Jumat, 15 Agustus 2025

RUMAH BUDAYA TANPA PAPAN NAMA

 

 

Bagus Putu Parto, identik

Rumah Budaya Kalimasada

Laporan: Aming Aminoedhin

             Mengunjungi rumah Bagus Putu Parto, yang berlokasi di Gogodesa – Kanigoro – Kabupaten Blitar, serasa memasuki rumah indah penuh bunga-bunga. Betapa tidak, sebab di halaman rumah banyak ditanam bunga-bunga. Ruangan halaman agak ke dalam tampak rapi dan asri, ada pohon-pohon rambutan nan rindang meneduhi bunga-bunga yang indah itu. Ada mushola kecil, aula pentas seni,  lantas ada dua rumah istirah, bagi tetamu yang datang.

            Semuanya tertata rapi dan asri, begitu juga ornamen pajangan dalam ruangan-ruangan itu, hampir segalanya berbau seni: patung-patung, topeng-topeng, lukisan, atau ornament lainnya. Tidaklah salah jika rumah itu disebut Rumah Budaya Kalimasada.


                                     Bagus Putu Parto, saat akting baca puisi di depan joglo RBK. (foto: AmAm).

            Masih di lingkungan rumahnya, agak ke arah barat, ada kolam renang yang pada utara kolam itu, ada rumah joglo besar yang biasa untuk kegiatan apa saja, termasuk seni pertun-jukan apa saja. Semua ruangan-ruangan itu, pernah diadakan pentas seni sastra, teater, musik, pengajian, dan bahkan resepsi mantu, ketika Bagus Putu Parto menikahkan anak pertamanya, Kaka Kalimasada.

            Hampir dalam semua kompleks rumahnya nan indah inilah,  disebut sebagai Rumah Budaya Kalimasada, meskipun tanpa ada papan nama tertulis di seputaran rumah itu.

            Aneh? Mungkin tidak, sebab rumah budaya tidak harus ditandai papan nama, kata Bagus Putu Parto, saat ditemui (4/6/2025) di rumahnya. Tapi rumah budaya ini mau terbitkan buku sastra, yang mengandung atau memuat unsur seni budayanya, tegasnya.

 Bagus dan Endang Kalimasada         

            Untuk menemui tokoh sastra yang satu ini, memang agak susah. Awalnya ingin temu tanggal 1/6/2025,  bisa mundur hingga tanggal 4 & 5/6/2025, baru bisa ditemui. Kenapa harus pilih tanggal 1 Juni, sebab ini merupakan Hari Lahir Pancasila, yang bersamaan itu ada acara Grebeg Pancasila, yang diperingati setiap tahun oleh Pemerintah Kota Blitar. Maksud saya sekali dayung, tiga pulau bisa terlampaui. Artinya, wawancara sekalian saya bisa nonton acara tersebut. Ternyata tanggal itu tak bisa, karena Bagus ada jadwal lain, tak bisa ditinggalkan.  Sehingga baru bisa, tanggal 4 & 5 Juni 2025, saya bisa wawancara di bawah pohon rambutan nan teduh itu di rumahnya.

            Bicara soal Grebeg Pancasila yang kini digelar setiap tahun di Kota Blitar, salah satu pencentusnya adalah beliaunya. Waktu itu bersama komunitas Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB), Bagus Putu Parto mengawali acara itu. Hingga kini acara itu terus berlangsung dan selalu diagendakan setiap tahun.

            Bagus Putu Parto itu kelahiran kota Blitar, 2 Juni 1967. Seniman sastra dan teater asal Blitar, yang kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya, dengan menyandang ijazah sarjana seni 1991, dari jurusan teater. Beliaunya ini, telah malang-melintang dalam dunia yang digelutinya, sastra dan teater,  termasuk jadi tokoh komunitas Barisan Seniman Muda Biltar (BSMB), RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), dan Dewan Kesenian Antakota Antarprovinsi, dan banyak lagi. Bersama istrinya, Endang Kalimasada, mendirikan Rumah Budaya Kalimasada di rumahnya Gogodesa-Kanigoro-Blitar.


                                Bagus PP akting baca puisi di rumahnya. (foto: AmAm).

            Mengingat masa lalunya, seingat saya  sang tokoh kita, Bagus Putu Parto ini, pada waktu itu masih idealis jadi seniman. Selalu tampilannya nyentrik sebagai lagaknya seniman yang sangat nyeniman. Bajunya bahkan sering pakai kaos, dan celana selalu warna hitam-hitam. Sering juga pakai iket kepala, dan tas-nya cangklong dari kain kantong terigu segitiga biru. Namun demikian ia sosok seniman yang benar-benar berkreativitas. Hal ini terbukti dengan geliat sastranya yang tanpa henti, dari kota yang satu ke kota lainnya. Pentas sastra, baca puisi atau cerpen, dan bahkan bermonolog. Maka tak salah, jika dia berulah sudah layaknya seniman seperti saya gambarkan di atas. Pancen arek sekolahe wae sekolah seniman! (Memang anaknya berkuliah jurusan seniman!), jadi yang begitulah tampilannya.

            Kembali bicara sosok tokoh kita, Bagus Putu Parto. Sang istri Endang Kalimasada hafal betul atas kegelisahan suaminya. Jika suaminya agak sakit-sakitan, karena asam urat. Maka obat mujarabnya bikin kegiatan sastra lagi di rumahnya. Lantas  kemudian istrinya, Endang Kalimasada, membuat lagi acara bertajuk sastra di rumahnya Gogodesa, Kanigoro - Blitar. Berdua lalu mengundang banyak kawan penulis dan penyair Jatim, bahkan luar Jatim.  Di antaranya gelaran sastra bertajuk Pentas Perahu Perak, Pesta Puisi Musim Rambutan , Memo Presiden, pameran lukisan dengan baca puisi ‘Gresla Mamoso’, dan banyak lagi.

            Catatan menariknya adalah ketika ada acara-acara sastra, Bagus selalu mengajak ikut tampil baca puisi istrinya. Termasuk saat pentas Paguyuban Pengarang  Jawa Sastra Surabaya (PPSJS) dan FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) adakan ngamen sastra di Tembi Rumah Budaya – Yogya. Endang Kalimasada juga ikut tampil pada Ludruk Guritan ala PPSJS. Lalu di Kafe Gelass – Kayun Surabaya, Kafe Pustaka - Universitas Negeri Malang, dan mungkin masih banyak lagi acara sastra.

            Keduanya, Bagus dan Endang Kalimasada seakan sejoli yang tak pernah berhenti berpuisi, padahal jika di rumah mereka mengelola pabrik roti ‘Kalimasada dan Wijaya Kusuma’ yang kini telah berkembang pesat itu. Lewat itu pulalah semua geliat seni pertunjukan seni di Rumah Budaya Kalimasada bisa didanai seluruh biayanya.

 Rumah Budaya Kalimasada

             Seperti telah diungkap di awal, bahwa Rumah Budaya Kalimasada ini tanpa ada papan namanya. Namun gemanya cukup menyeluruh dan menyentuh kantung-kantung seni lainnya, hingga luar kota, bahkan luar provinsi. Sebab Rumah Budaya Kalimasada tidak hanya sekadar adakan pentas seni pertunjukan seni, tapi juga menerbitkan buku-buku sastra, sebagai tanda atas keberadaannya. Selama ini  sudah ada 17 judul buku sastra diterbitkan oleh Rumah Budaya Kalimasada, sejak secara resmi didirikan sejoli penyuka puisi ini. Di antaranya:  Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo, Revolusi Para Ikan, Kata Cookies Pada Musim, Perahu Perak, GIR, KM -0, Rumah Sejarah, Biografi Tepung dan banyak lagi. Terakhir Rumah Budaya Kalimasada menerbitkan Mutiara Terakhir (2025).


            Menurut Bagus Putu Parto, secara resmi rumahnya yang kerap digunakan pentas seni pertunjukan itu, dinamakan Rumah Budaya Kalimasada, tahun 2013. Padahal sebelumnya, R. Giryadi almarhum, sekitar 2010 sudah menyebutkan nama itu. Namun kemudian ada wacana nama Rumah Budaya Bagus Putu Parto, ada juga wacana lain dengan nama Kampung Seni Bagus Putu Parto. Dan sejak 2013 itulah kompleks rumahnya itulah resmi dinamakan Rumah Budaya Kalimasada, meski tanpa ada papan namanya.

            Saking kesohornya Rumah Budaya Kalimasada, sehingga banyak sebutan Rumah Budaya Kalimasada ini, identik dengan nama seniman yang penyair dan teatrawan Bagus Putu Parto. Meski sebenarnya didukung penuh menyeluruh istrinya, Endang Kalimasada.

            Berkat pesatnya pabrik roti Kalimasada dan Wijaya Kusuma inilah,   sehingga Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada bisa membiayai acara-acara sastra yang skalanya hingga Jawa Timur, bahkan Nasional. Dan hal ini pulalah yang menurut Ki Heri Langit, teman seniman sesama lulusan ISI Yogya mengatakan bahwa, “Bagus telah melakukan yang luar biasa kepada seniman-seniman Jawa Timur, yaitu bertemu bersama untuk saling unjuk karya. Hal ini merupakan kontribusi yang luar biasa dalam ranah kesenian. Jarang sekali pengusaha sukses yang mau melirik kesenian, apalagi mau mendanai dari buat buku hingga pentasnya. Jarang sekali ada, “ tandas Ki Heri Langit yang suka jadi pawang hujan itu.

  Muara Terakhir

             Perjalanan nan panjang dalam malang-melintang bersastra dilalui Bagus Putu Parto, dan berusaha sebagai pengusaha pabrik roti yang sukses juga telah dilampaui bersama istrinya Endang Kalimasada, Lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya? Baru-baru ini, mereka berdua telah mendirikan sebuah masjid bernama Asy-Syahadah yang cukup representif, di dekat rumahnya. Dan menandai hal itu, ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi bertajuk Muara Terakhir, kitab puisi. Buku ini memuat karya-karya puisinya, dan  sejumlah puisi dari para sahabatnya: Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan Warok Sutejo.

               Masjid Asy-Syahadah milik Bagus Putu Parto, sebagai muara terakhir karirnya. (foto:AmAm).

            Dalam pengantar bukunya, kata Bagus Putu Parto berujar, “Muara Terakhir” ini justru saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karena lebih indah berdiam diri dan melangitkan dalam doa. Banyak puisi yang tak tertuliskan. Kalau saya boleh menertawakan diri sendiri, Sayalah Penyair Tanpa Puisi.

         

            Tengsoe Tjahjono, pengulas atas buku Muara Terakhir. (foto.AmAm).


 
Sementara itu, Tengsoe Tjahjono, menulis    “Muara Terakhir” bukan sekadar kumpulan puisi; ia adalah catatan sunyi seorang seniman panggung yang menepi, seorang peziarah makna yang menuliskan perjalanan hidup dengan darah kata-kata. Bagus Putu Parto, yang berakar dari dunia teater, menciptakan puisinya seolah menciptakan naskah panggung—dengan panggilan aktor, dengan cahaya sorot, dengan babak-babak dramatik yang memancing emosi, gelak, getir, bahkan airmata. Ini bukan panggung gemerlap, melainkan panggung kontemplatif, kadang muram, tapi jujur: panggung batin manusia yang sedang menyusuri sisa usia, antara riuh bisnis dan sunyi spiritualitas.

            Menutup kata pengantarnya Dr. Tengsoe Tjahjono, yang dosen FIB _UB Malang ini menjelaskan, bahwa Muara Terakhir bukan pengunduran diri dari puisi. Ia adalah peralihan dari suara lantang ke suara lirih. Penyair yang dulu hadir dalam parade protes kini menjadi pertapa sunyi yang masih menulis, meski hanya untuk dirinya sendiri. Teori Butler membantu kita membaca puisi ini sebagai panggung performatif. Heidegger membantu kita memahami waktu sebagai kesadaran spiritual. Bourdieu membantu menjelaskan pilihan hidup penyair yang tak lagi sepenuhnya milik kesenian. Dan Rumi membantu kita menafsirkan air mata sebagai pemurnian jiwa.

            Dr. Tengsoe Tjahjono akhirnya menandaskan Bagus Putu Parto menutup bukunya dengan membangun masjid: ruang dzikir yang senyap, ruang sujud yang tak memerlukan puisi. Tapi kita tahu, bahkan dalam diamnya, puisi masih berbunyi.

            Bagi saya yang jadi pewawancara, Bagus Putu Parto,  sebagai pemilik Rumah Budaya Kalimasada sudah mencerminkan keberadaannya sebagai seniman yang akan tetap terus berkarya. Mungkin menulis puisi, cerpen, atau pentas monolog lagi. Bagus Putu Parto identik Rumah Budaya Kalimasada, tak lekang untuk terus bersastra-sastra.*(aming aminoedhin).


Catatan:

Tulisan ini telah termuat di Majalah Seni Budaya Jatim, Cak Durasim, terbitan Taman Budaya Jawa Timur, Nomor 21 - Edisi Juli 2025.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 


 

 


Minggu, 18 Mei 2025

SURABAYA HARI INI 2025

 

SENIMAN KUMPUL
DI BALAI PEMUDA SURABAYA

 

             Lama tidak kumpul, seniman yang tergabung Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS)  yang diketuai Jil Panjagir Kalaran, kerja sama dengan Forum Budaya Surabaya (FBS), Seduluran Semanggi Suroboyo (3S), Dewan Kesenian Surabaya (DKS), serta  didukung penuh oleh Practica production dan SABAYA talent based school, menggelar acara bertajuk Surabaya Hari Ini, 13 Mei 2025. Acara digelar di pelataran luar Balai Pemuda Surabaya, sisi selatan, dan penonton bisa enjoy menikmati sajian tontonan.

            Tampilan pertama dibuka oleh Pusat Olah Seni Surabaya - POSS Ensemble pimpinan Heru Prasetyono dengan  membawakan dua komposisi yakni Canon in D dan Jembatan Merah.

Lalu ada  juga monolog oleh Meimura, seniman yang dikenal berkesenian dengan ludruknya. Meimura menutup tampilan dengan remo dan parikan “Surabaya kota pahlawan, ayo dijaga supaya  aman.


                                            Jil P Kalaran, ketua FPKS sedang sambutan. (foto: mat).

            Adapun sambutan Jil P. Kalaran, penggagas Forum Pegiat Kesenian Surabaya (FPKS), katanya, “Acara ini dimulai antar-seniman. FPKS ingin bekerjasama, bergandeng tangan melangkah bersama antar kelompok seni, komunitas dan individu. Melangkah bersama, jalan bersama, tanpa ada lagi sekat-sekat, tapi bersatu. Gerakan kesenian tidak bisa dilakukan sendirian, harus dilakukan bersama sama, dibangun bersama sama. Baru kita bisa bergerak bersama-sama. Acara ini rencananya akan digelar sebulan sekali di Balai Pemuda Surabaya. Diharapkan gerakan ini akan bisa membuat Festival Seni Surabaya kembali. yang telah lama mati.










            
Selain tampilan para penyair seperti: Tengsoe Tjahjono, Imung Mulyanto, Aming Aminoedhin, Widodo Basuki, Denting Kemuning, Autar Abdilah, R. Djoko Prakosa & Harwi, Deny Tri Aryanti, Hetty Palestina,  dan banyak lagi; ada juga orasi budaya oleh  Kuncarsono Prasetyo.

            Tampilan musik lainnya ada B. Jon, Pardi Artin, dan  Prof. Rubi Kastubi, menampilan lagunya Gombloh hingga penonton ikut bernyanyi bersama, lantas Arul Lamandau & Heru Dharma,  menyanyikan musik dan baca puisi “Jatuh Miskin”.

            Menutup acara tampil monolog Dody Yan Masfa menutup acara dengan mengenakan daster kuning dan membawa tas merah sederhana yang diselempangkan di pundak kanannya, Dody bergerak dari arah penonton  ke panggung dan berkeliling sekitar panggung, dan terus meneriakkan narasi berulang-uulang, “Orang-orang tidak pernah serius dengan kebaikan, tidak pernah sungguh-sungguh dengan kebenaran. Kita cuma main-main, memperolok jaman, memperburuknya dengan kemalasan dan kesombongan. Jangan menagis, jangan ketawa, Itu cuma kesadaran fakultas, kesadaran faktur, kesadaran faksimili, kesadaran fakyu.”

   


                Para seniman pengisi acara pada Surabaya Hari Ini, di selasar Balai Pemuda Surabaya     (mat).

             Secara tampilan malam itu cukup sukses dengan banyak penoton yang hadir ikut bersorak dan bergembira atas atas tontonan malam itu. Hanya sayangnya waktu terbatas hanya sam;pai pukul 22.00. WIB. padahal masih banyak kawan seniman yang akan ikut tampil malam itu. sayang-disayang!.(mat).

 

 

 

Rabu, 12 Maret 2025

JELANG HARI SASTRA 28 APRIL 2025

 

 

BENARKAH TELAH SERIBU TAHUN CHAIRIL ANWAR


           Ada sesuatu yang menarik bagi masyarakat sastra Indonesia, ketika bulan telah sampai pada bulan keempat atau April, pada setiap tahunnya. Kenapa menarik? Sebab pada bulan ini, ada hari yang sangat istimewa bagi mereka, yaitu Hari Sastra, yang jatuh pada tanggal 28 Aprilnya. Di samping ada Hari Buku, 23 April 2014-nya.

Ditulis: Aming Aminoedhin

Penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra, karena pada tanggal itu tahun 1949 lalu, adalah hari kematian sang penyair binatang jalang, Chairil Anwar. Meski menuai pro-krontra atas penetapan Hari Sastra pada 28 April; tetapi hingga kini di kampus-kampus fakultas sastra di seluruh Indonesia, masih ada yang merayakannya. Meski mungkin hanya digelar baca cerpen dan puisi, serta pentas teater; tapi masih diperingati.

          Tak jarang pula ada beberapa kampus sastra merayakan Hari Sastra bisa berhari-hari. Diawali dengan lomba nulis dan baca puisi, lomba nulis dan baca cerpen, pentas teater, diskusi sastra, bedah buku, atau mendatangkan para pakar sastra untuk berseminar. Seminar yang bicara untuk membongkar karya-karya Chairil Anwar yang fenomenal. Baik yang asli dibuat, atau mungkin karyanya yang ternyata ada juga yang hanya plagiat.

 

Dinobatkan Jassin

          Menurut catatan HB Jassin, sang paus sastra Indonesia, disebutkan bahwa Chairil Anwar, si binatang jalang itu, ternyata selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat  70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan,  6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Sehingga secara jumlah keseluruhan tulisan Chairil Anwar, tak begitu banyak jumlahnya, hanya 94 karya. Namun demikian, namanya sebagai penyair sangatlah melambung tinggi, di ranah sastra Indonesia.

          Kenapa demikian?  Karena Chairil Anwar telah dinobatkan oleh Jassin, sebagai tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia. Ketokohannya tidak hanya persoalan Chairil sebagai penyair yang mendobrak gaya penulisan yang tradisional semacam syair, pantun, dan gurindam saja; melainkan juga lantaran Chairil sebagai tokoh yang cukup kontroversial, sebab hanya kurun waktu 7 tahun, hanya ada 70 puisi yang ditulisnya.

 

 

 

Masih Ingat Chairil

 Kontroversial berikutnya, puisinya sangat dikenal, dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. Puisinya bahkan menjelma (pinjam istilah Sapardi Djoko Damono) menjadi kata mutiara atau semacam pepatah untuk pedoman hidup seseorang manusia. Puisinya sendiri juga berumur panjang, sesuai tulisan naskah puisinya, “aku mau hidup seribu tahun lagi.”

          Semua ini terbukti, ketika saya mencoba mencari tahu tentang ketenaran Chairil, ke beberapa orang tetangga saya yang punya usia sekitar 60 hingga 70-an tahun (catatan: mereka semua  pernah sekolah), jika ditanya soal puisi Indonesia, maka mereka masih sangat kenal dengan puisinya Chairil Anwar. Meski, mereka ada juga yang kenal puisi-puisi karya: Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Rustam Effendi.

Ada pun yang mereka ingat, hampir semua mengatakan bahwa karya Chairil yang sangat terkenal itu berjudul ‘Aku’. Baris-baris puisi yang mereka ingat antara lain: Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/ dan baris terkahir dari puisi itu yang berbunyi: Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Untuk mengingatkan kembali puisi berjudul ‘Aku’  itu, kami muatkan puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret 1943.

Menyimak isi yang tersurat dan tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil,  kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.

Dalam puisi ini juga tersirat makna bahwa semua itu dituliskan seakan melawan kedzaliman penjajah Jepang dan  utamanya Belanda, yang akan tetap mengangkangi Indonesia kembali. Apa lagi puisi itu ditulis pada 1943, saat Jepang menduduki negeri kita, Republik Indonesia.

Potongan puisi lain yang sangat dikenal mereka, para orang-orang tua itu, adalah berjudul ‘Krawang-Bekasi’ dengan baris-baris yang antara lain berbunyi: Kami cuma tulang-tulang berserakan/Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan/arti 4-5 ribu nyawa//. Lantas pada bait hampir terakhir puisi, yang berbunyi: Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir.

Kedua judul puisi itu juga memberi dan menebarkan sugesti rasa heroik bagi para pemuda pada zamannya. Puisi ini pulalah yang barangkali menjadi abadi. Dikenang dan diingat sepanjang zaman.

          Menurut Sapardi Djoko Damono, beberapa larik puisinya Chairil Anwar yang lain, bahkan telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara, yang berbunyi: ‘Hidup hanya menunda kekalahan’ atau ‘Sekali berarti sudah itu mati’, dan mungkin masih banyak lagi.

          Memasuki bulan April 2025 ini, ada pertanyaan yang bersliweran di benak saya, bahwa Hari Sastra kok tidak ada gaungnya di kota Surabaya. Padahal, kota terbesar kedua di Indonesia ini, punya dua fakultas sastra universitas negeri (Unair dan Unesa), dan sejumlah fakultas sastra perguruan tinggi swasta. Sebut saja UK Petra, Universitas Widya Mandala, Universitas Wijaya Kusuma, dan Unipa. Ada apa? Adakah para mahasiswa kini tidak lagi terinspirasi atas potongan puisi Chairil yang bicara, “Aku mau hidup seribu tahun lagi? 

Sungguh, si binatang jalang Chairil Anwar, menjadi fenomena yang cukup sensasional dalam ranah kepenyairan dan sastra Indonesia hingga sekarang. Terbukti, naskahnya masih diingat para orang tua yang usianya lebih dari setengah abad. Sensasional berikutnya, bahwa Chairil ingin hidup seribu tahun lagi, telah terjawab sudah melalui puisinya yang masih diingat manusia Indonesia di abad 21 ini. Sementara, puisinya ditulis tahun 1943, yang ketika itu masih masuk dalam kurun waktu abad 20 lalu. Telah seribu tahun Chairil Anwar berpuisi, kita boleh setuju atau mungkin tidak bersetuju? Terserah?

Tapi adakah kita tak tergelitik menulis puisi? Atau kita hanya bisa sekadar memperingati Hari Sastra, tanpa mendapatkan sugesti kreativitasnya? Atau mungkin kita malah tak berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara? Marilah kita coba menulis puisi, meski mungkin hanya sebait saja. Cobalah!

 

                                                  Desaku Canggu, 10  Ramadhan 1446-H - (10/3/2025)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

Kamis, 20 Februari 2025

Warumas Melangkah Lagi

 

WARTAWAN LAWAS TAMPIL KEENAM KALI

Komunitas Warumas Baca Puisi Lagi

 

 

                        “Eksotika Jawa Timur” adalah kumpulan puisi yang memuat tulisan puisi                yang  mengangkat adanya potensi pariwisata di Jawa Timur, mulai panorama sampai kuliner. Indahnya kota-kota yang ada di Jatim, dan objek wisata yang banyak jumlahnya dari Ngawi hingga Banyu-wangi,  Para wartawan lawas  menulis puisi dengan perspektif jurnalistik. Tak salah puisinya dihasilkannya pun tampak unik. Ibarat membaca laporan jurnalistik berisi keindahan. dan                    diksi pilihannya jadi menarik enak dibaca.

               Komunitas Wartawan Usia Emas (Warumas) kembali tampil gelaran baca puisi, pada Jumat 8 November 2024 di Kafe Omah Lawas, Jalan Taman Putro Agung no. 6 Surabaya,  menandai peluncuran buku kumpulan  puisi yang keenam kalinya. Rumah lawas yang dijadikan kafe ini, milik Nunung Harso, ketua IWPI (Ikatan Wanita Pelukis Indonesia) yang dijadikan acara launching atau peluncuran buku “Eksotika Jawa Timur” memuat tulisan puisi para wartawan lawas itu. Mereka itu adalah Achmad Pamudito dan Karyanto (Koran Surya), Amang Mawardi (Jawa Anyar), Aming Aminoedhin (Koran Pelajar Bekal/Surabaya Post dan Majalah Media Jatim),          Arieyoko (Republika), Mujianto (Kirana), Satsetyo Wilutama (Panyebar Semangat), Toto Sonata (Suara Indonesia), Kris Maryono (RRI), Imung Mulyanto dan Rokimdakas (Surabaya Post), Ida Noersanty,  serta sederet nama lainnya.

           

                     Para wartawan lawas berpose di Kafe Omah Lawas Surabaya. (foto:aa)

  

                                                 Amang Mawardi. (dok:aa)

 

                                                    Imung Mulyanto (dok:aa)

 

 Aming Aminoedhin. (dok:aa)

                              

           Acara ini juga dihadiri tokoh wartawan lawas lainnya, seperti: Ali Salim. Yousri Nur Raja Agam, Hariono Santoso, pelawak HM Djadi Galajapo, Pungky Kusuma, seorang praktisi pariwisata dan perhotelan, dan perempuan penyair Denting Kemuning, serta banyak lagi.

               Diskusi sebelum baca puisi, tentang bahasan bagaimana kekayaan alam dan budaya Jawa Timur dapat terus diangkat ke kancah nasional, bahkan internasional; tampilah  Pungky Kusuma dan Nunung Harso sebagai pemantik dialog sore hari itu. Menurut mereka bahwa terbitan buku “Eksotika Jawa Timur” ini bukan hanya menjadi bukti dedikasi, dan semangat para wartawan lawas  untuk selalu  berkarya, namun juga bentuk kontribusi Warumas dalam mempromosikan pesona pariwisata Jawa Timur melalui keindahan berupa tulisan puisi ini. 

            Buku yang punya 150 halaman ini, memuat 65 karya puisi dari 12 anggota Warumas, dan 4 orang penyair tamu. Di antara penulis tamu ini terdapat nama Hariono Santoso, mantan Direktur Utama TVRI. Nunung |Harso yang ketua IWPI dan mantan anggota DPRD Suarabaya; lantas ada HM Djadi Galajapo, imam besar pelawak Indonesia; serta Riamah M Douliat.

            “Kami semua ini, memang sekumpulan wartawan lawas,  yang menolak pensiun dalam berkarya. Tidak lagi nmenulis berita, tetapi kini beralih  menulis puisi,” kata Kris Maryono, ketua Warumas, yang pada saat acara tersebut berhalangan hadir lantaran sakit. Sementara itu, di tempat terpisah Aming Aminoedhin, sempat diwawancarai oleh Puspita S. Candra dari Wartawan VOA (Voice of America), dan beritanya termuat di VOA Indonesia.

Komunitas Warumas telah melangkah lagi menulis puisi, kini tinggal berbenah dan bersiap langkah berikutnya, kumpulan puisi yang ketujuh. Kapan dan apa tema yang akan diangkat? Dari perbincangan tak formal kawan-kawan akan digarap pada Hari Pers Nasional nanti 2025. Semoga saja bisa terealisasi, dan sukses Kembali. Salam literasi.(aming aminoedhin). **

 


      Nunung Harso saat baca puisinya di launching buku Eksotika Jatim. (dok: aa))

 

 

                                             Toto Sonata baca puisi.  (dok: aa))


Catatan: 

Tulisan ini termuat di Majalah Cak Durasim -TBJT - No. 20 -Desember 2024.