Kilometer
Nol
MESKI
MINIMALIS TETAP EKSIS
Oleh: Aming Aminoedhin
Judul Buku : Km 0
Penulis : Bagus Putu Parto
Tahun terbit : Juni, 2020
Penerbit : Tankali Sidoarjo
Halaman : xvii + 96 halaman
ISBN : 978-623-6451-31-0
Omongkan penulis buku kumpulan puisi “Km 0” bernama Bagus Putu Parto, barangkali bisa jadi panjang sepanjang kiprahnya di dunia sastra. Berawal dari menulis naskah lakon, cerita pendek, dan juga menulis puisi. Ia memanggungkan sendiri naskah monolognya dari kota-kota lain, termasuk baca puisinya. Jam terbang menggelandang sebagai penulis sastra memang teramat panjang. Bahkan ia juga termasuk tokoh gerakan Revitasisasi Sastra Pedalaman (RSP) bersama Bonari Nabonenar, Sosiawan Leak, Beno Siang Pamungkas, Kusprihyanto Namma.
Tidak
hanya itu, ia juga tokoh pendiri Barisan Seniman Muda Blitar (BSMB) yang
kemudian lewat Bagus Putu Parto muncullah ide kreatif Grebeg Pancasila, yang
mana konsep awal ‘Grebeg Pancasila’ ini
dibagi menjadi 3 ritus budaya, yaitu Upacara Budaya, Kirab Gunungan Lima dari Istana
Gebang menuju Makam Bung Karno, dan Kenduri Pancasila di Makam Bung Karno. Menurutnya,
unsur lain yang tak kalah penting ada gunungan lima yang merupakan
personifikasi dari ke lima sila Pancasila. Lantas diiringi oleh Prajurit Siji,
Prajurit Enem yang membawa Burung Garuda
dan foto Bung Karno, serta Prajurit Patang Puluh Lima. Para prajurit itu simbol
yang melambangkan hari lahirnya Pancasila 1 Juni 1945. Sungguh, sebuah
simbolisme yang digarap dalam bentuk seni pertunjukan yang menarik.
Belakangan
ini, setelah cukup kaya, lantaran usaha pabrik “Kalimasada”yang dikelola
bersama istrinya Endang Kalimasada maju pesat, ia kemudian membuat komunitas
Dewan Kesenian Antarkota-Antarprovinsi. Dengan bermarkas di Rumah Budaya Kalimasada,
Gogodesa, Kanigoro, Blitar; yang merupakan rumahnya sendiri. Beberapa kali
adakan kegiatan seni budaya, termasuk acara: Pesta Puisi Musim Rambutan, Pameran
Lukisan, dan Pentas Teater dari Yogya, Surabaya, dan banyak lagi acara.
Buku
Km 0
Di
tengah masa pandemi, Bagus Putu Parto tak mau diam. Secara diam-diam
mengumpulkan puisi-puisinya. Setelah terkumpul dijadikanlah buku kumpulan puisi
yang dedikasikan sebagai kalung ulang tahun diri sendiri ke-53. Ini memang agak
aneh. Pertama judul bukunya saja minimalis “Km 0” yang mungkin akan banyak
pembaca tergoda atau tertarik membacanya. Kedua, penulis adalah tokoh teater, lulusan
ISI Yogya, tapi menulis puisi juga. Ketiga, penulis ini sebenarnya juragan roti
terkenal di kotanya Blitar. Kota yang punya julukan “Bumi Bung Karno”; “Blitar
Kawentar” atau Blitar terkenal, dan entah apa lagi. Keganjilan yang lain, buku
ini telah di-launching secara virtual pada 2 Juni 2020 lalu, tepat
tanggal kelahiran atau ulang tahunnya ke-53. Digarap secara sederhana, tapi
tetap eksis adanya. Baca puisi, dan baca opini ulasan pakar sastra. Pemandu
acara virtual itu anaknya sendiri, Kaka Kalimasada.
Jadi
lengkaplah sudah keganjilan dan keanehannya. Tapi, sebenarnya itulah sosok
seniman yang terkadang kita tak bisa menduga-duga. Aneh bin ganjil.
Kembali
ke kota berjulukan Bumi Bung Karno,
maka tidak mengherankan, jika dalam buku “Kilometer Nol” karya Bagus Putu
Parto, banyak puisi yang bicara soal kepahlawanan, atau pahlawan, dan diri
sendiri. Fokus utamanya, Bung Karno, yang barangkali saja karena Bagus PP asal
Blitar, dan kebetulan pula Soekarno dimakamkan di kota ini. Tokoh pahlawan lain,
Supriyadi, juga asli Blitar ditulisnya dalam puisi berjudul Amuk Bayonet.
Tema lain dalam buku puisi
ini adalah soal religi, personal, kritik sosial, sejarah, ekonomi, serta
refleksi diri yang terbentang dalam dua dasa warsa, dalam menjalani kehidupan Bagus PP belakangan
ini. Puisi-puisinya, saya menangkap
seperti bergaya puisi-puisi balada, kayak WS Rendra. Apakah Bagus terpengaruh
puisi Rendra? Itu soal biasa dalam penulisan karya sastra. Saling
pengaruh-mempengaruhi. Barangkali itu sah saja.
Bagi
saya sebagai pembaca, puisi Bagus Putu Parto, yang ditulis pendek-pendek terasa
lebih baik dibandingkan yang panjang-panjang. Artinya, saya merasakan bahwa
puisi-puisi pendeknya lebih kental dan sublim, seperti: 48 Tahun Dik Siti, Si Penabuh Bedug, Episode Tol, KM 0, Sumarah, Dialog
Sunyi, Syair Kemenangan, Jalan Nasib, Ziarah, Metamofose Kepompong, Keringat,
dan Sumarah.
Ibi
bukan berarti, puisi-puisi panjangnya lantas kurang bermutu. Bukan begitu.
Bahkan puisi-puisi panjangnya enak dibaca, dan sekaligus pembaca digiring tahu
pentingnya sejarah dan jiwa kepahlawan itu. Coba bacalah puisi: Kota di Tengah Pusara, Rumah Sejarah, Amuk
Bayonet, Sajak Anak Negeri Tentang Proklamasi, Bung Karno Bung Hatta Kirim Kami
Somasi, Zikir Tanah Seribu Prasasti, Di Manakah Kau Indonesiaku.
Bagus
Putu Parto yang pencetus Grebeg Pancasila di Blitar ini, telah menulis puisi
dengan nurani hati. Ada kurang lebihnya, itu adalah hal biasa. Barangkali haruslah
itu, berbekal keliru tidak malu, dan yang benar harus kita kejar selalu. Kian baik
dan semakin bermutu.
Dalam persoalan
seberapa mutu karya puisi Bagus Putu Parto, pada judul buku “Kilometer Nol”
ini, barangkali hanya kritikus sastra dan pembaca yang bisa menghakimi. Mereka boleh
bersetuju, merasa apik; dan mungkin ada sebagian lain yang tidak setuju, lalu
menampik. Seperti jamaknya manusia, bahwa orang-per-orang punya keunikan
tersendiri. Sementara Bagus Putu Parto, ada di antaranya: berani tampil beda
dengan membukukan puisinya, dan ini perlu diapresiasi tinggi. Tampil beda dengan
menandai ulang tahun terbitkan buku puisi. Hal ini adalah keunikan tersendiri, merayakan
ulang tahun dengan penanda buku.
Bagus yang juragan
pabrik roti “Kalimasada” ini, kini lebih banyak berkesenian di Rumah Budaya
Kalimasada Blitar; yang dikelola bersama istrinya Endang Kalimasada. Beberapa kali
menerbitkan buku sastra: Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo, Cerita Pendek
yang Ditulis di Usia 100 tahun, Jalan Sunyi Dokterandus Kartomarmo, Gir, Kata
Cookies pada Musim, dan banyak lagi.
Ada orang mengatakan
bahwa di balik kesuksesan seorang suami itu, ada peran besarnya istri. Bagus
Putu Parto telah sukses bersastra, dan berwiraswasta. Hal ini sebenarnya tak
lepas dari peran istrinya yang hebat, Dik Siti (dalam puisi, 48 tahun Dik Siti), yang bernama Endang
Kalimasada. Barangkali saya percaya itu!
Menulis puisi yang
baik, adalah kujujuran hati dalam menulis puisi. Dan Bagus Putu Parto telah
menulis berdasar nurani hatinya. Jika puisi ditulis dengan nurani hati,
kebanyakan akan terasa indah dan bermakna ganda (multi-interpretable). Apik dan menarik!
Bagus Putu Parto yang
lulusan departemen teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, memang
telah lama malang-melintang bermain teater, monolog, baca puisi di Blitar, dan
berbagai kota. Ia juga pencetus ide Grebeg Pancasila, 1 Juni yang diperingati
setiap tahun di kotanya Blitar.
Menurut Dr.Tengsoe Tjahjono, dalam pengantar buku ini
ini mengatakan, “Puisi Bagus, membayangkan hidup seperti perjalanan di jalan
tol, dengan memu-atkan puisi berjudul Episosde
Tol. Sebenarnya tidak mudah melewati jalan tol. Harus ada syarat yang
dipenuhi: memiliki kartu tol, bensin cukup, bisa baca rambu jalan, dan siap
istirahat jika letih. Tidak bisa manusia sekadar menjalani hidup tanpa
melengkapi dirinya dengan kekuatan iman kepada Tuhan, amal ibadah, derma dan
doa, kesehatan yang cukup, serta melakukan refleksi dalam setiap waktu untuk
evaluasi perjalanan hidupnya. Buku ini jadi penanda perjalanan Bagus ke-53
tersebut.”
Sedangkan
Prof. Dr. Djoko Saryono, guru besar Universitas Negeri Malang, tulisannya di
dalam epilog buku menyebutkan bahwa, “Di tengah banyak penyair menyenangi puisi
gelap atau remang yang penuh gebyar simbolisme, Bagus malah menulis puisi
terang benderang yang mengambyarkan simbolisme dan metafora yang kompleks.”
Terlepas
dari semua pendapat di atas, yang pasti disyukuri bahwa ada kumpulan puisi baru
berjuduk “Km 0” karya Bagus Putu Parto. Apakah
buku berjudul minimalis bukti bahwa ia tetap eksis, atau sekedar eksis, bahwa
ia tetap berkarya dalam kesenian? Hanya Bagus yang bisa menjawabnya.
Terbitnya kumpulan
puisi “Km 0” ini, semoga akan meramaikan peta sastra puisi di Jawa Timur khususnya,
dan Indonesia pada umumnya. Sekaligus banyak pembaca sastra puisi Indonesia
ikut mengapresiasinya. Selamat atas terbitnya! Salam sastra!***@@
Mojokerto, 15 Maret 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar