Rabu, 30 Januari 2013

SEHARI BERSASTRA BERSAMA GURU NGANJUK


SEHARI BERSASTRA
MGMP–BI SMP SE-KABUPATEN NGANJUK 2013

            Pagi itu udara begitu cerahnya di kota Nganjuk, padahal malamnya hujan turun begitu lebatnya. Hawa terasa sejuk, apa lagi melewati persawahan nan hijau indah dipandang mata. Hati terasa tenang, mungkin juga terasa  tentram.
Hari itu, Selasa, 29 Januari 2013, bertempat di pendapa Dr. Soetomo, Ngepeh, Loceret, Nganjuk. Para guru sedang berkumpul di situ. Siapa mereka itu? Mereka adalah forum MGMP Bahasa Indonesia – SMP se-Kabupaten Nganjuk. 

Angin semilir terasa segar menyapa. Ada yang bawa gitar, ada berbincang soal pelajaran, dan ada juga menyayangkan tempat bersejarah yang kurang terawat itu. Ada pula yang bicara perjalanan panjang forumnya yang hampir berakhir untuk periode setahun berjalan lalu. Bahkan ada juga yang bicarakan apa yang terbaik untuk langkah ke depan? Melanjutkan sua-temu, yang lebih kontinyu, atau buat acara sastra yang lebih meninggalkan jejak hitam-putihnya. Membuat buku kumpulan puisi atau cerpen sendiri.
Ada apa mereka itu? Ternyata mereka sedang mengadakan sua-temu seperti biasa mereka lakukan, hanya saja kini bertajuk “Sehari Bersastra bersama Aming Aminoedhin.”
Lantas ada pertanyaan muncul, kenapa harus di pendapa itu, MD Yahya dan Khoirul, panitia acara, menjawab hampir secara bersamaan, “Hal ini agar para guru juga mau datang ke tempat kelahiran pahlawan bangsa ini. Sekaligus mengingat dan menghargai akan kebesaran sang pahlawan, Dr. Soetomo. Selanjutnya, suatu hari mereka akan mengajak para siswa datang ke pendapa ini.” 
Pagi itu diawali dengan laporan sang ketua panitia, lantas ada tampilan lima komunitas guru tampil satu-satu bersama komunitasnya, membacakan puisi. Ada juga tampilan komunitas ‘Musikalisasi Puisi Para Guru Nganjuk” yang pernah menang di tingkat provinsi, ikut unjuk kebolehan bermusikalisasi puisi. Baru kemudian tampilah Aming Aminoedhin, presentasi bagaimana menilai lomba baca puisi, menulis dan baca puisi.
Ceramah di depan para guru dengan gaya lesehan semacam ini, akan terasa cair, dan tanpa jarak. Artinya, komunikasi guna pelatihan baca tulis puisi, akan lebih mudah dicerna dan ditangkap makna ilmunya. Barangkali, penceramah lain, bisa terasa kikuk atau tidak nyaman guna presentasi, tapi bagi saya malah terasa enjoy, atau terasa nikmat dan menyenangkan. Lebih lagi di ruang terbuka, angin akan membisiki kita dalam menulis puisi.
Demikian kata Aming, mengawali ceramahnya pagi nan cerah waktu itu.
Lebih lanjut, Aming menjelaskan tentang bagaimanakah seseorang bisa jadi juri, dan bagaimanakah penilaiannya. Menurutnya, dalam menilai segala jenis tampilan kesenian, baik itu: puisi, seni rupa, tari, teater, dan yang lain; sebenarnya tidaklah tepat jika menggunakan parameternya dengan angka. Sebab hasil karya seni, padanannya bukanlah bagus, apik, sesuai dengan komposisi, interpretasinya bagus, dan lain sebagainya.            Adapun mengapa mereka para juri menilai dengan angka? Hal ini digunakan untuk memu-dahkan dalam penjuriannya, lantaran acaranya adalah dalam rangka ‘lomba’ bidang seni. Lebih lagi, jika dalam rangka ‘lomba’ tersebut bagi para siswa, dalam konteksnya dunia ‘pendidikan.’ Dalam perjalanannya, setiap dewan juri mempunyai subjektivitas masing-masing, dan oleh karena subjektivitas individu juri, maka dalam setiap penjurian ‘lomba seni’ selalu dipasang 3 (tiga) orang juri. Sebab, dari ketiga subjektivitas penilaian juri tersebut, jika harus digabungkan, maka nilainya akan menghasilkankan nilai objektif.
Barangkali tidak hanya itu saja, prasyarat seseorang dijadikan juri. Mereka yang terpilih jadi juri, seharusnya mempunyai kemampuan, keahlian di bidang penjuriannya. Jika lomba puisi, maka bisa diambilkan penyair. Jika lomba cerpen, bisa diambilkan cerpenis. Jika lomba nyanyi, bisa diambilkan pemusik yang mumpuni. Jika teater, bisa diambilkan teatrawan, dst.dst. Di samping itu, seorang juri haruslah jujur hati dalam penilaiannya, tidak berpihak, teguh dalam pendirian, dan tidak goyah jika ada peserta yang mencoba menyuapnya. Selain menerangjelaskan bagaimana penilaian dalam lomba baca puisi, juga memberi contoh bagaimana membaca dan menulis puisi.

Sehabis Aming Aminoedhin presentasi, kemudian para guru ditugasi membaca dan menulis puisi. Ada yang malu-malu dalam membacanya, ada juga yang sangat percaya diri. Sedangkan dalam penulisan puisinya, rata-rata mereka sudah cukup bagus dalam tulisannya. Hanya saja, mereka kurang percaya diri, untuk mau mengirimkan ke media-massa. Sehingga nama-nama guru yang penulis sastra di kota Nganjuk tak terdengar.
Harapannya, setelah mengadakan ‘Sehari Bersastra’ mereka (para guru Nganjuk) tak lagi ragu-ragu mengirimkan karyanya di media-massa. Nama mereka harus mencuat, dan bahkan harus naik-daun. Bahkan mungkin melebihi para penulis yang ada sekarang ini.
Matahari mulai bergeser ke barat, cuaca masih sejuk, sesejuk hati para guru yang tetap gumuyu selepas pelatihan itu.
Mengakhiri acara, mereka berfoto bersama dengan sang penyair Aming Aminoedhin, lantas pulang dengan membawa segerobag impian untuk tetap menulis, membaca, dan mengajarkan puisi pada anak-anak didiknya. Semoga! (aulia alamanda)




Tidak ada komentar: