SASTRA JAWA MASUK SEKOLAH*
Oleh: Aming Aminoedhin
tulisan ini termuat di Radar Surabaya, Minggu, 28 Maret 2010
Menurut asumsi bahwa masyarakat Jawa Timur hampir sebagian besar atau lebih dari 75% masyarakatnya, menggunakan bahasa pergaulan (lingua-franca) bahasa Jawa. Dari sejumlah pengguna bahasa Jawa tersebut, muncul pengarang-pengarang yang menggunakan bahasa Jawa sebagai media penulisan dalam karya-karya mereka. Sebut saja nama-nama terkenal di ranah pengarang sastra Jawa ini, seperti: Satim Kadarjono, Suparto Brata, Yunani, Suharmono Kasijun, Djajus Pete, JFX Hoery. Lantas nama-nama lain yang lebih muda usia, seperti: Bonari Nabonenar, Keliek Eswe, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Titah Rahayu, Sita T. Sita, Herry Lamongan, Widodo Basuki, Sumono Sandhy Asmoro, W. Haryanto, Wahyudi, Suyitno Ethexs, dan sederet lagi nama lain yang mungkin belum masuk dalam daftar urutan ini.
Perkembangan jumlah pengarang sastra Jawa di Jawa Timur yang signifikan ini, seharusnya menyadarkan kita betapa tidak terbatasnya olah kreasi dari orang-orang yang berkecimpung dalam dunia sastra Jawa. Menyikapi hal tersebut, tidaklah berlebihan apabila Pemerintah (Dinas Pendidikan) perlu mengadakan semacam apresiasi sastra Jawa di ruang-ruang kelas, pada sekolah-sekolah setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kenapa demikian?
Melalui sastrawan Jawa masuk sekolah diharapkan bisa menumbuhkembangkan sastra Jawa yang diasumsikan banyak kalangan telah terpinggirkan atau ditinggalkan penuturnya. Melalui kegiatan ini pula diharapkan akan bisa memberikan pendidikan budi pekerti, yang dirasa telah agak luntur (jika tak boleh dikatakan sirna) dari budaya Jawa.
Jika dalam ranah sastra Indonesia, diawali majalah sastra Horison bersama Taufiq Ismail, telah menyelenggarakan kegiatan “Sastrawan Masuk Sekolah”, maka apa salahnya jika hal itu ditiru. Misalnya saja, sastrawan Jawa masuk sekolah pula.
Jawa Timur memiliki banyak sastrawan Jawa yang sangatlah handal. Sebut saja, maestronya pengarang Suparto Brata, yang telah banyak menulis karya-karya berbahasa Jawa. Salah satunya yang sangat dikenal, kumpulan cerkak ‘Trem’ yang memuat sekian banyak cerkak karangan Suparto Brata. Lantas sederet karangan lainnya: Donyane Wong Culika, Kremil, Tiada Nasi Lain, dan banyak lagi.
Belum lagi jika mau menghitung nama-nama pengarang sastra Jawa, asal Jawa Timur yang telah mendapatkan hadiah ‘Rancage’-nya Ajip Rosidi. Mereka itu, di antaranya: Suharmono Kasijun, Suparto Brata, Widodo Basuki, JFX Hoery, Esmiet. Bahkan konon, tahun ini ada juga nama yang penggurit Sumono Sandhy Asmoro dan Bonari Nabonenar, akan mendapatkan hadiah sastra ‘Rancage’ tersebut.
Kegiatan apresiasi sastra dapat diartikan sebagai usaha pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap karya sastra, sehingga dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra tersebut. Apresiasi sastra juga dapat menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat pengenalan dan pemahaman terhadap sastra, yaitu dengan membaca karya sastra. Sedangkan sastra Jawa, dalam hal ini baca cerkak dan geguritan, sangatlah bisa dijadikan sarana guna meraih apresiasi sastra Jawa tersebut. Sekaligus akan dapat mengajarkan budi pekerti kepada para siswa yang mengapresiasi sastra Jawa tersebut. Karena dalam karya sastra Jawa memuat pesan-pesan moral budaya Jawa yang secara tersirat ada di dalam karya tersebut.
Peluang untuk memasuki sekolah-sekolah tersebut ada, yaitu dalam mata pelajaran bahasa Jawa yang masih diajarkan di sekolah tingkat SD maupun SMP. Betapa pun kecilnya jam pelajaran yang ada, tetapi setiap minggunya pasti ada. Nah ... barangkali dalam satu semester, bisa diambil salah satu minggu (pada mata pelajaran sastra Jawa) untuk apresiasi pengarang sastra Jawa berhadapan para siswa.
Lantas bagaimanakah tekniknya?
Barangkali memang agak sulit mencari waktunya, para pengarang sastra Jawa tersebut, bisa terjun langsung ke sekolah. Akan tetapi, saya percaya, bila sekolah memang telah mengagendakan jadwalnya, mungkin para pengarang sastra Jawa juga akan mau dan mampu membagi waktu bagi para pelajar yang ingin apresiasi sastra Jawa tersebut. Mungkin bisa kerja sama dengan mengontaks PPSJS (Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya), PSJB (Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro), atau Sanggar Triwida Tulungagung; FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya), yang keempatnya tak lelah-lelahnya nguri-uri (melestarikan) bahasa dan sastra Jawa.
Program ini akan lebih menarik lagi, apabila kegiatan ini dalam rangka menyongsong Kongres Bahasa Jawa V yang akan digelar di kota Surabaya tahun 2011 oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Timur. Mungkinkah Pemda Jatim telah mempersiapkan hal ini? Walahu alam bishawab!
Selanjutnya, apabila para pengarang sastra Jawa telah masuk beberapa sekolah tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan lomba-lomba yang mengarah ke persoalan sastra Jawa, misalnya lomba tulis dan baca guritan. Lomba baca dan tulis cerkak bagi para siswa yang telah mendapatkan pelajaran apresiasi sastra Jawa di sekolahnya, oleh para pengarang sastra Jawa.
Solusi lain, barangkali Pemerintah Pemda Jawa Timur, bisa memfasilitasi para pengarang sastra Jawa dengan mau menerbitkan buku-buku karangan mereka, lantas mensosialisasikannya di sekolah. Akan lebih baik jika, ada juga pembuatan rekaman dalam bentuk disc, yang berisi pelajaran baca geguritan, baca cerita cekak, dan juga baca tembang macapat.
Melalui garapan para pengarang sastra Jawa yang telah dibuat ini, selanjutkan didistribusikan kepada para guru-guru sastra Jawa yang ada di sekolah-sekolah.
Mengapa demikian?
Selama ini, memang banyak guru mata pelajaran bahasa Jawa, yang tidak mempunyai vak (keahlian/ijazah) bahasa Jawa. Sehingga, banyak sekali, mereka merasa kesulitan dalam megajarkan bahasa Jawa kepada siswa.
Semua ini hanyalah solusi yang mungkin cukup baik, agar mata pelajaran bahasa Jawa, bisa intens diajarkan kepada siswa tanpa harus ada kendala bagi gurunya.
Desaku Canggu, 16 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar