Kamis, 06 Agustus 2015

PPSJS TAMPIL DI TEMBI RUMAH BUDAYA - YOGYA


GEGURITAN CAMPUR LUDRUK
JADILAH TONTONAN PENUH TAWA
Oleh: Ons Untoro

Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.
Sebuah pertunjukan yang menarik ditampilkan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Tembi Rumah Budaya, Jumat malam 31 Juli 2015, yakni pembacaan geguritan yang dikemas dalam bentuk ludruk Jawa Timuran, yang dipentaskan oleh para penggurit dari Surabaya. Pertunjukan ini memadukan pembacaan geguritan dan ludruk.
Para penggurit dari Surabaya itu Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Giryadi dan Suharmono. Aming dan Widodo Basuki memukul gendang dan Giryadi memainkan wayang. Suasana khas surabayaan mendominasi dan nuansa akrab terasa muncul antara pemain dan penonton. Pembaca puisi dan pemain saling membanyol sehingga mengundang tawa. Bahkan antara pemain dan penonton juga saling meledek sehingga gelak tawa tak bisa dihindarkan.
“Kita memang sengaja mencoba tampil beda tanpa melepaskan khas surabayaan, meskipun geguritan ditulis dengan bahasa Jawa yang halus,” ujar Aming Aminoedhin.
Para pembaca geguritan dari Surabaya dalam gaya ludrukan ini memang kocak dan sadar akan panggung, sehingga dalam membaca bisa merespon gejala yang dirasakannya, seperti apa yang dilakukan Giryadi. Ketika dia sedang membaca geguritan ada seorang anak yang tiba-tiba menangis.
‘Kosik ta, aja nangis aku tak maca dhisik (Nanti dulu, jangan menangis aku membaca dulu),” kata Giryadi.
Tentu saja penonton tergelak, dan Giryadi dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa, kembali melanjutkan membaca geguritan, yang terkumpul dalam antologi geguritan ‘Gurit Bandha Donya.’
Sambil memainkan wayang, Giryadi, Widodo Basuki dan Aming Aminoedhin, saling meledek. Melalui tokoh Gareng, Giryadi yang memainkan wayang itu bisa meledek siapa saja, sehingga suasana segar dan tawa tak bisa dihilangkan.
Pertunjukan sastra, dalam konteks ini membaca geguritan, memang perlu menghidupkan suasana, agar tidak kaku dan tegang sehingga membuat penonton cepat bosan. Tetapi ludrukan geguritan dari penggurit Surabaya ini membuat penonton tidak cepat bosan, dan seolah pertunjukan seperti cepat selesai.
Para penggurit dari Surabaya ini tergabung dalam satu komunitas yang mereka namakan PPSJS kependekan dari Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya, yang sudah berumur 38 tahun. Satu umur yang termasuk tidak muda untuk sebuah komunitas sastra Jawa.
“Malam ini, tepat 31 Juli 2015 saat acara Sastra Bulan Purnama diselenggarakan di Tembi Rumah Budaya, usia PPSJS genap berumur 38 tahun,” kata Suharmono, ketua PPSJS mengawali pengantar sebelum membaca geguritan karyanya.
Apa yang kita lakukan dengan ludruk geguritan ini, demikian Suharmono mengatakan, merupakan satu aktvitas yang kita sebut sebagai ngamen geguritan atau ngamen sastra. Kita sudah melakukan ngamen seperti ini di beberapa kota di Jawa dan malam ini kita ngamen di Tembi Rumah Budaya.
Sambil ludrukan dan memukul gendang, para penggurit saling bergantian membaca geguritan. Widodo Basuki, yang mengenakan pakaian serba hitam, membacakan geguritan karyanya sambil tidak melupakan banyolan. Hal yang sama juga dilakukan oleh Aming Aminoedhin dan penggurut lainnya.
Ludruk geguritan jelas merupakan terobosan dari pertunjukan sastra. Ons Untoro – Foto-foto: Barata