TETAP
MENULIS PUISI MESKI JURAGAN ROTI
Judul :
Muara Terakhir
Kitab Puisi
Pengarang : Bagus Putu Parto, dkk.
Penerbit : Delima, Sidoarjo
Cetakan : I, Mei 2025
Tebal : xxii+104 halaman
ISBN : 978-623-8154-38-8
Peresensi : M. Amir Tohar
Sudah berkali-kali Rumah Budaya Kalimasada - Blitar ini, menerbitkan buku sastra. Di antaranya ada: Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo, Revolusi Para Ikan, Kata Cookies Pada Musim, Perahu Perak, GIR, KM -0, Rumah Sejarah, Biografi Tepung dan banyak lagi. Terakhir Rumah Budaya Kalimasada menerbitkan Mutiara Terakhir (2025).
Tahun
2025 ini, menerbitkan buku Muara Terakhir
– kitab puisi yang memuat
puisi-puisi Bagus Putu Parto. Lantas ada juga termuat puisi-puisi sahabatnya:
Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan Warok Sutejo.
Dalam
pengakuannya, kata Bagus Putu Parto berujar, “Muara Terakhir” ini justru
saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak
lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karena
lebih indah berdiam diri dan melangitkan dalam doa. Banyak puisi yang tak
tertuliskan. Kalau saya boleh menertawakan diri sendiri, “Sayalah Penyair
Tanpa Puisi.”
Sementara
itu, Dr. Tengsoe Tjahjono, yang memberi pengantar buku itu, mengatakan bahwa “Muara
Terakhir” bukan sekadar kumpulan puisi; ia adalah catatan sunyi seorang
seniman panggung yang menepi, seorang peziarah makna yang menuliskan perjalanan
hidup dengan darah kata-kata. Bagus Putu Parto, yang berakar dari dunia teater,
menciptakan puisinya seolah menciptakan naskah panggung—dengan panggilan aktor,
dengan cahaya sorot, dengan babak-babak dramatik yang memancing emosi, gelak,
getir, bahkan airmata. Ini bukan panggung gemerlap, melainkan panggung
kontemplatif, kadang muram, tapi jujur: panggung batin manusia yang sedang
menyusuri sisa usia, antara riuh bisnis dan sunyi spiritualitas.
Lebih jauh, Dr. Tengsoe Tjahjono, yang
presiden pentigraf Indonesia itu, mengatakan, “Muara
Terakhir bukan pengunduran diri dari puisi. Ia adalah
peralihan dari suara lantang ke suara lirih. Penyair yang dulu hadir dalam
parade protes kini menjadi pertapa sunyi yang masih menulis, meski hanya untuk
dirinya sendiri. Bagus Putu Parto menutup bukunya dengan membangun masjid:
ruang dzikir yang senyap, ruang sujud yang tak memerlukan puisi. Tapi kita
tahu, bahkan dalam diamnya, puisi masih berbunyi.
Buku
ini terbit atas penanda tahun perkawinan mereka berdua Bagus dan Endang, yang
kedua puluh sembilan tahun, serta atas kedatangan generasi ketiganya (baca:
cucu) yang lahir tahun 8 April 2025 ialu. Sekaligus penanda atas telah
rampungnya pembangunan Masjid As-Syahadah miliknya, yang terletak tak
jauh dari rumahnya.
Ada
pun yang pasti harus disyukuri, bahwa sebagai pengusaha sukses roti, ia masih mau
menulis puisi. Juragan roti tetap menulis puisi. Mencetak bukunya, dan
menyebarkan ke pembaca sastra. Semoga akan memicu sastra Jawa Timur kian subur,
dan bisa menumbuh-kembangkan di ranah sastranya. (mat).