Selasa, 26 Januari 2010

BEDAH BUKU JAGAD BERKATA-KATA

Selamat Datang
DI DUNIA ANGAN DAN BAYANG-BAYANG
Masihkah kita Bimbang?


oleh: aming aminoedhin

catatan: Makalah bedah buku ini disampaikan di STKIP PGRI Jombang, 15 Januari 2010. Pertama di tahun 2010 ini, aming aminoedhin, memulai ceramah sastra.


Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang! Masihkah bimbang?
Barangkali kalimat itu yang akan saya kedepankan lebih dahulu. Karena menulis puisi, identik dengan memasuki wilayah dunia angan dan bayang-bayang. Angan dan bayang-bayang yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk tulisan bernama, puisi. Ini berarti, rekan-rekan mahasiswa STKIP PGRI Jombang telah melangkah ke dalam dunia angan dan bayang-bayang.
Membaca antologi puisi “Jagad Berkata-kata” karya para mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2006, STKIP PGRI Jombang, yang diserahkan via email, saya jadi suka membacanya. Lantas dikirim pula, bukunya (meski terlambat), sudah berbentuk yang apik dan menarik. Buku kumpulan itu mengingatkan saya tentang beberapa komunitas sastra yang membuat kumpulan puisi semacam. Ada komunitas Kostela – Lamongan, diprakarsai Herry Lamongan, ada komunitas Dewan Sastra Jatim, dimotori W. Haryanto, komunitas sastra Luar Pagar Unair - Surabaya, yang di dalamnya ada Ribut Wijoto, FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) yang berkali buat kumpulan Malsasa, komunitas sastra Forasamo-Mojoketo, bersama Saiful Bakri dan Suyitno Ethexs-nya, serta komunitas lingkar sastra Tanah Kapur – Ngawi dimotori Tjahjono Widarmanto, dan Komunitas Teater Persada Ngawi, pimpinan Mh. Iskan.
Mereka semua hanya sebagian kecil dari komunitas sastra yang tetap eksis di peta sastra Jawa Timur, agar terus bergerak menumbuhkembangkan sastra kian marak kian beranak-pinak. Artinya, komunitas ini telah mencoba menjembatani dan mewadahi karya sastra melalui pener-bitan kumpulan puisi, betapa pun sederhananya.
Barangkali apresiasi yang tinggi saya acungkan buat Imam Ghozali dan kawan-kawan di STKIP PGRI Jombang yang telah memotori acara semacam ini. Saya yakin itikad yang baik ini akan membuahkan komunitas sastra Jombang kian membaik. Meski, sebenarnya telah baik, tapi gaung eksposenya yang kurang baik.
Bicara soal antologinya “Jagad Berkata-kata” saya bukanlah kritikus sastra yang baik. Tapi karena harus diberi mandat memberi komentar dan saran, maka yang harus saya katakan awal, adalah ‘bagus’ semua. Seperti guru lukis Tino Sidin, yang selalu mengatakan ‘bagus’ untuk semua pengirim lukisan kepadanya.
Mengapa bagus? Karena mereka telah berani membuat puisi, dan menerbitkan dalam sebuah antologi puisi. Keberanian menulis inilah sebuah proses panjang yang harus dilalui oleh seorang pengarang atau penyair. Artinya, tidak ada penyair yang tiba-tiba menjadi penyair. Mereka pasti melalui proses panjang menulis, menulis, dan menulis lagi.

Puisi Baik itu Jujur Bicara
Apabila mau bicara secara keseluruhan puisi yang ada dalam antologi, maka kebanyak-an mereka para penyairnya masih menulis dengan berpanjang-panjang kata. Padahal, puisi yang baik, menurut saya, masih tetap yang ‘sedikit kata tapi banyak makna.’ Sedangkan rekan-rekan kita masih banyak yang menggunakan kata sambung dan imbuhan yang berlebihan. Padahal sebenarnya, menulis puisi bagi saya, mengusahakan (jika mungkin) menulis tanpa kata imbuhan dan tanpa kata sambung. Sehingga tulisan puisinya benar-benar menganut sedikit kata, tapi kaya makna tersebut.
Coba kita simak puisi berjudul ‘Titik’ berikut ini:

Muhammad Lucky Ali Murfiqi
TITIK

Titik tak akan pernah kau temui dalam kehidupanku
dan titik pun tak ada dalam matiku
titik hanyalah suatu koma yang panjang yang tak berujung
dan berakhir di balasan benih yang kau tanam di dunia yang hilang

Energi sungai yang meliuk
hilangnya bulu sayap yang terpuruk
mengikuti arus hidup yang kikuk
hingga menyadari insani yang terburuk

arus hidup yang tak menentu
tak ada seorang pun yang dapat tahu
ke mana perjalanan hidup mereka
tak ada yang mampu merubah semuanya

(Jagad Berkata-kata, halaman 74)

Puisi di atas, apabila kata sambung ‘yang’-nya dihilangkan semua, pasti puisi itu masih bisa berdiri dan enak dibaca. Bahkan artinya yang dikandungnya, tak berubah makna.
Kelemahan yang lain, jika boleh saya sebutkan, bahwa seorang penyair itu adalah orang lebih tahu tentang bahasa. Maka tidaklah harus salah dalam penulisannya. Baca larik akhir puisi ‘Titik’ di atas, kata ‘merubah’ sebenarnya ‘mengubah’. Lantas ada sederet panjang lagi kesalahan tulis dari kawan-kawan kita ini. Tak perlu disebutkan di sini. Malah nanti gak mau menulis puisi. Tapi itu semua memang proses untuk menjadi “penyair,” maka harus tahu kesalahannya yang ternyata tidak mahir.
Jika harus disebutkan mana puisi yang mendekati baik, dan punya prospek ke depan jadi penyair beneran, maka saya hanya menyebut beberapa judul puisi yang telah saya coba baca sehari ini, tanpa mengulang kembali. Maaf! Bukan berarti yang lain, lantas tidak punya prospek, tapi lebih ke arah mereka perlu berproses lebih panjang lagi. Artinya, harus terus menulis lagi, bukan lantas berhenti.
Mereka itu itu: Yang Terakhir oleh Nur Khoitoni, Aku Islam Abangan oleh Eli Sobikah, Kontroversi – Arie Oktaviyanti, Jalang- Ishom Junaidi, Masihkah Pantas – Muzayin, Kemeja Warna Emas – Maratus Shiolikhah, Sandi Leluhur – Khusnul Khotimah, Tragedi Hidup – Syamsah Ayuningrum, Jagat Berkata-kata, Supa’at, Pena- Nuril Baidlowi, Keranda – Andri Eko Yuwono, Ruang Cinta - Sudirman, Omong=O – Faisol Hidayatullah AF, Awal Belum Berakhir – Miftahul Huda Firmansyah, Timang-timang Badan - Niken Fajarwati, Sepotong Rasa - Zulmi Faktullah, Satu – Eli Nurmelia, Hallah Tanpa Kata – Tedi Subohastowo, dan Coro – Zainul Arifin, Puisi Hujan dan Kamu – Nugrahwati, Kuawali Dengan Airmata – Fitri Zahnya F.
Mengapa juga mereka mendekati baik? Lantaran tulisan puisinya tampak bicara dengan kejujuran hatinya. Penyair, harus jujur! Maka dalam tulisannya, harus bermuatan tulisan yang jujur pula. Lantas apa lagi? Mereka menulis dengan kesederhanaan dalam penulisan, dan bahkan ide yang diungkapkan. Sederhana tapi ada sesuatu yang ditawarkan kepada pembacanya. Tidak percaya? Coba simak puisi ini:

Fitri Zahnya F
KUAWALI DENGAN AIRMATA

Hari ini ku awali langkah jam
Dengan air mata semalam
Sujud yang bening
Subuh yang hening

Tumpah segala penyelesaian
Karena kemarin
Aku membawa jam – Mu
Ke negeri jauh
Tak bertanda

Karenanya, jika hari ini
Kuawali langkah jam
Dengan air mata dan nama Mu
Perkenankan sisa jejak-jejakku
Dengan satu ucap sakti Mu
Kun !

Tapi kenapa peristiwa sehari hari
Tiada henti menggodaku?

(Jagad Berkata-kata, halaman 87)

Tidakkah sederhana? Kata kunci “Kun” atau “Jadilah” adalah hal yang ditawarkan Fitri, bahwa ternyata peristiwa sehari-hari di dunia tetap menggoda. Kemerduan bunyi baris puisinya juga indah dan merdu. Baca bait pertamanya, indah bukan?
Pada puisi lainnya, seorang Eli Sobikah, menulis dengan kejujurannya “Aku Islam Abangan” yang membuat pembacanya akan terdedah rasa hati, dan terjaga kesadarannya. Setidaknya, banyak manusia kita, masih seperti yang dikatakan Eli. Sangat sederhana, tapi memuat banyak makna bagi pembacanya. Kita simak puisinya:

Eli Sobikah
AKU ISLAM ABANGAN

Aku Islam tapi masih abangan
Aku percaya Allah adalah Tuhan
Tapi mengapa aku memberi sesajen
Pada pohon tua yang penuh syaitan
Aku Islam tapi masih abangan
Aku tahu Muhammad sebagai anutan
Tapi mengapa aku patuh pada dukun
Pada saat menjalani semua kehidupan
(Jagad Berkata-kata, halaman 42)


Puisi jujur yang lain, ditulis Gressi Tania Ayu, yang bicara wajar dan apa adanya. Jujur itulah mutiara. Kita baca puisinya:

Gressi Tania Ayu Dewi Rantau S.
TERI

Akulah teri
Seorang yang tak ada apa-apanya
Hanya seorang yang kecil
Tak berpengetahuan
Hanya bermodalkan keberanian
Menampakkan diri dengan tulisan
Yang tak beraturan
Kacau, tak berirama
Dengan ungkapan yang polos
Itulah aku
Yang tak pantas bersanding dengan pujangga sastra
Sekalipun dalam mimpi
(Jagad Berkata-kata, halaman 5)


Puisi Mbeling

Membaca puisinya Faisol Hidayatulloh AF berjudul Omong = 0 saya jadi teringat puisi mbelingnya Remy Sylado. Sederhana, tapi membuat pembacanya terjaga. Terjaga dalam arti membenarkan puisi mbeling itu.
Saya adalah orang yang berangkat dari puisi mbeling itu. Puisi pertama saya yang termuat juga puisi kategori ‘mbeling’. Saat itu, termuat di Majalah ‘Top’ Jakarta tahun 1975. Puisi saya berjudul ‘Bendera’. Sedangkan larik dan barisnya sangat sederhana. Secara lengkap saya kutipkan naskah itu.

aming aminoedhin
BENDERA

Merah
Putih
Biru
Hilang paling bawah
Indonesiaku

1975.

Puisi Faisol di bawah ini juga termasuk kategori puisi mbeling. Mbeling ide kreatifnya, tapi juga memuat pesan yang benar di kandungnya. Menurut Faisol, bahwa ketika kita banyak ngomong, hasilnya adalah nol. Atau ketika seseorang hanya omong-omong, dan omong saja, maka yang dikatakan adalah tanda kosong. Ini terbukti, bahwa banyak rekan kita yang ‘ngomong doang’ tapi tak pernah bekerja. Kerjanya yang ‘omong’ itu. Kita simak puisinya:


Omong = 0

(Wah gak mau tampil puisimu, Sol! Maaf, agak gaptek!)

(Jagad Berkata-kata, halaman 14)

Puisi mbeling yang lain, menurut saya adalah tulisan Diana. Bahkan judul puisinya pun dengan angka, bukan kata. Tapi ada yang dipesankan kepada kita pembacanya, bahwa kita manusia, yang berawal dari 1 dan 2. Satu mewakili ayah, dan dua mewakili Ibu. Benarkah? Tanyakan pada penulisnya?


Diana
1.2

Bila kita menjadi
Tentu tak ada dua
Bila kita menjadi
Tentu masing-masing tak mendua
Bila kita menjadi
Tentu takkan ada angka setelah itu…!!
Satu titik dua
Manusia selalu ada
(Jagad Berkata-kata, halaman 24)


Kategori puisi mbeling yang lain, ditulis Miftaqul HF, sederhana tapi mengandung makna. Kita simak saja:



Miftaqul Huda Firmansyah
AWAL BELUM BERAKHIR

kata berawal dari
A
B
C
Angka berawal dari
1
2
3
Musik berawal dari
Do
Re
Mi
Kisahku berawal dari
Panggung
dan
Sepi-ku

(Jagad Berkata-kata, halaman 11)


Lantas ada juga termasuk mbeling berjudul 'Sepuluh' pada halaman 100 yang ditulis oleh Ainul Yaqin. Hanya saja main-main angkanya itu tak tertebak oleh sang pembaca. Minimal saya, sulit menangkap pesan yang dikandungnya.

Format Buku dan Tata Letak
Seperti saya katakan di muka, bukunya apik dan menarik. Hanya saja format ukuran akan lebih cantik jika diperkecil, 20 X 13 sentimeter. Tata letaknya, sudah baik, hanya konsistensi spasi tiap puisi tidak sama, begitu juga font hurufnya, sehingga agak mengganggu pembaca. Coba kita lihat puisi pada halaman 7, 86, 88, 90, serta halaman 28 fontnya lebih besar dari yang lain.
Jika dicari salahnya lagi, judul buku 'Jagad Berkata-Kata' tidak konsisten dengan puisinya yang termuat di halaman 60, yang menulisnya dengan 'Jagat Berkata-kata'. Penulisan kata 'jagad' pada puisinya bertuliskan 'jagat' pakai konsonan 't'. Nah... ini juga mengganggu.
Kelemahan yang lain, jika harus dicari salahnya, adalah sang editor tidak menyertakan biodata penyair atau penulisnya. Sehingga tidak diketahui persis usia berapa mereka menulis puisi. Akan lebih lengkap, apabila disertakan pula aktivitas yang pernah dilakukan penyair tersebut. Lantas ada pula, salah yang agak ironis, ketika buku itu tak menuliskan angka tahun pembuatan/penerbitan buku. Bahkan dalam buku itu, tak ada satu pun angka 2010, yang mana buku ini telah diterbitkan. Sayang!
Tapi itu hanya kesalahan, dan kekurangan yang teramat kecil saja. Ada yang lebih besar dari hal itu, yaitu kemauan, keberanian, vitalitas, dan kreativitas yang tak terbatas, karena mau mengumpulkan dan menerbitkan buku puisi itu. Selamatlah!

Penutup
Barangkali itulah yang bisa saya tulis dalam bahasan tentang kumpulan “Jagad Berkata-kata” ini, tentu banyak lemahnya. Kajiannya, memang tanpa teori. Maaf! Sebab selama ini, saya memang kurang pas dengan berbagai teori. Bahkan, ketika lulus sekolah sastra, saya mencoba membuang semua teori tentang sastra. Sekali lagi maaf!
Selamat datang di dunia angan dan bayang-bayang. Masihkah kalian semua bimbang? Menulis memang kerja sambilan, tapi jika kita mau serius, barangkali cukup menjanjikan. Selamat datang!
Yang harus diyakini adalah bagaimanakah kita tetap mau menulis untuk berproses menjadi penyair itu. Belajar menulis, menulis lagi, dan menulis tanpa henti. Insya Allah, segala damba akan tergapai nanti. Seperti pedoman saya dalam penulisan (termuat di blogger dan fb saya), “berbekal yakin pasti, berpayung iman nan suci, berusaha sepenuh ikhlasnya hati, lantas berdoa tanpa henti, insya allah segala damba segala cita, bahkan cinta akan tergapai nanti.”
Sukses buat komunitas sastra STKIP PGRI Jombang! Sukses buat Cak Imam Ghozali yang telah menebarkan virus sastra ini. Terima kasih rekan-rekan semua, yang percaya pada Aming Aminoedhin, untuk bicara. Sekali lagi, optimis tinggi adalah kunci. Semoga rintisan dengan itikad baik ini akan membuahkan sesuatu yang bermanfaat bagi umat.
Atas semua bahasan di atas, rekan-rekan boleh bersetuju atau tidak bersetuju, tapi saya bicara dengan itikad baik agar sastra terus melaju laju di kotamu, Jombang Beriman itu. Lantas, mari kita dialog sastra! Betapa pun sederhananya. Mari!
Salam sastra!

Desaku Canggu, 13 Januari 2010 Aming Aminoedhin, sang penyair

Tidak ada komentar: