Senin, 11 Juni 2012

POHON BERNYANYI - AKHUDIAT


Resensi Buku:
SURABAYA KOTA PELACUR
Oleh: Aming Aminoedhin*

    Judul buku        : Pohon Bernyanyi - Antologi Puisi
    Pengarang         : Akhudiat
    Penerbit            : YAA (Yasmin, Andre & Ayesha)
    Cetakan             : I, 2012
    Tebal                 : 106 halaman
    ISBN                : -----


    
    Barangkali kata 'pelacur' yang menginspirasi Diat, sastrawan kondang dengan nama lengkapnya Akhudiat. Anak Rogojampi-Banyuwangi, yang lahir 5 Mei 1946, dan malang-melintang di dunia sastra tanpa henti ini. Utamanya, bidang penulisan naskah teater, dan berkali-kali pula, ia mememangkan lomba penulisan naskah teater tahun 1970-an, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Bahkan akhir tahun lalu, ia menulis, menyutradarai, dan mementaskan naskah lakon terbarunya 'Skolah Skandal' pada Festival Seni Surabaya, 3 November 2011.  Sukses!
    Soal 'pelacur' itu pulalah, yang kemudian ia menuliskan dalam sebuah puisi, dan kemudian puisi itu dijadikan judul kumpulan puisinya. Puisi itu, berjudul Pohon Bernyanyi, yang berkisah tentang pelacur-pelacur jalanan kota Surabaya. Kita simak dua bait awalnya: //Pohon-pohon Jalan Diponegoro/siang hak pelihara dinas taman kota malamnya/dihuni perempuan-perempuan wangi, mereka jaga dengan setia hingga dini hari //Mereka bidadari turun gunung/ Sidokumpul, Gang Dolly, Putat & Jarak, berderet/di jalan protokol bagai pagar ayu kibarkan panji &/senyum. Merogoh cinta di kantong lelaki yang/marak// (hal.63).
    Diat tidak hanya menulis pelacur, tapi juga menulis puisi tema: kampung halaman,  religi, dan kota Surabaya, dengan berbagai perspektifnya. Misalnya, soal pasar Keputran, Pandegiling, Wonokromo, Gerbong Miring, lantas ada yang berjudul:  Kotaku, Senja, Surabaya 700 Tahun, Surabaya Mengalir, Pohon Bernyanyi, Takziah Bagi Fotografer, dan Menulis Lumpur. Puisi yang ditulis dengan tema tentang Jakarta, ada: Sair Bis Kota, 1000 KM Dari Cinta, dan Kereta 10 Batu. Tema tentang New York, ada puisi berjudul: Maghrib dan Aho, New York 1976.
    Diat memang pernah ikut International Writing Program di Iowa City, Amerka Serikat,  sehingga tak salah jika ia menulis New York. Bahkan cerpennya berjudul  'New York Sesudah Tengah Malam' diterjemahkan Dede Oetomo 'New York After Midnight' termuat dalam Manhattan Sonnet I, Yayasan Lontar Jakarta, 2002.
    Membaca puisi-puisinya, kita diajak tamasya, dari Rogojampi-Banyuwangi, hingga Tanah Suci. Puisi Diat memang lebih berciri pada puisi naratif atau bercerita, sehingga kita benar-benar diajaknya tamasya.
    Puisi tentang kampung halamannya  terasa indah, seperti Diat mengisahkan pada puisi Jalan Ke Sumber, yang potongan sajaknya berbunyi: aku di jalan setapak masa kecilku/di perbukitan semak keriting/ketika rama kawan canda/ daun sulur, kembang,  tali, jerami.....(hal.55). Atau pada puisi Karanganyar yang antara lain, berbunyi: langit terlalu biru/di celah reranting berdaun kering/dua camar membubung putar-putar/bagai kalangan penari di kalangan......(hal.27).
    Puisinya yang lain tentang Banyuwangi; berjudul Ziarah Laut,, menuliskan legenda Sri Tanjung dengan perspektif  berbeda, yaitu saat ia pulang di hari Lebaran. Beberapa larik puisinya berbunyi: kami penziarah di hari lebaran/tunaikan nazar di makam keramat/minum seteguk di telaga sri tanjung/duduk sejenak di bayangan kenari tegal loji/dan arak-arakan ke pesisir boom lama (hal. 53).
    Soal kota New  York, Akhudiat, bercerita dan memotret Broadway, Manhattan, subway, serta seluruh derap-gempitanya; namun ia ternyata tetap rindu subuh di kampungnya, yang dibangunkan suara adzan. Tidak seperti New York, yang membangunkannya adalah suara armada sampah dan lagu sumbang suara pemabuk.
    Membaca puisinya Diat berbau religi Islam, tertulis: Dari Kandungan Al-Fatihah (hal.  74), Istighfar di Maktab (hal. 79),  Doa Sepasang Sayap (hal. 81), Doa  Abadi Ajaran Sunan Drajad Abad Ke-14/15 (hal. 82), dan Dua Kenikmatan (hal. 100). Menarik untuk dicatat dari puisi religinya yang berjudul  Istighfar di Maktab, di dalam puisi itua ada  tersirat kritik bagi diri sendiri, dan juga pembacanya. Bahwa naik haji itu, terkadang kita lupa niatnya. Beribadah atau hanya jalan-jalan shopping belaka? Simak satu baitnya berbunyi: Ini sungguh ziarah suci & murni/menemukan tanah air rohani/ataukah sudah berubah sekedar JJS/jalan-jalan dan shopping/seperti ke kota-kota wisata dunia lainnya? (hal.80). Hal ini, karena banyak orang berbelanja di Pasar Seng, begitu bernafsunya, hingga kopor besarnya penuh hampir meledak. Sebuah puisi sindiran bagi para calon haji yang mau berangkat ke Tanah Suci.
    Mengkritisi atas kumpulan ini, adalah tidak adanya ISBN-nya, lantas halaman 26, puisinya tanpa judul, meski sebenarnya di daftarnya  isinya ada tertulis berjudul Dalam Air. Tapi kumpulan Pohon Bernyanyi, berukuran mungil   13 X 19 CM ini, cukup memikat hati. Setidaknya bagi pembacanya, yang disuguhi sesuatu yang akan mendedah hati, bahwa hidup ternyata memang beraneka-warna. Buku bersampul foto pohon kering, pentas lakon  Skolah Skandal 2011 ini,  memuat puisi Akhudiat yang ditulis sejak 1973-2010. Sampul dan tata letaknya digarap Amih Kiah,  dan diterbitkan oleh anak-anaknya sendiri Penerbit YAA (Yasmin, Andre & Ayesha) Surabaya, 2012.
    Barangkali tidak menjadi afdol, ketika kita tidak membaca kumpulan puisi ini, sebab kita tak akan ikut tamasya bersamanya. Pengin punya bukunya, hubungi Dewan Kesenian Surabaya, dan Anda akan diajak tamasya.


Desaku Canggu, 17 April 2012
                           

*) Aming Aminoedhin, penyair tinggal di Mojokerto
bekerja di Balai Bahasa Surabaya, ketua FSBS
(Forum Sastra Bersama Surabaya)
*) tulisan ini dimuat  Majalah AlurDKS, Mei 2012