Senin, 15 September 2008

malsasa dari waktu ke waktu

MALSASA DARI MASA KE MASA
Catatan: Aming Aminoedhin*


Prolog
Pendapa Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), malam itu lampunya telah dipadamkan. Lantas hanya ada sorot lampu ke arah panggung. Setelah basa-basi pewara, Susi Dinang, membuka acara, muncullah Aming Aminoedhin, ketua FSBS dan sebagai penggagas Malsasa (Malam Sastra Surabaya) melaporkan berapa penyair dan penggurit malam itu akan tampil. Setelahnya, Drs. Pribadi Agus Santoso, M.M. kepala TBJT, memberi sambutan, yang dilanjutkan membaca puisinya sendiri Tanah Liat, Matabatinku. Malam itu adalah 20 Agustus 2007, di mana Malam Sastra Surabaya digelarpentaskan dengan menampilkan beberapa penyair dan penggurit Jawa Timur. Beberapa nama penyair dan penggurit tampil bergantian membacakan puisi dan guritan.

Riwayat Malsasa
Malsasa adalah singkatan dari Malam Sastra Surabaya. Berawal pada tahun 1989, kegiatan malsasa ini menerbitkan kumpulan puisi “Surabaya Kotaku.” Selanjutnya, Malsasa digelar lagi pada tahun 1991, 1992, 1994, 1996, 2000, 2005 di Dewan Kesenian Surabaya.. Pada tahun 2000, Malsasa diselenggarakan di Balai Bahasa Surabaya, atas prakarsa Kepala Balai Bahasa Surabaya saat itu, Prof. Dr. Suparno (sekarang Rektor UM), yang bisa mendanai kegiatan pentas Malam Sastra Surabaya.
Agak aneh memang, malam sastra Surabaya kok diselenggarakan di Sidoarjo, tapi saya rasa tidak aneh. Sejak awal, pentas Malsasa memang selalu didanai dengan secara patungan oleh para sastrawannya. Tapi lantaran tahun 2000, ada lembaga yang mau mendanai, maka pentas itu digelarpentaskan di Balai Bahasa Surabaya yang berlokasi di Sidoarjo. Apabila bisa disebut aneh, alias agak beda, memang pada Malsasa 2000 ini, tidak hanya memuat puisi dan geguritan saja; akan tetapi juga memuat cerita pendek dan cerita cekak.
Pergelaran “Malam Sastra Surabaya” atau “Malsasa” terakhir kali adalah tahun 2007 lalu, bertempat di Pendapa Taman Budaya, Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya.
Pada awsalnya buku-buku antologi Malsasa, hanya memuat puisi-puisi para penyair saja, lantas pada perkembangannya, juga memuat geguritan, bahkan cerpen dan cerkak. Topik puisi yang diangkat menjadi tema pun, pada awalnya hanya ‘Surabaya’ dengan segala permasalahan dan ketergesaannya. Tapi selanjutnya berkembang tidak hanya memuat yang bertemakan ‘Surabaya’ an-sich, akan tetapi bisa apa saja. Termasuk soal daun, angin, bebintang, sungai mengalir, kereta pagi, mobil berlari, dan indahnya rembulan benderang.
Malsasa, pada awalnya digagas oleh Komunitas Sufo (Surabaya Forum), yang diketuai Jil Panjagir Kalaran, bersama saya. Pertama kali digelar tahun 1989, dengan menerbitkan kumpulan puisi “Surabaya Kotaku”. Beberapa nama yang ikut kumpulan itu, antara lain: Ang Tek Khun, Viddy Alymahfoedh Daery, Aming Aminoedhin, Roesdi-Zaki, Jil P. Kalaran, Pudwianto, dan Herry Lamongan.
Malsasa berangkat dari ide beberapa penyair yang ingin merayakan ulang tahun kota Surabaya dengan versinya sendiri. Mereka menulis puisi dan membacakannya. Topik yang diungkapkan pun beragam, ada yang menyumpahserapahi; ada juga yang mengingatkan kota agar berdandan, tapi jangan sampai lupa soal kemanusiaan; ada juga yang bicara tentang jalan-jalan kota yang tak teduh lagi, banyaknya iklan warna-warni; serta apa saja sesuai hati nurani penyair.

Malsasa dari Masa ke Masa
Jika harus menghitung jumlah pentas Malam Sastra Surabaya (Malsasa), barangkali kita bisa menghitungnya sejak tahun 1989 tersebut hingga sekarang. Karena Malsasa dibarengi dengan penerbitan buku antologi puisinya, maka kegiatan ini, bisa dilacak melalui penerbitan bukunya tersebut.
Secara hitungan jumlah buku antologi yang pernah terbit, antara lain: Surabaya Kotaku, Malsasa ’91, Malsasa ’92, Malsasa ’94, Malsasa ’96, Malsasa 2000, Malsasa 2005, dan sekarang bertajuk “Surabaya 714” Malsasa 2007. Dari sini, tercatat sudah 8 (delapan) kali, pentas Malam Sastra Surabaya digelar di muka publik masyarakat sastra Surabaya, dan Jawa Timur.
Ada banyak nama penyair dan penggurit yang ikut dalam gelaran ini. Tak sedikit, ada yang beberapa kali ikut hadir dan tampil dalam gelar sastra ini. Tapi ada juga yang hanya sekali-dua ikut, lantas menghilang tak ketemu juntrungnya. Ada juga yang lama menghilang, kemudian muncul kembali di tengah-tengah publik sastra kita, seperti: Tan Tjin Siong. Sedangkan yang menghilang: Ang Thek Khun, Mh. Zaelani Tammaka, Sigid Hardadi, Robin Al Kautsar dan beberapa nama lainnya.
Sungguh, Malsasa atau Malam Sastra Surabaya, dari masa ke masa memang ada perkembangannya. Baik dalam jumlah peserta maupun kualitas penerbitan antologi bukunya, ada peningkatan yang cukup signifikan. Awal mulanya hanya berupa stensilan, lantas fotokopian, dan kini terbitan buku antologi yang cukup mewah.

Surabaya 714 Malsasa 2007
Malsasa tahun ini, masih berangkat dari ide beberapa penyair yang ingin merayakan ulang tahun kota Surabaya dengan versinya sendiri. Di ulang tahun kota Surabaya ke-714 ini, mereka menulis puisi maupun geguritan dan membacakannya. Tema yang digagas bisa bicara apa saja, Surabaya yang kian cantik atau Surabaya kian tak menarik? Bicara negeri ini yang kian cabik-cabik atau mungkin negeri yang penuh intrik? Atau apa saja terserah! Yang pasti, kejujuran dalam menulis karya sastra adalah kuncinya. Karya sastra tanpa kejujuran nurani penulisnya, akan terasa tawar, hambar, dan miskin makna.
Mencatat nama-nama yang tampil malam itu, ada: Bagus Putu Parto, L. Machali, Fahmi Faqih, Budi Palopo, R. Giryadi, Ida Nurul Chasanah, Sabrot D. Malioboro, Akhudiat, Aming Aminoedhin, AF Tuasikal, M. Har Harijadi, M. Tauhed, Bambang Kempling, Saiful Bahri, Chamim Kohari (penyair); Suharmono Kasijun, Anank Santosa, Bonari Nabonenar, Sugeng Adipitoyo, Widodo Basuki, Herry Lamongan, Pringgo HR (penggurit). Tidak hanya itu, tampil juga tamu dari Pusat Bahasa, Abdul Rozak Zaidan, Kepala Bidang Sastra, yang ikut tampil membacakan puisinya Sitor Situmorang, berjudul “Malam Lebaran.”
Sedangkan jika mencatat jumlah penyairnya ada 34 penyair, 14 penggurit yang masuk dalam antologi puisi “Surabaya 714” Malsasa 2007 ini. Mereka itu terdiri penyair yang berasal dari kota Surabaya, Mojokerto, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Ngawi, Bojonegoro, Pamekasan, Ponorogo, Trenggalek, dan Blitar.
Penyelenggaraan Malam Sastra Surabaya atau Malsasa 2007 ini, atas prakarsa Forum Sastra Bersama Surabaya (FSBS) kerja sama dengan Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Melalui forum ini, saya sebagai penggagas Malsasa, memang berharap bahwa kegiatan ini bisa dijadikan ajang silaturahmi, interaksi, dan kreasi pentas seni sesama penyair dan penggurit, serta menumbuhkembangkan sastra di Surabaya dan Jawa Timur. Persoalan ini sejalan yang dikatakan Kepala TBJT, Pribadi Agus Santoso, bahwa Taman Budaya Jawa Timur merupakan etalase pentas dan pertunjukan seni apa saja. Taman Budaya adalah ajang berinteraksi, ajang berkompetisi, serta berkreasinya antarseniman dari berbagai cabang seni di negeri ini.

Epilog
Malam telah larut, para penyair telah mengakhiri baca puisi dan guritannya, maka pentas Malsasa 2007 usai sudah, tapi kegiatannya tidak hanya malam itu berakhir. Karena, tanggal 30 Agustus 2007, buku “Surabaya 714” Malsasa 2007, dibedah bukunya oleh Redaktur Budaya Senior dari Surabaya Post, RM Yunani Prawiranegara. Bedah buku berlangsung di Toko Buku Diskon Togamas, Jalan Diponegoro 9 Surabaya, yang dimeriahkan musikalisasi puisinya kelompok “Komunitas Sastra Sinji” dimainkan oleh AF Tuasikal dan Sarjiyo Godean.
Bedah buku di Toko Buku Diskon Togas Mas ini, banyak dihadiri para praktisi dan akademisi sastra, antara lain: Sabrot D. Malioboro, Akhudiat, Ida Nurul Chasanah, Adi Setyowati, Sugeng Adipitoyo, Bonari Nabonenar, Suharmono Kasijun, W. Haryanto, Mashuri, Fahmi Faqih, Widodo Basuki, dan banyak lagi.
Harapan berikutnya yang perlu dipompakan adalah bagaimana terus bisa menum-buhkembangkan dan mensosialisasikan sastra (puisi dan guritan) kepada masyarakat.
Apabila ada kekurangan dalam penerbitan, penyelenggaraan pentas, dan bedah buku,, adalah wajar semata. Tapi puisi telah ditulis dengan matahati dan kata hati penyairnya. Percayalah! Terakhir, saran dan kritik konstruktif bagi tumbuhkembangnya sastra, akan kami terima dengan tangan terbuka, dan hati membunga. Salam budaya!

Sidoarjo, 15 Ramadhan 1429-H/15 September 2008

* Aming Aminoedhin, presiden penyair Jatim, penggagas Malsasa.

1 komentar:

alfismantic mengatakan...

Kalau di jawa timur khususnya surabaya ada malsasa tapi di jawa barat ciamis tentunya sampai hari ini saya belum pernah mendengar dan tidak tahu adakah pentas baca puisi segebyar dan semeriah malsasa, atau mungkin karena ketidaktahuannya saya saja, dulu saat ultah hari jadi ciamis 2 tahun yang lalu pernah digelar baca puisi maraton sebanyak 365 puisi dan dibaca oleh penyairnya, sayapun jaga termasuk didalamnya tapi kini tak ada lagi.
Memang kalau pentas teater dari kelompok teater di tasikmalaya suka ada tapi sejauh ini rasanya belum ada yang namanya kegiatan segebyar malsasa, ada mungkin pentas baca sajak tapi tidak sebanyak penyair dan sebanyak sajak yang dibaca seperti malsasa dan itupun hanya untuk kalangan tertentu saja jadi kurang terdengar gaungnya, seperti SST sanggar sastra tasik dan komunitas AZAN yang digawangi oleh Acem Zam Zam Noor hanya dinikmati oleh kalangan SST atau komunitas Azan saja ini entah karena kurangnya publisitas atau karena alasan yang lain entahlah. Oke...semoga dengan adanya tulisan Aming Aminoedhin tentang Malsasa dapat memberi inspirasi dan semangat kepada para pencinta sastra di ciamis, tasik dan jabar untuk membuat suatu gelaran seperti malsasa, semoga.