Senin, 15 September 2008

malsasa dari waktu ke waktu

MALSASA DARI MASA KE MASA
Catatan: Aming Aminoedhin*


Prolog
Pendapa Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), malam itu lampunya telah dipadamkan. Lantas hanya ada sorot lampu ke arah panggung. Setelah basa-basi pewara, Susi Dinang, membuka acara, muncullah Aming Aminoedhin, ketua FSBS dan sebagai penggagas Malsasa (Malam Sastra Surabaya) melaporkan berapa penyair dan penggurit malam itu akan tampil. Setelahnya, Drs. Pribadi Agus Santoso, M.M. kepala TBJT, memberi sambutan, yang dilanjutkan membaca puisinya sendiri Tanah Liat, Matabatinku. Malam itu adalah 20 Agustus 2007, di mana Malam Sastra Surabaya digelarpentaskan dengan menampilkan beberapa penyair dan penggurit Jawa Timur. Beberapa nama penyair dan penggurit tampil bergantian membacakan puisi dan guritan.

Riwayat Malsasa
Malsasa adalah singkatan dari Malam Sastra Surabaya. Berawal pada tahun 1989, kegiatan malsasa ini menerbitkan kumpulan puisi “Surabaya Kotaku.” Selanjutnya, Malsasa digelar lagi pada tahun 1991, 1992, 1994, 1996, 2000, 2005 di Dewan Kesenian Surabaya.. Pada tahun 2000, Malsasa diselenggarakan di Balai Bahasa Surabaya, atas prakarsa Kepala Balai Bahasa Surabaya saat itu, Prof. Dr. Suparno (sekarang Rektor UM), yang bisa mendanai kegiatan pentas Malam Sastra Surabaya.
Agak aneh memang, malam sastra Surabaya kok diselenggarakan di Sidoarjo, tapi saya rasa tidak aneh. Sejak awal, pentas Malsasa memang selalu didanai dengan secara patungan oleh para sastrawannya. Tapi lantaran tahun 2000, ada lembaga yang mau mendanai, maka pentas itu digelarpentaskan di Balai Bahasa Surabaya yang berlokasi di Sidoarjo. Apabila bisa disebut aneh, alias agak beda, memang pada Malsasa 2000 ini, tidak hanya memuat puisi dan geguritan saja; akan tetapi juga memuat cerita pendek dan cerita cekak.
Pergelaran “Malam Sastra Surabaya” atau “Malsasa” terakhir kali adalah tahun 2007 lalu, bertempat di Pendapa Taman Budaya, Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya.
Pada awsalnya buku-buku antologi Malsasa, hanya memuat puisi-puisi para penyair saja, lantas pada perkembangannya, juga memuat geguritan, bahkan cerpen dan cerkak. Topik puisi yang diangkat menjadi tema pun, pada awalnya hanya ‘Surabaya’ dengan segala permasalahan dan ketergesaannya. Tapi selanjutnya berkembang tidak hanya memuat yang bertemakan ‘Surabaya’ an-sich, akan tetapi bisa apa saja. Termasuk soal daun, angin, bebintang, sungai mengalir, kereta pagi, mobil berlari, dan indahnya rembulan benderang.
Malsasa, pada awalnya digagas oleh Komunitas Sufo (Surabaya Forum), yang diketuai Jil Panjagir Kalaran, bersama saya. Pertama kali digelar tahun 1989, dengan menerbitkan kumpulan puisi “Surabaya Kotaku”. Beberapa nama yang ikut kumpulan itu, antara lain: Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Aming Aminoedhin, Roesdi-Zaki, Jil P. Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan.
Malsasa berangkat dari ide beberapa penyair yang ingin merayakan ulang tahun kota Surabaya dengan versinya sendiri. Mereka menulis puisi dan membacakannya. Topik yang diungkapkan pun beragam, ada yang menyumpahserapahi; ada juga yang mengingatkan kota agar berdandan, tapi jangan sampai lupa soal kemanusiaan; ada juga yang bicara tentang jalan-jalan kota yang tak teduh lagi, banyaknya iklan warna-warni; serta apa saja sesuai hati nurani penyair.

Malsasa dari Masa ke Masa
Jika harus menghitung jumlah pentas Malam Sastra Surabaya (Malsasa), barangkali kita bisa menghitungnya sejak tahun 1989 tersebut hingga sekarang. Karena Malsasa dibarengi dengan penerbitan buku antologi puisinya, maka kegiatan ini, bisa dilacak melalui penerbitan bukunya tersebut.
Secara hitungan jumlah buku antologi yang pernah terbit, antara lain: Surabaya Kotaku, Malsasa ’91, Malsasa ’92, Malsasa ’94, Malsasa ’96, Malsasa 2000, Malsasa 2005, dan sekarang bertajuk “Surabaya 714” Malsasa 2007. Dari sini, tercatat sudah 8 (delapan) kali, pentas Malam Sastra Surabaya digelar di muka publik masyarakat sastra Surabaya, dan Jawa Timur.
Ada banyak nama penyair dan penggurit yang ikut dalam gelaran ini. Tak sedikit, ada yang beberapa kali ikut hadir dan tampil dalam gelar sastra ini. Tapi ada juga yang hanya sekali-dua ikut, lantas menghilang tak ketemu juntrungnya. Ada juga yang lama menghilang, kemudian muncul kembali di tengah-tengah publik sastra kita, seperti: Tan Tjin Siong. Sedangkan yang menghilang: Ang Thek Khun, Mh. Zaelani Tammaka, Sigid Hardadi, Robin Al Kautsar dan beberapa nama lainnya.
Sungguh, Malsasa atau Malam Sastra Surabaya, dari masa ke masa memang ada perkembangannya. Baik dalam jumlah peserta maupun kualitas penerbitan antologi bukunya, ada peningkatan yang cukup signifikan. Awal mulanya hanya berupa stensilan, lantas fotokopian, dan kini terbitan buku antologi yang cukup mewah.

Surabaya 714 Malsasa 2007
Malsasa tahun ini, masih berangkat dari ide beberapa penyair yang ingin merayakan ulang tahun kota Surabaya dengan versinya sendiri. Di ulang tahun kota Surabaya ke-714 ini, mereka menulis puisi maupun geguritan dan membacakannya. Tema yang digagas bisa bicara apa saja, Surabaya yang kian cantik atau Surabaya kian tak menarik? Bicara negeri ini yang kian cabik-cabik atau mungkin negeri yang penuh intrik? Atau apa saja terserah! Yang pasti, kejujuran dalam menulis karya sastra adalah kuncinya. Karya sastra tanpa kejujuran nurani penulisnya, akan terasa tawar, hambar, dan miskin makna.
Mencatat nama-nama yang tampil malam itu, ada: Bagus Putu Parto, L. Machali, Fahmi Faqih, Budi Palopo, R. Giryadi, Ida Nurul Chasanah, Sabrot D. Malioboro, Akhudiat, Aming Aminoedhin, AF Tuasikal, M. Har Harijadi, M. Tauhed, Bambang Kempling, Saiful Bahri, Chamim Kohari (penyair); Suharmono Kasijun, Anank Santosa, Bonari Nabonenar, Sugeng Adipitoyo, Widodo Basuki, Herry Lamongan, Pringgo HR (penggurit). Tidak hanya itu, tampil juga tamu dari Pusat Bahasa, Abdul Rozak Zaidan, Kepala Bidang Sastra, yang ikut tampil membacakan puisinya Sitor Situmorang, berjudul “Malam Lebaran.”
Sedangkan jika mencatat jumlah penyairnya ada 34 penyair, 14 penggurit yang masuk dalam antologi puisi “Surabaya 714” Malsasa 2007 ini. Mereka itu terdiri penyair yang berasal dari kota Surabaya, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Bojonegoro, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, dan Blitar.
Penyelenggaraan Malam Sastra Surabaya atau Malsasa 2007 ini, atas prakarsa Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) kerja sama dengan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Melalui forum ini, saya sebagai penggagas Malsasa, memang berharap bahwa kegiatan ini bisa dijadikan ajang silaturahmi, interaksi, dan kreasi pentas seni sesama penyair dan penggurit, serta menumbuhkembangkan sastra di Surabaya dan Jawa Timur. Persoalan ini sejalan yang dikatakan Kepala TBJT, Pribadi Agus Santoso, bahwa Taman Budaya Jawa Timur merupakan etalase pentas dan pertunjukan seni apa saja. Taman Budaya adalah ajang berinteraksi, ajang berkompetisi, serta berkreasinya antarseniman dari berbagai cabang seni di negeri ini.

Epilog
Malam telah larut, para penyair telah mengakhiri baca puisi dan guritannya, maka pentas Malsasa 2007 usai sudah, tapi kegiatannya tidak hanya malam itu berakhir. Karena, tanggal 30 Agustus 2007, buku “Surabaya 714” Malsasa 2007, dibedah bukunya oleh Redaktur Budaya Senior dari Surabaya Post, RM Yunani Prawiranegara. Bedah buku berlangsung di Toko Buku Diskon Togamas, Jalan Diponegoro 9 Surabaya, yang dimeriahkan musikalisasi puisinya kelompok “Komunitas Sastra Sinji” dimainkan oleh AF Tuasikal dan Sarjiyo Godean.
Bedah buku di Toko Buku Diskon Togas Mas ini, banyak dihadiri para praktisi dan akademisi sastra, antara lain: Sabrot D. Malioboro, Akhudiat, Ida Nurul Chasanah, Adi Setyowati, Sugeng Adipitoyo, Bonari Nabonenar, Suharmono Kasijun, W. Haryanto, Mashuri, Fahmi Faqih, Widodo Basuki, dan banyak lagi.
Harapan berikutnya yang perlu dipompakan adalah bagaimana terus bisa menum-buhkembangkan dan mensosialisasikan sastra (puisi dan guritan) kepada masyarakat.
Apabila ada kekurangan dalam penerbitan, penyelenggaraan pentas, dan bedah buku,, adalah wajar semata. Tapi puisi telah ditulis dengan matahati dan kata hati penyairnya. Percayalah! Terakhir, saran dan kritik konstruktif bagi tumbuhkembangnya sastra, akan kami terima dengan tangan terbuka, dan hati membunga. Salam budaya!

Sidoarjo, 15 Ramadhan 1429-H/15 September 2008

* Aming Aminoedhin, presiden penyair Jatim, penggagas Malsasa.

Jumat, 12 September 2008

biodata m. har harijadi

BIODATA PENYAIR NGAWI
M. HAR HARIJADI
  • Prolog:
  • Tulisan ini saya posting dalam rangka mengenang M. Har Harijadi yang setahun yang lalu, tepatnya juga pada bulan Ramadhan 1428-H, pas tanggal 27 September 2007, telah dipanggil oleh Allah SWT. Semoga segala amal ibadahnya diterima oleh Allah SWT, dan semoga pula isteri dan anak-anaknya tetap tabah, tetap iman dan selalu taqwa kepada Allah SWT. Amin.
  • Dalam waktu dekat ini, saya berencana menerbitkan kumpulan puisi "TRILOGI TANAH" yang diimpikan oleh almarhum M. Har Harijadi. Hanya saja, dananya masih dicari-carikan. Siapa yang mau ikut menyumbangkan dananya guna penerbitan buku ini? Silakan kontak aming aminoedhin via email amri.mira@gmail.com Mumpung bulan Ramadhan, ayo banyak-banyaklah infaq, termasuk infaq buat dunia sastra!


Latar Belakang Keluarga
M. Har Harijadi, adalah nama penulis dari nama asli Mohammad Harijadi Munawari. Lahir di Ngawi, 5 Juli 1951. Meninggal dunia pada 27 September 2007 (pas bulan Ramadhan tahunlalu). Ayahnya seorang guru agama Islam di sebuah SMPN, ibunya pun juga seorang guru SDN Ronggowarsito 2 Ngawi. Ayahnya bernama A.H. Aminoedhin (lahir tahun 1918), sementara ibunya bernama Soeparijem (lahir tahun 1925). . Har Harijadi adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Dari kedelapan saudara ini, adiknya nomor tiga, bernama Aming Aminoedhin, juga seorang penulis, utamanya menulis puisi. Begitu pula adiknya nomor dua, bernama Yulia Amirulfata (samaran: Lia Aminoedhin), juga seorang penulis puisi (tidak diteruskan karena sudah disibukkan jadi guru SMP di Yogya dan bersuami). Sedangkan dua adiknya perempuan, Ummi Hanifah Hariyani (samaran: Yani Aminoedhin) dan Ummi Mukharomah Hariyanti (guru SMAN 2 Ngawi), sebenarnya juga menulis; hanya saja tidak diteruskan bakat menulisnya, karena sibuk pekerjaan dan rumah tangga.


Bakat menulis Harijadi, menurut pengakuannya karena lingkungan banyak seniman yang menulis, seperti Mh. Iskan, Wahab Asyari, Salimoel Amien, dan banyak lagi. Termasuk pula di antaranya, pamannya seorang sastrawan yang merupakan salah satu tokoh Angkatan ’66 versi HB Jassin, bernama M. Alwan Tafsiri.
Istrinya bernama Ismijati. Seorang karyawan Pemda Kabupaten Ngawi, kelahiran Ngawi, 4 Juli 1958. Bersama istrinya, ia mempunyai 3 anak, yaitu Alif Aulia Ananda (Ngawi, 14-5-1984, laki-laki), Bernas Kurnia Kanthi Inayati (Ngawi, 16-11-1985, perempuan), Cipta Nur Asa (Ngawi, 25-01-1988, laki-laki). Ketiga anaknya kini kuliah di Universitas Gajah Mada. M. Har Harjadi, bersama keluarganya beralamat di Gang Melati, Kauman, Ngawi.

Latar Belakang PendidikanPendidikan yang pernah ditempuh M. Har Harijadi, SDN Ronggowarsito Ngawi (lulus 1963), SMPN 1 Ngawi (lulus 1966), SMAN Ngawi, Jurusan Pasti Alam (lulus 1969). Selepas pendidikan SD dan SMA, ia melanjutkan ke IKIP Cabang Madiun Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, tidak dirampungkan. Sewaktu bekerja di Pemda Kabupaten Ngawi, Harijadi diberi tugas belajar ke Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang (1981).

Latar Belakang PekerjaanPernah bekerja sebagai wartawan di koran Suara Merdeka Semarang, dari tahun 1973 hingga 1977, sambil banyak menulis cerita pendek dan puisi, serta penyiar radio swasta di Ngawi.
Menjadi PNS di Kantor Pemda Kabupaten Ngawi, yang kemudian mendapatkan tugas belajar di APDN (Akademi Pemerintahan Dalam Negeri) Malang, lulus tahun 1981. Selepas lulus APDN, Harijadi pernah menjabat sebagai kepala kantor Kecamatan Sine, kemudian jadi Mantri Polisi di Kecamatan Ngawi. Pernah juga sebagai Kepala Sub Bagian Humas Pemda Kabupaten Ngawi, Kepala Sub Bagian Diklat, dan Kasubdin di Kantor Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura, Kabupaten Ngawi.
Dalam bidang seni dan budaya, M. Har Harijadi, pernah jadi koordinator pentas Teater Persada Ngawi di Festival Drama se Jatim di Surabaya (1983), pentas Monolog Mh. Iskan di Surabaya (2005). Organisasi yang pernah diikuti antara lain: Pelajar Islam Indonesia (PII) Ngawi, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Madiun, AMPI dan KNPI di Ngawi. Pada awalnya, ia menulis puisi, dan kemudian cerita pendek. Selanjutnya menjadi wartawan dengan menulis berita-berita. Selepas itu, M. Har Harijadi, banyak menulis artikel dan menulis cerita anak.

Latar Belakang Kesastraan
Dalam hal latar belakang kesastraan ini, M. Har Harijadi, selain lingkungan komunitas yang sangat mendukung, karena banyak yang membaca dan menulis, juga karena aktivitas di beberapa organisasi, antara lain: PII, HMI, Remaja Masjid, AMPI dan KNPI.
Naskah karya sastra M. Har Harijadi yang pertama kali termuat di Koran Berkala Adil Solo, yaitu cerita remaja berjudul ‘Seorang Guru’ dengan tanpa diberi honorarium.
Motivasi dalam menulis karya sastra adalah guna menghidupkan perasaan, utamanya banyak teman-teman juga sebagai penulis. Bahkah serasa ‘gatal’ jika saya tidak menulis karya sastra. Sedangkan kemampuan menulis sastra, lebih banyak otodidak dan banyak membaca, utamanya karya sastra. Genre sastra yang ditulis Harijadi adalah puisi, cerpen, artikel, dan cerita anak.
Naskah puisinya banyak dimuat di koran Surabaya Post, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Adil, Masa Kini, Mercu Suar, Memorandum, Bhirawa, dan Suara Karya. Sedangkan majalahnya adalah: Gadis dan Midi. Naskah cerpennya termuat di Bhirawa, Mercu Suar, Masa Kini, dan Adil. Naskah cerita anaknya termua di: Majalah Bobo, Ananda, Hopla, dan Surabaya Post. Sementara itu artikelnya banyak dimuat di Kompas, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Memorandum, Berita Yudha, dan koran-koran lokal lainnya. Kumpulan puisi bersama rekan-rekan Teater Persada Ngawi, bertajuk ‘Tanah Persada’, ‘Tanah Kapur’, dan ‘Tanah Rengkah’. Lantas ‘Kota Tercinta’ kumpulan puisi sastrawan kota Ngawi (2003).
Berbicara soal proses kreatif, biasanya terpicu oleh peristiwa sesaat/kesan sebentar yang mengharukan lalu dibuat/diproses jadi karya sastra, bisa berupa puisi maupun cerita pendek. Apabila dalam menulis sastra dipaksakan, ternyata secara kualitas terasa tidak baik, dan kurang lancar dalam penulisannya. Seringkali saya mencatat dulu dalam draft awal, sebagai master/babon penulisan karya sastra.
Seperti telah dijelaskan terdahulu, bahwa Harijadi, punya pengalaman di bidang penulisan dan dunia sastra, antara lain: pernah jadi wartawan Suara Merdeka, Surabaya Post, Berita Yudha, dsb. Pengalaman lain adlah berkali-kali jadi juri lomba baca puisi, lomba mengarang, dan lomba pidato di kabupaten Ngawi.
Menulis sastra menurutnya harus sampai akhir hayat, karena menulis berarti juga beribadah dalam hidup dan kehidupan manusia. Menurutnya pula, bahwa sastra Indonesia haruslah lebih semarak, jika mungkin bisa mendunia, atau stidaknya membenua. Setidaknya se Asia Tenggara. Semua ini bisa terjadi bila ada perhatian dari pihak pemodal, Pemerintah, para pejabat, para ulama, serta para sastrawan yang lebih senior lainnya.

Contoh puisi-puisi M. Har Harijadi
SEPANJANG JALAN JENDRAL SUDIRMAN
kuseret dukaku sepanjang jalan sudirman
siang hari yang terik dan menancap jarum-jarum
matahari
pada punggung yang bersarang capekku
dan rambutku yang semakin coklat

kubawa gelisahku setiap hari menumbuki debu kota
walau penat setiap saat menghampir
baju dan celana lusuh menua
serta sepatu yang kian pikun

kuturuti resahku lewat emperan cina
dengan irama-irama sedih gerakan kaki
wajah yang kupaksakan berseri
meski saku tiada sedikitpun berisi

kujalani hidupku menembusi hiruk pikuk kota
kendati nasib tiada sekali membuka mata
namun demikian satu tidak lebih dari pinta
semoga segalanya tiada sia-sia

Ngawi-Madiun, 1970

M. Har Harijadi
ANAK-ANAK KECIL DI MESJID
Sudah berapa jauhkah waktu tertinggal
Tak bisa banyak aku kenangkan
Hari-hari hingga tahun ke tahun
Terasa telah beberapa kurun

Bayangan guru ngajiku sudah luntur
Barangkali jejak hidupku masih ngawur
Apa waktu senggangku kian nihil tepekur
Hanya menuruti sistem jalur-jalur

Sedang kini tuntutan tak pernah berkurang
Harapan-harapan masih akan panjang
Saat seperti ini semakin menerawang
Ternyata nostalgia tak hilang-hilang

Malang, 1978
M. Har Harijadi
LAILATUL QODAR
Aku masih tetap rahasia bagaikan sukma
Siapa yang menduga?
Gemilang langit yang senyap
Dingin yang hangat mengentalkan semangat

Masih tergubal pada alunan sunyi
Seluas rakhmatMu di malam yang tersaji
Bersenandung bumi meluruskan sepoi
Hanya padaMu diam yang abadi temaram

Mei, 1987

Senin, 08 September 2008

sajak-sajak anak

sajak anak-anak
cak aming aminoedhin

aming aminoedhin
SAJAK KUNANG-KUNANG
(surat buat: Pak Kayam)

kunang-kunang di kampungmu
pada abad teknologi, telah berubah
jadi merkuri
hanya suara katak pada malam
menghadirkan sajak pada kelam
yang abadi di kampung ini
hanya seni hanya sepi

Ngawi, 1982

aming aminoedhin
DI MANA MEREKA SEKOLAH

desa temanku tenggelam sudah
tak ada lagi tanaman hijau
tinggal kini terlihat atap-atap rumah
tampak seperti mengigau

igauan suaranya perih
atap-atap rumah seakan merintih
dari lumpur yang membuat hancur
hingga beribu penghuninya kabur

desa temanku tenggelam sudah
aku tak tahu ke mana mereka pindah
di mana mereka kini sekolah

Sidoarjo, 12/2/2008




aming aminoedhin
BALON UDARA

Sungguh indah di mata
ada balon udara berwarna-warni
mengudara di langit tinggi

Hatiku serasa ikut terbang bersamanya
meraih bintang menjangkau rembulan

Tapi aku tak ikut
di dalam balon udara itu
hanya anganku
seakan ikut terbang
bersamamu

Balon udara nan terbang tinggi
kirimkan salam cinta pada Nenekku
yang kini berada di Ngawi

Mojokerto, 2008




aming aminoedhin
TAK ADA KATA PUTUS ASA

kata ayahku, putus asa putus harapan
tak ada dalam kamus kita
putus asa putus harapan
adalah penyakit batin nan pahit
tak terperikan

putus asa putus harapan
tak ada obat mujarabnya
selain satu kata berupa iman

cita-cita harus tinggi dan mulia
agar teraih di tangan kita, dengan
perjuangan, dan belajar dari pengalaman
kegagalan sewaktu berjalan

tak ada kata putus asa
lantaran putus asa putus harapan
akan sia-sia bagi diri kita
akan sia-sia bagi masa depan

Mojokerto, 2008



aming aminoedhin
BULAN RAMADHAN

Setiap bulan ramadhan tiba
bersama Adikku tarawih di mushola
Ibu Bapak juga ada di sana
sholat berjamaah bersama tetangga

Bulan ramadhan tahun ini
Adikku juga berpuasa
hanya saja tidak sampai maghrib tiba
tapi saat bedug dhuhur ditabuh
ia berlari pulang untuk berbuka

Bulan ramadhan tahun ini
aku juga ikut tadarus di mushola
mengaji bersama kawan
menyimak setiap bacaannya

Selepas tadarus bersama
kami sering berebut takjilnya
wah... begitu indah kenangan
bulan Ramadhan di mushola


Mojokerto, 2007


aming aminoedhin
IDUL FITRI

Seperti biasa saat idul fitri
setelah bersalam-salaman
bersama paklik dan bulik
pakde dan bude, serta
nenekku tercinta
yang berada di desa
kami lantas berdoa bersama

Kata Ibu, padaku
doa kita yang suci hati
mudah terkabulkan Tuhan
lantaran kita usai sebulan berpuasa, dan
puasa itu membersihkan hati dan jiwa

Seperti biasa saat idul fitri
yang kutunggu dengan gembira, hanya satu
paklik bulik, pakde dan bude, serta
nenekku tercinta
membagi uang saku
bagi semua cucu

Ngawi, 2007


aming aminoedhin
BUKU ITU GUDANG ILMU

Di dalam buku
kubaca segala ilmu
dari soal bahasa, tatakrama
sastra, dan juga matematika

Buku adalah sahabatku
kubaca setiap waktu
saat istirahat sekolah
dan juga saat libur sekolah

Buku, kata Mamaku
adalah gudangnya ilmu
maka membaca buku
seperti membuka
jendela dunia, semua
ilmu kau pasti akan tahu

Mojokerto, 19/10/1999



aming aminoedhin
JENDELA DUNIA

Almari Bapakku dipenuhi buku
kata Ibu, semua buku-buku itu
adalah jendela dunia
jika aku mau baca
segala ilmu akan kusua

Ternyata benar, kata Ibu
selepas buku-buku kubaca
dunia tampak ada di sana
ada yang hitam dan putih
ada yang senang dan sedih

Jadi kawan!
bacalah buku agar kau
bertemu segala ilmu

Baca dan bacalah buku
karena buku adalah jendela dunia
sejuta ilmu pasti kau sua

Mojokerto, 19/10/1999



aming aminoedhin
AKU LUPA MENGAJI

Pada musim kemarau rumput-rumput di tanah lapang
mengering. Daun di pepohonan kering

Angin terlalu kencang
menerbangkan debu dan layang-layang
layang-layangku nan gagah terbang
diulur panjangnya benang

Hati ini jadi riang
bermain layang-layang
hingga aku lupa
belajar mengaji
di mushola

Barangkali aku berdosa
lantas aku berjanji dalam hati
tak mengulangnya di esok hari

Mojokerto, 1999



Kamis, 04 September 2008

komsas 'sinji' sidoarjo

Selintas Catatan Komunitas Sastra “Sinji”
oleh: af. tuasikal



waktu itu senja telah meremang tampak di ujung seberang jalan, bisa juga disebut dengan remang senja atau senja merembang. sesekali kereta api lewat begitu lambat, terkadang cepat seperti tak mau terlambat. ada tiga cangkir kopi panas telah tersedu. lantas kopi itu, menawarkan sesuatu tentang warna merah jingga, bersama hembus angin senja membuat kami bertiga: af. tuasikal, sarjiyo godean dan rahmidi harto utomo, tiba-tiba muncul emosi hati menelorkan obsesi. gitar terpetik ikuti lentik jari-jemari sekan menari-nari tanpa arti. ada kemudian bibir bergetar menyuarakan sebuah puisi, lantas berteriak, serentak membentuk musikalisasi puisi asal bunyi.
meski teriak kami asal bunyi, tanpa kita sadari, semua hadir mengalir dari sebuah puisi jawa (geguritan) karya senior kami aming aminoedhin.
* guritan itu bertajuk “tanpa mripat”.

apa pun bentuk suara musikalisasi puisi itu, tapi niat kami yang pertama, bagaimana menyambut kehadiran sang presiden penyair jawa timur untuk minum kopi bersama. agar tampak beda tak seperti biasa, dari waktu ke waktu dari itu ke itu, minum kopi dan merokok bersama, lantas makan makan pisang dan pohong goreng.
senja itu memang agak lain. ada sesuatu yang telah terasa jadi terjalin.
sebuah musikalisasi guritan, sederhana tapi nyata adanya.

aming aminoedhin, si empunya guritan, jadi sangat tertarik dengan aksi-aksi kami bertiga, lantas ikut bergabung mendukung. bahkan sekaligus menjadi motor penggerak komunitas ini. tidak cuma aming, ada juga anang sp santosa ikut memperkuat tampilannya. kemudian kami semua sepakat memberi nama komunitas itu, bernama “sinji “ yang berasal dari akronim siwalanpanji, sebuah nama desa yang terletak di buduran, sidoarjo.

komunitas sastra ‘sinji’ resmi lahir pada tanggal 24 oktober 2006. minggu pertama setelah sinji lahir, kami tampil pentas di kantor kami sendiri balai bahasa surabaya, minggu berikutnya ‘sinji’ pentas di launching antologi ‘buku mojokerto dalam puisi’, dua minggu berikutnya ‘sinji’ memasuki ranah taman budaya jawa timur berpentas di gedung cak durasim.
satu bulan setelah itu ‘sinji’ pentas di depan forum para guru-guru kpi (konsorsium pendidikan islam) surabaya. pernah pula pentas di ‘purnama sastra’ yang di gelar di fbs – unesa, lidah wetan, surabaya. pernah juga menjadi bintang tamu acara sastra teater smkn 9 surabaya di balai pemuda surabaya
‘sinji’ tak hanya pentas di negeri sendiri, tapi juga di luar kota: festival sastra buruh di blitar, dan pekan seni dan olah raga pelajar smk se-Indonesia di malang.
terakhir ‘sinji’ pentas kembali memeriahkan bedah buku antologi puisi “Surabaya-714 Malsasa 2007” yang di gelar di toko buku diskon togamas, jalan diponegoro 9 surabaya.

lantas sampai kapankah ‘sinji’ akan terus beraksi? sebuah tanya yang terus memompa kami untuk terus selalu bermain dan beraksi.
* presiden penyair jawa timur