Kamis, 19 Juni 2008

puisi-puisi ngawi

aming aminoedhin
SURAT DARI NGAWI
*
· surat Ibu

kota, ternyata memang memutuskan benang merahnya
pada seorang anak desa dan mereka jadi alpa
pada kampung dan Bunda yang melahirkannya

surat itulah yang kembali menyambung
ingatan jadi terjaga bahwa kampung
jauh ditinggalkan, butuh pula dihitung
dalam agenda kegiatan angka setiap tahun

“menjenguk kampung jauh yang teduh
tidaklah harus mengeluh, dan rumah
tidak pernah berubah
pohon-pohon di belakang rumah
masih tetap juga berbuah
dan kau, adalah anak yang suka
memanjat pohon-pohon itu
sambil menyanyi merdu,”
demikian tulis Ibu

“sekali waktu pulanglah, bercerita
tentang amal ibadah
tentang rejeki yang tumpah–ruah
untuk bekal kelak pergi ke Mekkah”

barangkali kota telah menggergaji ingatanmu
alpa pada desa yang setia menunggu
kedatanganmu, bersama doa Ibu

Surabaya, 1990


aming aminoedhin
CERITA MAKAN MALAM
*

Bunda
adalah yang menungguku ketika malam tiba
segelas kopi susu seporsi makan malam
adalah persediaan anak lelaki yang bakal tiba

Bunda
adalah yang menungguku
sambil nonton teve bersama cucunya
kadang terselip cerita-cerita tentang ular naga
dongeng negeri jauh atau kehebatan nabi Nuh
bersama perahunya
makan malam di rumah tua
tanpa gairah tanpa selera
sedang dongeng nabi Nuh
dan negeri-negeri khayal yang jauh
lebih bisa mengental dan mengkristal
dalam diriku

cerita lisan yang berulang itu
telah menidurkan cucu di pangkuan Ibu

cerita lisan yang berulang itu
telah membunuh selera makan malamku

cerita lisan itu menumbuhkan
kembali ingatan masa kecilku
tidur di pangkuan Bundaku

Ngawi, 1986



aming aminoedhin
MELATI
*
·
tia

melati menodongkan kembali harum wangi
pada kenangan enam tahun silam
saat kita bersama memetik kembang itu
dari batangnya yang menjalar pada pagar-pagar
tetangga, atau di pinggir jalan-jalan lengang
kampung teduh kita

adalah mewanginya melati
malam ini, menggoda hati
menuliskan sepi
pada garis puisi

ternyata kampung teduh kita
masih setia menebar wangi melati
tetap dapat kukenal jejak sudut
kampungnya. tetap padat burung-burung
berkicau. pada dahan pepohonan
pada langit warna biru terdahulu
dan warga kampung yang tetap gumuyu
setiap waktu setiap bertemu

ternyata kampungku
masih seperti dahulu
mengajak bercanda hati
membaca alam dengan puisi

Ngawi, 1987



aming aminoedhin
KUTOLEH SEKALI LAGI
· tentang Ibu

sehari di ngawi hanya keluh kesah
yang kutumpahkan di sini
karena kota hanya dusta adanya
lalu resah susul-menyusul tanpa henti

hanya Ibu yang selalu memberi sangu
tentang harapan dan impian, sejak
mula aku berada di kota

hanya Ibu yang memberi bekal itu
kekuatan menantang badai, gejolak
hati yang tanpa pernah usai

hanya Ibu yang memberi doa itu
terbungkuk sepanjang malam
tanpa stasiun henti

sehari di ngawi hanya keluh kesah
yang kutumpahkan pada Ibu
lalu doa-doanya kian banyak terucapkan
sepanjang malam-malam yang renta
seperti dzikir tanpa akhir
seperti waktu bergulir tanpa ragu

meninggalkan ngawi yang sepi
kutoleh sekali lagi, karena
ada tertoreh dalam hati
harapan yang nyaris patah
impian hanya pada garis resah
tanpa tepian pasti

meninggalkan ngawi yang sepi
kutoleh sekali lagi, karena
ada tertoreh dalam hati
bekal sangu dan wanti-wanti
dari Ibu, tak harus ditepis pergi

meninggalkan ngawi yang sunyi
hanya sangu (berupa doa) dari Ibu, tersisa
sebagai tali kendali hidupku

Ngawi, 1990


aming aminoedhin
KOTA TERCINTA I
· ngawi kota

selamat pagi kota
kaki-kakiku kembali melangkah
menyusuri jalan seputar alun-alun
kaki-kakiku kembali menyentuh tanahmu
selepas subuh, hanya embun yang jatuh
begitu indah di mata, seperti
taman-taman kota yang ada
penuh bunga-bunga

selamat pagi kota
tanah yang menjanjikan cinta, tapi sirna
ditelan waktu dan masa
ditelan keangkuhan seorang wanita

selamat pagi kota
kususuri jalan-jalan sepi
hanya bersendiri saja, di tengah kota
segalanya jadi asing
kesepian itu menuding
tentang kesalahan tentang ketiadaan
lalu embun jatuh menyentuh dingin
seperti mendinginkan hati
yang rawan

siapa bakal disalahkan
ketika janji digergaji sendiri?

selamat pagi kota
indahnya mentari di timur
menyambutku tersenyum
seperti menghibur

Ngawi, 1991


aming aminoedhin
KOTA TERCINTA II
· ngawi kota, rumah Ibuku

aku tak lagi punya kamera foto
untuk memotret keindahan kota
di pagi subuh saat embun jatuh
(bila saja punya, toh… mungkin
tak kuasa merekam indah gambar
alam yang digelar, karena embun jatuh
begitu tebal dan muram)

tapi pagi ini aku masih punya kamera hati
yang kuasa menulis indahnya pagi
dalam baris-baris puisi
tentang sejuknya embun jatuh
ada juga bunga-bunga mekar di halaman
semerbaknya kemuning dekat pagar begitu segar
seakan membeningkan hati terbakar

pagi musim penghujan berbasah tanah
burung-burung merdu kicau nyanyinya
mendendangkan teduh suasana
sedang mentari di timur merekah
menyaput bukit-bukit kapur memerah
tampak remang membujur di seputar kota
begitu indah!

(dan jika ada sepi dan sunyi berdiri
barangkali hanya karena aku sendiri
menikmati kebesaran Ilahi pagi ini)

tapi kotaku begitu indah
meski ada sesuatu yang telah patah
kota masih mengajak kakiku melangkah
pulang ke rumah. karena Ibu
masih memberiku cintanya beribu-ribu jumlah
sementara perempuan yang lain
begitu mudah cintanya bersalin
bahkan lekas sirna seperti lilin

Ngawi, 1991

* termuat di Suara Pembaruan Minggu, 14 Juli 2002
* termuat di Majalah Pusara Yogya, Desember 1986
* termuat di Surabaya Post Minggu, 28 Agustus 1988


aming aminoedhin
TANAH RENGKAH I
* mashar + mh. iskan

selalu saja kita bincangkan seni
di kota tanah rengkah ini
selebihnya seperti telah bertahun
kutulis dalam baris puisi
yang abadi di kota ini
hanya sepi hanya seni
meski kota dilanda hujan
dilanda banjir
dilanda kemarau panjang
kehabisan air
hanya seni terus bernafas segar
mengalir

masihkah kita akan menipu diri
mengacuhkan nafas seni
yang mengental dalam dada ini
yang mengakar dari generasi
ke generasi, mengalir
tanpa mau henti

kota tanah rengkah yang tua
telah mencatat peristiwa budaya
ke peristiwa budaya
yang mengkristal dalam dada
adakah kita akan lupa?

malam telah begitu larut
suasana terasa nglangut
dari pendapa bupati
masih terdengar pergelaran
wayang kulit sabtu legi
lamat-lamat menyibak sepi

adakah kita akan menipu
dan lupa diri?


Ngawi, 2 Maret 1996



aming minoedhin
TANAH RENGKAH II
* kemarau di ngawi

kemarau tak bersahabat dengan kita
tanah alun-alun kota akan rengkah-rengkah
oleh teriknya panas mentari
gerah telah merambat dengan tergesa
membawa tubuh terasa lungkrah-lungkrah
dari hari ke sehari
malam terasa lengang
dan dingin cuaca
bersahabat dengan kita
udara terasa nyaman sekali
menyapu gerah siang hari

lalu suara tembang
dilantunkan bersama siter dan gambang
akan melengkapkan
indahnya malam

sekali lagi ngawi
hanya sepi hanya seni
meski malam telah sampai
ke parak pagi

Ngawi, 2 Maret 1996