Rabu, 12 Maret 2025

JELANG HARI SASTRA 28 APRIL 2025

 

 

BENARKAH TELAH SERIBU TAHUN CHAIRIL ANWAR


           Ada sesuatu yang menarik bagi masyarakat sastra Indonesia, ketika bulan telah sampai pada bulan keempat atau April, pada setiap tahunnya. Kenapa menarik? Sebab pada bulan ini, ada hari yang sangat istimewa bagi mereka, yaitu Hari Sastra, yang jatuh pada tanggal 28 Aprilnya. Di samping ada Hari Buku, 23 April 2014-nya.

Ditulis: Aming Aminoedhin

Penetapan tanggal 28 April sebagai Hari Sastra, karena pada tanggal itu tahun 1949 lalu, adalah hari kematian sang penyair binatang jalang, Chairil Anwar. Meski menuai pro-krontra atas penetapan Hari Sastra pada 28 April; tetapi hingga kini di kampus-kampus fakultas sastra di seluruh Indonesia, masih ada yang merayakannya. Meski mungkin hanya digelar baca cerpen dan puisi, serta pentas teater; tapi masih diperingati.

          Tak jarang pula ada beberapa kampus sastra merayakan Hari Sastra bisa berhari-hari. Diawali dengan lomba nulis dan baca puisi, lomba nulis dan baca cerpen, pentas teater, diskusi sastra, bedah buku, atau mendatangkan para pakar sastra untuk berseminar. Seminar yang bicara untuk membongkar karya-karya Chairil Anwar yang fenomenal. Baik yang asli dibuat, atau mungkin karyanya yang ternyata ada juga yang hanya plagiat.

 

Dinobatkan Jassin

          Menurut catatan HB Jassin, sang paus sastra Indonesia, disebutkan bahwa Chairil Anwar, si binatang jalang itu, ternyata selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat  70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan,  6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Sehingga secara jumlah keseluruhan tulisan Chairil Anwar, tak begitu banyak jumlahnya, hanya 94 karya. Namun demikian, namanya sebagai penyair sangatlah melambung tinggi, di ranah sastra Indonesia.

          Kenapa demikian?  Karena Chairil Anwar telah dinobatkan oleh Jassin, sebagai tokoh Angkatan ’45 dalam sastra Indonesia. Ketokohannya tidak hanya persoalan Chairil sebagai penyair yang mendobrak gaya penulisan yang tradisional semacam syair, pantun, dan gurindam saja; melainkan juga lantaran Chairil sebagai tokoh yang cukup kontroversial, sebab hanya kurun waktu 7 tahun, hanya ada 70 puisi yang ditulisnya.

 

 

 

Masih Ingat Chairil

 Kontroversial berikutnya, puisinya sangat dikenal, dan memberikan pencerahan bagi masyarakat. Puisinya bahkan menjelma (pinjam istilah Sapardi Djoko Damono) menjadi kata mutiara atau semacam pepatah untuk pedoman hidup seseorang manusia. Puisinya sendiri juga berumur panjang, sesuai tulisan naskah puisinya, “aku mau hidup seribu tahun lagi.”

          Semua ini terbukti, ketika saya mencoba mencari tahu tentang ketenaran Chairil, ke beberapa orang tetangga saya yang punya usia sekitar 60 hingga 70-an tahun (catatan: mereka semua  pernah sekolah), jika ditanya soal puisi Indonesia, maka mereka masih sangat kenal dengan puisinya Chairil Anwar. Meski, mereka ada juga yang kenal puisi-puisi karya: Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan Rustam Effendi.

Ada pun yang mereka ingat, hampir semua mengatakan bahwa karya Chairil yang sangat terkenal itu berjudul ‘Aku’. Baris-baris puisi yang mereka ingat antara lain: Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/ dan baris terkahir dari puisi itu yang berbunyi: Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Untuk mengingatkan kembali puisi berjudul ‘Aku’  itu, kami muatkan puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang ‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret 1943.

Menyimak isi yang tersurat dan tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil,  kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.

Dalam puisi ini juga tersirat makna bahwa semua itu dituliskan seakan melawan kedzaliman penjajah Jepang dan  utamanya Belanda, yang akan tetap mengangkangi Indonesia kembali. Apa lagi puisi itu ditulis pada 1943, saat Jepang menduduki negeri kita, Republik Indonesia.

Potongan puisi lain yang sangat dikenal mereka, para orang-orang tua itu, adalah berjudul ‘Krawang-Bekasi’ dengan baris-baris yang antara lain berbunyi: Kami cuma tulang-tulang berserakan/Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan/arti 4-5 ribu nyawa//. Lantas pada bait hampir terakhir puisi, yang berbunyi: Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir.

Kedua judul puisi itu juga memberi dan menebarkan sugesti rasa heroik bagi para pemuda pada zamannya. Puisi ini pulalah yang barangkali menjadi abadi. Dikenang dan diingat sepanjang zaman.

          Menurut Sapardi Djoko Damono, beberapa larik puisinya Chairil Anwar yang lain, bahkan telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara, yang berbunyi: ‘Hidup hanya menunda kekalahan’ atau ‘Sekali berarti sudah itu mati’, dan mungkin masih banyak lagi.

          Memasuki bulan April 2025 ini, ada pertanyaan yang bersliweran di benak saya, bahwa Hari Sastra kok tidak ada gaungnya di kota Surabaya. Padahal, kota terbesar kedua di Indonesia ini, punya dua fakultas sastra universitas negeri (Unair dan Unesa), dan sejumlah fakultas sastra perguruan tinggi swasta. Sebut saja UK Petra, Universitas Widya Mandala, Universitas Wijaya Kusuma, dan Unipa. Ada apa? Adakah para mahasiswa kini tidak lagi terinspirasi atas potongan puisi Chairil yang bicara, “Aku mau hidup seribu tahun lagi? 

Sungguh, si binatang jalang Chairil Anwar, menjadi fenomena yang cukup sensasional dalam ranah kepenyairan dan sastra Indonesia hingga sekarang. Terbukti, naskahnya masih diingat para orang tua yang usianya lebih dari setengah abad. Sensasional berikutnya, bahwa Chairil ingin hidup seribu tahun lagi, telah terjawab sudah melalui puisinya yang masih diingat manusia Indonesia di abad 21 ini. Sementara, puisinya ditulis tahun 1943, yang ketika itu masih masuk dalam kurun waktu abad 20 lalu. Telah seribu tahun Chairil Anwar berpuisi, kita boleh setuju atau mungkin tidak bersetuju? Terserah?

Tapi adakah kita tak tergelitik menulis puisi? Atau kita hanya bisa sekadar memperingati Hari Sastra, tanpa mendapatkan sugesti kreativitasnya? Atau mungkin kita malah tak berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara? Marilah kita coba menulis puisi, meski mungkin hanya sebait saja. Cobalah!

 

                                                  Desaku Canggu, 10  Ramadhan 1446-H - (10/3/2025)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

Kamis, 20 Februari 2025

Warumas Melangkah Lagi

 

WARTAWAN LAWAS TAMPIL KEENAM KALI

Komunitas Warumas Baca Puisi Lagi

 

 

                        “Eksotika Jawa Timur” adalah kumpulan puisi yang memuat tulisan puisi                yang  mengangkat adanya potensi pariwisata di Jawa Timur, mulai panorama sampai kuliner. Indahnya kota-kota yang ada di Jatim, dan objek wisata yang banyak jumlahnya dari Ngawi hingga Banyu-wangi,  Para wartawan lawas  menulis puisi dengan perspektif jurnalistik. Tak salah puisinya dihasilkannya pun tampak unik. Ibarat membaca laporan jurnalistik berisi keindahan. dan                    diksi pilihannya jadi menarik enak dibaca.

               Komunitas Wartawan Usia Emas (Warumas) kembali tampil gelaran baca puisi, pada Jumat 8 November 2024 di Kafe Omah Lawas, Jalan Taman Putro Agung no. 6 Surabaya,  menandai peluncuran buku kumpulan  puisi yang keenam kalinya. Rumah lawas yang dijadikan kafe ini, milik Nunung Harso, ketua IWPI (Ikatan Wanita Pelukis Indonesia) yang dijadikan acara launching atau peluncuran buku “Eksotika Jawa Timur” memuat tulisan puisi para wartawan lawas itu. Mereka itu adalah Achmad Pamudito dan Karyanto (Koran Surya), Amang Mawardi (Jawa Anyar), Aming Aminoedhin (Koran Pelajar Bekal/Surabaya Post dan Majalah Media Jatim),          Arieyoko (Republika), Mujianto (Kirana), Satsetyo Wilutama (Panyebar Semangat), Toto Sonata (Suara Indonesia), Kris Maryono (RRI), Imung Mulyanto dan Rokimdakas (Surabaya Post), Ida Noersanty,  serta sederet nama lainnya.

           

                     Para wartawan lawas berpose di Kafe Omah Lawas Surabaya. (foto:aa)

  

                                                 Amang Mawardi. (dok:aa)

 

                                                    Imung Mulyanto (dok:aa)

 

 Aming Aminoedhin. (dok:aa)

                              

           Acara ini juga dihadiri tokoh wartawan lawas lainnya, seperti: Ali Salim. Yousri Nur Raja Agam, Hariono Santoso, pelawak HM Djadi Galajapo, Pungky Kusuma, seorang praktisi pariwisata dan perhotelan, dan perempuan penyair Denting Kemuning, serta banyak lagi.

               Diskusi sebelum baca puisi, tentang bahasan bagaimana kekayaan alam dan budaya Jawa Timur dapat terus diangkat ke kancah nasional, bahkan internasional; tampilah  Pungky Kusuma dan Nunung Harso sebagai pemantik dialog sore hari itu. Menurut mereka bahwa terbitan buku “Eksotika Jawa Timur” ini bukan hanya menjadi bukti dedikasi, dan semangat para wartawan lawas  untuk selalu  berkarya, namun juga bentuk kontribusi Warumas dalam mempromosikan pesona pariwisata Jawa Timur melalui keindahan berupa tulisan puisi ini. 

            Buku yang punya 150 halaman ini, memuat 65 karya puisi dari 12 anggota Warumas, dan 4 orang penyair tamu. Di antara penulis tamu ini terdapat nama Hariono Santoso, mantan Direktur Utama TVRI. Nunung |Harso yang ketua IWPI dan mantan anggota DPRD Suarabaya; lantas ada HM Djadi Galajapo, imam besar pelawak Indonesia; serta Riamah M Douliat.

            “Kami semua ini, memang sekumpulan wartawan lawas,  yang menolak pensiun dalam berkarya. Tidak lagi nmenulis berita, tetapi kini beralih  menulis puisi,” kata Kris Maryono, ketua Warumas, yang pada saat acara tersebut berhalangan hadir lantaran sakit. Sementara itu, di tempat terpisah Aming Aminoedhin, sempat diwawancarai oleh Puspita S. Candra dari Wartawan VOA (Voice of America), dan beritanya termuat di VOA Indonesia.

Komunitas Warumas telah melangkah lagi menulis puisi, kini tinggal berbenah dan bersiap langkah berikutnya, kumpulan puisi yang ketujuh. Kapan dan apa tema yang akan diangkat? Dari perbincangan tak formal kawan-kawan akan digarap pada Hari Pers Nasional nanti 2025. Semoga saja bisa terealisasi, dan sukses Kembali. Salam literasi.(aming aminoedhin). **

 


      Nunung Harso saat baca puisinya di launching buku Eksotika Jatim. (dok: aa))

 

 

                                             Toto Sonata baca puisi.  (dok: aa))


Catatan: 

Tulisan ini termuat di Majalah Cak Durasim -TBJT - No. 20 -Desember 2024.

 

 

Jumat, 14 Februari 2025

PRESIDEN PENTIGRAF INDONESIA

 

Tengsoe Tjahjono

PRESIDEN PENTIGRAF INDONESIA

Pewawancara: Aming Aminoedhin

 

 

     Saat Tengsoe Tjahjono baca puisi, bersama puisi-puisi Malsasa di PSLI Surabaya.

 

               

                        Dengan format tiga paragraf, penulis dapat menyajikan pengalaman membaca                     yang intens tanpa jeda panjang. Pembaca diajak langsung ke inti cerita dan             terlibat dalam alur yang ringkas. Pentigraf juga mengizinkan ruang interpretasi yang luas, mendorong pembaca untuk merenungkan makna di balik  kata-kata singkat yang dipilih dengan cermat. Lalu sebagai bentuk fiksi singkat,  pentigraf sangat berguna bagi penulis yang ingin mengasah keterampilan                                  menulis secara ringkas dan efektif. (Tengsoe Tjahjono).

  

            Untuk menemui tokoh sastra yang satu ini memang agak sulit, sering acaranya meloncat-loncat. Hari ini di Malang, esok di Sidoarjo, lusanya sudah di Nganjuk atau kota lainnya. Untuk apa? Baca puisi, juri baca puisi atau pentigraf,  bisa juga  jadi narasumber sastra yang terkait dengan pentigraf.

            Kebetulan kemarin (12/11/2024) saya bertemu, saat punya jadwal Bersama menjadi juri di acara Gebyar Bulan Bahasa Indonesia di MGMP Bahasa Indonesia se-Sidoarjo di SMPN 2 Sidoarjo. Sambil penjurian, saya masih bisa wawancara, meski tidak komplit seluruhnya bisa tergali. Tapi ini gambaran sosok kita kali ini, dan berikut adalah laporannya.

             Berbicara dengan sosok lelaki murah senyum, dan suka berambut gondrong ini; terasa enak dan tanpa jarak. Meski dia seorang dosen yang doktor sastra, dan pernah mengajar di Hankuk University of Foreign Studies Korea. Beliaunya tetap saja santai dan enak diajak bicara. Jika bicara soal sastra, baik puisi atau prosa. Sungguh berbicara dengan berapi-api, menjelaskan detail dan rinci. Apalagi bicara soal pentigraf atau cerpen tiga paragraf, di mana beliau sang penemu dan pencetusnya. Hal itu adalah tak salah jika punya julukan Presiden Pentigraf Indonesia.

            Sosok lelaki itu, bernama Dr. Tengsoe Tjahjono, M.Pd.; adalah seorang pensiunan dosen dari  Unesa (Universitas Negeri Surabaya), dan kini masih mengajar di FIB UB (Universitas Brawijaya) Malang. Tengsoe Tjahjono lahir di Jember 3 Oktober 1958, tapi sekolah SD sampai SPG dijalani di Banyuwangi. Lepas itu, kuliah IKIP Malang, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indononesia (1983). Sepuluh tahun kemudian, tahun 1993, ia menyelesaikan Program Magister Pendidikan Bahasa di Program Pascasarjana IKIP Malang.  Gelar doktor sastranya juga dari Universitas Negeri Malang (UM), yang dahulu bernama IKIP Malang. Ditempuh cukup lama, dan bahkan dosennya, Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. hingga ngoprak-oprak disuruh merampungkannya waktu itu. Ternyata rampung juga gelar doktor sastra itu. Sehingga pernah bisa jadi dosen tamu di di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017).

               Kegiatan usai pensiunan, kerap kali jadi juri lomba puisi dan pentigraf, narasumber sastra di berbagai kota di Jawa Timur, dan kota-kota besar luar Jatim. Hari-harinya diisi memberi semangat bagi pecinta sastra, utama para guru. Di samping mengajak guru-guru menerbitkan buku pentigraf yang telah mereka tulis. Banyak sudah yang telah diterbitkan bersanma mereka.

 

Soal Konsep Mengarang

 

            Saat wawancara santai, disela-sela penjurian lomba puisi dan pentigraf siswa di Sidoarjo, beliaunya mengatakan bahwa, “Menulis puisi adalah usaha berkomunikasi, baik dengan diri sendiri maupun berkomunikasi dengan pembaca (penikmat sastra). Melalui puisi, penyair mencoba segala rasa dan pikirannya mengenai segala hal yang mendorongnya untuk berbuat demikian, yaitu mencurahkan segala fenomena kehidupan sosial yang dirasakan dan dialaminya. Dalam setiap penulisan puisinya adalah membuat pembaca dan atau penikmat dapat berkomunikasi melalui puisi-puisinya. Kita harus paham bahwa ia tidak hidup sendiri. Hal itu berarti bahwa menulis puisi bukan hanya untuk dirinya sendiri. Baginya menulis puisi adalah berbagi pengalaman melalui puisi kepada pembaca. Ia berharap pembaca dapat merasakan seperti yang ia rasakan, memahami apa yang sedang ia pikirkan. Dengan demikian, tercapailah suatu forum dialog kreatif-imajinatif, emotif, dan sekaligus intelektual, sehingga antara penyair dengan penikmat bisa saling mengisi.

                Sedang ditanya soal pentigraf, di mana Tengsoe pencetusnya, beliaunya menjawab dengan runtut dan gamblang. Pentigraf adalah jenis cerita pendek yang disusun dalam format tiga paragraf dan dikembangkan oleh sastrawan Indonesia, Tengsoe Tjahjono, yaitu saya sendiri. Saya memperkenalkan bentuk ini sebagai alternatif baru dalam dunia fiksi mini untuk mendorong kejelasan dan ketajaman narasi. Pentigraf berasal dari kata "cerpen tiga paragraf" dan menjadi wadah bagi penulis untuk mengeksplorasi ide atau cerita singkat yang tetap memuat unsur fiksi secara utuh, meski dalam bentuk yang padat dan terbatas.

            Soal ciri-ciri pentigraf itu harus yang bagaimana? Tengsoe menjelaskan bawa cirinya:

Struktur Tiga Paragraf: Pentigraf terdiri dari tiga paragraf yang masing-masing berfungsi menyampaikan bagian-bagian penting cerita: pembuka, pengembangan, dan penutup. Lantas

Penyampaian Ringkas dan Padat: Setiap paragraf ditulis dengan bahasa ekonomis, tetapi efektif, memaksimalkan jumlah kata dan menyampaikan inti cerita secara jelas.

            Sedangkan alur pentigraf, kata Tengsoe, alur dan konflik cepat: Cerita dalam pentigraf mencakup elemen dasar narasi—tokoh, konflik, dan penyelesaian—dalam alur yang singkat dan langsung, membuatnya tetap menarik meskipun durasi pembacaannya pendek. Hal ini, tulisan harus dibarengi Gaya Bahasa Efisien: Pemilihan kata harus tepat dan kuat untuk menciptakan suasana dan karakterisasi yang mendalam dalam ruang terbatas.

            Hal yang pasti bahwa pentigraf harus ada Keutuhan Cerita: Meskipun hanya tiga paragraf, pentigraf tetap menyajikan alur yang utuh dan memberikan pemahaman yang lengkap kepada pembaca.

            Dr.Tengsoe Tjahjono ini, dalam perjalanan kariernya pernah mengajar di  SMA Corjesu Malang, Dosen IKIP Surabaya (sekarang Unesa) hingga pensiun, Pemimpin Redaksi Majalah Kalimas, Dosen Tamu di Hankuk University of Foreign Studies Korea (2014-2017), dan kini masih mengajar kuliah bagi mahasiswa FIB di Universitas Brawijaya Malang. Pernah Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Malang (1984—1988), Ketua Biro Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, dan banyak lagi. Ditanya soal karya buku yang penah diterbitkan, seabreg jumlahnya. Utamanya buku kumpulan puisi sendiri maupun bersama, serta kumpulan guritan bersama kawan-kawan penggurit Jatim.

            Lebih jauh beliau juga tambahkan pentigraf tergolong dalam genre fiksi mini, di mana penulis menyampaikan cerita utuh dalam ruang yang terbatas. Narasi fiksi mini seperti pentigraf menuntut kreativitas penulis untuk menyampaikan kedalaman konflik dan emosi dengan cara singkat namun kuat, membuat pembaca langsung merasakan esensi cerita. Dalam ranah fiksi mini, bentuk pentigraf memberi kebebasan eksplorasi bagi penulis untuk mengasah kemampuan narasi yang padat dan efisien. Uniknya lagi. Lanjut Tengsoe, pentigraf menghadirkan keunikan dalam eksplorasi naratif yang lebih bebas dan tajam dibandingkan cerpen biasa. Dengan format tiga paragraf, penulis dapat menyajikan pengalaman membaca yang intens tanpa jeda panjang. Pembaca diajak langsung ke inti cerita dan terlibat dalam alur yang ringkas. Pentigraf juga mengizinkan ruang interpretasi yang luas, mendorong pembaca untuk merenungkan makna di balik kata-kata singkat yang dipilih dengan cermat. Lalu sebagai bentuk fiksi singkat, pentigraf sangat berguna bagi penulis yang ingin mengasah keterampilan menulis secara ringkas dan efektif.

            Bicara soal buku karya sastra terbitannya, termat banyak jumlahnya, buku esai sastra, kumpulan puisi sendiri, dan bersama, kumpulan guritan bersama, dan banyak lagi. Tapi yang buku: “Meditasi Kimchi” memperoleh Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur pada 2017. Karya terakhir: Dari Menjerat Sepatu Sampai Membuka dan Menutup Jendela (2021) dan Pelajaran Menggambar Bentuk (2023).

            Tengsoe juga pernah mendapat Penghargaan Gubernur Jawa Timur atas prestasi dan pengabdiannya dalam bidang seni dan budaya (2012). Pada 2024 ini, memperoleh Penghargaan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atas dedikasinya yang tinggi selama 40 tahun berkarya dalam bidang kesastraan.

            Selamat buat presiden pentigraf, sehat  & selalu semangat. Selepas wawancara, saya pulang Mojokerto, dan beliaunya naik sepur ke Nganjuk untuk ceramah sastra esok paginya. Salam literasi tiada henti. (Aming Aminoedhin).

 

                                                                                                Mojokerto, 22/11/2024

Catatan: Tulisan ini termuat di Majalah Cak Durasim 2024

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Minggu, 01 Desember 2024

Dialog Sastra di Jombang

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                      Dari kanan Aming Aminoedhin, Imam Ghozali (narasumber sastra anak) dan moderator. 

 

ANTOLOGI PUISI SAMPAH
DITULIS ANAK-ANAK HEBAT[1]

Oleh: Aming Aminoedhin

 

            Apabila membaca sastra itu, kita sepertinya tamasya, begitu juga baca dan menulis puisi anggap saja rekreasi hati agar kian terasah kepekaan nurani kita. Lantas acara pagi ini anggap saja, kita  rekreasi sastra, bersama antologi puisi.

            Menariknya yang kita baca antologi puisi bertemakan sampah, yang mana jarang orang lain mau meliriknya. Lebih menarik lagi, ketika para penulisnya anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebuah langkah terobosan baru yang mungkin tiada tanding tiada banding. Tak salah jika langkah ini perlu diapresiasi semua kalangan, termasuk orang dewasa, dan (mungkin) juga Pemerintah.

 

Antologi Puisi Sampah








 

            Aprsesiasi pertama yang harus diacungi jempol adalah kepala sekolah dan para guru pembimbingnya, lalu anak-anak (siswa)-nya yang mau menuliskan hal-hal yang sepele, tapi tak remeh-temeh. Sebab, jika baca antologi puisi ini, hampir semua bicara pentingnya pengelolaan sampah. Sehingga tak akan  jadi penyakit atau bencana, dan bahkan menurut mereka bisa datangkan duit. Ada termuat pesan tentang rasa resah dan gundah, atau manfaat sampah  dituliskan dalam puisi.

            Coba simak potongan puisi-puisi ini: //Aroma busuk menusuk/Tidak sehat dan tak manfaat/Jika ingin berkah/Daur ulang sampah itu//  judul ‘Berserak’ karya Reyhan Alkedira Ramandha), lantas puisi Ezekiel Alas Setyono berjudul ‘Aku Sampah’ potongan baitnya berbunyi:  //Sebenarnya/Aku bisa didaur ulang/Yang datangkan keuntungan.// Pada puisi ‘Yang Terus Melimpah’ karya  Rafasya Afif Azka, mengajak pembaca: //Ayo kawan jagalah kebersihan/Jangan kau buang sampah sembarangan/Itu tanda orang bertaqwa.// Atau puisi  judul ‘Yang Mengganggu’ karya Azfar Farandiaz, yang berteriak: Wahai manusia-manusia/Sudah saatnya kita singsingkan lengan/Ayo kelola sampah kita/Dengan reduce, reuse, dan recycle/Jaga keindahan negeri kita!//.

            Teman yang lain bicara soal daur ulang sampah menuliskan dengan potongan puisinya berbunyi://Dan …./yang kulakulan padamu/Ingin mendaur ulang tubuhmu/Kujadikan pupuk yang berguna/Agar semua orang Bahagia// karya Fairuz Wibawa Prasetya, berjudul ‘Yang Berserakan.’

            Pada puisi judul ‘Sampah Berharga’ karya Viola Citra Meyriska meyakinkan pembaca, dengan potongan baitnya: //Namun sampah/Akan berharga/Di tangan mereka/Yang mampu mengolahnya//; lalu  satu puisi   Fania Qismika Putri,  merasakan terkepung plastik sehingga ia  resah dan bilang darurat plastik. Puisi berjudul ‘Limbah Plastik’ itu berbunyi:

           

            LIMBAH PLASTIK

 

            Beli cimol pakai plastik

            Beli pentol pakai plastik

            Beli es teh pakai plastik

            Beli apapun pakai plastik

 

                        Sadarlah hai manusia

                        Jagalah dan lestarikan dunia

                        Supaya aman generasi kita

                        Dari darurat plastik sampah

 

            Demikian itu adalah beberapa contoh puisi-puisi yang ditulis dengan baik oleh anak-anak tersebut. Namun yang pasti, bahwa mereka telah menuliskan apa-apa yang dilihat dan dirasakan ketika berhadapan dengan sampah. Mereka semua adalah anak-anak hebat, yang insyaallah kelak akan jadi penulis yang handal setelah kelak dewasa.

            Jika saja harus dikritisi naskah mereka, beberapa penulis masih berpanjang-panjang kata. Padahal menulis puisi yang baik, adalah sedikit kata tapi punya banyak makna. Maka dalam penulisannya usahakan  (jika mungkin) pakai kata-kata ‘dasar’ saja. Bukan yang telah berimbuhan: ber, me, ter, dlsb.; atau berakhiran: an, nya, dsb. Akan lebih  baik dan hemat tanpa gunakan kata sambung: yang, dan,  dengan dsb. Usahakan juga menjaga rima atau keindahan bunyi jika dibaca oleh pembacanya.

            Misalnya potongan puisi ini: //Ditaman belakang lalat berterbangan//Menandakan ada bakteri seram// bisa dituliskan dengan: Di taman belakang lalat-lalat terbang/ Tanda ada bakteri seram. Atau yang ini: //Mulutku bergumam/Hatiku geram/Apa otak tidak dipakai/     Seenaknya membuang sampah di sungai// bisa dipadatkan dengan //Mulutku bergumam/Hati geram/Apa otak tak dipakai/Enak saja buang sampah di sungai/.

            Pada puisi lain berjudul ‘Bersedih’ tertulis //sampah dimana-mana berserakkan/sampah kering dan basah menjadi satu/sehingga membuat semua orang/sulit bernafas karena baunya// bisa ditulis agar enak dibaca: //sampah di mana-mana berserakan/sampah kering dan basah jadi satu/hingga buat semua orang/sulit bernafas karena bau//.

                     Sementara anak yang lain bicara ajakan mengelola sampah agar bumi jadi indah, potongan puisinya: //Bila hidup tanpa sampah/Lingkungan bersih nan indah/Kuman virus tidak betah/Semua penyakit kan musnah// dari tulisan Dantha Prima Nirwasita, berjudul ‘Hidup Tanpa Sampah.’ Senada dengan puisi ini ditulis oleh Akira Khumaira, yang potongan puisi berbunyi: //Ayo teman/Buanglah sampah dan pilah/Tuk lingkungan sehat dan indah//.

            Pada dasarnya semua anak-anak yang menulis puisi dalam antologi puisi ini hebat. Sejak dini telah mau menulis puisi. Esok hari pasti akan lebih hebat dan hebat lagi.

 

 

Belajar Menulis Puisi

 

            Jika saja boleh menyarankan untuk belajar menulis puisi bagi anak-anak, barangkali ada cara yang barangkali bisa diterapkan di dalam kelas masing-masing. Cara itu antara lain:

1. Niteni, nirokne, dan nambahi:

            Dalam cara ini, seseorang siswa pada mulanya diajak untuk mengingat-ingat sebuah karya puisi, lantas disuruh untuk mencoba mencontoh naskah puisi tersebut, dan kemudian diajak untuk menambahi (mengubah) kata-kata lain yang sesuai dengan kreativitas pikirannnya.

2. Epigonal, aforisme, outbond, dan cinta

            a. epigonal: cara epigonal ini, seorang disuruh menirukan naskah-naskah puisi

                yang sudah ada dengan menambahi sesuai kreativitasnya;

            b. aforisme: pernyataan yang padat dan ringkas tentang sikap hidup atau kebenar-

                an umum. contoh seperti  peribahasa: alah bisa karena biasa. Para siswa diajak

                menulis puisi, berangkat dari peribahasa-peribahasa yang telah diajarkan guru

                sebelumnya. Tentunya dalam hal ini, perlu kreativitas tersendiri bagi siswa;

            c. outbond: para siswa diajak di luar sekolah guna mengamati apa saja yang ada di

    luar sekolah tersebut. Mereka bisa menulis tentang: daun, pohonan, pengemis,

                petani, gunung, panas cuaca, hujan atau apa saja yang mereka temuai di kegiat-    

                an outbond tersebut;

            d. cinta: cara yang terakhir ini adalah konsep yang barangkali paling mudah

                bagi para siswa, karena mereka disuruh menulis puisi berdasarkan cinta. Boleh

                cinta kepada orang tua, utamanya Ibu, alam, tanah air, dan banyak lagi.

Selain beberapa cara tersebut di atas, maka yang perlu diperhatikan bahwa dalam penulisan puisi adalah bagaimana para siswa  bisa menulis puisi dengan menggunakan ‘kata-kata dasar’ dalam penulisannya. Mengapa demikian? Sekali lagi, karena puisi yang baik adalah puisi yang mempunyai sedikit kata, tapi punya banyak makna. Sebagai contoh beriku puisi saya:

 

aming aminoedhin

BUKU ITU GUDANG ILMU

 

Di dalam buku

kubaca segala ilmu

dari soal bahasa, tatakrama

sastra, dan juga matematika

 

Buku adalah sahabatku

kubaca setiap waktu

saat istirahat sekolah

dan juga saat libur sekolah

 

Buku, kata Mamaku

adalah gudangnya ilmu

maka membaca buku

seperti membuka

jendela dunia, semua

ilmu kau pasti akan tahu

 

Mojokerto, 19/10/1999

 

 

Tradisi Singiran

            Ikut baca buku ‘Tradisi Singiran’ saya sangat mengapresiasi buku yang satu ini. Meski-pun saya sendiri tidak semuanya kenal, tapi ada juga beberapa yang kenal, saat masa kecil saya di desa pernah ikut melantunkannya di mushola.

            Menarik untuk dicatat adalah dalam pengantar buku yang dikatakan, “Kehadiran buku ini sejatinya merupakan sebuah produk gagasan hasil pembelajaran P5 yang berbasis literasi yang dilakukan kelas 3A dan 3B, SDN Jombatan 3 Jombang. Karena pengumpul datanya masih bersekolah di tingkat dasar maka bentuknya adalah masih dalam kegiatan inventarisasi tradisi singiran atau pujian yang dikenal di sekitar lingkungan terdekatnya. Ada sekitar 28 pujian yang berhasil diinventarisir. Ke 28 pujian tersebut terbagi menjadi dua bagian yakni pujian yang biasa dilantunkan oleh kaum muslim di surau/mushala/masjid (21 pujian), dan yang dilakukan pemeluk kristiani saat kebaktian di gereja (7 pujian).”

            Sungguh sebuah upaya yang sangat bagus, bagi anak-anak untuk menulis kembali bentuk syair/singiran/pujian yang pernah ada; dan kemudian bisa dibukukan dalam sebuah antologi. Menariknya lagi, ketika  dalam buku ini, tidak hanya pujian yang dilantunkan kaum muslimin di langgar/mushola/masjid, tapi juga umat kristiani di gereja.

            Dalam tulisan pendek ini , saya tak perlu banyak mengulas soal isi syair/singiran/pujian yang termuat dalam buku ini. Yang pasti, hampir semua syair merupakan pujian kepada Allah SWT atau Tuhan YME, versi Islam dan Kristiani.

            Jika harus dikritisi barangkali penulisan kata ada banyak yang kurang benar, seperti misalnya:   ayo manut poro kiyai seharusnya  ditulis ayo manut para Kyai, Mangga sami derek Gusti  seharusnya  ditulis: Mangga sami ndherek Gusti, dan mungkin masih ada lagi salah tulis lainnya.

            Namun yang perlu diapresiasi adalah pendokumentasian syair/singiran/pujian semacam  ini adalah penting sekali. Di samping sebagai pengenalan kepada generasi milenial, sekaligus agar datanya tak hilang ditelan zaman.

            Bahkan jika perlu , buku ini bisa digandakan lebih banyak untuk disosialisasikan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Semisal  sekolah-sekolah, pondok pesantren, atau mungkin juga perpustakaan-perpustakaan di wilayah  Jombang.

            Upaya yang sangat positif ini, perlu terus dikembangkan  dan dilestarikan. Bahkan bisa   pula melangkah pada tema lain, seperti: parikan Jombangan,  lagu-lagu dolanan,  atau bisa juga kidungan ala Jombang.

            Kepada anak-anak yang telah menulis puisi dan syair/singiran/pujian dalam dua buku ini, saya katakana sangat hebat semua. Lebih hebat lagi para guru pembimbingnya yang tekun mau mengajak mereka menulis. Salam literasi tiada henti.

            Selamat atas terbitan dua buku yang sangat apik dan menarik ini,  dan yang  perlu pasti diyakini, bahwa, “Berbekal yakin pasti, berpayung iman suci, berusaha sepenuh hati. Lantas jangan lupa berdoa tanpa henti, segala damba segala cita,  pastilah akan tergapai nanti.” (aming aminoedhin)

 

 

Desa Canggu, Jetis,  

Mojokerto, 22 November 2024

 

 

 

 

 

 

BIODATA PENYAIR

Aming Aminoedhin

nama aslinya: mohammad amir tohar. lahir di ngawi, 22 desember 1957

alumni fakultas sastra, universitas sebelas maret surakarta, jurusan bahasa dan sastra indonesia (1987) ini, aktif kegiatan teater, dan pernah menyandang predikat “aktor terbaik” festival drama se-jatim tahun 1983 dari teater persada ngawi, pimpinan mh. iskan. pernah pula diberi predikat sebagai presiden penyair jawa timur, oleh doktor kentrung, suripan sadi hutomo, almarhum. penggagas pentas, serta koordinator malam sastra surabaya atau malsasa sejak tahun 1989 hingga 2009. Lantas malsabaru, malam sastra bagi guru se jatim (2011).

pernah menjabat biro sastra  dks (dewan kesenian surabaya); ketua hp-3-n  (himpunan pengarang, penulis, dan penyair nusantara) jawa timur; koordinator fass (forum apresiasi sastra surabaya); sekjen ppsjs (paguyuban pengarang sastra jawa surabaya); penasehat forasamo (forum apresiasi sastra mojokerto); ketua fsbs (forum sastra bersama surabaya). aming aminoedhin, seringkali jadi juri baca puisi dan ceramah sastra di hampir semua kota wilayah jawa timur (batu-malang, ngawi, madiun, lamongan, lumajang, tuban, jombang, bangkalan, sampang, tulungagung, banyuwangi, mojokerto, dan surabaya).

sekarang masih ketua fsbs (forum sastra bersama surabaya), dan pensiunan di balai bahasa jawa timur, yang dulu berlokasi  di sidoarjo. alamat: puri mojobaru az-23 canggu, kecamatan jetis – mojokerto 61352 – email: amri.mira@gmail.com atau aming.syair@gmail.com

           

 [1] Makalah dialog sastra program Bethari Berbagi, SDN Jombatan 3 Jombang, 29/11/2024