Selasa, 18 Februari 2014

MAJALAH SENI BUDAYA DAN SASTRA JATIM



MAJALAH SENI BUDAYA DI JATIM
Oleh: Aming Aminoedhin*)


            Sastra sebagai salah satu cabang seni, cukuplah banyak digemari oleh masyarakat di Jawa Timur.  Hal tersebut dapat terlihat dari maraknya keberadaan komunitas sastra, baik Indonesia maupun Jawa yang hidup dan berkembang di Provinsi Jawa Timur. Komunitas-komunitas tersebut misalnya: FASS (Forum Apresiasi Sastra Surabaya), Forasamo (Forum Apresiasi Sastra Mojokerto), Sanggar Sastra Kalimas (Unesa), Komunitas Sastra Rabo Sore (Unesa), FS3LP (Forum Studi Sastra  & Seni Luar Pagar Unair), FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya),  Komunitas Sastra Teater Persada (Ngawi), Komunitas BMS (Bengkel Muda Surabaya), Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan), KSLP (Komunitas  Sastra Lembah Pring - Jombang), KSE (Komunitas Sastra Esok - Sidoarjo), KARS (Komunitas Alam Ruang Sastra – Sidoarjo), dan mungkin masih banyak lagi. Sementara komunitas sastra Jawa, ada Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), Sanggar Sastra Jawa Triwida (SSJT) Tulungagung, dan Sanggar Sastra Parikuning (SSP) di Sempu, Banyuwangi.





            Banyak pula naskah karya sastra yang ditulis sastrawan Jawa Timur, selain berupa buku, juga berupa karya-karya lepas yang termuat di berbagai media-massa (surat kabar dan majalah), baik terbitan lokal Jawa Timur maupun nasional. Karya tersebut dapat berupa buku prosa (cerita pendek/cerita sambung), puisi, bahkan naskah drama. Sedangkan mereka yang masih pemula, banyak pula yang menulis di ruang-ruang dunia maya atau internet, semacam: facebook, blogspot, twitter, wordpress dan lain sebagainya. Sebagian yang lain, malah buat kumpulan puisi atau cerpen sendiri, dan kemudian dibacakan pada forum-forum diskusi sastra, yang kini kian menjamur di Jawa Timur. Baik yang diselenggarakan di ibu kota provinsi, Surabaya, atau kota-kota di wilayah Jawa Timur, semacam: Jombang, Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, Lamongan, Lumajang, Malang, Jember, Banyuwangi, Ngawi,   dan mungkin masih banyak lagi.

            Fenomena semacam ini tentunya sangatlah menggembirakan bagi masyarakat sastra Jawa Timur, dan hal ini tentunya, layak untuk diakomodasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Semisal dibuatkan sendiri majalah Sastra dan Budaya tingkat Jawa Timur. Mengapa demikian?
            Sebab selama ini, majalah sastra Horison, satu-satunya majalah sastra di Indonesia itu, tidak lagi bisa menampung karya-karya sastra yang membludak (baik dari Jatim maupun karya-karya sastra dari provinsi lain) yang cakupannya se-Indonesia.
            Di Jawa Timur sendiri, karya sastra yang dilahirkan telah begitu banyaknya. Terbukti dengan banyaknya komunitas-komunitas sastra menerbitkan karyanya sendiri, tanpa pernah kita ketahui, apakah pernah dimuat di sebuah koran atau majalah. Meski sebenarnya hal tersebut tidak menjadikan ukuran baik-tidaknya sebuah karya sastra, tapi setidaknya bisa dijadikan semacam parameter sementara; bahwa karya-karya tersebut telah terseleksi oleh dewan redaksi sebuah koran atau majalah yang telah memuatnya.
Hal tersebut akan lebih baik, ketika naskah-naskah sastra karya sastrawan muda Jatim itu, bisa ditampung dalam sebuah majalah sastra sendiri, terbitan Jawa Timur. Tidak ikut nebeng (gabung) nama di majalah sastra satu-satunya di Indonesia, bernama Horison, yang mana mereka harus berjuang melawan antrian panjang dari para penulis lain di luar Jawa Timur. Sungguh, kerja yang melelahkan!
            Nah... apabila Jawa Timur punya majalah sastra sendiri, antrian panjang melelahkan itu akan bisa sedikit kita kurangi. Sekaligus menampung kreativitas sastrawan muda yang kian membludak jumlahnya.

Majalah Sastra Jatim, Mungkinkah?

            Sekian tahun yang lalu, sekitar tahun 1980-1990-an,  membuat semacam majalah kebudayaan yang memuat sastra di Jawa Timur memang telah dirintis oleh beberapa komunitas sastra. Pertama, Teater Ideot, yang diprakarsai oleh Muhammad Sinwan, dengan menerbitkan majalah kebudayaan ‘Iklim’. Kedua, komunitas Sanggar Sastra Kalimas, yang dimotori Tengsoe Tjahjono (IKIP Surabaya, sekarang Unesa) menerbitkan majalah kebudayaan ‘Kalimas’ Surabaya.
Dua majalah yang berlabel ‘majalah kebudayaan’ ini banyak memuat karya sastra, baik cerpen dan puisi. Hal ini disebabkan redaksi pengelolanya berangkat dari mahasiswa jurusan bahasa dan sastra Indonesia, dan pemain teater. Sehingga tidaklah salah, jika banyak memuat karya sastra.
            Akan tetapi dua majalah ini tidak bisa bertahan lama. Di samping tidak didukung dana yang kuat, juga kesulitan dalam menjual, dan mendistribusikan majalahnya.
            Sedangkan majalah berlabel ‘Buletin DKS’ yang diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya pada waktu itu, juga tidak bertahan lama penerbitannya. Lantas buletin itu pun tidak terbit tanpa diketahui sebabnya. Tapi syukurlah, kini ada gantinya, “Alur” yang juga diterbitkan Dewan Kesenian Surabaya. Moga-moga bisa bertahan, dan jadi alternatif bagi para penulis sastra Jawa Timur, utamanya kaum muda.         Ada juga majalah “Pandom” jurnal budaya Surabaya, tak lama terbit juga mati. Sementara majalah seni dan budaya‘Kidung’ terbitan Dewan Kesenian Jawa Timur, meski tetap terbit, tapi tidak kontinyu sebulan sekali terbitannya. Bahkan distribusi majalah ‘Kidung’ juga tidak menjangkau luas kepada masyarakat. Begitu pula majalah ‘Bende’ terbitan Dikbangkes Jatim, tidak menjangkau banyak masyarakat luas di Jawa Timur.
            Di tengah hiruk pikuknya anak-anak muda sekarang lagi keranjingan menulis sastra (cerpen maupun puisi), maka selayaknyalah Pemerintah Provinsi Jatim, c.q Dewan Kesenian Jawa Timur, untuk membuat majalah sastra Jatim sendiri. Atau memperbaiki penerbitan dan distribusinya majalah seni dan budaya ‘Kidung’ itu menjadi terbit secara kontinyu, setiap sebulan sekali. Memuat karya sastra, yang berupa prosa, puisi, dan naskah drama. Apa lagi kini ketua DKJT baru, baru saja terpilih kedua kalinya.
            Jawa Timur punya banyak nama-nama sastrawan yang cukup disegani di tingkat Nasional, seperti: Budi Darma, Suparto Brata, Akhudiat, D. Zawawi Imron, dan seabreg yang lain. Lantas ada nama-nama yang lebih muda: Tengsoe Tjahjono, Sabrot D. Malioboro, Suharmono Kasijun, Beni Setia, Rusdi Zaki, Bonari  Nabonenar, M. Shoim Anwar, Aming Aminoedhin, Herry Lamongan, R. Giryadi, Widodo Basuki, Tjahjono Widarmanto  & Widijanto, Mashuri, HU Mardiluhung, W. Haryanto, Indra Tjahyadi, , Zoya Herawati, Wina Bojonegoro,  Sirikit Syah, dan banyak lagi.
            Nama-nama para sastrawan tersebutlah yang sebenarnya bisa mejadi tim redaksi majalah sastra budaya  Jatim yang akan kita buat nanti. Nama-nama mereka itu cukuplah handal untuk bisa menyeleksi naskah masuk yang mungkin akan berjibun jumlahnya.
            Persoalannya sekarang, apakah Pemerintah Provinsi Jawa Timur (cq DKJT), benar-benar mau menerbitkan majalah sastra Jatim sendiri? Atau barangkali melalui UPT Dikbangkes majalah itu bisa diterbitkan?
            Harapannya, majalah seni budaya tersebut, jika terbit haruslah menjangkau banyak masyarakat seni secara luas di Jawa Timur. Utamanya para guru seni budaya di sekolah. Adakah bisa? Saya pikir masih bisa!
            Mungkinkah? Sangat mungkin!
                                                                                    Desaku Canggu,  27/12/2013




*)  Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS), dan tinggal di Canggu, Mojokerto.

WIDODO BASUKI BERPESAN KEPADA KITA



PESAN PENGGURIT SASTRA JAWA
oleh: aming aminoedhin*


Memeringati hari  ‘Sumpah Pemuda’ perlu kiranya mengingat pada amandemen pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Maka selayaklah apabila kehidupan, serta perkembangan bahasa dan sastra Jawa  haruslah dijaga kelestariannya. Terlebih lagi kehidupan bahasa dan sastra Jawa pada era globalisasi sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan peradaban manusia yang penuh dengan kemajuan teknologi informasi, frekuensi dan intensitas interaksi, dan komunikasi manusia antarbenua yang makin hari makin meningkat. Dalam situasi seperti inilah kehidupan bahasa dan sastra Jawa menunjukkan fenomena yang makin kompleks.
Perjalanan panjang sejarah  bahasa dan sastra Jawa mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan penguasa dan sikap pemiliknya akibat pengaruh lingkungan yang datang silih berganti. Begitu pula dalam hal penerbitan majalah berbahasa Jawa, juga mengalami pasang surut. Tercatat pada tahun 1970-1980-an ada beberapa majalah berbahasa Jawa, seperti: Jaya Baya, Panjebar Semangat, Mekar Sari, dan Djaka Lodhang. Dua majalah yang disebut terakhir adalah terbitan dari kota Yogyakarta, sedangkan dua majalah terdahulu adalah terbitan dari kota Surabaya. Majalah Djaka Lodhang hingga kini masih terbit, tapi Mekar Sari sudah tidak lagi terbit. Beberapa tahun terakhir malah dijadikan suplemen pada setiap hari Minggu, di surat kabar Kedaulatan Rakyat  yang juga terbit di Yogjakarta.
            Melalui penerbitan dua majalah berbahasa Jawa bernama Jaya Baya dan Panjebar Semangat yang terbit di Surabaya, termasuk wilayah provinsi Jawa Timur inilah, perkembangan bahasa dan sastra Jawa  bisa berkembang di Jawa Timur. Perkembangan itu terjadi karena dua majalah inilah yang banyak memuat karya-karya sastra berupa cerita pendek atau cerita cekak, dan puisi atau geguritan yang berbahasa Jawa.
             Dewasa ini kita banyak menjumpai hasil karya sastra Jawa modern, entah berbentuk puisi (geguritan), cerita pendek (cerita cekak), novel, dan drama yang mengambil bahan dari budaya dan sastra tradisional, baik pengambilan secara substansi maupun dalam bentuk pengutipan dari sastra tradisional. Kehadiran karya sastra Jawa modern di Jawa Timur tidak terlepas dari situasi sosial, budaya, dan politik. Bahkan tampak sangat kentara kaitan antara sastra dengan situasi dan peristiwa sosial, budaya, dan politik. Secara garis besar perkembangan sastra Jawa modern  di Jawa Timur dapat dibagi pada masa sebelum kemerdekaan, dan sastra pada masa setelah kemerdekaan.             Tidaklah dapat dipandang aneh jika persoalan-persoalan yang terjadi dalam karya sastra, apakah itu puisi, cerita pendek maupun novel yang menyiratkan kaitan yang signifikan dengan berlangsungnya kehidupan sosial, budaya, dan politik sejalan dengan perkembangan zaman.
Tidak hanya karya-karya sastra yang dimuat di majalah berbahasa Jawa, tapi para pengarangnya pun, tidak segan-segan menerbitkan sendiri buku-buku karya sastra Jawanya. Mendanai sendiri atau bersama komunitasnya, menerbitkan karyanya, lantas mengedarkan, atau membacakannya di ruang publik komunitas sastra. Jika mau mencatat ada nama-nama pengarangnya, sebut saja: Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, Trinil, Suparto Brata, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Aming Aminoedhin, Tito Setyo Budhi, Herry Lamongan, Pringgo HR, Widodo Basuki, Jarot Setyono, Djoko Prakosa, Ary Nurdiana, Indri S. Diarwanti,  Djajus Pete, JFX Hoery, dan masih banyak lagi.

Guritan Bun-Bun Tumetes

Di tengah hiruk pikuk penerbitan karya sastra yang begitu banyaknya itu, tulisan pendek ini hanya akan membicarakan salah satu di antaranya. Sebuah antologi geguritan bertajuk ‘Bun-Bun Tumetes’ karya Widodo Basuki. Buku ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) pada Agustus 2010 lalu. Antologi yang sangat sederhana ini memuat 22 judul guritan yang kebanyakan cukup pendek-pendek. Secara angka tahun penulisan ada 8 judul guritan ditulis tahun 2006, ada 6 judul berangka tahun 2006, tahun 2001,  2003, dan 2005 masing-masing termuat 2 judul guritan. Sedangkan masing-masing satu judul guritan, berangka tahun 2008 dan 2010. Sampul bukunya yang juga sederhana, foto wayang kardus bergambar ‘Semar’ buatan pengarangnya Widodo Basuki sendiri.



Keseluruhan geguritan Widodo Basuki hampir bicara soal hidup dan kehidupan manusia di bumi ini, dan beberapa judul guritan memokuskan persoalan kehidupan manusia Jawa. Sebut saja guritan yang berjudul ‘Sasmita’  (hal.3) yang dalam baris-baris terakhirnya berbunyi: oooo....... wong jawa//iki wis ngancik jaman majuning kawruh//geneya isih wanuh// ing kapercayan kang lusuh// (ooo... orang jawa//di jaman ilmu pengetahuan modern//kenapa masih bergaul//dengan kepercayaan tahyul//).
Pada guritan lain, berjudul ‘Dongeng Mistis’ (hal. 10) pengarang malah menutup guritannya dengan kalimat: wong jawa//senengane dolanan nyawa//. (orang jawa //senangnya bermain-main dengan nyawa/).
Berbicara soal hidup dan kehidupan anak manusia, Widodo Basuki, sebagai penggurit memang mempunyai kecermatan dalam mengolah guritnya. Beberapa naskah guritnya cukup memberikan pencerahan bagi pembacanya. Tentunya, orang-orang yang paham akan bahasa Jawa. Beberapa guritan nyemoni (menyindir) bagi pembacanya, yang  biasanya banyak omong tapi tak berbuat apa-apa. Hal itu diumpamakan sebagai suara anjing yang membikin berisik di telinga.
Guritan itu dituliskan berjudul ‘Mbaung’ (hal. 14) yang secara keseluruhan naskahnya berbunyi: swara asu//mbaung//brebegi kuping//manasi jantung//--ah,//selawase asu mbaung//dianggep nggawa kabar ala// asu//mbaung//bareng bathara kala//nandur memala// -- aja gela// (suara anjing//menggonggong//berisik di telinga//menggetarkan jantung//-- ah,//selamanya anjing menggonggong//dipercaya membawa kabar jelek//anjing//menggonggong//bersama bethara kala//menebar bencana//-- jangan sakit hati//.
Pada bagian lain, Widodo, juga bicara soal politik yang dikaitkan dengan rakyat yang tetap melarat dan kesrakat, guritan ‘Tengara’ (hal.16) bicara akan hal itu. Coba simak baitnya yang berbunyi:mung pitakonku//wiwit biyen nganti saiki//nasibe dimar ublik//tansah dipolitisasi//kanggo pribadi//yagene?// (hanya  pertanyaanku// dari dulu hingga sekarang//nasibnya dimar ublik (rakyat)//tetap dipolitisasi//buat pribadi seseorang// kenapa?).
Sementara itu, jika kita mau cermat membaca, karya guritan yang dijadikan judul buku ‘Bun-Bun Tumetes’ (hal. 1) maka kita akan diingatkan bahwa waktu selalu berjalan. Seperti dituliskan dalam bait kedua: urip winengku ing kodrat//rambut sijiloro saya putih//rebut wektu// (hidup bergantung kodrat//satu dua rambut kian memutih//mengejar waktu//). Maka perlu kiranya kita sebagai manusia untuk terus tetap waspada, dan sekecil embun yang jatuh menetes itu akan mendinginkan kerasnya hati ini.
Widodo Basuki, sebagai penggurit telah mengingatkan pesan kepada kita semua, sebagai anak manusia agar tidak berlaku sewenang-wenang pada hidup dan kehidupan ini. Tinggal kita, sebagai manusia, adakah mau peduli?

