Senin, 25 Agustus 2008

angkatan sastra malsasa?

Beberapa Catatan:

ANGKATAN DALAM SASTRA INDONESIA
· Mengapa tidak buat Angkatan Sastra Jawa Timur
· Mengapa tidak buat Angkatan Malsasa


ditulis: aming aminoedhin

Prolog

Dalam tulisan pendek ini, saya akan mencoba mengiventarisasi beberapa nama angkatan dalam sastra Indonesia, yang banyak jumlahnya; serta mencoba mencari tahu angkatan sastra manakah yang paling dikenal dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia. Adakah semua angkatan dalam sastra diketahui dan diakui oleh masyarakat sastra Indonesia? Adakah kita bisa membuat angkatan sastra sendiri, dari komunitas sastra kita sendiri? Sebuah pertanyaan yang barangkali bisa jadi bahan polemik sastra.

Angkatan Sastra Pra-Merdeka
Dalam sejarah sastra Indonesia kita bisa mencatat beberapa angkatan dalam sastra, sebut saja beberapa tahun sebelum kemerdekaan, sudah ada angkatan sastra yang disebut sebagai Angkatan Balai Pustaka dan Angkatan Pujangga Baru. Angkatan Balai Pustaka adalah sebutan bagi pengarang buku-buku sastra yang menulis sastra, dan karyanya diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka, sejak awal tahun 1920-an. Para pengarang yang dikelompokkan dalam Angkatan Balai Pustaka ini, ialah: Merari Siregar, Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, M. Kasim, Suman HS, Adinegoro, Moh. Jamin, Rustam Effendi dan banyak lagi. Sementara itu Angkatan Pujangga Baru, adalah angkatan sastra sesuadh Angkatan Balai Pustaka, yaitu kelompok pengarang yang menulis di Majalah Pujangga Baru (Juli 1933- Februari 1942 dan Maret 1948-1953). Para pengarang di angkatan ini antara lain: S. Takdir Alisjahbana, Sanoesi Pane, JE Tatengkeng, MR Dajoh, Amir Hamzah, Armijn Pane, Rifa’i Ali, Selasih Hamka, Soetomo Djauhar Arifien, A. Hasjmi dan banyak lagi.


Angkatan Sastra Saat Merdeka
Angkatan sastra di masa kemerdekaan, setidaknya pada tahun 1945, muncullah Angkatan 45, yaitu sebutan bagi para pengarang sastra yang muncul dalam tahun 1940-an. Sebutan Angkatan 45 ini diperkenalkan oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di Majalah Siasat (9 Januari 1946). Angkatan ini menurutnya, merupakan angkatan pengarang yang mendobrak terhadap angkatan sebelumnya (Angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru). Adapun nama-nama pengarang yang masuk dalam Angkatan 45 ini, antara lain: Chairil Anwar, Asrul sani, Rivai Apin, Rosihan anwar, Idrus, M. Balfas, Usmar Ismail, Pramoedya Ananta Toer, Abu Hanifah (El-Hakim), Utuy Tatang Sontani, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Loebis, Sitor Situmorang, dan banyak lagi.
Angkatan Sastra Sesudah Merdeka
Sesudah merdeka, sejarah sastra Indonesia, banyak lagi melahirkan angkatan-angkatan dalam sastra, sebut saja Angkatan Terbaru, Angkatan 66, Angkatan 70, Angkatan 80, Angkatan Penyair Abad 21, dan mungkin masih banyak lagi.
Kita mulai dengan ‘Angkatan Terbaru’, adalah sebutan bagi pengarang yang berkarya dalam tahun 1950-an. Istilah ini muncul pertama kali di Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa II di Jakarta (1960). Istilah ini pula yang kemudian digunakan Ajip Rosidi dalam makalahnya bertajuk ‘Sumbangan angkatan Terbaru Sastrawan Indonesia kepada Perkembangan Kesusastraan Indonesia’.
Pengarang yang tergabung dalam angkatan ini adalah: WS rendra, Dodong Djiwapradja, Muhammad Ali, Toha Mochtar, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Nh. Dini, Motinggo Bosje, Nasjah Djamin, Kirdjomuljo, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, AA Navis, Misbach Jusa biran, SM Ardan, Soekanto SA dan banyak lagi.
Angkatan sastra lainnya adalah ‘Angkatan 66’, sebutan ini diproklamirkan paus sastra Indonesia, HB Jassin lewat tulisannya dalam majalah sastra Horison No. 2 Tahun 1966 dengan judul “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”. Para pengarang yang digolongkan dalam angkatan ini adalah mereka yang menulis di majalah Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya, Indonesia, Konfrontasi, Cerita, Prosa, Sastra, Basis, Horison dll. Yang pada tahun 1966 mereka masih berusia sekitar 25 tahun. Beberapa nama yang masuk dalam angkatan ini, menurut Jassin adalah: Yusakh ananda, Hartojo Andangdjaja, SM Ardan, Titis Basino, Motinggo bosje, Sapardi djoko damono, M. Fudoli zaini, Indonesia O’Galileo, Budiman S. Hartojo, Taufiq Ismail, Ramadhan KH, Gerson Poyk, Bur Rasuanto, SN ratmana, WS Rendra, Ajip Rosidi, Titie Said, Ras Siregar, Djamil Suherman, Piek Ardijanto Soeprijadi, M. Alwan tafsiri, Sandy Tyas dan banyak lagi.
Setelah itu, ada juga angkatan sastra yang bernama ‘Angkatan 70’, yaitu istilah yang pertama kali diperkenalkan Dami N. Toda dalam diskusi sastra di ulang tahun kelima majalah sastra ‘Tifa Sastra’ Fakultas Sastra – Universitas Indonesia Jakarta. Siapa sajakah yang tercatat dalam angkatan ini, tapi Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM, mendukung atas angkatan ini.
Sepuluh tahun kemudian ada juga lahir yang dinamakan dengan ‘Angkatan 80’ merupakan angkatan sastra yang mencakup para pengarang yang menerbitkan karya-karya mereka pada akhir tahun 1960-an, dan sesudahnya yang menunjukkan wawasan estetik berbeda dari ‘Angkatan 45’. Istilah ini pertama kali dilansir oleh Korrie Layun rampan dalam diskusi rutin Studi Sastra Pusat Latihan Kesenian Dinas Pendidikan dan Kebudayaan DKI di Jakrta, 28 Februari 1984. Angkatan 80 dimulai dari novel-novel dan drama Iwan Simatupang, sajak dan dramanya WS Rendra, cerpen dan novelnya Budi Darma, drama Arifien C. Noer, cerpen-cerpen Danarto, cerpen, novel, dan drama Putu Wijaya, puisi-puisi Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Afrizal Malna. Ciri utama angkatan ini adalah penekanan proses kreatif mereka pada seni improvisasi. Penamaan angkatan ini dapat dukungan dari HB Jassin dan Suripan Sadi Hutomo.
Terakhir yang ada dalam catatan saya, bahwa beberapa tahun lalu ada juga ‘Angkatan Penyair Abad 21’ dengan melibatkan beberapa nama penyair mutakhir (2000-an sampai sekarang) yang tergabung di dalamnya.
Dari Angkatan ke Angkatan Sastra , Mana Yang Diakui
Dari uraian di atas, maka kita mengetahui banyaknya angkatan sastra Indonesia, tapi manakah yang diketahui dan diakui masyarakat sastra Indonesia? Pertanyaan ini cukup menggelitik kita? Ternyata dari semua angkatan yang ada, yang cukup diketahui dan diakui masyarakat, hanya beberapa nama angkatan saja. Kalau kita mau mencoba menghitung, barangkali hanya ‘Angkatan Balai Pustaka’, ‘Angkatan Pujangga Baru’, ‘Angkatan 45’, dan ‘Angkatan 66’ yang diakui oleh masyarakat sastra kita. Sedangkan yang lain, nama angkatan itu kurang terdengar gaungnya, bahkan tidak begitu terakui masyarakat sastra.
Pernyataan angkatan sastra terakui dan tidak diakui di atas hanyalah pendapat saya, pembaca boleh bersetuju, dan/atau tidak setuju akan pernyataan itu? Bahkan untuk sebutan ‘Angkatan 45’ bagi saya, adalah angkatan sastra yang paling diakui masyarakat dengan ditandai tampilnya sosok penyair Chairil Anwar yang puisinya cukup banyak jadi rujukan dalam sastra. Sementara angkatan sastra yang lain, tidak sehebat gaungnya si tokoh kita Chairil Anwar.

Buat Angkatan Sastra Sendiri, Mau?
Apabila kita mau menyimak perkembangan angkatan dalam sastra, sebenarnya para pelakunya adalah para pengarang sendiri dengan membuat proklamasi tentang adanya angkatan tersebut. Sebagai misal ‘Angkatan 45’ diproklamasikan Rosihan Anwar, ‘Angkatan terbaru’ oleh Ajip Rosidi, ‘Angkatan 66’ oleh HB Jassin, ‘Angkatan 70’ oleh Dami N. Toda, dan ‘ Angkatan 80’ oleh Korrie Layun Rampan.
Persoalan apakah angkatan sastra tersebut diakui atau tidak, yang pasti mereka mencoba membuat angkatan dalam sastra Indonesia. Gaungnya ada yang diakui masyarakat, ada juga yang tidak diakui masyarakat. Lantas maukah kita buat angkatan sastra sendiri? Mau?
Nah.... persoalannya sekarang bagaimanakah kita, sebagai pengarang sastra Jawa Timur, membuat sendiri angkatan dalam sastra? Sebut saja “Angkatan Sastra Jawa Timur’ yang melibatkan banyak nama-nama pengarang sastra Jawa Timur yang namanya cukup me-Nasional. Seperti misalnya: Budi Darma, D. Zawawi Imron, Muhammad Ali, Suripan Sadi Hutomo, Akhudiat, M. Shoim Anwar, Suharmono Kasijun, Sabrot D. Malioboro, Roesdi-Zaki, Aming Aminoedhin, W. Haryanto, Mashuri, HU Mardiluhung, Tjahjono Widiyanto dan Widarmanto, serta sederet nama pengarang lainnya. Atau mungkin angkatan sastra yang lebih spesifik lagi, misalnya: Angkatan Sastra Malsasa, yang mana bisa melibatkan semua pengarang sastra yang terlibat dalam kumpulan puisi Malsasa yang kini telah 9 buku tersebut? Ah... mungkinkah?

Epilog
Tulisan ini hanya semacam wacana dialog antarsastrawan Jawa Timur, barangkali Aming Aminoedhin sedang ngelantur atau mungkin ngelindur? Tapi tak apalah! Yang pasti dan patut disyukuri bahwa perkembangan sastra di Jawa Timur ini, sebenarnya cukup pesat adanya; hanya saja jalinan komunikasi secara intens tidak pernah terjadi. Dulu pernah ada pertemuan sastrawan Jawa Timur di Blitar, diprakarsai Dewan Kesenian Jawa Timur, tapi tak pernah ada kelanjutannya setelah itu.
Kerja pengarang atau sastrawan adalah kerja individu, tapi jika suatu kali ada pertemuan dan komunikasi antarsastrawan akan lebih baik lagi. Setidaknya menambah wawasan, serta kemampuan berapresiasi antarsesama pengarang. Salam budaya!



desaku canggu, mojokerto, awal januari 2008

Daftar Acuan dan Bacaan:

Tim Penyusun . 1997. Direktori Penulis di Indonesia, Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan

Bachri, Sutardji Calzoum. 1984. Chairil Anwar, Angkatan 70, dan Kredo Puisi Saya, Jakarata:
(artikel di Berita Buana, 14 Agustus 1984).

Jassin, H.B. 1966. Angkatan 66: Bangkitnya Suatu Generasi, Jakarta: Majalah Sastra Horison No. 2 Tahun I

Hutomo, Suripan Sadi. 1992. Melawan Kucuran Keringat: Kumpulan Kritik, Esai, dan Apresiasi
Sastra, Surabaya: HISKI Jawa Timur

Toda, Dami N. 1977. Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa, Jakarta: Budaya Jaya

Tidak ada komentar: