Jumat, 06 Agustus 2010

OBITUARI M. THALIB PRASODJO

Obituari M. Thalib Prasodjo
PELUKIS YANG PENYAIR JATIM*
Oleh: Aming Aminoedhin
Penyair, Ketua Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) dan mantan Biro Sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS)

*)artikel ini termuat di Harian Kompas Jatim, Jumat, 6 Agustus 2010.

Ketika itu Kamis pagi (5/8/2010) lalu, saya ikut takziah mengantarkan M. Thalib Prasodjo (pelukis/sketser) ke pemakaman umum di Taman Praloyo, Jalan Lingkar Timur, Sidoarjo; saya sempat bertemu beberapa seniman dan pelukis. Di antaranya: Akhudiat, Sabrot D. Malioboro, Henry Nurcahyo, Wadjie MS, Cak Poeng, Dhargandhen, Surachman KS, dan Haryadjie BS.
Dari pertemuan tersebut, yang paling menarik dan berkesan atas ketokohan Mbah Thalib, adalah berbincang dengan Harryadjie BS. Sebab, ketika saya menanyakan tentang puisi-puisinya, dia menjawab, bahwa sekarang ia tak lagi bisa menulis puisi. Tapi ia lebih banyak menanam pohon di berbagai hutan di berbagai kota, antara Lumajang, Malang, dan Lamongan.
Hal itu hanya sebagai ilustrasi saja, betapa ingatan saya jadi meloncat 17 tahun yang lalu, tepatnya 1993, ketika saya (sebagai biro sastra DKS) membuat kumpulan sajak pelukis bertajuk “Jembatan Merah” yang diterbitkan oleh biro sastra Dewan Kesenian Surabaya, dan Harryadjie BS adalah salah satu penyair yang ikut bergabung dalam kumpulan tersebut. Kumpulan sajak pelukis yang sangat sederhana tersebut, memuat 40 judul puisi yang ditulis oleh para pelukis semua. Mereka itu: Abdul Kadir Zaelani (alm.) menulis 7 puisi, Rudi Isbandi ada 8 judul puisi, Harryadjie BS ada 7 judul puisi, Hardjono WS menulis 11 judul puisi, dan Wiwiek Hidayat (alm.) menulis 7 judul puisi.
Tidak hanya puisi yang termuat dalam kumpulan sajak “Jembatan Merah,” akan tetapi juga memuat sketsa-sketsanya M. Thalib Prasodjo. Selain sketsa bergambar jembatan merah yang dijadikan sampul kumpulan sajak, di dalamnya juga memuat sketsa-sketsa beliau yang melukiskan gambar Gereja Maranatha (hal. 1), Pasar Krempyeng (hal. 7), Jembatan Merah (hal. 15), Baca Puisi Malsasa ‘92 (hal. 22), dan gambar Gedung Balai Pemuda (hal. 32).
Fakta tersebut di atas membuktikan bahwa seorang M. Thalib Prasodjo memang benar-benar seorang sketser sejati. Meski pada waktu itu, saya hanya menda-patkan fotokopian-nya saja, akan tetapi beliau mau meminjamkan sketsanya guna me-lengkapi tampilan kumpulan sajak para pelukis Surabaya ini.
Tidak hanya itu, Mbah Thalib pernah pula bercerita tentang sosok Markeso (alm.), ludruk garingan yang kerap kali mampir di DKS itu. Kata beliau, Markeso tidak pernah minta uang, tapi selalu menggunakan sanepan (sindiran), dengan mengatakan begini, “Mbah bojoku gorung nempur hari ini!” (Mbah istri saya belum beli beras hari ini). Dengan mengatakan kalimat itu, Mbah Thalib tahu, bahwa Markeso tidak punya uang. Maka beliau pasti akan memberikan uang meski tidak banyak jumlahnya, tapi yang pasti bisa buat beli 2-3 kilogram beras.
Mbah Thalib, sungguh seniman yang tahu kesulitan seniman lainnya.





Jembatan Merah
Kembali bicara masalah kumpulan sajak pelukis, bertajuk “Jembatan Merah” (Biro Sastra DKS, 1993); bahwa untuk menghimpun sajak-sajak pelukis ini memanglah amat sulitnya. Seperti yang tercatat dalam pengantar saya dengan judul “Pelukis Baca Puisi” yang antara lain mengatakan, “Ide dan rencana ini sudah lama sekali, hanya naskah yang masuk pada Biro Sastra DKS teramat lambatnya. Dan sementara naskah-naskah yang masuk telah saya ketiki, sedang lainnya belum kirim sama sekali. Sehingga amatlah sulit terbit secepatnya. Payah memang, tapi tak harus patah dengan kendala yang menghadang.”
Menarik untuk dicatat pula, bahwa ketika kumpulan sajak ini digelarpentaskan di DKS, banyak yang bertanya, mengapa nama pelukis se-kaliber Amang Rahman, kok tidak ikut dalam kumpulan puisi ini? Padahal Amang juga banyak menulis puisi. Syukurlah saya telah menjawabnya dalam pengantar, yang antara lain saya katakan, “Seperti misalnya Amang Rahman, tidak masuk dalam antologi ini – karena sudah berkali-kali ditagih karyanya, tak pernah memberi. Sayang sekali!”
Dari perjalanan panjang sastra Indonesia, maka beberapa nama pelukis yang juga menulis sastra (utamanya: puisi) memang tidak banyak jumlahnya. Tapi masih ada tercatat ada beberapa nama. Meski tidak lengkap saya bisa mencoba menyebut di antaranya: Nasyah Djamin, Motinggo Bosje, Walujati, Trisno Sumardjo, Danarto, D. Zawawi Imron, Rudi Isbandi, Amang Rahman, Jeihan, Wiwiek Hidayat, Adul Kadir Zaelani, Hardjono WS, Harryadjie BS, Mh. Iskan, dan mungkin masih banyak lagi.

                Sedangkan para pelukis Jawa Timur, termasuk cukup banyak jumlahnya. Jika kita mau memilah dari semua nama di atas, maka pelukis Jawa Timurnya adalah: Trisno Sumardjo, Rudi Isbandi, Amang Rahman, D. Zawawi Imron, Mh. Iskan, Wiwiek Hidayat, Hardjono WS, Harryadjie BS , Abdul Kadir Zaelani, dan mungkin juga masih ada lagi, hanya tak tercatat di tulisan pendek ini.
Dari pelukis yang penyair di Jawa Timur yang tidak banyak jumlahnya tersebut, ternyata ada juga yang peduli, serta rela puisinya dibukukan dalam kumpulan puisi yang sangat sederhana tersebut. “Jembatan Merah” kumpulan sajak pelukis, yang diprakarsai biro sastra Dewan Kesenian Surabaya (DKS) waktu itu, sungguh sebuah dokumentasi sastra yang agak berbeda dengan lainnya. Kumpulan sajak yang ditulis oleh pelukis, sekaligus lengkap dengan ilustrasi sketsanya. Meskipun sketsa itu hanya dibuat M. Thalib Prasodjo, tapi cukup memberikan warna berbeda dengan yang lainnya. Terima kasih Mbah Thalib yang telah banyak ikut berkiprah merealisasikan semua ini.
Mengakhiri tulisan ini, barangkali menarik yang ditulis oleh Rudi Isbandi dalam larik-larik puisi berjudul “Rumah Sakit Simpang” yang berbunyi seperti ini:
/Tak ada yang kekal memang. Tak ada
yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
(dari Jembatan Merah, halaman 14)
Selamat jalan Mbah Thalib, semoga Allah SWT menerima segala amal ibadah dan mengampuni segala dosa. Amin!


Desaku Canggu, 5 Agustus 2010

Tidak ada komentar: