Senin, 20 Oktober 2025

MUARA TERAKHIR - KITAB PUISI PENYAIR

 

 

TETAP MENULIS PUISI MESKI JURAGAN ROTI

 

           

            Judul                           : Muara Terakhir

                                                  Kitab Puisi

            Pengarang                   : Bagus Putu Parto, dkk.

            Penerbit                      : Delima, Sidoarjo

            Cetakan                       : I, Mei 2025

            Tebal                           : xxii+104 halaman

            ISBN                           : 978-623-8154-38-8

            Peresensi                     : M. Amir Tohar





               Sudah berkali-kali Rumah Budaya Kalimasada - Blitar ini, menerbitkan buku sastra.  Di antaranya ada: Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo, Revolusi Para Ikan, Kata Cookies Pada Musim, Perahu Perak, GIR, KM -0, Rumah Sejarah, Biografi Tepung dan banyak lagi. Terakhir Rumah Budaya Kalimasada menerbitkan Mutiara Terakhir (2025).

 

             Tidak hanya menerbitkan buku sastra saja, tapi sekaligus bikin acara pemanggungan seni pertunjukan sastranya: bisa baca puisi, cerpen atau teater. Rumah Budaya Kalimasada ini, yang empunya adalah Bagus Putu Parto bersama istrinya Endang Kalimasada. Memiliki pabrik roti bernama Kalimasada di Gogodesa, Kanigoro – Blitar. Jadi selain menulis puisi, ia juga sebagai juragan roti. Rumah Budaya Kalimasada, yang tanpa ada papan namanya, tapi tetap menerbitkan buku sastra sebagai tanda eksistensinya. Benar-benar ampuh temenan!

            Tahun 2025 ini, menerbitkan buku Muara Terakhir – kitab puisi yang memuat puisi-puisi Bagus Putu Parto. Lantas ada juga termuat puisi-puisi sahabatnya: Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan Warok Sutejo.

            Dalam pengakuannya, kata Bagus Putu Parto berujar, “Muara Terakhir” ini justru saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karena lebih indah berdiam diri dan melangitkan dalam doa. Banyak puisi yang tak tertuliskan. Kalau saya boleh menertawakan diri sendiri, “Sayalah Penyair Tanpa Puisi.”

            Sementara itu, Dr. Tengsoe Tjahjono, yang memberi pengantar buku itu, mengatakan bahwa “Muara Terakhir” bukan sekadar kumpulan puisi; ia adalah catatan sunyi seorang seniman panggung yang menepi, seorang peziarah makna yang menuliskan perjalanan hidup dengan darah kata-kata. Bagus Putu Parto, yang berakar dari dunia teater, menciptakan puisinya seolah menciptakan naskah panggung—dengan panggilan aktor, dengan cahaya sorot, dengan babak-babak dramatik yang memancing emosi, gelak, getir, bahkan airmata. Ini bukan panggung gemerlap, melainkan panggung kontemplatif, kadang muram, tapi jujur: panggung batin manusia yang sedang menyusuri sisa usia, antara riuh bisnis dan sunyi spiritualitas.

            Lebih jauh, Dr. Tengsoe Tjahjono, yang presiden pentigraf Indonesia itu, mengatakan, “Muara Terakhir bukan pengunduran diri dari puisi. Ia adalah peralihan dari suara lantang ke suara lirih. Penyair yang dulu hadir dalam parade protes kini menjadi pertapa sunyi yang masih menulis, meski hanya untuk dirinya sendiri. Bagus Putu Parto menutup bukunya dengan membangun masjid: ruang dzikir yang senyap, ruang sujud yang tak memerlukan puisi. Tapi kita tahu, bahkan dalam diamnya, puisi masih berbunyi.

            Buku ini terbit atas penanda tahun perkawinan mereka berdua Bagus dan Endang, yang kedua puluh sembilan tahun, serta atas kedatangan generasi ketiganya (baca: cucu) yang lahir tahun 8 April 2025 ialu. Sekaligus penanda atas telah rampungnya pembangunan Masjid As-Syahadah miliknya, yang terletak tak jauh dari rumahnya.

            Ada pun yang pasti harus disyukuri, bahwa sebagai pengusaha sukses roti, ia masih mau menulis puisi. Juragan roti tetap menulis puisi. Mencetak bukunya, dan menyebarkan ke pembaca sastra. Semoga akan memicu sastra Jawa Timur kian subur, dan bisa menumbuh-kembangkan di ranah sastranya. (mat).

 

 

Tidak ada komentar: