Bagus Putu Parto, identik
Rumah
Budaya Kalimasada
Laporan: Aming Aminoedhin
Semuanya tertata rapi
dan asri, begitu juga ornamen pajangan dalam ruangan-ruangan itu, hampir
segalanya berbau seni: patung-patung, topeng-topeng, lukisan, atau ornament
lainnya. Tidaklah salah jika rumah itu disebut Rumah Budaya Kalimasada.
Bagus Putu Parto, saat akting baca puisi di depan joglo RBK. (foto: AmAm).
Masih di lingkungan rumahnya, agak ke arah barat, ada kolam renang yang pada utara kolam itu, ada rumah joglo besar yang biasa untuk kegiatan apa saja, termasuk seni pertun-jukan apa saja. Semua ruangan-ruangan itu, pernah diadakan pentas seni sastra, teater, musik, pengajian, dan bahkan resepsi mantu, ketika Bagus Putu Parto menikahkan anak pertamanya, Kaka Kalimasada.
Hampir dalam semua
kompleks rumahnya nan indah inilah,
disebut sebagai Rumah Budaya Kalimasada, meskipun tanpa ada papan
nama tertulis di seputaran rumah itu.
Aneh? Mungkin tidak,
sebab rumah budaya tidak harus ditandai papan nama, kata Bagus Putu Parto, saat
ditemui (4/6/2025) di rumahnya. Tapi rumah budaya ini mau terbitkan buku
sastra, yang mengandung atau memuat unsur seni budayanya, tegasnya.
Untuk menemui tokoh
sastra yang satu ini, memang agak susah. Awalnya ingin temu tanggal
1/6/2025, bisa mundur hingga tanggal 4
& 5/6/2025, baru bisa ditemui. Kenapa harus pilih tanggal 1 Juni, sebab ini
merupakan Hari Lahir Pancasila, yang bersamaan itu ada acara Grebeg
Pancasila, yang diperingati setiap tahun oleh Pemerintah Kota Blitar.
Maksud saya sekali dayung, tiga pulau bisa terlampaui. Artinya, wawancara sekalian
saya bisa nonton acara tersebut. Ternyata tanggal itu tak bisa, karena Bagus
ada jadwal lain, tak bisa ditinggalkan. Sehingga
baru bisa, tanggal 4 & 5 Juni 2025, saya bisa wawancara di bawah pohon rambutan
nan teduh itu di rumahnya.
Bicara soal Grebeg
Pancasila yang kini digelar setiap tahun di Kota Blitar, salah satu
pencentusnya adalah beliaunya. Waktu itu bersama komunitas Barisan Seniman Muda
Blitar (BSMB), Bagus Putu Parto mengawali acara itu. Hingga kini acara itu terus
berlangsung dan selalu diagendakan setiap tahun.
Bagus
Putu Parto itu kelahiran kota Blitar, 2 Juni 1967. Seniman sastra dan teater
asal Blitar, yang kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya, dengan
menyandang ijazah sarjana seni 1991, dari jurusan teater. Beliaunya ini, telah
malang-melintang dalam dunia yang digelutinya, sastra dan teater, termasuk jadi tokoh komunitas Barisan Seniman
Muda Biltar (BSMB), RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), dan Dewan Kesenian
Antakota Antarprovinsi, dan banyak lagi. Bersama istrinya, Endang Kalimasada,
mendirikan Rumah Budaya Kalimasada di rumahnya Gogodesa-Kanigoro-Blitar.
Bagus PP akting baca puisi di rumahnya. (foto: AmAm).
Mengingat masa lalunya, seingat saya sang tokoh kita, Bagus Putu Parto ini, pada waktu itu masih idealis jadi seniman. Selalu tampilannya nyentrik sebagai lagaknya seniman yang sangat nyeniman. Bajunya bahkan sering pakai kaos, dan celana selalu warna hitam-hitam. Sering juga pakai iket kepala, dan tas-nya cangklong dari kain kantong terigu segitiga biru. Namun demikian ia sosok seniman yang benar-benar berkreativitas. Hal ini terbukti dengan geliat sastranya yang tanpa henti, dari kota yang satu ke kota lainnya. Pentas sastra, baca puisi atau cerpen, dan bahkan bermonolog. Maka tak salah, jika dia berulah sudah layaknya seniman seperti saya gambarkan di atas. Pancen arek sekolahe wae sekolah seniman! (Memang anaknya berkuliah jurusan seniman!), jadi yang begitulah tampilannya.
Kembali bicara sosok
tokoh kita, Bagus Putu Parto. Sang istri Endang Kalimasada hafal betul atas
kegelisahan suaminya. Jika suaminya agak sakit-sakitan, karena asam urat. Maka
obat mujarabnya bikin kegiatan sastra lagi di rumahnya. Lantas kemudian istrinya,
Endang Kalimasada, membuat lagi acara bertajuk sastra di rumahnya Gogodesa,
Kanigoro - Blitar. Berdua lalu mengundang banyak kawan penulis dan penyair
Jatim, bahkan luar Jatim. Di antaranya gelaran
sastra bertajuk Pentas Perahu Perak, Pesta
Puisi Musim Rambutan , Memo Presiden,
pameran lukisan dengan baca puisi ‘Gresla
Mamoso’, dan banyak lagi.
Catatan
menariknya adalah ketika ada acara-acara sastra, Bagus selalu mengajak ikut
tampil baca puisi istrinya. Termasuk saat pentas Paguyuban Pengarang Jawa Sastra Surabaya (PPSJS) dan FSBS (Forum
Sastra Bersama Surabaya) adakan ngamen sastra di Tembi Rumah Budaya – Yogya.
Endang Kalimasada juga ikut tampil pada Ludruk Guritan ala PPSJS. Lalu di Kafe
Gelass – Kayun Surabaya, Kafe Pustaka - Universitas Negeri Malang, dan mungkin
masih banyak lagi acara sastra.
Keduanya,
Bagus dan Endang Kalimasada seakan sejoli yang tak pernah berhenti berpuisi,
padahal jika di rumah mereka mengelola pabrik roti ‘Kalimasada dan Wijaya
Kusuma’ yang kini telah berkembang pesat itu. Lewat itu pulalah semua geliat
seni pertunjukan seni di Rumah Budaya Kalimasada bisa didanai seluruh
biayanya.
Menurut Bagus Putu
Parto, secara resmi rumahnya yang kerap digunakan pentas seni pertunjukan itu, dinamakan
Rumah Budaya Kalimasada, tahun 2013. Padahal sebelumnya, R. Giryadi
almarhum, sekitar 2010 sudah menyebutkan nama itu. Namun kemudian ada wacana nama
Rumah Budaya Bagus Putu Parto, ada juga wacana lain dengan nama Kampung
Seni Bagus Putu Parto. Dan sejak 2013 itulah kompleks rumahnya itulah resmi
dinamakan Rumah Budaya Kalimasada, meski tanpa ada papan namanya.
Saking kesohornya Rumah
Budaya Kalimasada, sehingga banyak sebutan Rumah Budaya Kalimasada ini,
identik dengan nama seniman yang penyair dan teatrawan Bagus Putu Parto. Meski
sebenarnya didukung penuh menyeluruh istrinya, Endang Kalimasada.
Berkat pesatnya pabrik
roti Kalimasada dan Wijaya Kusuma inilah,
sehingga Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada bisa membiayai
acara-acara sastra yang skalanya hingga Jawa Timur, bahkan Nasional. Dan hal
ini pulalah yang menurut Ki Heri Langit, teman seniman sesama lulusan ISI Yogya
mengatakan bahwa, “Bagus telah melakukan yang luar biasa kepada seniman-seniman
Jawa Timur, yaitu bertemu bersama untuk saling unjuk karya. Hal ini merupakan
kontribusi yang luar biasa dalam ranah kesenian. Jarang sekali pengusaha sukses
yang mau melirik kesenian, apalagi mau mendanai dari buat buku hingga
pentasnya. Jarang sekali ada, “ tandas Ki Heri Langit yang suka jadi pawang
hujan itu.
Masjid Asy-Syahadah milik Bagus Putu Parto, sebagai muara terakhir karirnya. (foto:AmAm).
Dalam pengantar bukunya, kata Bagus Putu Parto berujar, “Muara Terakhir” ini justru saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karena lebih indah berdiam diri dan melangitkan dalam doa. Banyak puisi yang tak tertuliskan. Kalau saya boleh menertawakan diri sendiri, Sayalah Penyair Tanpa Puisi.
Tengsoe Tjahjono, pengulas atas buku Muara Terakhir. (foto.AmAm).
Sementara itu, Tengsoe Tjahjono, menulis “Muara Terakhir” bukan sekadar kumpulan puisi; ia adalah catatan sunyi seorang seniman panggung yang menepi, seorang peziarah makna yang menuliskan perjalanan hidup dengan darah kata-kata. Bagus Putu Parto, yang berakar dari dunia teater, menciptakan puisinya seolah menciptakan naskah panggung—dengan panggilan aktor, dengan cahaya sorot, dengan babak-babak dramatik yang memancing emosi, gelak, getir, bahkan airmata. Ini bukan panggung gemerlap, melainkan panggung kontemplatif, kadang muram, tapi jujur: panggung batin manusia yang sedang menyusuri sisa usia, antara riuh bisnis dan sunyi spiritualitas.
Menutup kata
pengantarnya Dr. Tengsoe Tjahjono, yang dosen FIB _UB Malang ini menjelaskan,
bahwa Muara Terakhir bukan pengunduran diri dari puisi. Ia adalah
peralihan dari suara lantang ke suara lirih. Penyair yang dulu hadir dalam
parade protes kini menjadi pertapa sunyi yang masih menulis, meski hanya untuk
dirinya sendiri. Teori Butler membantu kita membaca puisi ini sebagai panggung
performatif. Heidegger membantu kita memahami waktu sebagai kesadaran
spiritual. Bourdieu membantu menjelaskan pilihan hidup penyair yang tak lagi
sepenuhnya milik kesenian. Dan Rumi membantu kita menafsirkan air mata sebagai
pemurnian jiwa.
Dr. Tengsoe Tjahjono
akhirnya menandaskan Bagus Putu Parto menutup bukunya dengan membangun masjid:
ruang dzikir yang senyap, ruang sujud yang tak memerlukan puisi. Tapi kita
tahu, bahkan dalam diamnya, puisi masih berbunyi.
Bagi saya yang jadi
pewawancara, Bagus Putu Parto, sebagai
pemilik Rumah Budaya Kalimasada sudah mencerminkan keberadaannya sebagai
seniman yang akan tetap terus berkarya. Mungkin menulis puisi, cerpen, atau
pentas monolog lagi. Bagus Putu Parto identik Rumah Budaya Kalimasada, tak
lekang untuk terus bersastra-sastra.*(aming aminoedhin).
Catatan:
Tulisan ini telah termuat di Majalah Seni Budaya Jatim, Cak Durasim, terbitan Taman Budaya Jawa Timur, Nomor 21 - Edisi Juli 2025.