Rabu, 02 Juni 2010

surabaya kehilangan jati diri

KOTA SURABAYA KEHILANGAN JATI DIRI
oleh: aming aminoedhin*

artikel ini termuat di koran Radar Surabaya edisi khusus menyambut Ultah Kota Surabaya 717 -- Senin, 31 Mei 2010


Menurut asumsi hampir semua orang di Indonesia, bahwa kota Surabaya, adalah kota kedua di Indonesia, setelah yang pertama Jakarta, sebagai ibu kota negara. Sebagian yang lain, ada juga berasumsi bahwa kota Surabaya, bukan lagi kota kedua, tetapi sebagai kota peringkat enam terbesar di Indonesia. Mengapa demikian? Karena di atas kota Surabaya, ada lima kota lainnya, yaitu: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan ada Jakarta Timur. Sehingga sebagai kota terbesar di Indonesia, kota Surabaya hanya menduduki peringkat keenamnya.

  
         Terlepas dari persoalan Surabaya sebagai kota kedua atau keenam, yang pasti Surabaya sebentar lagi akan ada pilihan walikota baru. Para kandidatnya sekarang lagi kampanye, agar benar-benar jadi walikota. Bahkan Surabaya, tahun ini, telah sudah 717 tahun usianya. Surabaya, kota besar setelah Jakarta, terus saja berbenah mengejar ketertinggalannya. Meski belum punya bus-way, seperti Trans Jakarta dan Trans Yogya. Meski pun belum punya kereta rel listrik (KRL), tapi Surabaya sudah punya ‘komuter’, kereta angkutan penumpang murah-meriah bagi warga masyarakatnya. Lantas baru-baru ini ada jembatan terpanjang di Indonesia bernama “Suramadu” yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Madura.
Sebagai kota besar yang konon berjaya di sebagai kota kedua atau keenam ini, infrastrukturnya pun cukup memadai. Surabaya mempunyai pelabuhan besar ‘Tanjung Perak’ guna mendukung laju perkembangan kotanya. Belum lagi, Surabaya, juga mempunyai bandara internasional ‘Juanda’, lantas jalan-jalan tol yang terus dibangun, terminal bus antarkota ‘Purabaya’ yang representatif sarana dan prasarananya. Belum lagi banyaknya gedung-gedung menjulang berupa mal-mal, pusat perkantoran, hingga plaza, pasar swalayan, hotel, dan seabreg rumah-rumah susun yang dibangun.
Bahkan konon, Surabaya, sebagai kota besar juga punya julukan yang tidak tanggung-tanggung, katanya sebagai kota nomor wahid soal pelacurannya.
Apakah ini benar? Masih perlu penelitian lebih mendalam. Tapi jika mau melihat kenyataan, memang sebenarnya bisa dibenarkan. Karena hampir di semua sudut kota ini, banyak sekali praktik-praktik pelacuran. Dari yang hanya berdiri di pinggir jalan, pinggir rel kereta api, ruang-ruang tunggu terminal, dan bahkan yang terang-terangan, seperti kawasan: Dolly, Njarak, dan Kremil. Belum lagi, praktik-praktik pelacuran yang di hotel-hotel, kost-kosan, dan banyak lagi.
Bahkan kini Surabaya sedang ngebut menata-garap jalan Ahmad Yani sisi timurnya, yang konon nantinya akan dijadikan satu arah menuju selatan. Konon, juga akan digarap jalur bus-way, dan kereta mono-rail? Wah.... Surabaya kian mempesona, jadinya!
Surabaya, memanglah kota hebat, sehebat pahlawannya yang mengusir para penjajah yang mencoba kembali memasuki negeri ini.
Pada ulang tahunnya ke-717, angka yang sangat cantik layaknya nomor cantik telepon seluler ini, adakah yang hilang dari kota ini?

Benarkah ini kota Surabaya?

Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang kawan dari Ngawi yang datang ke kota Surabaya. Dalam pembicaraan malang-melintang tersebut, termasuk di antaranya bicara kangen-kangenan tentang kota Ngawi yang sepi, masjid (yang sebenarnya cagar budaya) telah diambrugkan, bicara pula kawan-kawan lama yang tak lagi bersua. Kawan-kawan yang kini telah jadi kaya, lantas kawan yang tetap setia dengan idealismenya, dan ada juga pembicaraan tentang bahasa. Berbicara tentang item yang terakhir, yaitu bahasa inilah, yang kemudian saya jadi terjaga.
Mengapa terjaga? Karena pertanyaan yang dilontarkan kawan lama saya tersebut adalah, “Apakah orang kota Surabaya ini, sudah tidak bisa berbahasa Indonesia lagi?”
“Lho, memangnya kenapa?” tanya saya kemudian.
“Ming, aku memasuki Surabaya kini, seperti memasuki kota di luar negeri!” katanya kalem, tanpa ekspresi.
“Lantas apanya yang luar negeri!” tanyaku mendesak.
Dengan berbisik menggelitik dia mengatakan bahwa Surabaya kini, sudah keinggris-inggrisan, padahal masih tetap ada tukang becak, ada pasar loak, ada wilayah kumuh (jika tak boleh dikatakan rusuh). Ini kan lucu? Lihatlah, dengan mentereng di jalan-jalan protokol itu, bahasanya sangat Inggris. Sebut saja misalnya: Cito (City of Tomorrow) yang di atasnya tertulis FIRST, Jatim Expo International, Hypertmart Royal Plaza, Giant Hypermarket, Carrefour, Dramo Trade Centre, Mercure Hotel, Mc. Donald, Kentucky FC, Tunjungan Plaza, The Empire Palace Hotel, BRI Tower, BG Junction, JW Marriot Hotel, Sheraton Hotel, Garden Palace Hotel, Citraland, dan seabreg nama-nama yang semuanya menggunakan bahasa Inggris. Belum lagi ada nama-nama Kentucky Fried Chicken, Mc. Donald, Texas Fried Chicken, dan banyak lagi lainnya.
Dari keterangan kawan lama tersebut, saya benar-benar terjaga. Ternyata, memang benar, kota Surabaya, telah jadi kota yang kehilangan jati diri, sebagai kota yang berada di Indonesia. Semuanya hampir berlabel bahasa Inggris, lantas benarkah ini kota Surabaya? Dari sini kemudian muncul tanya, siapakah yang harus disalahkan? Balai Bahasa Jawa Timur? Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Indonesia? Walikota? Atau Gubernur?
Saya tak tahu jawabnya?

Surabaya, Jelang Ultah 717

1 komentar:

Masdin mengatakan...

Artikelnya memang pantas dimuat di Koran mas.... :)