                                                                                    Desaku Canggu, 30/08/2012.



*               Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)

RESENSI MALSABARU





“MEMBACA” GURU MELALUI PUISI

 











Oleh: Ummi Mukharomah Hariyanti
Guru SMAN 2 Ngawi


Judul Buku      : Malsabaru 2011
                        Malam Sastra bagi Guru, Antologi Puisi dan Geguritan
Kurator           : Akhudiat, Suharmono Kasijun, dan Aming Aminoedhin
Penerbit          : Forum Sastra Bersama Surabaya,UPT Dikbangkes
                         Dinas  Pendidikan Provinsi Jawa Timur
Cetakan          : Pertama, Mei 2011
Tebal              : ix + 145 halaman

          Guru konon harus digugu dan ditiru, juga dalam kehidupan kesehariannya, tidak hanya ketika di depan kelas untuk mengajar, tetapi juga ketika  di luar kelas dengan semua aktivitasnya.  Antologi puisi dan geguritan ini berisi hasil penglihatan, perasaan,pemikiran,  perenungan  guru-guru di Jawa Timur.
          Buku antologi puisi dan geguritan  yang diberi judul Malsabaru 2011  (Malam Sastra bagi Guru 2011)  sebenarnya disiapkan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2011, namun sayang baru  sampai pada pembaca bulan April 2012 ini. Akan tetapi hal itu tidak mengurangi makna upaya  para guru dalam memperingati Hardiknas tahun lalu maupun  tahun ini.
          Dalam Catatan Aming Aminoedhin sebagai koordinator Malsabaru menuliskan bahwa antologi puisi dan geguritan ini diharapkan sebagai wadah kreativitas guru dalam penulisan karya sastra. Juga sebagai media berekspresi, sekaligus aktualisasi diri, bahwa guru tidak hanya mengajar di kelas,tapi dapat tampil dalam forum sastra berskala Jawa Timur dengan menghasilkan puisi.
          Puisi dan geguritan yang terdapat pada antologi puisi dan geguritan yang bertajuk Malsabaru 2011, rencananya akan dibacakan oleh penulisnya pada acara Malam Sastra bagi Guru di Surabaya tidak lama lagi. Acara ini bekerja sama dengan UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur yang memberi wadah bagi para guru sekaligus memprakarsai acara ini. Kita tunggu penampilan para guru sebagai penyair dan bukan sebagai pengajar.
          Antologi puisi dan geguritan yang berisi 94 puisi dan 23 geguritan ini ditulis oleh 41 guru atau mantan guru yang sekaligus penyair di Jawa Timur yang disebut sebagai para guru penyair dan penggurit (seperti yang disampaikan UPT Dikbangkes –Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Drs. H. Karsono,M.Pd pada kata pengantarnya).
          Para  guru dan mantan guru PAUD, TK, SD, SMP, SMA, yang menulis pada buku ini berasal dari daerah di seluruh Jawa Timur. Dari Jawa Timur sebelah barat, beberapa guru dari Ngawi ikut menyumbangkan puisinya, yaitu Junaedi Haes (guru SMA 2  Ngawi), Kuspriyanto Namma (guru MAN Ngawi), kembar Tjahjono Widianto dan Tjahjono Widarminto (guru SMA 1 dan SMA 2 Ngawi), Anas Yusuf (guru MA di Madiun), Arim Kamandaka dan Ary Nurdiana( guru SD di Ponorogo). Dari Jawa Timur bagian tengah  terdapat  Faradina Izdhihary (guru SMAN 1 Batu), Bonari Nabonenar (guru SMAN 1  Panggul, Trenggalek). Dari Madura terdapat M. Tauhed Supratman.                   
          Dari 41 guru dan mantan guru yang mengisi antologi puisi dan geguritan ini   ternyata terselip beberapa dosen, yaitu Akhudiat yang menjadi dosen luar biasa Fakultas Adab di IAIN  Sunan Ampel Surabaya, Tengsoe Tjahjono yang mengajar di Universitas Negeri Surabaya, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang dikenal juga sebagai penyair Jawa Timur dan bergelut di dunia sastra. Lantas ada juga Suharmono Kasijun, juga dosen Unesa.
          Dengan puisi dan geguritan para guru dapat menceritakan kesehariannya, mengabdi pada negeri, menjadi penuntun pencari ilmu. Seperti puisi karya Junaidi Haes berikut yang berjudul” Nyanyi Sunyi Sang Guru”, Tiga puluh tahun sudah/Aku menjadi bagian pengasuh anak-anak/Di negeri yang semakin lusuh ini/Entah berapa miliar kata /Telah terlempar dari mulut ini/Apakah jadi pupuk atau racun hati/...( halaman 55).
          Sedang puisi karya Kuspriyanto Namma yang berjudul “Epik Sang Guru’ berikut menghadirkan dilematis guru dalam menjalankan tugas yang setiap tahun harus dilakoni, antara target kelulusan dan kejujuran yang kadang berseberangan tak dapat berjalan beriringan, sehingga tidak sesuai dengan hati nurani guru. Yang paling menyedihkan adalah/menjadi pengawas Ujian Nasional/tak bisa menolak tugas/tak berani melanggar sumpah/datang pagi-pagi/telinga harus siap diceramahi tiap hari/.............../.Pengawas-pengawas ruangan/memilih jalan aman/membiarkan kecurangan mekar/dalam pot-pot kebohongan/dalam mata terpejam/hati dirajam-rajam ( halaman 56)
          Salah satu geguritan dalam kumpulan puisi dan geguritan Malsabaru 2011 yang digurit Sumomo Sandy Asmoro dengan gaya kontemporer dan satire melukiskan kondisi guru zaman kini yang dituntut bersertifikasi  dengan  segala bentuk konsekuensi, kadang harus berani menjadi musuh teman sendiri yang seharusnya dirangkul dan dihormati. Betapa nelangsa nasib guru yang dikejar sertifikasi menjadi lupa diri. Geguritan yang berjudul  “Jam Guru”  itu lengkapnya sebagai berikut : jam pitu jam pamit/jam budhal jam medhal/jam mulang jam meling/jam ngaso jam loyo/jam kosong jam kopong/jam rapat jam kilat/Jam piket jam molet/jam mulih jam ngelih/jam les jam bares/jam ngomah jam lungkrah/jam mangan jam,ngombe jam, adus jam, nguras jam/turu jam, ngimpi jam, nglirik jam/ngarang jam/jam ngelih, jam nyilih, jam ringkih, jam jaman sertifikasi/  jambak-jambakan rebutan /Jam (halaman 137}
          Selain berisi aktivitas guru dalam mendidik, antologi puisi dan geguritan Malsabaru 2011 juga menyampaikan bahwa guru adalah manusia biasa, yang menyayangi orang-orang di sekitarnya, tentang petani, tentang Tuhan , tentang  perjuangan dan sebagainya. Berikut puisi karya Uyun S. Wahyuni, guru yang mendekatkan diri dengan Tuhannya ,” Tahajud” Tengah malam nan dingin, sunyi mencekam dan menggigil/ Aku sendiri menghadapMu Ya Rob:/ Aku rindu menangis di hadapanMU/ Mengharap belas kasihMu dan/Melelehkan batu di dadaku ( halaman 105). Ya, guru walaupun harus digugu dan ditiru adalah manusia biasa yang sangat bergantung pada Tuhan yang Maha Kuasa, yang semua aktivitasnya bersumber kepadaNya. Kita patut bersyukur masih kita temukan guru-guru yang religius, insyaallah akan mendidik murid-muridnya berlandaskan religiusitas. Dan inyaallah akan menghasilkan siswa-siswa yang religius hingga akan kita temukan generasi yang religius yang membawa negeri ini menjadi lebih baik. Dapat  dikatakan, dari puisi-puisi dan geguritan di atas menyampaikan pada kita bahwa sebagian guru masih mengedepankan hati nurani dibalik carut-marut pendidikan di negeri ini. Karena dengan membaca antologi puisi dan geguritan ini membantu pembaca dalam menyikapi dunia pendidikan, memahami guru-guru, juga dapat memberi gambaran guru sebagai teladan yang masih patut digugu dan ditiru.
          Buku antologi puisi dan geguritan yang diterbitkan Forum Sastra Bersama Surabaya, UPT Dikbangkes Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur ini dikemas dengan sederhana, walaupun sampulnya memakai kertas mengilat, namun letak penulisan puisi kurang tepat, hingga sedikit mengganggu pembaca. Antologi puisi dan geguritan Malsabaru 2011 ini dilengkapi dengan data penulis, tapi sayang kurang lengkap hingga pembaca kesulitan bila ingin mengetahui  riwayat penulis.
          Buku antologi puisi dan geguritan yang ditulis oleh para guru ini (guru sebagai profesi) diharapkan dapat menginspirasi profesi lain juga mau menulis puisi. Akan kita temukan mungkin puisi yang ditulis para dokter (apa kabar Bang Taufiq Ismail?), jurnalis, advokat atau mungkin para petani,  mungkin juga menteri mau menulis puisi, karena dengan puisi kita dapat menyuarakan apa yang terdapat dalam hati tanpa menyakiti hati.  Sejalan dengan Tengsoe Tjahjono yang menuliskan dalam blognya Kota Puisi, ketika zaman terluka, puisi jadi harapan/bukan untuk menyembuhkan, namun/ cermin jujur yang setia menampilkan wajah kita. Ha, tulislah selalu tanpa sak wasangka!
          Dengan membaca antologi puisi dan geguritan Malsabaru 2011 ini, kita akan mencoba memahami guru, karena buku ini membantu pembaca mengetahui hati nurani guru dalam mendidik bangsa negeri ini. Untuk paraguru lainnya, buku ini dapat dipakai sebagai referensi atau malahan melecut diri dalam berkreasi. Untuk parasiswa, buku ini dapat dipakai sebagai upaya mengapresiasi karya sastra sekaligus mengapresiasi guru yang telah memandaikan Anda. Pasti salah satu pembaca tulisan ini ada yang pernah menjadi siswa mereka. Anda mungkin?
Jayalah paraguru Indonesia, selamat memperingati Hari Guru Nasional 2012. ****             

 
Biodata Penulis Resensi
Ummi Mukharomah Hariyanti
Lahir di Ngawi, 29 Mei 1963
Alumni IKIP Yogyakarta (sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta), jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Semasa kuliah aktif di pers kampus mahasiswa dan menjadi penulis berita lepas di surat kabar Berita Nasional dan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta.
Sekarang menjadi guru di SMA Negeri 2 Ngawi
Alamat rumah, Jalan Letjen Sutoyo, Gang Bratang II H, RT 10 RW 02 Ngawi – 63217