Selasa, 18 Februari 2014

WIDODO BASUKI BERPESAN KEPADA KITA



PESAN PENGGURIT SASTRA JAWA
oleh: aming aminoedhin*


Memeringati hari  ‘Sumpah Pemuda’ perlu kiranya mengingat pada amandemen pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.” Maka selayaklah apabila kehidupan, serta perkembangan bahasa dan sastra Jawa  haruslah dijaga kelestariannya. Terlebih lagi kehidupan bahasa dan sastra Jawa pada era globalisasi sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan peradaban manusia yang penuh dengan kemajuan teknologi informasi, frekuensi dan intensitas interaksi, dan komunikasi manusia antarbenua yang makin hari makin meningkat. Dalam situasi seperti inilah kehidupan bahasa dan sastra Jawa menunjukkan fenomena yang makin kompleks.
Perjalanan panjang sejarah  bahasa dan sastra Jawa mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan penguasa dan sikap pemiliknya akibat pengaruh lingkungan yang datang silih berganti. Begitu pula dalam hal penerbitan majalah berbahasa Jawa, juga mengalami pasang surut. Tercatat pada tahun 1970-1980-an ada beberapa majalah berbahasa Jawa, seperti: Jaya Baya, Panjebar Semangat, Mekar Sari, dan Djaka Lodhang. Dua majalah yang disebut terakhir adalah terbitan dari kota Yogyakarta, sedangkan dua majalah terdahulu adalah terbitan dari kota Surabaya. Majalah Djaka Lodhang hingga kini masih terbit, tapi Mekar Sari sudah tidak lagi terbit. Beberapa tahun terakhir malah dijadikan suplemen pada setiap hari Minggu, di surat kabar Kedaulatan Rakyat  yang juga terbit di Yogjakarta.
            Melalui penerbitan dua majalah berbahasa Jawa bernama Jaya Baya dan Panjebar Semangat yang terbit di Surabaya, termasuk wilayah provinsi Jawa Timur inilah, perkembangan bahasa dan sastra Jawa  bisa berkembang di Jawa Timur. Perkembangan itu terjadi karena dua majalah inilah yang banyak memuat karya-karya sastra berupa cerita pendek atau cerita cekak, dan puisi atau geguritan yang berbahasa Jawa.
             Dewasa ini kita banyak menjumpai hasil karya sastra Jawa modern, entah berbentuk puisi (geguritan), cerita pendek (cerita cekak), novel, dan drama yang mengambil bahan dari budaya dan sastra tradisional, baik pengambilan secara substansi maupun dalam bentuk pengutipan dari sastra tradisional. Kehadiran karya sastra Jawa modern di Jawa Timur tidak terlepas dari situasi sosial, budaya, dan politik. Bahkan tampak sangat kentara kaitan antara sastra dengan situasi dan peristiwa sosial, budaya, dan politik. Secara garis besar perkembangan sastra Jawa modern  di Jawa Timur dapat dibagi pada masa sebelum kemerdekaan, dan sastra pada masa setelah kemerdekaan.             Tidaklah dapat dipandang aneh jika persoalan-persoalan yang terjadi dalam karya sastra, apakah itu puisi, cerita pendek maupun novel yang menyiratkan kaitan yang signifikan dengan berlangsungnya kehidupan sosial, budaya, dan politik sejalan dengan perkembangan zaman.
Tidak hanya karya-karya sastra yang dimuat di majalah berbahasa Jawa, tapi para pengarangnya pun, tidak segan-segan menerbitkan sendiri buku-buku karya sastra Jawanya. Mendanai sendiri atau bersama komunitasnya, menerbitkan karyanya, lantas mengedarkan, atau membacakannya di ruang publik komunitas sastra. Jika mau mencatat ada nama-nama pengarangnya, sebut saja: Suharmono Kasijun, Bonari Nabonenar, Trinil, Suparto Brata, Sunarko ‘Sodrun’ Budiman, Aming Aminoedhin, Tito Setyo Budhi, Herry Lamongan, Pringgo HR, Widodo Basuki, Jarot Setyono, Djoko Prakosa, Ary Nurdiana, Indri S. Diarwanti,  Djajus Pete, JFX Hoery, dan masih banyak lagi.

Guritan Bun-Bun Tumetes

Di tengah hiruk pikuk penerbitan karya sastra yang begitu banyaknya itu, tulisan pendek ini hanya akan membicarakan salah satu di antaranya. Sebuah antologi geguritan bertajuk ‘Bun-Bun Tumetes’ karya Widodo Basuki. Buku ini diterbitkan oleh Dewan Kesenian Surabaya (DKS) yang bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) pada Agustus 2010 lalu. Antologi yang sangat sederhana ini memuat 22 judul guritan yang kebanyakan cukup pendek-pendek. Secara angka tahun penulisan ada 8 judul guritan ditulis tahun 2006, ada 6 judul berangka tahun 2006, tahun 2001,  2003, dan 2005 masing-masing termuat 2 judul guritan. Sedangkan masing-masing satu judul guritan, berangka tahun 2008 dan 2010. Sampul bukunya yang juga sederhana, foto wayang kardus bergambar ‘Semar’ buatan pengarangnya Widodo Basuki sendiri.



Keseluruhan geguritan Widodo Basuki hampir bicara soal hidup dan kehidupan manusia di bumi ini, dan beberapa judul guritan memokuskan persoalan kehidupan manusia Jawa. Sebut saja guritan yang berjudul ‘Sasmita’  (hal.3) yang dalam baris-baris terakhirnya berbunyi: oooo....... wong jawa//iki wis ngancik jaman majuning kawruh//geneya isih wanuh// ing kapercayan kang lusuh// (ooo... orang jawa//di jaman ilmu pengetahuan modern//kenapa masih bergaul//dengan kepercayaan tahyul//).
Pada guritan lain, berjudul ‘Dongeng Mistis’ (hal. 10) pengarang malah menutup guritannya dengan kalimat: wong jawa//senengane dolanan nyawa//. (orang jawa //senangnya bermain-main dengan nyawa/).
Berbicara soal hidup dan kehidupan anak manusia, Widodo Basuki, sebagai penggurit memang mempunyai kecermatan dalam mengolah guritnya. Beberapa naskah guritnya cukup memberikan pencerahan bagi pembacanya. Tentunya, orang-orang yang paham akan bahasa Jawa. Beberapa guritan nyemoni (menyindir) bagi pembacanya, yang  biasanya banyak omong tapi tak berbuat apa-apa. Hal itu diumpamakan sebagai suara anjing yang membikin berisik di telinga.
Guritan itu dituliskan berjudul ‘Mbaung’ (hal. 14) yang secara keseluruhan naskahnya berbunyi: swara asu//mbaung//brebegi kuping//manasi jantung//--ah,//selawase asu mbaung//dianggep nggawa kabar ala// asu//mbaung//bareng bathara kala//nandur memala// -- aja gela// (suara anjing//menggonggong//berisik di telinga//menggetarkan jantung//-- ah,//selamanya anjing menggonggong//dipercaya membawa kabar jelek//anjing//menggonggong//bersama bethara kala//menebar bencana//-- jangan sakit hati//.
Pada bagian lain, Widodo, juga bicara soal politik yang dikaitkan dengan rakyat yang tetap melarat dan kesrakat, guritan ‘Tengara’ (hal.16) bicara akan hal itu. Coba simak baitnya yang berbunyi:mung pitakonku//wiwit biyen nganti saiki//nasibe dimar ublik//tansah dipolitisasi//kanggo pribadi//yagene?// (hanya  pertanyaanku// dari dulu hingga sekarang//nasibnya dimar ublik (rakyat)//tetap dipolitisasi//buat pribadi seseorang// kenapa?).
Sementara itu, jika kita mau cermat membaca, karya guritan yang dijadikan judul buku ‘Bun-Bun Tumetes’ (hal. 1) maka kita akan diingatkan bahwa waktu selalu berjalan. Seperti dituliskan dalam bait kedua: urip winengku ing kodrat//rambut sijiloro saya putih//rebut wektu// (hidup bergantung kodrat//satu dua rambut kian memutih//mengejar waktu//). Maka perlu kiranya kita sebagai manusia untuk terus tetap waspada, dan sekecil embun yang jatuh menetes itu akan mendinginkan kerasnya hati ini.
Widodo Basuki, sebagai penggurit telah mengingatkan pesan kepada kita semua, sebagai anak manusia agar tidak berlaku sewenang-wenang pada hidup dan kehidupan ini. Tinggal kita, sebagai manusia, adakah mau peduli?

                                                                                    Desaku Canggu, 30/08/2012.



*               Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS)

Tidak ada komentar: