BENARKAH TELAH
SERIBU TAHUN CHAIRIL ANWAR
Ditulis: Aming Aminoedhin
Penetapan tanggal 28 April
sebagai Hari Sastra, karena pada
tanggal itu tahun 1949 lalu, adalah hari kematian sang penyair binatang jalang,
Chairil Anwar. Meski menuai
pro-krontra atas penetapan Hari Sastra pada 28 April; tetapi hingga kini di
kampus-kampus fakultas sastra di seluruh Indonesia, masih ada yang merayakannya.
Meski mungkin hanya digelar baca cerpen dan puisi, serta pentas teater; tapi
masih diperingati.
Tak
jarang pula ada beberapa kampus sastra merayakan Hari Sastra bisa berhari-hari.
Diawali dengan lomba nulis dan baca puisi, lomba nulis dan baca cerpen, pentas
teater, diskusi sastra, bedah buku, atau mendatangkan para pakar sastra untuk
berseminar. Seminar yang bicara untuk membongkar karya-karya Chairil Anwar yang
fenomenal. Baik yang asli dibuat, atau mungkin karyanya yang ternyata ada juga
yang hanya plagiat.
Dinobatkan
Jassin
Menurut
catatan HB Jassin, sang paus sastra
Indonesia, disebutkan bahwa Chairil Anwar,
si binatang jalang itu, ternyata
selama periode tahun 1942 hingga 1949 hanya membuat 70 puisi asli tulisannya sendiri, 4 sajak
saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa
asli, dan 4 prosa terjemahan. Sehingga secara jumlah keseluruhan tulisan Chairil Anwar, tak begitu banyak
jumlahnya, hanya 94 karya. Namun demikian, namanya sebagai penyair sangatlah
melambung tinggi, di ranah sastra Indonesia.
Kenapa
demikian? Karena Chairil Anwar telah dinobatkan oleh Jassin, sebagai tokoh Angkatan
’45 dalam sastra Indonesia. Ketokohannya tidak hanya persoalan Chairil sebagai
penyair yang mendobrak gaya penulisan yang tradisional semacam syair, pantun,
dan gurindam saja; melainkan juga lantaran Chairil sebagai tokoh yang cukup
kontroversial, sebab hanya kurun waktu 7 tahun, hanya ada 70 puisi yang
ditulisnya.
Masih Ingat
Chairil
Semua
ini terbukti, ketika saya mencoba mencari tahu tentang ketenaran Chairil, ke beberapa orang tetangga saya
yang punya usia sekitar 60 hingga 70-an tahun (catatan: mereka semua pernah
sekolah), jika ditanya soal puisi Indonesia, maka mereka masih sangat kenal
dengan puisinya Chairil Anwar. Meski,
mereka ada juga yang kenal puisi-puisi karya: Sanusi Pane, Amir Hamzah, dan
Rustam Effendi.
Ada pun yang mereka ingat, hampir
semua mengatakan bahwa karya Chairil yang sangat terkenal itu berjudul ‘Aku’. Baris-baris
puisi yang mereka ingat antara lain: Aku
ini binatang jalang/Dari kumpulannya terbuang/ dan baris terkahir dari
puisi itu yang berbunyi: Aku mau hidup
seribu tahun lagi.
Untuk mengingatkan kembali puisi
berjudul ‘Aku’ itu, kami muatkan
puisinya secara utuh dalam tulisan ini. Berikut ini adalah bait-baitnya: Kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang
‘kan merayu/Tidak juga kau// Tak perlu sedu sedan itu//Aku ini binatang
jalang/Dari kumpulannya terbuang//Biar peluru menembus kulitku/Aku tetap
meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/Hingga hilang pedih
peri//Dan aku akan lebih tidak perduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi//Maret
1943.
Menyimak isi yang tersurat dan
tersirat dalam puisi itu, seseorang akan merasakan betapa seorang Chairil, memang sosok pahlawan yang
pantang menyerah. Bahkan rayuan apapun tak akan menggoyahkan kemauannya untuk
terus melangkah. Begitu pula, jika ada peluru yang akan merobektembuskan
tubuhnya, ia akan tetap meradang menerjang demi kemauan citanya itu. Ada luka
ada bisa, tetap meneguhkan hati untuk tetap berlari, meraih cita hingga perih
luka jadi sirna. Tidak perduli! Chairil, kemudian mengunci puisinya dengan kalimat: Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sebuah
semangat berjuang yang terasa tak pernah mau mati.
Dalam puisi ini juga tersirat
makna bahwa semua itu dituliskan seakan melawan kedzaliman penjajah Jepang
dan utamanya Belanda, yang akan tetap
mengangkangi Indonesia kembali. Apa lagi puisi itu ditulis pada 1943, saat
Jepang menduduki negeri kita, Republik Indonesia.
Potongan puisi lain yang sangat
dikenal mereka, para orang-orang tua itu, adalah berjudul ‘Krawang-Bekasi’
dengan baris-baris yang antara lain berbunyi: Kami cuma tulang-tulang berserakan/Kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan/arti 4-5 ribu nyawa//. Lantas pada bait hampir terakhir
puisi, yang berbunyi: Menjaga Bung
Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir.
Kedua judul puisi itu juga
memberi dan menebarkan sugesti rasa heroik bagi para pemuda pada zamannya.
Puisi ini pulalah yang barangkali menjadi abadi. Dikenang dan diingat sepanjang
zaman.
Menurut
Sapardi Djoko Damono, beberapa larik
puisinya Chairil Anwar yang lain,
bahkan telah menjelma semacam pepatah atau kata-kata mutiara, yang berbunyi: ‘Hidup hanya menunda kekalahan’ atau ‘Sekali berarti sudah itu mati’, dan mungkin
masih banyak lagi.
Memasuki
bulan April 2025 ini, ada pertanyaan yang
bersliweran di benak saya, bahwa Hari Sastra kok tidak ada gaungnya di
kota Surabaya. Padahal, kota terbesar kedua di Indonesia ini, punya dua
fakultas sastra universitas negeri (Unair dan Unesa), dan sejumlah fakultas
sastra perguruan tinggi swasta. Sebut saja UK Petra, Universitas Widya Mandala,
Universitas Wijaya Kusuma, dan Unipa. Ada apa? Adakah para mahasiswa kini tidak
lagi terinspirasi atas potongan puisi Chairil yang bicara, “Aku mau hidup seribu tahun lagi?”
Sungguh, si binatang jalang Chairil Anwar, menjadi fenomena yang
cukup sensasional dalam ranah kepenyairan dan sastra Indonesia hingga sekarang.
Terbukti, naskahnya masih diingat para orang tua yang usianya lebih dari
setengah abad. Sensasional berikutnya, bahwa Chairil ingin hidup seribu tahun
lagi, telah terjawab sudah melalui puisinya yang masih diingat
manusia Indonesia di abad 21 ini. Sementara, puisinya ditulis tahun 1943, yang ketika
itu masih masuk dalam kurun waktu abad 20 lalu. Telah seribu tahun Chairil Anwar berpuisi, kita boleh
setuju atau mungkin tidak bersetuju? Terserah?
Tapi adakah kita tak tergelitik menulis puisi? Atau kita hanya bisa sekadar memperingati Hari Sastra, tanpa mendapatkan sugesti kreativitasnya? Atau mungkin kita malah tak berbuat apa-apa bagi bangsa dan negara? Marilah kita coba menulis puisi, meski mungkin hanya sebait saja. Cobalah!
Desaku
Canggu, 10 Ramadhan
1446-H - (10/3/2025)