Jumat, 20 Februari 2009

komunitas sastra fsbs

KOMUNITAS DAN BUKU SASTRA
* Adakah Malsasa bisa digelar tahun ini?
oleh: aming aminoedhin

Catatan: Tulisan ini telah termuat di Surabaya Post Minggu, 15 Februari 2009.

Komunitas Sastra
Di Jawa Timur memang cukup banyak berdiri komunitas sastra, baik di kota Surabaya maupun di kota-kota kecil, semacam: Ngawi, Lamongan, Tulungagung, Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, Lumajang, Batu, Jombang, Sidoarjo, dan Gresik.
Untuk menyebutkan beberapa nama yang pernah ada, misalnya: Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS, PPIA Surabaya), Surabaya Poetry Community (Surabaya), Komunitas Sastra Luar Pagar (Unair, Surabaya), Sanggar Sastra Kalimas-nya Tengsoe Tjahjono (Surabaya), Sanggar Sastra Ketintang (IKIP Surabaya), Bengkel Muda Surabaya (BMS), Paguyuban Pengarang sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), Komunitas Sastra Teater Persada dan Komunitas Sastra Lingkar Tanah Kapur (Ngawi), Komunitas Sastra Teater Lamongan (Kostela, Lamongan), Sanggar Dian (Lumajang), Sanggar Triwida (Tulungagung, Trenggalek, dan Blitar), Pamarsudi Basa Jawi Bojonegoro (PSJB), ARS (Alam Ruang Sastra Sidoarjo), Komunitas Lingkar Sastra Junok (Bangkalan), Sanggar Sastra SD Jombatan (Jombang), dan banyak lagi.
Dari sekian banyak komunitas sastra yang ada, memang tidak banyak mau menerbitkan buku sastra. Jika mau mencatat, mungkin ada: FASS, Komunitas Sastra Teater Persada, Sastra Lingkar Tanah Kapur, Kostela, Kalimas, Ketintang, PPSJS, Triwida, PSJB, dan beberapa komunitas yang lain. Itu pun tidak banyak jumlah penerbitannya. Biasanya, menerbitkan sekali kumpulan puisi, lantas komunitas itu mati. Menyedihkan memang, tapi tidaklah kita lantas surut menulis sastra, dan surut membuat komunitasnya.
Forum Apresiasi Sastra Surabaya (FASS) yang berpangkalan di PPIA, Jalan Dr. Soetomo, yang lantas pindah di Dharmahusada Indah Barat, Surabaya; di mana saya pernah jadi motivatornya itu, juga tidak banyak menerbitkan buku. Jika mau mencatat hanya: Nuansa Biru, Reportase Sunyi, Gelombang, dan kumpulan puisi Festival Puisi XIII.
Sementara itu komunitas Tanah Persada, menerbitkan: Tanah Persada, Tanah Kapur, dan Tanah Rengkah. Komunitas Sastra Lingkar Tanah Kapur menerbitkan: Surat dari Ngawi, Secangkir Kopi Buat Kota Ngawi, Suluk Hitam Perjalanan Hitam. Surabaya Poetry Community menerbitkan: Mataku Mata Ikan, Cerita Buat Putri Rajab, Pengantin Lumpur. Sanggar Sastra Kalimas menerbitkan Dialog Warung Kaki Lima; dan Kostela (Komunitas Sastra Teater Lamongan), yang dimotori Herry Lamongan ini, cukup banyak menerbitkan buku-buku sastra (data saya tidak lengkap), baik kumpulan puisi maupun cerpen. Begitu pula komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya). Lantas PPSJS menerbitkan kumpulan guritan Kabar saka Bendulmrisi, dan mungkin sederet lagi yang bisa kita tuliskan dalam tulisan lain.
Semua yang saya sebutkan di atas, hanyalah beberapa contoh komunitas sastra dan penerbitannya. Datanya memang tidak lengkap, tapi dari data di atas membuktikan bahwa komunitas sastra di Jawa Timur, cukup banyak jumlahnya, serta mereka mau menerbitkan buku-buku sastra. Meski masih ada juga yang sangat sederhana (stensilan/fotokopian), ada juga yang sudah dicetak baik, dan ber-ISBN sebagai buku yang berstandar nasional.

Bagaimana FSBS
Komunitas yang berawakkan dari komunitas sastrawan Jawa Timur, yang terdiri dari sastrawan yang menulis dengan menggunakan media bahasa Indonesia, dan media bahasa Jawa. Berdiri sejak 2 Desember 2005 lalu, ketika akan menerbitkan kumpulan sajak bertajuk ‘Malsasa’.
Beberapa nama yang ikut memotori ini, sebut saja Aming Aminoedhin, Sugeng Adipitoyo, Anang Santosa, dan W. Haryanto. Nama lain yang lebih yunior, ada: AF Tuasikal, dan Fahmi Faqih.
Awalnya berangkat dari pertemuan warungkopian yang biasa mangkal di Warung Delima, alias Delapan Lima, Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Dari hasil kongkow-kongkow itulah, yang kemudian melahirkan beberapa ide membentuk komunitas ini, yang akan menerbitkan antologi puisi dan geguritan.Terbentuklah kemudian komunitas bernama Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), yang terdiri sastrawan Indonesia dan Jawa tersebut. Dari hasil pertemuan nonformal inilah yang kemudian benar-benar melahirkan sebuah antologi puisi dan geguritan ‘Malsasa 2005’ yang dibacakan para penyair dan pengguritnya di Galeri Seni, Dewan Kesenian Surabaya, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Secara formal pertemuan rekan-rekan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) tidak pernah rutin, tapi secara nonformal bertemu dan berembug pada acara-acara pentas seni yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur di Gentengkali. Bahkan terkadang, secara spontanitas, tapi ternyata dapat terealitaskan kegiatannya. Tidak hanya berupa pentas sastra dan bedah buku; tapi juga penerbitan buku, utamanya buku sastra.
Secara hitungan, penerbitannya sudah lumayan banyak buku yang telah dan akan diterbitkan oleh Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), antara lain: Malsasa (antologi puisi dan geguritan, 2005), Tanpa Mripat, karya Aming Aminoedhin (kumpulan geguritan gagrag anyar, 2006), Mampir Ngombe karya Indri S. Diarwanti (kumpulan geguritan gagrag anyar, 2006), Timbil karya Trinil (kumpulan wacan bocah, 2006), Surabaya 714 (antologi malam sastra surabaya, 2007), Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu karya Aming Aminoedhin (kumpulan sajak anak-anak, 2008), Senyum Rel Kian Jauh karya AF Tuasikal (kumpulan puisi, 2008), dan Memutih Putih Begitu Jernih karya Aming Aminoedhin (kumpulan puisi, 2008).
Buku-buku di atas semuanya telah beredar di masyarakat, dan cukup mendapatkan respons positif masyarakat sastra Jawa Timur. Sedangkan ketiga buku yang disebut terakhir adalah tinggal launching-nya saja di awal tahun ini.
Secara hitungan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) telah dua kali menerbitkan kumpulan puisi dan geguritan (tergabung dalam satu buku), dalam rangka memeriahkan acara Malam Sastra Surabaya atau lebih dikenal dengan Malsasa. Terbit pertama pada tahun 2005 dan disusul tahun 2007. Tahun 2005 melibatkan sejumlah 25 penyair dan 7 penggurit, ikut bergabung dalam kumpulan “Malsasa 2005,” sedangkan pada tahun 2007 ada 34 penyair dan 14 penggurit karya-karyanya masuk di antologi ‘Surabaya 714’.

Malsasa 2009, Adakah?

Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) yang telah dua kali menerbitkan kumpulan puisi dan geguritan Malam Sastra Surabaya (Malsasa) 2005 dan 2007, maka pada tahun 2009, dituntut kembali untuk menerbitkan dan menggelarpentaskan Masasa ini. Secara historis Malsasa memang selalu mebukukan kumpulan puisi dan geguritan sastrawan, dan sekaligus mengacarakan pentasnya. Apabila bicara Malsasa, memang seharusnya dua tahunan acara ini kembali digelar. Tapi persoalannya, komunitas Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) ini, jarang sekali mengadakan pertemuan. Ini yang menjadikan kendala, adakah Malsasa tahun ini bisa digelarpentaskan kembali?
Beberapa rekan penyair memang menanyakan hal ini, tapi saya sebagai ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) belum bisa menjawab dengan pasti.
Selama ini kegiatan ini memang selalu didanai secara patungan, adakah tahun ini masih patungan? Atau mungkin ada pihak sponsor yang mau mendanai?
Mari kita bicarakan bersama, mumpung masih di awal tahun. Kapan? Terserah rekan-rekan sastrawan?

Desaku Canggu, 17 Januari 2009

Kamis, 19 Februari 2009

syair nyanyian leo kristi

Salam dari Desa
nyanyian leo kristi


kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya padi-padi telah kembang
ani-ani seluas padang roda giling berputar putar
siang malam tapi bukan kami punya

kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya tebu-tebu telah kembang
putih-putih seluas padang
roda lori berputar –putar siang malam
tapi bukan kami punya

anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
nyanyi-nyanyi bersama-sama di tanah-tanah gunung
anak-anak kini telah pandai menyanyikan gema merdeka
nyanyi-nyanyi bersama-sama tapi bukan kami punya

tanah pusaka tanah yang kaya
tumpah darahku di sana kuberdiri
di sana kumengabdi dan mati
dalam cinta yang suci

kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
katakan padanya nasi tumbuk telah masak
kan kutunggu sepanjang hari
kita makan bersama-sama berbincang-bincang
di gubuk sudut dari desa
di gubuk sudut dari desa
di gubuk sudut dari desa

ditulis kembali aming aminoedhin
19 januari 2009


Lewat Kiara Condong
nyanyian leo kristi


lewat Kiara Condong kereta laju
panorama di sana memaksa ku tersenyum
bocah bocah tak berbaju
berlari-lari disepanjang tepi
di setiap detak roda yang kelima
bergerombol bocah-bocah

bermain gundu kudaku lepas
mengejar layang sampai ke awan
bermain gundu kudaku lepas
mengejar layang sampai ke awan

oh... bilakah mereka mainkan buku
dan pena di tangan?

lewat Kiara Condong kereta laju
seorang gadis telanjang dada
basah rambutnya berkeramas
sempat kulihat tisik kainnya
dibalik dinding bambu
reyot dan tak beratap

ketika lewat Kiara Condong
matahari tidur…dibalik gunung
ketika lewat Kiara Condong
tuan-tuan tidur di sejuk gunung



ditulis kembali aming aminoedhin
19 januari 2009



Hati Muda Ley Ley
nyanyian leo kristi

riuh di terminal bis malam
seorang gadis gelandangan
menangis tersedu di sudut
gagal mencuri nasi
sedang di belakangku
seorang bocah merengek-rengek
sambil melemparkan kulit coklat
ke segala sudut

campur berisik suara kaset yang merengek-rengek
..uhhh pusingnya…

hujan lebat lewat bus malam
di sisi cikar-cikar sayup
dengan percik lumpur jalanan
dalam jaket tua yang lemah
kududuk di sisi pak sopir
dengan mata burung hantu malam

bersama hilangnya bayangmu
bis malamku tiba
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleiyo ooooo..
lai loley ley lai loley lai loley ley
oleiyo ooooo

sepi di terminal bis malam
lampu lampu neon telah padam
ketika kutersandar letih
sesekali suara memaki
senda gurau menjelang pagi
membuat hati resah berahi
senyum yang kucari tiada jumpa
betapa rinduku….

hati muda ley ley
hati muda ley ley
hati muda ley ley
hmmmmmm……

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Roda Pedati
nyanyian leo kristi


roda pedati telah menunggu
selamat tinggal
salam bagimu cinta dan doa adik
cakrawala langit biru tidurku

roda pedati malam sepi ini
dingin beku
salam bagimu cinta dan doa adikku



ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009




Kereta Laju
nyanyian leo kristi

kereta melaju berlari
di atas kopor ku angkat kaki
serasa melayang serasa terbang
senyumku terkembang walau kusendiri

bawalah aku cepat berlari
bawalah aku jauh-jauh pergi

ai ai ai ai
kum bam ba kum ba kum bam ba kum ba
aahhhhh….



ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009



Langit Makin Merah-Hitam

nyanyian leo kristi

dia saudaraku
dia saudaraku
bernyanyi riang di ufuk fajar
dalam ytidur senyap ini
bersama nya bunga-bunga
dengan tiga butir peluru di dada.
di dada…

hai kaihoro..

dia saudaraku
dia saudaraku
yang kini menang kedamaian
tertelungkup atas salib
di depan altar suci
dengan tiga butir peluru di dada
di dada..

langit makin merah hitam
langit makin merah hitam
merah hitam , hitam merah , hitam

dia saudaraku
dia saudaraku
terlentang di padang kunang-kunang
bongkah tanah di genggamnya
tanah air yang tercinta
dengan tiga butir peluru di dada
hai kaihoro..

langit makin merah hitam
langit makin merah hitam
merah hitam , hitam merah , hitam


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009



Jabat Tangan Erat-Erat Saudaraku

nyanyian leo kristi

lihatlah layar layar terkembang di laut
panji –panji merah dan putih turun senja
kini tiba saatnya nyalakan bara hati
angin bertiup semakin dingin
di simpang-simpang gelap
lentera-lentara jalan tak mengenal dirinya lagi

kalau cermin tak lagi punya arti
pecahkan berkeping-keping
kita berkaca di riak gelombang
dan sebut satu kata : hakku !

jabat tangan erat-erat
jabat tangan erat-erat
jabat tangan erat-erat
saudaraku!
saudaraku!
saudaraku!

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009



Di atas Sukapura 2

nyanyian leo kristi

oh dusunku ,oh dusunku
akan lama kutinggalkan dirimu
selamat tinggal gadis manis
tak kulupa hangat tubuhmu

sunyi…
pagi ini aku melangkah
dinginnya pagi tak terasa
lalalalala…

bukit…bukit…
betapa indah warna rona
di sela-sela kabut putih

gunung gunung biru kurindu…



ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Nyanyian Pantai
nyanyian leo kristi

tepian pantai serakan lokan
angin laut yang bertiup
deburan ombak suara pekik bangau
sinar surya memeluk pantai
sinar surya pagi

kulihat camar-camar
kulihat layar-layar
di batas cakrawala
bersama mengalunkan
simfoni kedamaian
hu…….. kedamaian!
Laila….ila….la…. kedamaian


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009


Laut Lepas Kita Pergi
nyanyian leo Kristi

angin sepoi ……….
angin sepoi………..
layar-layar di dermaga
telah tumbuh telah tumbuh

tegukkan cangkir kopi terakhir
senja ini senja ini
kemarin hanya mimpi
diteluh tangan sakti
aku tak mengerti
gelapnya dunia ini
hingga hari yang sepi
kuterjaga dari mimpi

layar-layar di dermaga
telah tumbuh telah tumbuh
apa lagi kau tangisi
ucapkanlah selamat tinggal
hari kemarin
ke laut lepas kita pergi

hu….hu….hu….. hu….
ai…ai…..ai…..ai……
kemarin hanya mimpi
diteluh tangan sakti
aku tak mengerti
gelapnya dunia ini
hingga hari yang sepi
kuterjaga dari mimpi


ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009



Jerami
nyanyian leo Kristi

rumput jerami tepi dangau
jadi istana malam ini
dijalin tangan ku dan dia
sepanjang malam purnama

petikan kecapi dan tembang sunyi
sayup seiring berahi
di sini siang hari berjajar tangis
dengan ani-ani dan nyanyi

lai lai lai lai lai lai
lai lai lai lai lai lai
ani ani nyanyi nyanyi
ani ani dan nyanyi

mata tertutup rambutku kukusut
sepanjang malam jerami

lai lai lai lai lai lai

ditulis kembali aming aminoedhin
13 februari 2009

Kamis, 12 Februari 2009

konsep nulisnya putu wijaya

KONSEP MENULIS
8 Nopember 2007
Oleh: Putu Wijaya

Catatan Aming Aminoedhin:
Mengawali catatan ini, saya ijin Pak Putu Wijaya untuk memuatkan tulisan ini di blog saya, agar tulisannya bisa menular (etung-etung sambil beramal) bagi para pemula yang suka menulis. Ucapan terima kasih, tentunya, saya sampaikan kepada Pak Putu, lantaran belum sempat kontak via email maupun hape. (Nomorku hilang,mungkan Mbah Mh. Iskan punya, tapi gak sempat kontak beliau). Yang pasti, tulisan Putu Wijaya ini cukup menarik dan apik. Barangkali bisa dijadikan referensi bagi yang belajar menulis dan penulis sastra sendiri. Setidaknya, tulisan ini cukup menggelitik kita, bahwa konsep menulis itu adalah “menteror pembacanya”. Meski Putu Wijaya juga sadar, konsep itu bisa salah atau tidak lagi manjur digunakan, maka tak segan Putu akan juga berpindah konsep menulisnya.
Untuk itu, perlu pembacanya blog “aming aminoedhin” ikut membaca! Selamat baca! (aming aminoedhin, penyair)


Ini tentang bagaimana saya menulis. Bukan tentang bagaimana seseorang sebaiknya, apalagi seharusnya menulis. Tidak mudah menulis bimbingan menulis yang umum, karena itu segera akan menjadi kiat yang kedaluwarsa.
Perkembangan dalam banyak hal sudah begitu cepat dan dahsyat. Manusia berubah dan sastra pun selalu menjadi baru. Bidang penulisan terus menemukan kiat-kiat terkini, meskipun yang lama tidak dengan sendirinya musnah.
Memang ada yang umum dan mungkin akan masih berlaku. Misalnya teknik menulis. Buku “Teknik Mengarang” yang ditulis oleh Mochtar Lubis sampai sekarang tetap saya anggap sebagai pedoman menulis yang terbaik.
Pertama sarannya untuk membuang dua atau tiga alenia pertama (bahkan mungkin lembar pertama) dari yang sudah kita tulis. Karena itu biasanya bagian-bagian emosional yang tak terkendali.
Kemudian anjurannya untuk pembukaan tulisan yang langsung menggedor dengan masalah. Di dalam buku itu diberi contoh bagaimana Anton Chekov, sudah menabur pertanyaan dalam kalimat pertama. Pembaca jadi penasaran dan ingin tahu apa yang terjadi. Dan Chekov memang seorang master dalam “plot” yang selalu memberikan kejutan yang mempesona di akhir cerita.
Yang ketiga, Mochtar Lubis menyarankan untuk tidak berhenti menulis kalau sedang buntu. Kalau itu dilakukan, besar kemungkinan penulis tidak akan pernah kembali melanjutkan. Setiap hendak melanjutkan sudah langsung mumet melihat jalan buntu yang menunggunya.
Berhenti sebaiknya dilakukan justru saat sedang lancar dan berapi-api. Di samping membantu mengendapkan emosi, itu sercara psikologis akan menjaga semangat untuk meneruskan bekerja.
Unsur cerita secara umum juga masih berlaku, walau kehadirannya sudah teracak-acak. Bahkan ada yang sama sekali menjungkir-balik dan memperlakukan berbeda. Dulu cerita memerlukan tokoh, riwayat, alur dan penuturan. Sekarang cerita masih terpakai, tetapi diacak hancur dan tidak harus memakai unsur-unsur tadi.
Pernah keindahan bahasa menjadi tujuan utama. Mengarang jadi kehebohan memberi gincu , memoles dan memasang berbagai asesoris, sehingga yang mau disampaikan jadi berdandan keren. Bahasa Indonesia dalam masa Pujangga Baru, misalnya, seperti menari-nari melakukan gerak indah.
Tetapi kemudian digeser oleh Angkatan 45 yang ceplas-ceplos, kasar kadang cenderung kurang-ajar (Surabaya oleh Idrus), tapi terasa lebih menggigit dan konkrit. Kekenesan dan kegenitan pun ditinggal. Bahasa penulisan menjadi lebih dinamis, padat dan berdarah. Bahasa Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontany dan Mochtar Lubis membuat sastra Indonesia memasuki babak baru.
Mohtar Lubis adalah wartawan terkenal yang menulis dengan mempergunakan kiat dan pengalamannya sebagai wartawan. Bahasa pers yang dulu dianggap bahasa berita yang kering, menjadi lain ketika penulis “Jalan Tak Ada Ujung” ini memberinya muatan.
Tak pernah dipersoalkan sebagai cela lagi, kalau ada pengarang yang menulis fiksi dengan ketrampilan wartawan. Majalah TEMPO yang didirikan pada tahun 70-an bahkan kemudian menggabungkan bahasa sastra ke dalam pemberitaan, sehingga bukan hanya bahasa sastra berkembang, bahasa pers juga berubah, keduanya saling menghampiri.
Pernah tema besar menjadi primadona. Tulisan yang mengangkat tentang nasib manusia, perang, revolusi dan sebagainya menjadi tiket untuk dianggap sebagai karya bergengsi. Kita masih terus mengagumi War And Peace karya Tolstoy dan Dokter Zhivago-nya Boris Pasternak dan Hamlet-nya Shakespeare.
Tetapi cerita kemalangan seorang nelayan kecil dalam The Old Man and The Sea dari Hemingway pun dianggap luar biasa. Juga penantian Didi dan Gogo dalam Waiting for Godot karya Beckett dianggap sebagai sebuah fenomena, setelah pernah lama hanya ditoleh dengan sebelah mata karena seperti dagelan.
Pada suatu siang (tahun 70-an) di kantor majalah TEMPO di bilangan Senen Raya, saya pernah bertanya pada Goenawan Mohamad. Apakah tema besar besar itu menentukan nilai sebuah karya. Artinya sebuah karya tulisan tidak akan pernah besar kalau temanya tidak besar. Pemimpin Redaksi Tempo yang juga salah seorang penyair dan eseis Indonesia kelas satu itu dengan tak ragu-ragu menjawab: “Tidak!”
Saat itu saya sedang menulis novel “Telegram” dan naskah drama “Aduh”. Keduanya tidak punya tema besar. Hanya tentang perasaan individu kecil yang gagap dan kebingungan menghadapi komplekasi kehidupan yang semakin jumpalitan.
Rasa kerdil bahkan nyaris “bersalah” (karena tidak seperti Pramoedya Ananta Toer yang banyak bicara tentang revolusi) segera mendapat angin segar. Perlahan saya yakini, karya sastra jadinya bukan hanya “tentang apa”, tapi “bagaimana memaparkan apa itu”.
Menceritakan apa yang ada di sekitar, yang mudah diceritakan, karena kita menguasainya, tidak lagi terasa tercela. Lebih dari itu menceritakan dengan sepenuh keberadaan diri kita, dengan segala kelebihan dan terutama kekurangannya, juga bukan sesuatu yang tercela.
Dalam Telegram saya numpang bertanya lewat tokoh utamanya. “Apakah yang berhak bercerita itu hanya para pahlawan dengan tindakan-tindakan besarnya. Apa orang yang bodoh dan tidak tahu, tidak boleh ikut bicara membagikan pikiran-pikirannya?”
Dalam sebuah Telegram, tokoh utama mendapat telepon dari seseorang yang tidak dikenalnya dalam bahasa Arab. Saya tertegun waktu itu. Apakah saya harus menunda tulisan itu sampai saya dapat menuliskan dalam bahasa Arab apa yang diucapkan oleh yang nelpon? Atau tak perlu menyembunyikan kekurangpengetahuan saya, karena seorang penulis tak harus orang yang serba tahu.
Saya mengambil resiko, tidak perlu menunggu. Saya tulis ucapan bahasa Arab itu dengan deretan huruf-huruf yang tidak bisa dibaca, karena bagi telinga pelaku cerita, dia tidak menangkap makna tapi hanya bunyi.
Dari proses itu saya belajar, menulis adalah “mengambil resiko” . Tanpa keberanian mengambil resiko hasilnya hanya akan menjadi rata-rata saja. Memenuhi persyaratan, tetapi tidak orisinal apalagi unik. Dua hal itulah kemudian yang selalu saya kejar dalam menulis.
Keberanian mengambil resiko tidak datang begitu saja. Pendidikan orang tua untuk menghormati disiplin membuat saya berwatak patuh. Tak berani melawan aturan. Itu membuat saya jadi penakut dan pengecut. Tetapi pengalaman keras di lapangan perlahan-lahan menyeret saya untuk belajar bersikap.
Pada tahun 60-an, saya menulis drama “Dalam Cahaya Bulan” di Yogya. Dalam drama itu ada yang tidak logis. Pelaku utamanya memberikan pengakuan yang menyalahi cerita. Pemain yang memainkan tokoh itu protes, mengatakan ucapan tokoh itu salah. Saya hampir saja tergoda.untuk mengoreksinya.
Tapi kemudian saya bertahan, karena ucapan tokoh tidak harus semuanya benar. Tokoh utama pun bisa saja tidak jujur. Dia hidup dan merdeka mengutarakan pikirannya, tak hanya menjadi corong dari penulis.
Mempertimbangkan pembaca dalam menulis selalu mendua. Bisa menjadi kelemahan, karena itu akan membatasi kebebasan. Tapi dalam keadaan tidak terlalu bebas, kreativitas akan tertantang, lalu kita terpacu meloncat seperti dalam lari gawang sehingga hasilnya bisa mengejutkan. Pada awalnya pembaca menjadi beban, tetapi kemudian ketika beban itu sudah terbiasa, menjadi hikmah.
Saya percaya setiap penulis adalah sebuah dunia mandiri yang menempuh jalannya sendiri. Ia memiliki banyak persamaan dengan orang lain, tetapi itu tidak penting. Yang menentukan adalah perbedaan-perbedaannya.
Keunikannyalah yang akan menjadikan produknya menonjol di tengah karya orang lain. Penulis bukan sebuah pabrik, meskipun produktif. Berbeda dengan kerajinan yang berulang-ulang dibuat, produk tulisan selalu berbeda karena ia menyangkut ekspressi..
Setiap penulis akan menyusun teorinya sendiri. Proses kreatif itu tidak untuk ditiru apalagi diberhalakan, meskipun boleh saja dicoba oleh orang lain. Pengalaman bekerja penulis lain, dapat jadi perimbangan yang mempercepat proses pembelajaran menulis. Tetapi bisa juga jadi bumerang kalau kemudian diterima sebagai sebuah idiologi.
Sastra punya potensi untuk menghibur, namun bukan hiburan. Novel, cerpen, puisi, esei dan sebagainya adalah kesaksian, perenungan, pemikiran dan pencarian-pencarian pribadi tetapi menjadi objektif ketika berhasil menyangkut kebenaran banyak orang. Akibatnya sastra tidak bedanya dengan bidang yang lain, sastra adalah ilmu pengetahuan. Tak selamanya upaya pencarian sastra berhasil, tetapi setiap kegagalan adalah sebuah janji.
Karenanya “menulis” bukan sesuatu yang mudah. Tidak seperti yang dikatakan oleh Arswendo: Mengarang Itu Gampang, juga tidak sama dengan apa yang dikatakan dosen penulisan di UI, Ismail Marahimin, bahwa “mengarang itu fun”.
Mengarang - bagi saya - adalah sebuah peristiwa yang khusuk, sunyi, pedih, melelahkan, menyakitkan, membosankan. Sebagaimana seorang ibu yang melahirkan, menulis menjadi sebuah peristiwa yang “menegangkan” tetapi indah dan sakral.
Menulis selalu menjadi sebuah pengembaraan baru yang membuat saya tertantang sehingga tak ada saat untuk tidak menyala. Meskipun saya tak pernah melihat nyala itu, tetapi dari apa yang dilakukan para penulis sebelumnya, jelas betapa jilatan pikiran mereka tetap mengibas ke masa-zaman yang akan datang hingga membuat kehadiran berarti.
Buat saya, menulis adalah menciptakan “teror mental”. Tetapi konsep itu akan saya tinggalkan setiap saat, kalau ada kebenaran lain yang membuktikannya salah.

(diambil aming aminoedhin, dari blognya putu wijaya, pada hari: rabu, 7 januari 2009)

Rabu, 11 Februari 2009

forum sastra bersama sby

FSBS CETAK BUKU SASTRA
oleh: aming aminoedhin

Forum Sastra Bersama Surabaya atau FSBS
Komunitas ini terdiri dari komunitas sastrawan Jawa Timur, yang terdiri dari sastrawan yang menulis dengan menggunakan media bahasa Indonesia, dan media bahasa Jawa. Berdiri sejak 2 Desember 2005 lalu, ketika akan menerbitkan kumpulan sajak bertajuk ‘Malsasa’.
Beberapa nama yang ikut memotori ini, sebut saja Aming Aminoedhin, Sugeng Adipitoyo, Anang Santosa, dan W. Haryanto. Nama lain yang lebih yunior, ada: AF Tuasikal, dan Fahmi Faqih.
Awalnya, berangkat dari pertemuan warungkopian yang biasa mangkal di Warung Delima, alias Delapan Lima, Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya. Dari hasil kongkow-kongkow itulah, yang kemudian melahirkan beberapa ide membentuk komunitas ini, yang akan menerbitkan antologi puisi dan geguritan. Terbentuklah kemudian komunitas bernama Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), yang terdiri sastrawan Indonesia dan Jawa tersebut. Dari hasil pertemuan nonformal inilah yang kemudian benar-benar melahirkan sebuah antologi puisi dan geguritan ‘Malsasa 2005’ yang dibacakan para penyair dan pengguritnya di Galeri Seni, Dewan Kesenian Surabaya, Jalan Gubernur Suryo 15 Surabaya.
Secara formal pertemuan rekan-rekan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) tidak pernah rutin, tapi secara nonformal bertemu dan berembug pada acara-acara pentas seni yang diselenggarakan oleh Taman Budaya Jawa Timur di Gentengkali. Bahkan terkadang, secara spontanitas, tapi ternyata dapat terealitaskan kegiatannya. Tidak hanya berupa pentas sastra dan bedah buku; tapi juga penerbitan buku, utamanya buku sastra.
Secara hitungan, penerbitannya sudah lumayan banyak buku yang telah dan akan diterbitkan oleh Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), antara lain: Malsasa (antologi puisi dan geguritan, 2005), Tanpa Mripat, karya Aming Aminoedhin (kumpulan geguritan gagrag anyar, 2006), Mampir Ngombe karya Indri S. Diarwanti (kumpulan geguritan gagrag anyar, 2006), Timbil karya Trinil (kumpulan wacan bocah, 2006), Surabaya 714 (antologi malam sastra surabaya, 2007), Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu karya Aming Aminoedhin (kumpulan sajak anak-anak, 2008), Senyum Rel Kian Jauh karya AF Tuasikal (kumpulan puisi, 2009), dan Memutih Putih Begitu Jernih karya Aming Aminoedhin (kumpulan puisi, 2008).
Buku-buku di atas semuanya telah beredar di masyarakat, dan cukup mendapatkan respons positif masyarakat sastra Jawa Timur. Sedangkan ketiga buku yang disebut terakhir adalah tinggal launching-nya saja di awal tahun ini.

Buku Sastra FSBS
Secara hitungan Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) telah dua kali menerbitkan kumpulan puisi dan geguritan (tergabung dalam satu buku), dalam rangka memeriahkan acara Malam Sastra Surabaya atau lebih dikenal dengan Malsasa. Terbit pertama pada tahun 2005 dan disusul tahun 2007. Tahun 2005 melibatkan sejumlah 25 penyair dan 7 penggurit, ikut bergabung dalam kumpulan “Malsasa 2005,” sedangkan pada tahun 2007 ada 34 penyair dan 14 penggurit karya-karyanya masuk di antologi ‘Surabaya 714’. Para penyair dan penggurit yang ikut tercantum dalam buku tersebut, serta ikut tampil baca puisi dan guritnya adalah berasal dari beberapa kota di Jawa Timur, seperti: Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Ngawi, Madiun, Gresik, Pasuruan, Lumajang, dan Surabaya.
Buku kumpulan geguritan bertajuk Tanpa Mripat, anggitane Aming Aminoedhin, memuat 30 guritan, sedang Mampir Ngombe anggitane Indri S. Diarwanti, memuat 64 judul guritan. Kedua buku kumpulan guritan di atas, hanyalah memuat geguritan gagrag anyar, yang diterbitkan pada tahun 2006.
Wacan bocah dengan berbahasa Jawa yang ditulis oleh Trinil, bertajuk Timbil, memuat beberapa cerita anak yang cukup memberikan kontribusi positif di bidang sastra Jawa di Jawa Timur. Karena selama ini, sudah jarang sekali pengarang Jawa yang mau mengarang dan bercerita bagi anak-anak. Padahal hal ini, sangatlah penting, bagi menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa. Begitu pula kedua kumpulan guritan Tanpa Mripat dan Mampir Ngombe di atas, sebenarnya juga dalam rangka menumbuhkembangkan bahasa dan sastra Jawa. Hanya sayangnya, untuk penjualannya memang agak susah kepada masyarakat. Barangkali, Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pendidikan, seharusnya bisa membantu untuk penjualan buku-buku sastra Jawa ini. Ayau setidaknya, bisa menghimbau para guru bahasa Jawa mau ikut membeli buku-buku ini. Kapan? Entahlah!
Secara niatan, niatnya sudah baik, FSBS mencoba menerbitkan buku-buku sastra Jawa, dengan harapan agar bahasa dan sastra tidak punah. Atau memperpanjang hidupnya bahasa dan sastra Jawa itu.
Buku lain, yang diterbitkan FSBS adalah Sajak Kunang-Kunang dan Kupu-Kupu karya Aming Aminoedhin. Buku ini hanya mengkhususkan berisi sajak/puisi anak-anak, ditulis dengan bahasa anak-anak pula. Buku ini memuat 33 judul puisi anak-anak. Buku ini dicetak dengan harapan kumpulan ini bisa dijadikan semacm contoh latihan menulis dan membaca puisi bagi anak-anak. Bisa juga dijadikan bahan pengayaan mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat TK, SD, bahkan mungkin SLTP..
Ada lagi satu terbitan FSBS yaitu sebuah kumpulan puisi yaitu Memutih Putih Begitu Jernih karya Aming Aminoedhin, memuat sejumlah 69 judul puisinya. Puisi-puisinya lebih banyak bicara tema perempuan, karena idenya memang berawal dari tentang perempuan tersebut. Tapi ada juga beberapa puisi yang bertema protes sosial.
Buku yang terakhir diterbitkan adalah sebuah kumpulan puisi yang ditulis AF Tuasikal bertajuk Senyum Rel Kian Jauh, berisi 89 judul puisi, terbit tahun 2009. FSBS kali ini, memang mencoba menerbitkan karya penyair muda berbakat yang satu ini. Penyair kelahiran Mojokerto, yang kini bekerja di Balai Bahasa Surabaya, dan penggagas Komunitas Sastra “Sinji” ini, pernah berkali-kali beraksi di depan publik sastra Surabaya, Malang, Mojokerto, Blitar, Lamongan, Sidoarjo dan kota-kota lainnya di Jawa Timur.

Buku Sastra
Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) telah relatif cukup banyak menerbitkan buku sastra, hanya saja komunitas ini agak kesulitan ketika harus menjualnya, kepada masyarakat pembacanya. Lantas bagaimanakah solusinya? Barangkali memang perlu ada semacam program sastrawan masuk sekolah, sekaligus bisa mensosialisasikan dan menjual buku-buku cetakannya. Dalam hal ini barangkali dinas pendidikan bisa memfasilitasi? Semoga saja!

Desaku Canggu, 2 Februari 2009