Jumat, 18 Januari 2013

DOKTOR M. SHOIM ANWAR: MALSABARU


Sajak-sajak Malsabaru 2011:
BERGELUT  DENGAN  KETEGANGAN  WAKTU

Oleh: DR. M. Shoim Anwar, M.Pd.

         Malsabaru 2011 adalah sebuah kumpulan puisi yang menghimpun 117 karya dari 41 penyair. Dari sejumlah puisi tersebut,  23 puisi ditulis dalam bahasa Jawa (geguritan) dan yang lain berbahasa Indonesia. Para penyair yang terlibat juga lintas generasi, berawal dari generasi Akhudiat (mulai berkarya 1970-an) hingga generasi Sumono Sandy Asmoro (mulai berkarya 2000-an). Judul  Malsabaru  adalah kependekan dari “Malam Sastra Bagi Guru” sehingga para penyairnya sebagian besar berprofesi sebagai guru/dosen, sebagian yang lain “pernah mampir” sebagai guru. Buku ini terbit tahun 2011 dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Tampak ada usaha secara tematis dalam penerbitan dan pembacaan puisi-puisi tersebut. Akibatnya, puisi-puisi yang terkait dengan pendidikan (formal) umumnya sengaja ditulis pada bulan Maret-April 2011 untuk memenuhi hajatan yang dimotori oleh penyair Aming Aminoedhin tersebut.
 

          Tesis yang perlu diajukan adalah, meski berprofesi sebagai guru/dosen, pada awalnya para penyair   umumnya kurang tertarik dengan permasalahan pendidikan sebagai basis kreatifnya. Andai tidak dipesan secara khusus, mungkin mereka tidak/belum menuliskannya. Tanggal penulisan puisi-puisi dalam buku ini menunjukkan bahwa sebelum itu mereka mungkin tidak punya stok puisi tentang dunia pendidikan. Ini agak berbeda dengan dunia buruh. Para penyair yang berprofesi sebagai buruh industri umumnya basis kreatifnya bertolak dari dunia perburuan yang mereka lakoni, seperti tampak pada puisi-puisi Wiji Thukul, Wowok Hesti Prabowo, Jumari H.S., Yudhi M.S., Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri, serta mereka yang berasal dari buruh migran. Para buruh, beserta komunitas yang dibangunnya, memperlakukan puisi sebagai sarana advokasi.    
         Studi sosiologi sastra yang dilakukan oleh Jakob Sumardjo (1981) menunjukkan bahwa profesi sastrawan Indonesia sebagian besar adalah wartawan dan guru/dosen. Kenyataan ini kemungkinan besar masih berlaku hingga saat ini. Uniknya, sangat jarang para sastrawan yang berprofesi sebagai guru/dosen basis kreatifnya mengeksplorasi dunia pendidikan yang mereka geluti. Mereka lebih tertarik pada tema-tema personal dan sosial secara umum. Para penyair dalam buku ini seperti Akhudiat, Arim Kamandaka, Herry Lamongan, Kusprihyanto Namma, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, Tjahjono Widijanto, Saiful Hajar, dan Suharmono Kasiyun sudah begitu dikenal sebagai guru/dosen, tapi karya-karya mereka boleh dibilang sepi dari tema-tema dunia pendidikan formal. Mungkin bagi mereka pendidikan dapat dikaitkan dengan  kehidupan seluas-luasnya. Dengan demikian advokasi dan eksplorasi terhadap profesi juga tidak dilakukan secara eksplisit dalam puisi.     
          Terkait dengan dunia pendidikan, dalam buku ini terdapat puisi yang menarik, ditulis oleh Kusprihyanto Namma. Puisi berjudul Epik Sang Guru ini memang sederhana, tapi sangat kritis, agak nakal, serta aktual. Perkenankan saya menampilkannya secara utuh.
           
            Yang paling menyedihkan adalah
            menjadi pengawas Ujian Nasional
            tak bisa menolak tugas
            tak berani melanggar sumpah
            datang pagi-pagi
            telinga harus siap diceramahi tiap hari

            Menghadapi siswa di kelas sunyi
            tak tahu harus bagaimana
            berdiri salah
            berjalan salah
                         mengantuk salah
            menegur siswa yang bertingkah pun salah

           Siswa yang biasa dimanja
           berbekal air mata
           mengadu dengan sedu sedan
           guru yang mengawas silang
           jadi bom mengancam
           balas dendam mesti dilaksanakan

           Pengawas-pengawas  ruangan
           memilih jalan aman
           membiarkan kecurangan mekar
           dalam pot-pot kebohongan
           dalam mata terpejam
           hati dirajam-rajam
                                                        Ngawi, 2011

           Keaktualan puisi di atas tak terbantahkan. Isu dunia pendidikan hingga hari ini masih berkutat pada  masalah ujian nasional. Meski penyair terlibat di dalamnya, sebagai subjek yang tertekan  (istilah Gayatri Spivak: subaltern), dia berani  mengambil sikap kritis dengan membocorkan permasalahan pelaksanaan ujian nasional. Ujian nasional di satu sisi menjadikan guru berada dalam situasi poskolonialisasi karena tekanan-tekanan dan supremasi birokrasi. Sebagai penyair, Kusprihyanto  berani melanggar sumpah” karena suara “hati dirajam-rajam”.   Terjadi situasi kontradiktif dalam dunia pendidikan. Nilai-nilai moral dan kejujuran yang seharusnya ditegakkan justru dicampakkan atas nama ujian nasional. Idealisme tergeser oleh pragmatisme. Ketegangan antara dua kutub yang tak mungkin disatukan. Hal demikian disuarakan pula oleh Sumono Sandy Asmoro lewat puisi Ngungak Ilmu, di mana ujian nasional hanya memunculkan keheranan, seperti menanggap permainan sulap, nilai moral telah tercampakkan: “ah, jebul mung kebak pangeram-eram/kaya candrane wong mbarang sulapan/ireng putih wis dudu ukuran.”
         Citra guru “tradisional” yang baik dan stereotipe sudah jamak kita dengar, sederhana, tekun, dan tulus dalam mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal demikian tampak pada puisi-puisi Bhen Mul Wae, Herry Lamongan, Imam Hariadi, Junaedi Haes, L. Machali,Tjahjono Widijanto, Uyun S. Wahyuni, dan Zoya Herawati. Pelukisan Tjahjono Widijanto dalam puisi Monolog Senja Seorang Guru Pada Muridnya, kiranya mampu mewakili stereotipe ketulusan seorang guru: “Anak-anakku, aku selalu mencintaimu/maka kupinta tiap butir keringatku menjelma untukmu/berlarian menembus pintu langit-langitNya.” Sebuah ungkapan cinta yang mendarah daging, seperti juga puisi Surat Cinta karya Rendra.  
          Lewat puisi Oemar Bakri Masa Kini Aming Aminoedhin justru menyentil perilaku guru yang berada dalam ketegangan antara melaksanakan kewajiban dan gaya hidup. Terjadi gegar budaya ketika teknologi yang mestinya menjadi media untuk meraih kemajuan justru membuat lalai. Mendidik telah digeser menjadi sekadar “memberi instruksi” karena waktu habis disedot teknologi. Kehidupan terkepung karena konsumerisme yang kemaruk. Kredit benda-benda teknologi menjadi piranti meraih identitas baru. Aming menggambarkan guru yang ketagihan “chatting via  facebook” tak ubahnya anak kecil yang tak mau lepas dari mainannya. Sebuah penggambaran yang enjoy, tapi ironi. Suasana ambigu ini pula yang ditulis Tengsoe Tjahjono  melalui puisi HP dalam Perutku. Betapa konsumsi terhadap produk teknologi  menjadi susah ditampik. Simbolisme teknologi dihadirkan dalam suasana yang akut. Ketegangan waktu menjadi rahasia yang ingin disembunyikan, tapi meronta karena kendali tak sepenuhnya dikuasai: “ayo, taklukkan waktu untuk bertemu”.   Konstruksi hidup menjadi penuh warna sekaligus penuh masalah: “sinyalnya tak pernah binasa diremas basah darah”.  Kehidupan menjadi seperti mimpi, tak berpijak, ruang publik dikonstruksi oleh produk teknologi. Arim Kamandaka dalam puisi Kampung Mimpi menarasikan bahwa “ibu dan guru bukan lagi dipercayai/televisi telah mengusirnya/merebut generasi dan menjadi bagian diri/di kampung ini/lebih suka mimpi ketika yang nyata tak dapat   dirasa”.  Pada puncaknya demoralisasi dan pornografi merebak lewat dunia maya seperti diungkap pada puisi Dzikir Miyabi karya Anas Yusuf. 
         Meski  puisi “pesanan”, karena sebagain besar penyairnya terlibat di dalamya, karya-karya tersebut tetaplah autentik karena telah mendarah dan mendaging dalam diri penyair. Guru dalam lintasan waktu berada dalam ketegangan  antara dua kutub. Nilai-nilai dan idealisme harus bertarung dengan kenyataan yang makin liar. Fenomena demoralisasi menjadi sumber ketegangan yang dahsyat. Ketegangan ini mengejawantah dalam berbagai bentuk.  Di satu sisi juga terjadi ambiguitas antara tradisi dan modernitas. Nilai-nilai dipertanyakan kembali.  Aktualisasi sebuah identitas  terus berproses dalam sirkuit budaya. Lewat puisi Perayaan Kartini   Faradina Idzihary memberikan contoh kasus yang menarik:  “Aku bosan, setiap tahun dikirimi sesaji/tubuh seksi dan bedak kinclong kayak banci/Rengkuh mereka!”/Kau lihat?/Kartini melempar kebaya dan kain panjangnya. 

     
            Konteks ketegangan waktu bukan hanya terjadi pada pada puisi-puisi  dengan tema dunia pendidikan. Sebagian besar puisi dalam buku ini menyuarakan ketegangan dalam berbagai kasus. Akhudiat membuka buku ini dengan puisi Rinduku Padamu.  Keberadaan pohon randu di masa lalu dirindukan oleh penyair secara nostalgik. Waktu telah menggerusnya. Puisi yang terdiri atas empat bait dan sebelas baris ini mengulang pernyataan “rinduku padamu rindu pohon randu” sebanyak empat kali.  Sebuah repetisi yang memperkuat ketegangan antara masa lalu dan masa kini. Sajak ini mengingatkan saya pada sajak Taufiq Ismail tahun 1970-an, Beri Daku Sumba, yang baris pertamanya adalah  Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka”. Taufiq mengulang pernyataan rindu semacam itu sebanyak lima kali sebagai penekan.
          Seperti juga Akhudiat, nuansa kerinduan dengan alam ditulis pula oleh Mh. Iskan lewat  Sajak Kapuk Randu dan  R. Djoko Prakosa lewat sajak Kembang Jagung.  Iskan mengurai kerinduan kepada akar budaya yang cenderung ditinggalkan, sedangkan Djoko Prakosa rindu pada kekasih masa lampau. Alam sebagai simbol menjadi piranti untuk masuk ke masa silam. Waktu yang meretas menyebabkan ada yang hilang dalam hidup ini. Ada romantisme yang kadang terasa perih, antara keinginan dan kenyataan menciptakan jarak  yang kadang tak tersentuh. Jarak yang menjadikan kegagalan indah dalam hidup, kegagalan abadi yang romantik. Sajak Mimpi dari Akhudiat menggambarkan: “Hidup berkepanjangan/Mimpi berlembar-lembar/Kuyup keringat, darah, dan air mata/Dijemur matahari/Menjadi kain warna- warni.    

       Ketegangan waktu antara masa lampau dan masa kini, yang tak mungkin kembali, adalah hakikat hidup.  Keinginan kembali ke masa lampau menerbitkan suasana batin yang haru. Pengalaman-pengalaman masa kecil jadi rentangan  hidup yang romantik ketika dipandang di masa kini. Sajak yang mengharukan dari Suharmono Kasiyun, Sumoroto Cumanthel Atiku,  menyentuh karena jarak mampu membiaskan pengalaman batin. Masa kecil menjadi sangat berarti di masa kini. Maka, ketika usia senja tak dapat ditampik, kita merasa kehilangan luar biasa saat hal itu terjadi pada sosok ibu. Orang yang kita cintai dan membesarkan hidup kita dengan susah payah mulai lupa karena ingatannya tak mampu bertahan melawan waktu. Sekali lagi, lewat sajak Nalika Tilik Ngomah, suasana mengharukan dihadirkan oleh Suharmono Kasiyun: “Nalika tilik ngomah lan sungkem ing ngarsamu/”panjenengan sinten?” ukara iku metu saka tutuke ibuku/sumendhal kekejer rasane atiku.  Suasana seperti itu juga terasa  dalam sajak Wuk...! karya Ary Nurdiana,  sosok ibu tercinta yang selalu memanggil dengan penuh kelembutan telah tiada. Masa lalu hadir dengan penuh kesenduan. 
          Dalam rentang ketegangan waktu ibu adalah citra. Dalam kedudukannya sebagai citra dia adalah sempurna dan tanpa cela. Masa lalu bersama ibu adalah monumen paling berharga. Seperti juga Suharmono dan Ary Nurdiana, Tjahjono Widarmanto mengendapkannya dalam puisi  Mata Ibu (1dan 2), bahkan dalam sajak Monolog Ibu Malin Kundang  citra ibu tidak lagi dilukiskan mengutuk anaknya yang durhaka sehingga jadi batu, tapi penuh dengan kesabaran dan keikhlasan: “Malin, tak mungkin kukutuk engkau/sebab engkau adalah anakku”.  Penyair berusaha memecah mitos waktu  yang membatu menjadi tafsir baru.

         Masa kini hadir tidak sesuai harapan. Ada luka dalam rentang sejarah. Kehidupan dengan segala persoalan di masa kini  menjadi cermin buram yang merusak masa lampau. Maka lahirlah puisi-puisi protes sosial yang keras seperti Demi Masa (Anas Yusuf), Nyanyian Sunyi Sang Guru (Junaedi Haes),  Epik Sang Guru (Kusprihyanto Namma), Pelajaran Pribadi (L. Machali),  Maknai Arti (Masyuns), Negeri Ilalang (Eko T.SS), Nyanyian Si Fakir dan Anak-anak Jalanan (M. Tauhed Supratman), Peluru (Saiful Hajar), Tamparan (Upiek Karang Langit), Bagi Guru 2 dan  Padang Ilalang (Zoya Herawati), Buta Teror (Bonari Nabonenar), Gurit Perang Brubuh dan Nalika Aku Munggah Ing Sitinggil (Davit Harijono),  demikian pula puisi Ngulak Ilmu dan Jam Guru (Sumono Sandy Asmoro).          
          Puisi mengajak hidup lebih berarti. Demi waktu manusia dalam keadaan merugi. Maka mencuci diri menjadi keniscayaan untuk mengatasi ketegangan waktu. Sebagian puisi-puisi  Bambang Kempling, Chamim Kohari, Faradina Idzihary, Doyok M. Imron, Iman Ghozali AR, Pringgo Hr, Suyitno Etexs, Uyun S. Wahyuni, R. Giryadi, Budi Palopo, Jarot Setyono, dan Widodo Basuki mengajak kita untuk mengingat dan mengendapkan perjalanan waktu lewat berbagai simbol.  Hampir semua puisi dalam buku ini baris-baris terakhirnya juga menyeru kembali tentang hakikat hidup yang pasti dikalahkan oleh waktu.  Ada amanat yang diselipkan sebagai konvensi sastra. Di sini puisi hadir bukan sekadar sebagai ekspresi, tapi juga menggiring ke transendensi. Betapa nggombalnya sebuah puisi, ia tetap punya sisi yang berarti.
           Ketegangan merupakan bagian  tak terpisahkan dari perjalanan kebudayaan. Waktu menjadi ajang bersabung antara masa lalu dan masa kini. Meski tidak berjalan linier, sejarah tidak meluncur sendiri. Manusia berada dalam posisi  antara subjek dan objek. Oposisi biner muncul dalam berbagai bentuk. Ketegangan tak terhindarkan. Masa lalu dan kini, harapan dan kenyataan, idealisme dan pragmatisme,  juga jasmani dan rohani dihadirkan lewat puisi sebagai konsekuensi wacana kehidupan. Maka, betapa nggombalnya sebuah puisi, ia tetap merupakan bagian dari kehidupan kita.  

                                                                                                           Surabaya, Desember 2012
      

Tidak ada komentar: