mh. iskan
SEBUAH JENDELA TERBUKA
PAGI INI
salamku saja untukmu, gadis kecil
yang berdiri tegak di jendela
pagi ini
benang-benang mentarimenciummu kasih
bagai selaksa bidadari turun
beruntun
salamku saja untukmu, gadis kecil
yang mengerti bunga mekar pagi hari
tubuhmu ranum-ranum buah pisang
di jendela segar
alangkah terdampar
sebuah jendela terbuka
pagi ini
di jantung kota
menara yang tegak adalah ibunya
di bawah taman lebat berbunga
dan gadis kecil itu
masih saja sayu menatapnya
-adakah bonekaku ketemu di sana
segala tanpa kata
sebab jendela itu tinggi
dan gadis itu sendiri
1967
mh. iskan
BERSIHKAN BAJUMU
bersihkan bajumu
tak usah ragu
ini tahun baru
bukan jalan buntu
masihkah kau gelisahkan
setelah kau tutup pintu
melangkahlah
hitung jari-jemari
adakah yang tanggal?
bersihkan bajumu
tak usah malu
ini tahun baru
bukan jalan buntu
1968
mh. iskan
DI JALAN-JALAN TENGAH KOTA
di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
setiap kata adalah keyakinan
meski cuma dengar dari berita
di jalan-jalan tengah kota
orang lebih tertarik untuk duduk
dan bicara seenaknya tentang perburuan
nyawa anak-anak yang di pertaruhkan
dan serpihan-serpihan logam jadi akrab
di antara padang-padang rumput
hutanpun lata penuh asap mesiu
kota-kota jadi mati
kabut semakin rendah, semakin rendah
langitpun mulai mengeluh
kapan bayi-bayi itu damai dalam gendongan
tak terganggu desingan peluru
tapi ini adalah permainan
dari tangan-tangan yang haus
dan jiwa-jiwa yang sunyi
dari tuntutan kemerdekaan
atau kerinduan yang dicanangkan
lewat sumur-sumur bermata bangkai
di jalan-jalan tengah kota
dimana-mana barat timur utara
kabutpun semakin rendah, semakin rendah
sementara burung-burung nyanyi lagu duka
dan dimatanya terkenang nanah
yang setiap kali meleleh
genderang-genderang sayup mengetup satu-satu
diantara kibaran-kibaran bendera setengah tiang
langitpun tetap mengeluh
kabut semakin rendah, semakin rendah
bumi seperti biasa mendukung beban
meski tangis ini tertahan
di jalan-jalan tengah kota
orang bicara tentang kematian, peperangan dan kedengkian
jakarta, 1972
mh. iskan
KEPADA PENGGALI KUBUR
apa yang kauharapkan dari kerja ini
yang merupakan bongkah demi bongkah
usia dalam kesetiaan
kecintaan dan harga diri
kau ingin dalam mataku
ketika pengantar jenazah
mengucap salam
di muka pintu gerbang
lalu senyummu yang beku
membuka lembaran duka
di bibir liang menganga
hitam dan sunyi adanya
saudaraku,
perjalanan pun akan berakhir
terimalah dalam kepasrahan
meski keriput tubuhmu
menaburkan sejuta kasih
burung-burungpun akan mengantar
kepergianmu suatu hari
adalah ketentuan
seperti kau kerjakan hari ini
membuka tempat keranda
menggali kembali dari mana
asal mula kita
dan di sini hidup ini disimpan
untuk dipertanggungjawabkan
jangan gelisah saudaraku
semua kapal akan bertolak
meninggalkan dermaga
menepati janji
dan selaksa bidadari
menyambut setia
Jakarta, 1972
mh. iskan
JAM BERAPAKAH INI
jam berapakah ini
nyamuk-nyamuk menggodaku
kurasa menjelang pagi
kokok ayam, suara timba
tangis bayi
rintihan-rintihan di keburaman
embun turun beruntun
jam berakah ini bisik-bisikan jarum
meremas
pertanda
akan berakhirnya perjalanan
yang kutempuh
dalam galauan malam
ataukah cuma gerimis ini
yang memberi hiburan
sekedarnya
di luar semakin pucat
dan
alampun menangis
tubuhku yang pipih
meronta
menyaksikan burung malam
berpesta
1971
1 komentar:
Sebagai warga Ngawi, saya merasa rindu untuk berjumpa dan berkumpul dengan para sasterawan. Lebih-lebih mengenang maestro sastera Ngawi, yaitu Bapak Mh. Iskan.
Maka pada kesempatan ini, izinkanlah saya mengutip (menyalin tempel) puisi-puisi beliau untuk saya perkenalkan dalam Komunitas Guru Penulis Ngawi (KGPN), dan dalam kesempatan Wisata Puisi yang rencana kami selenggarakan pada Juni 2020 mendatang.
Posting Komentar