalistiknya berjudul "Lumantar Koperasi, Ndadekake Wong Cilik Bisa Gumuyu" Juara I Jurnalistik Perkoperasian, Departemen Koperasi - Deppen Jawa Timur, 1993. Tahun  2008 Juara I Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur. Tahun 2009 Juara III, Jurnalistik Pariwisata Jawa Timur, dan tahun 2012, Juara Harapan II.
Dengan isteri tercinta Dra. Sri Sulistiani MPd, dikaruniai dua orang putra: Abhimata Zuhra Pramudita dan Gupita Zahra Laksmi Mahardhika. Sekarang tinggal di Sukolegok RT 13/RW 05, Desa Suko, Kec. Sukodono, Sidoarjo. Tilp. 031  7870475,  email:  wid_basuki@yahoo.co.id (mat)*








Selasa, 18 Februari 2014

MAJALAH SENI BUDAYA DAN SASTRA JATIM



MAJALAH SENI BUDAYA DI JATIM
Oleh: Aming Aminoedhin*)


            Sastra sebagai salah satu cabang seni, cukuplah banyak digemari oleh masyarakat di Jawa Timur.  Hal tersebut dapat terlihat dari maraknya keberadaan komunitas sastra, baik Indonesia maupun Jawa yang hidup dan berkembang di Provinsi Jawa Timur. Komunitas-komunitas tersebut misalnya: FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Sanggar Sastra Kalimas (Unesa), Komunitas Sastra Rabo Sore (Unesa), FS3LP (Forum Studi Sastra  & Seni Luar Pagar Unair), FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya),  Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), KSLP (Komunitas  Sastra Lembah Pring - Jombang), KSE (Komunitas Sastra Esok - Sidoarjo), KARS (Komunitas Alam Ruang Sastra – Sidoarjo), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara komunitas sastra Jawa, ada Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Sanggar Sastra Jawa Triwida (SSJT) Tulungagung, dan Sanggar Sastra Parikuning (SSP) di Sempu, Banyuwangi.





            Banyak pula naskah karya sastra yang ditulis sastrawan Jawa Timur, selain berupa buku, juga berupa karya-karya lepas yang termuat di berbagai media-massa (surat kabar dan majalah), baik terbitan lokal Jawa Timur maupun nasional. Karya tersebut dapat berupa buku prosa (cerita pendek/cerita sambung), puisi, bahkan naskah drama. Sedangkan mereka yang masih pemula, banyak pula yang menulis di ruang-ruang dunia maya atau internet, semacam: facebook, blogspot, twitter, wordpress dan lain sebagainya. Sebagian yang lain, malah buat kumpulan puisi atau cerpen sendiri, dan kemudian dibacakan pada forum-forum diskusi sastra, yang kini kian menjamur di Jawa Timur. Baik yang diselenggarakan di ibu kota provinsi, Surabaya, atau kota-kota di wilayah Jawa Timur, semacam: Jombang, Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Lamongan, Lumajang, Malang, Jember, Banyuwangi, Ngawi,   dan mungkin masih banyak lagi.

            Fenomena semacam ini tentunya sangatlah menggembirakan bagi masyarakat sastra Jawa Timur, dan hal ini tentunya, layak untuk diakomodasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Semisal dibuatkan sendiri majalah Sastra dan Budaya tingkat Jawa Timur. Mengapa demikian?
            Sebab selama ini, majalah sastra Horison, satu-satunya majalah sastra di Indonesia itu, tidak lagi bisa menampung karya-karya sastra yang membludak (baik dari Jatim maupun karya-karya sastra dari provinsi lain) yang cakupannya se-Indonesia.
            Di Jawa Timur sendiri, karya sastra yang dilahirkan telah begitu banyaknya. Terbukti dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra menerbitkan karyanya sendiri, tanpa pernah kita ketahui, apakah pernah dimuat di sebuah koran atau majalah. Meski sebenarnya hal tersebut tidak menjadikan ukuran baik-tidaknya sebuah karya sastra, tapi setidaknya bisa dijadikan semacam parameter sementara; bahwa karya-karya tersebut telah terseleksi oleh dewan redaksi sebuah koran atau majalah yang telah memuatnya.
Hal tersebut akan lebih baik, ketika naskah-naskah sastra karya sastrawan muda Jatim itu, bisa ditampung dalam sebuah majalah sastra sendiri, terbitan Jawa Timur. Tidak ikut nebeng (gabung) nama di majalah sastra satu-satunya di Indonesia, bernama Horison, yang mana mereka harus berjuang melawan antrian panjang dari para penulis lain di luar Jawa Timur. Sungguh, kerja yang melelahkan!
            Nah... apabila Jawa Timur punya majalah sastra sendiri, antrian panjang melelahkan itu akan bisa sedikit kita kurangi. Sekaligus menampung kreativitas sastrawan muda yang kian membludak jumlahnya.

Majalah Sastra Jatim, Mungkinkah?

            Sekian tahun yang lalu, sekitar tahun 1980-1990-an,  membuat semacam majalah kebudayaan yang memuat sastra di Jawa Timur memang telah dirintis oleh beberapa komunitas sastra. Pertama, Teater Ideot, yang diprakarsai oleh Muhammad Sinwan, dengan menerbitkan majalah kebudayaan ‘Iklim’. Kedua, komunitas Sanggar Sastra Kalimas, yang dimotori Tengsoe Tjahjono (IKIP Surabaya, sekarang Unesa) menerbitkan majalah kebudayaan ‘Kalimas’ Surabaya.
Dua majalah yang berlabel ‘majalah kebudayaan’ ini banyak memuat karya sastra, baik cerpen dan puisi. Hal ini disebabkan redaksi pengelolanya berangkat dari mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, dan pemain teater. Sehingga tidaklah salah, jika banyak memuat karya sastra.
            Akan tetapi dua majalah ini tidak bisa bertahan lama. Di samping tidak didukung dana yang kuat, juga kesulitan dalam menjual, dan mendistribusikan majalahnya.
            Sedangkan majalah berlabel ‘Buletin DKS’ yang diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya pada waktu itu, juga tidak bertahan lama penerbitannya. Lantas buletin itu pun tidak terbit tanpa diketahui sebabnya. Tapi syukurlah, kini ada gantinya, “Alur” yang juga diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya. Moga-moga bisa bertahan, dan jadi alternatif bagi para penulis sastra Jawa Timur, utamanya kaum muda.         Ada juga majalah “Pandom” jurnal budaya Surabaya, tak lama terbit juga mati. Sementara majalah seni dan budaya‘Kidung’ terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur, meski tetap terbit, tapi tidak kontinyu sebulan sekali terbitannya. Bahkan distribusi majalah ‘Kidung’ juga tidak menjangkau luas kepada masyarakat. Begitu pula majalah ‘Bende’ terbitan Dikbangkes Jatim, tidak menjangkau banyak masyarakat luas di Jawa Timur.
            Di tengah hiruk pikuknya anak-anak muda sekarang lagi keranjingan menulis sastra (cerpen maupun puisi), maka selayaknyalah Pemerintah Provinsi Jatim, c.q Dewan Kesenian Jawa Timur, untuk membuat majalah sastra Jatim sendiri. Atau memperbaiki penerbitan dan distribusinya majalah seni dan budaya ‘Kidung’ itu menjadi terbit secara kontinyu, setiap sebulan sekali. Memuat karya sastra, yang berupa prosa, puisi, dan naskah drama. Apa lagi kini ketua DKJT baru, baru saja terpilih kedua kalinya.
            Jawa Timur punya banyak nama-nama sastrawan yang cukup disegani di tingkat Nasional, seperti: Budi Darma, Suparto Brata, Akhudiat, D. Zawawi Imron, dan seabreg yang lain. Lantas ada nama-nama yang lebih muda: Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Beni Setia, Rusdi Zaki, Bonari  Nabonenar, M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan, R. Giryadi, Widodo Basuki, Tjahjono Widarmanto  & Widijanto, Mashuri, HU Mardiluhung, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, , Zoya Herawati, Wina Bojonegoro,  Sirikit Syah, dan banyak lagi.
            Nama-nama para sastrawan tersebutlah yang sebenarnya bisa mejadi tim redaksi majalah sastra budaya  Jatim yang akan kita buat nanti. Nama-nama mereka itu cukuplah handal untuk bisa menyeleksi naskah masuk yang mungkin akan berjibun jumlahnya.
            Persoalannya sekarang, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (cq DKJT), benar-benar mau menerbitkan majalah sastra Jatim sendiri? Atau barangkali melalui UPT Dikbangkes majalah itu bisa diterbitkan?
            Harapannya, majalah seni budaya tersebut, jika terbit haruslah menjangkau banyak masyarakat seni secara luas di Jawa Timur. Utamanya para guru seni budaya di sekolah. Adakah bisa? Saya pikir masih bisa!
            Mungkinkah? Sangat mungkin!
                                                                                    Desaku Canggu,  27/12/2013




*)  Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), dan tinggal di Canggu, Mojokerto.