Selasa, 11 Juli 2017

TENTANG LEO KRISTI



CERITA TENTANG LEO KRISTI
Oleh: Aming Aminoedhin

            Penghujung tahun lalu, tepatnya 22-27 Desember 2016, ketika Cak Poeng pameran tunggal seni rupa di Galeri Dewan Kesenian Surabaya. Entah hari keberapa pameran (lupa), saya mampir ikut nontok pamerannya, kebetulan bertemu dengan Leo Kristi. Waktu itu hujan memang membasahi kota Surabaya. Sejak selepas Isya hingga menjelang parak pagi tiba. Jalanan basah, dan aku enggan melangkah pulang ke rumah. Bincang lukisan terasa begitu indah! Lebih lagi ada si Leo Kristi yang juga baru saja pameran lukisan di sini.

            Pengunjung pameran, ketika itu memang tidak banyak jumlahnya. Sehingga kami bisa sangat leluasa berbincang panjang dengan Cak Pung, Saya, Leo Kristi, dan Widodo Basuki, serta Mr. X yang mengaku dari Madura. Secara kebetulan Mr. X kenal sekali dengan Cak Pung sejak lama. Sehingga perbincangan kian seru soal sketsa, lukisan, dan pameran lukisan.
            Dalam bincang panjang tersebut, Mr. X mengaku sebagai pemalsu lukisan, para pelukis terkenal Indonesia. Buat dia, hal itu biasa saja, dan tidak merasa berdosa. Saya, Leo Kristi, dan Widodo Basuki; jadi ngakak dibuatnya. Tidak hanya ngakak, tapi terbelalak menganga!
            “Kok masih ada umat kayak dia ya?” kami bertiga bertanya-tanya.
            Selanjutnya kian serulah, kami bertiga melontarkan pertanyaan-pertanyaan  kepada Mr. X yang ternyata tidak tahu persis siapa yang dihadapi waktu itu. Cerita tentang bagai-mana cara melukis persis seperti aslinya, dan kemudian cara menjualnya kepada kolektor lukisan. Bagaimana pula membeli kurator atau kritikus seni rupa. Termasuk bicara siapa kritikus seni rupa yang bisa dibayar, dan siapa pula yang tidak bisa dibayar. Bicara pula siapa kolektor yang suka terima lukisan palsu, dan banyak lagi tentang lukisan asli dan lukisan palsu. Sungguh, perbicangan lukisan seru kala itu.

            Di luar galeri DKS, hujan masih saja turun. Kian deras, dan kian pula kami bertiga merasa menemukan kawan baru yang asyik diajak bicara soal lukisan-lukisan. Bahkan telah berbatang-batang rokok kami sulut habis, cerita tentang lukisan palsu dan orang yang meng-aku pernah memalsu itu, belum juga habis ceritanya.
            Terselip juga perbincangan bisik-bisik saya dan Leo, bahwa orang ini gila juga. Bera-ni mengaku sebagai pemalsu lukisan pelukis terkenal. Bahkan ketika saya katakan pada Mr. X, bahwa yang dihadapi itu adalah Leo Kristi, dia baru terjaga. Tersadar, dan kemudian berkata, “Bagaimana kalau dia mau mengundang Leo Kristi di Madura?”
            Mr. X bilang, “Nama Leo Kristi bisa dijual di Madura,” katanya.
            Leo Kristi menjawab, “Ya, nanti sama Aming Presiden Penyair Jatim ini. Saya nyanyi, dan Aming Aminoedhin baca puisinya.”
            Kemudian Mr. X minta nomor hape Leo Kristi, dan berjanji akan mengundang kami ke Madura, untuk tampilan pentasnya. Tapi hingga Leo tiada (21/5/2017), tak ada kabar beritanya. Hanya angan-angan belaka!!!
            Lewat tengah malam, waktu itu hujan masih menetes, tapi tipis tinggal rimis saja. Sang troubador Leo Kristi pamit mau pulang, katanya “Aku mau packing Ming, esok pagi mau ke Bandung!”
            “Oh...ya selamat jalan, Cak! Semoga lancar dan sukses!” jawabku.
            Dengan sepeda motor maticnya, dia meluncur ke luar dari kompleks Balai Pemuda Surabaya. Malam terasa beku, meski merasa kehangatan bincang bersamanya penuh tawa, pada bincang terakhir kali di Balai Pemuda Surabaya itu. Akhir tahun 2016 lalu.
            Selamat jalan, Leo Kristi. Semoga senyummu terkembang walau kausendiri, seperti potongan syair lagumu “Kereta Laju” (serasa melayang serasa terbang senyumku terkembang walau kusendiri). *** (aming aminoedhin)



Tidak ada komentar: