Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
WS Rendra
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang
Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri
Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka
- Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa
- Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa
Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala
- Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.
Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak bagi derapnya kuda hitam
ridla dada bagi derunya dendam yang tiba
Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka
Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah
Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh Bapanya
Bengkel Muda Surabaya, 2009
AKU TULIS PAMFLET INI
WS Rendra
Aku tulis pamflet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring laba-laba
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng - iya - an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamflet ini
karena pamflet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api
Rembulan memberi mimpi pada dendam
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan
Ketakutan
Kelesuan
Aku tulis pamflet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan
Lalu besok pagi pasti terbit kembali
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi
BULAN KOTA JAKARTA
WS Rendra
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya!
O, getirnya kulit limau!
O, betapa lunglainya
Bulan telah pingsan
Mama, bulan telah pingsan
Menusuk tikaman beracun
dari lampu-lampu kota Jakarta
dan gedung-gedung tak berdarah
berpaling dari bundanya
Bulannya! Bulannya!
Jamur bundar kedinginan
bocah pucat tanpa mainan
pesta tanpa bunga
O kurindu nafas gaib!
O kurindu sihir mata langit!
Bulan merambat-rambat
Mama, betapa sepi dan sendirinya
Begitu mati napas tabuh-tabuhan
maka penari pejamkan mata-matanya
Bulan telah pingsan
di atas kota Jakarta
tapi tak seorang menatapnya
Bulanku! Bulanku!
Tidurlah sayang, di hatiku!
Siwalanpanji, Menjelang Pentas Mengenang Rendra 2009
1 komentar:
Pak Aming suskes terus ya....
Semoga karya sastra tetap jaya selamanya....
Posting Komentar