Selasa, 11 Juli 2017

SKETSA-SKETSA LEO KRISTI



SKETSA-SKETSA CERITA LK
Oleh: Aming Aminoedhin

            Banyak cerita-cerita tentang Leo Kristi yang menarik bagi saya, selain dia orang yang suka senyum setiap waktu, setiap bertemu; ia suka  mau cerita jika kita mau bertanya. Saya bertemu, Leo Kristi, pertama kali sejak masih Dewan Kesenian Surabaya (DKS) menempati gedung lawasnya. Depan gedung lawas itu, masih ada pohon keresnya, dan berandanya tak begitu luas itu, biasa untuk latihan apa saja: baca puisi, nyanyi, atau sekedar untuk kongkow-kongkow seniman apa saja. Leo Kristi (LK) dan kelompoknya, waktu itu, pernah juga berlatih di tempat ini. Selepas Isya, mereka berlatih melantunkan lagu-lagunya nan indah itu, jika tak salah waktu itu vokalis perempuannya, Cicilia, yang selalu pakai celena pendek warna putih. Aku lupa tahun berapa waktu itu. Tapi masih terngiang lagu-lagu Leo Kristi itu indah dilantunkan riang. Heroik tapi juga romantik.
            Selain Leo Kristi, di DKS, saya juga sering ketemu Naniel, personilnya Konser Rakyat Leo Kristi. Suatu waktu, kuputar lagu-lagu Leo dari ponsel-ku, sambil berbincang soal LK.  Naniel pernah cerita bahwa  gambaran sosok guru tua pada lagu Di Deretan Rel-Rel itu, adalah tokoh Pak Guru Tua yang jualan kopi di stasiun Lawang, dekat Malang. Selengkapnya syair lagunya seperti ini:

DI DERETAN REL-REL

 

Pagi masih sunyi seperti hatiku
Ketika kududuk di bangku peron
Tiada seorang pun menemani
Majalah dan koran pagi, tak banyak menolongku
Dan hati mulai bernyanyi

Olalai olai oleiei…oleilei oleieioleiei…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Becek hujan turun semalaman
Menambah dinginnya pagi
Dengan seratus rupiah di kantong
Dapatkan rokok keretek , kopi panas dan goreng pisang
Di kedai pak guru tua

Olalai..olai oleioi…oleilei oleoleioi…
Olalai olai oleioi…oleilei oleoleioi…

Saat pulang kini telah tiba
Kereta pagi berangkat siang hari
Satu gerbong seratus penumpang
Di sela-sela tumpukan keranjang dan karung-karung
Perempuan berteriak ribut
Bayi-bayi menangis

Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu
Hmmmm…jalan menuju kota gaduh selalu

Lalalallalalala..lalalalalallalalla……

Lihat kereta apiku mengeluh
Lihat kereta tua mengeluh!
                        *                      *                      *

            Suatu ketika Leo Kristi pernah juga diundang untuk ikut memeriahkan Festival Seni Surabaya (tahunnya lupa). Dalam tampilan itu, ia minta memasang lukisan-lukisannya dengan ukuran besar-besar di pajang di dinding-dinding Balai Pemuda. Minta pula dalam arena panggung pentasnya nanti diletakkkan beberapa balok es besar-besar yang tak beraturan (alias malang-melintang) untuk mendukung tampilannya.
            Panitia FSS, ketika itu juga menyanggupi atas semua permintaan Leo Kristi yang agak aneh ini. Dan saat waktunya tiba ia harus tampil, ternyata dia hanya ke luar sebentar mencangklong gitar, seraya berucap selamat malam. Lantas turun panggung, dan menghilang entah ke mana?
            Beberapa penonton, penggemar dan fans-nya Leo Kristi, banyak yang berteriak-teriak; tapi pertunjukan ternyata telah usai. Itulah gaya tampilan seni pertunjukan Leo Kristi!
Tak perlu risau tak perlu galau! Biasa saja!
            Jika tak aneh, maka bukanlah Leo Kristi!

  *                    *                      *

            Pernah juga suatu ketika, ketika saya dolan ke DKS, saat ada pameran lukisan entah punya siapa (lupa juga tahunnya), saya bertemu Asri Nugroho (pelukis) yang berada di acara pameran itu. Lantas tiba-tiba ia, mengajak saya ke rumah Leo Kristi yang berada di Karang Empat, Surabaya. Katanya, “Ayo ke rumah Leo, dia sekarang lagi doyan melukis. Ayo kita lihat lukisannya!” ajaknya.
            Dengan menumpang mobil Asri Nugroho, saya meluncur ke rumah Leo Kristi di Karang Empat itu. Tiba di rumahnya, benar, dia sedang melukis. Rumahnya yang agak aneh, karena di dinding-dinding tersandar ada perahu, jaring, dan dayung-dayung di pohon randu yang ada di dalam rumah. Terpajang juga beberapa lukisan abstraknya yang berukuran besar-besar itu. Sungguh saya senang bisa ikut berkunjung ke rumahnya itu. Aneh dan sekaligus cerminan rumah seniman.




            Tapi ada yang menarik dalam kunjungan itu, ketika kami sama-sama melihat tayangan Ebiet G Ade, di televisi, dia bertanya pada saya, “Pira jumlahe rek, albume Ebiet?”
            Saya jawab dengan sekenanya, “Wah....ya wis huakeh, Rek!”
            “Iya....rek, awake dhewe, kalah akeh!” kata Leo Kristi.
            Dalam dialog itu, tampak bahwa Leo Kristi merasakan bahwa ia kurang produktif dalam karya album yang dibuatnya. Padahal seingat saya, kemunculan Leo Kristi, memang lebih dulu katimbang Ebiet G Ade. Tapi menurut saya pribadi, nasib memang tak selamanya tertib. Dan pilihan, serta kesunggguhan berkarya dalam berkesenian memang tidak harus sama. Leo Kristi, telah memilih jalur konser rakyat! Dan itu pilihan berat, tepat sekaligus bermatabat! Selamat, dan salut, Cak!

                        *                      *                      *
            Sosok yang suka pakai celana pendek, bertopi, bersepatu putih adalah gambaran Leo Kristi yang nyentrik ini. Dia suka pula mengikat rambutnya dengan ada bulu (lar) ayam atau burung (tak jelas) di sela rambutnya itu. Selalu senyuman ramah yang tersungging di bibirnya, jika bertemu siapa saja. Namun kenyentrikannya, tidak lepas dari persoalan sosial semacam mau takziah ketika seorang teman seniman meninggal dunia.


            Waktu itu, aku bersama dia ikut takziah pemakaman Mas Yunani Prawiranegara, yang dikuburkan di Surabaya utara. Selepas pemakaman, aku berjalan pulang bersamanya, melalui jalan setapak saja. Karena panas mentari menyengat kami berdua, berhentilah di bawah pohon kamboja dekat jalan setapak itu. Dari arah utara menuju ke selatan itu hanya jalan setapak, dan waktu itu akan lewat Prof. Dr. Tjuk Sukiadi yang sama-sama takziah.
            Lantas secara guyonan aku bicara sama dia, “Sik-sik.... nanti Pak Tjuk Sukiadi lewat jalan ini, apakah beliau akan menyapa Anda atau tidak? Jika tidak, maka kau memang tidak terkenal di kota Surabaya.”
            Leo menjawab,”Oke! Kita lihat saja nanti!” tandasnya.
            Ternyata ketika Pak Tjuk lewat, tidak menyapa, bahkan menoleh pun tidak!
            Setelah Pak Tjuk Sukiadi berlalu agak jauh, lantas kami berdua ngakak bersama-sama, dan berucap bareng-bareng, “Ternyata kita tidak terkenal di Surabaya!”
            “Hidup memang ternyata sungguh tidak dinyana. Kita bisa terkenal di blantika musik atau sastra, tapi tidak ada apa-apanya, ketika di blantika pemakaman semacam ini,” kataku sambil kami beriringan menuju parkiran.
            Leo Kristi hanya mengiyakan kata-kata saya tadi, sambil tertawa.
            Siang itu panas begitu menyengat, Leo Kristi pulang dengan motor Ninja warna hijaunya, dan aku numpak Honda lawas yang kupunya. Selamat jalan, Mas Yunani! Selamat jalan juga buat Leo Kristi!***(aming aminoedhin).

Tidak ada komentar: