Jumat, 15 Agustus 2025

RUMAH BUDAYA TANPA PAPAN NAMA

 

 

Bagus Putu Parto, identik

Rumah Budaya Kalimasada

Laporan: Aming Aminoedhin

             Mengunjungi rumah Bagus Putu Parto, yang berlokasi di Gogodesa – Kanigoro – Kabupaten Blitar, serasa memasuki rumah indah penuh bunga-bunga. Betapa tidak, sebab di halaman rumah banyak ditanam bunga-bunga. Ruangan halaman agak ke dalam tampak rapi dan asri, ada pohon-pohon rambutan nan rindang meneduhi bunga-bunga yang indah itu. Ada mushola kecil, aula pentas seni,  lantas ada dua rumah istirah, bagi tetamu yang datang.

            Semuanya tertata rapi dan asri, begitu juga ornamen pajangan dalam ruangan-ruangan itu, hampir segalanya berbau seni: patung-patung, topeng-topeng, lukisan, atau ornament lainnya. Tidaklah salah jika rumah itu disebut Rumah Budaya Kalimasada.


                                     Bagus Putu Parto, saat akting baca puisi di depan joglo RBK. (foto: AmAm).

            Masih di lingkungan rumahnya, agak ke arah barat, ada kolam renang yang pada utara kolam itu, ada rumah joglo besar yang biasa untuk kegiatan apa saja, termasuk seni pertun-jukan apa saja. Semua ruangan-ruangan itu, pernah diadakan pentas seni sastra, teater, musik, pengajian, dan bahkan resepsi mantu, ketika Bagus Putu Parto menikahkan anak pertamanya, Kaka Kalimasada.

            Hampir dalam semua kompleks rumahnya nan indah inilah,  disebut sebagai Rumah Budaya Kalimasada, meskipun tanpa ada papan nama tertulis di seputaran rumah itu.

            Aneh? Mungkin tidak, sebab rumah budaya tidak harus ditandai papan nama, kata Bagus Putu Parto, saat ditemui (4/6/2025) di rumahnya. Tapi rumah budaya ini mau terbitkan buku sastra, yang mengandung atau memuat unsur seni budayanya, tegasnya.

 Bagus dan Endang Kalimasada         

            Untuk menemui tokoh sastra yang satu ini, memang agak susah. Awalnya ingin temu tanggal 1/6/2025,  bisa mundur hingga tanggal 4 & 5/6/2025, baru bisa ditemui. Kenapa harus pilih tanggal 1 Juni, sebab ini merupakan Hari Lahir Pancasila, yang bersamaan itu ada acara Grebeg Pancasila, yang diperingati setiap tahun oleh Pemerintah Kota Blitar. Maksud saya sekali dayung, tiga pulau bisa terlampaui. Artinya, wawancara sekalian saya bisa nonton acara tersebut. Ternyata tanggal itu tak bisa, karena Bagus ada jadwal lain, tak bisa ditinggalkan.  Sehingga baru bisa, tanggal 4 & 5 Juni 2025, saya bisa wawancara di bawah pohon rambutan nan teduh itu di rumahnya.

            Bicara soal Grebeg Pancasila yang kini digelar setiap tahun di Kota Blitar, salah satu pencentusnya adalah beliaunya. Waktu itu bersama komunitas Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB), Bagus Putu Parto mengawali acara itu. Hingga kini acara itu terus berlangsung dan selalu diagendakan setiap tahun.

            Bagus Putu Parto itu kelahiran kota Blitar, 2 Juni 1967. Seniman sastra dan teater asal Blitar, yang kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogya, dengan menyandang ijazah sarjana seni 1991, dari jurusan teater. Beliaunya ini, telah malang-melintang dalam dunia yang digelutinya, sastra dan teater,  termasuk jadi tokoh komunitas Barisan Seniman Muda Biltar (BSMB), RSP (Revitalisasi Sastra Pedalaman), dan Dewan Kesenian Antakota Antarprovinsi, dan banyak lagi. Bersama istrinya, Endang Kalimasada, mendirikan Rumah Budaya Kalimasada di rumahnya Gogodesa-Kanigoro-Blitar.


                                Bagus PP akting baca puisi di rumahnya. (foto: AmAm).

            Mengingat masa lalunya, seingat saya  sang tokoh kita, Bagus Putu Parto ini, pada waktu itu masih idealis jadi seniman. Selalu tampilannya nyentrik sebagai lagaknya seniman yang sangat nyeniman. Bajunya bahkan sering pakai kaos, dan celana selalu warna hitam-hitam. Sering juga pakai iket kepala, dan tas-nya cangklong dari kain kantong terigu segitiga biru. Namun demikian ia sosok seniman yang benar-benar berkreativitas. Hal ini terbukti dengan geliat sastranya yang tanpa henti, dari kota yang satu ke kota lainnya. Pentas sastra, baca puisi atau cerpen, dan bahkan bermonolog. Maka tak salah, jika dia berulah sudah layaknya seniman seperti saya gambarkan di atas. Pancen arek sekolahe wae sekolah seniman! (Memang anaknya berkuliah jurusan seniman!), jadi yang begitulah tampilannya.

            Kembali bicara sosok tokoh kita, Bagus Putu Parto. Sang istri Endang Kalimasada hafal betul atas kegelisahan suaminya. Jika suaminya agak sakit-sakitan, karena asam urat. Maka obat mujarabnya bikin kegiatan sastra lagi di rumahnya. Lantas  kemudian istrinya, Endang Kalimasada, membuat lagi acara bertajuk sastra di rumahnya Gogodesa, Kanigoro - Blitar. Berdua lalu mengundang banyak kawan penulis dan penyair Jatim, bahkan luar Jatim.  Di antaranya gelaran sastra bertajuk Pentas Perahu Perak, Pesta Puisi Musim Rambutan , Memo Presiden, pameran lukisan dengan baca puisi ‘Gresla Mamoso’, dan banyak lagi.

            Catatan menariknya adalah ketika ada acara-acara sastra, Bagus selalu mengajak ikut tampil baca puisi istrinya. Termasuk saat pentas Paguyuban Pengarang  Jawa Sastra Surabaya (PPSJS) dan FSBS (Forum Sastra Bersama Surabaya) adakan ngamen sastra di Tembi Rumah Budaya – Yogya. Endang Kalimasada juga ikut tampil pada Ludruk Guritan ala PPSJS. Lalu di Kafe Gelass – Kayun Surabaya, Kafe Pustaka - Universitas Negeri Malang, dan mungkin masih banyak lagi acara sastra.

            Keduanya, Bagus dan Endang Kalimasada seakan sejoli yang tak pernah berhenti berpuisi, padahal jika di rumah mereka mengelola pabrik roti ‘Kalimasada dan Wijaya Kusuma’ yang kini telah berkembang pesat itu. Lewat itu pulalah semua geliat seni pertunjukan seni di Rumah Budaya Kalimasada bisa didanai seluruh biayanya.

 Rumah Budaya Kalimasada

             Seperti telah diungkap di awal, bahwa Rumah Budaya Kalimasada ini tanpa ada papan namanya. Namun gemanya cukup menyeluruh dan menyentuh kantung-kantung seni lainnya, hingga luar kota, bahkan luar provinsi. Sebab Rumah Budaya Kalimasada tidak hanya sekadar adakan pentas seni pertunjukan seni, tapi juga menerbitkan buku-buku sastra, sebagai tanda atas keberadaannya. Selama ini  sudah ada 17 judul buku sastra diterbitkan oleh Rumah Budaya Kalimasada, sejak secara resmi didirikan sejoli penyuka puisi ini. Di antaranya:  Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo, Revolusi Para Ikan, Kata Cookies Pada Musim, Perahu Perak, GIR, KM -0, Rumah Sejarah, Biografi Tepung dan banyak lagi. Terakhir Rumah Budaya Kalimasada menerbitkan Mutiara Terakhir (2025).


            Menurut Bagus Putu Parto, secara resmi rumahnya yang kerap digunakan pentas seni pertunjukan itu, dinamakan Rumah Budaya Kalimasada, tahun 2013. Padahal sebelumnya, R. Giryadi almarhum, sekitar 2010 sudah menyebutkan nama itu. Namun kemudian ada wacana nama Rumah Budaya Bagus Putu Parto, ada juga wacana lain dengan nama Kampung Seni Bagus Putu Parto. Dan sejak 2013 itulah kompleks rumahnya itulah resmi dinamakan Rumah Budaya Kalimasada, meski tanpa ada papan namanya.

            Saking kesohornya Rumah Budaya Kalimasada, sehingga banyak sebutan Rumah Budaya Kalimasada ini, identik dengan nama seniman yang penyair dan teatrawan Bagus Putu Parto. Meski sebenarnya didukung penuh menyeluruh istrinya, Endang Kalimasada.

            Berkat pesatnya pabrik roti Kalimasada dan Wijaya Kusuma inilah,   sehingga Bagus Putu Parto dan Endang Kalimasada bisa membiayai acara-acara sastra yang skalanya hingga Jawa Timur, bahkan Nasional. Dan hal ini pulalah yang menurut Ki Heri Langit, teman seniman sesama lulusan ISI Yogya mengatakan bahwa, “Bagus telah melakukan yang luar biasa kepada seniman-seniman Jawa Timur, yaitu bertemu bersama untuk saling unjuk karya. Hal ini merupakan kontribusi yang luar biasa dalam ranah kesenian. Jarang sekali pengusaha sukses yang mau melirik kesenian, apalagi mau mendanai dari buat buku hingga pentasnya. Jarang sekali ada, “ tandas Ki Heri Langit yang suka jadi pawang hujan itu.

  Muara Terakhir

             Perjalanan nan panjang dalam malang-melintang bersastra dilalui Bagus Putu Parto, dan berusaha sebagai pengusaha pabrik roti yang sukses juga telah dilampaui bersama istrinya Endang Kalimasada, Lalu apa yang harus dilakukan selanjutnya? Baru-baru ini, mereka berdua telah mendirikan sebuah masjid bernama Asy-Syahadah yang cukup representif, di dekat rumahnya. Dan menandai hal itu, ia juga menerbitkan buku kumpulan puisi bertajuk Muara Terakhir, kitab puisi. Buku ini memuat karya-karya puisinya, dan  sejumlah puisi dari para sahabatnya: Tengsoe Tjahjono, Aming Aminoedhin, dan Warok Sutejo.

               Masjid Asy-Syahadah milik Bagus Putu Parto, sebagai muara terakhir karirnya. (foto:AmAm).

            Dalam pengantar bukunya, kata Bagus Putu Parto berujar, “Muara Terakhir” ini justru saya terbitkan ketika saya mulai tak bergairah menulis puisi. Ketika puisi tak lagi panen pada setiap musim. Kata-kata mulai enggan untuk dituliskan, karena lebih indah berdiam diri dan melangitkan dalam doa. Banyak puisi yang tak tertuliskan. Kalau saya boleh menertawakan diri sendiri, Sayalah Penyair Tanpa Puisi.

         

            Tengsoe Tjahjono, pengulas atas buku Muara Terakhir. (foto.AmAm).


 
Sementara itu, Tengsoe Tjahjono, menulis    “Muara Terakhir” bukan sekadar kumpulan puisi; ia adalah catatan sunyi seorang seniman panggung yang menepi, seorang peziarah makna yang menuliskan perjalanan hidup dengan darah kata-kata. Bagus Putu Parto, yang berakar dari dunia teater, menciptakan puisinya seolah menciptakan naskah panggung—dengan panggilan aktor, dengan cahaya sorot, dengan babak-babak dramatik yang memancing emosi, gelak, getir, bahkan airmata. Ini bukan panggung gemerlap, melainkan panggung kontemplatif, kadang muram, tapi jujur: panggung batin manusia yang sedang menyusuri sisa usia, antara riuh bisnis dan sunyi spiritualitas.

            Menutup kata pengantarnya Dr. Tengsoe Tjahjono, yang dosen FIB _UB Malang ini menjelaskan, bahwa Muara Terakhir bukan pengunduran diri dari puisi. Ia adalah peralihan dari suara lantang ke suara lirih. Penyair yang dulu hadir dalam parade protes kini menjadi pertapa sunyi yang masih menulis, meski hanya untuk dirinya sendiri. Teori Butler membantu kita membaca puisi ini sebagai panggung performatif. Heidegger membantu kita memahami waktu sebagai kesadaran spiritual. Bourdieu membantu menjelaskan pilihan hidup penyair yang tak lagi sepenuhnya milik kesenian. Dan Rumi membantu kita menafsirkan air mata sebagai pemurnian jiwa.

            Dr. Tengsoe Tjahjono akhirnya menandaskan Bagus Putu Parto menutup bukunya dengan membangun masjid: ruang dzikir yang senyap, ruang sujud yang tak memerlukan puisi. Tapi kita tahu, bahkan dalam diamnya, puisi masih berbunyi.

            Bagi saya yang jadi pewawancara, Bagus Putu Parto,  sebagai pemilik Rumah Budaya Kalimasada sudah mencerminkan keberadaannya sebagai seniman yang akan tetap terus berkarya. Mungkin menulis puisi, cerpen, atau pentas monolog lagi. Bagus Putu Parto identik Rumah Budaya Kalimasada, tak lekang untuk terus bersastra-sastra.*(aming aminoedhin).


Catatan:

Tulisan ini telah termuat di Majalah Seni Budaya Jatim, Cak Durasim, terbitan Taman Budaya Jawa Timur, Nomor 21 - Edisi Juli 2025.